2 Berdirinya Kota Kudus, "kota suci"

V-2 Berdirinya Kota Kudus, "kota suci"

Menurut Hikayat Hasanuddin di Banten, imam keempat di Masjid Demak yang gugur di medan laga itu diganti oleh anaknya yang ditetapkan dalam jabatannya oleh Syekh Nurullah, yang kelak terkenal sebagai Sunan Gunungjati di Cirebon. Ini tidak mustahil, apabila kita pahami bahwa Sunan Gunungjati justru pada waktu yang sama telah menjadi ipar raja di Demak, hingga dalam kedudukan yang demikian itu ia dapat menyatakan pengaruhnya.

Penghulu muda di Demak inilah, menurut cerita tutur di Jawa Tengah, yang akhirnya dapat merebut kota kerajaan tua, Majapahit. la mencapai hasil gemilang itu terutama karena kekuatan gaibnya. Cerita yang bukan-bukan yang dimuat dalam buku- buku cerita Jawa Tengah inj menimbulkan dugaan bahwa kemudian orang sudah tidak ingat lagi akan fakta-fakta pertempuran-pertempuran itu sendiri karena memperhatikan

kemenangan saja. 94

94 Menurut cerita tutur setempat di Sengguruh, suatu daerah di sebelah selatan Malang, sesudah kota Kerajaan Majapahit direbut oleh orang-orang Islam, kiranya seorang anak laki-laki Patih Majapahit, Raden Pramana, masih dapat bertahan untuk beberapa waktu di daerah pegunungan yang terpencit itu. Dalam buku-buku cerita di Jawa Tengah (serat kandha) ternyata Sengguruh, (Pa-)malang, dan Patih Gajah Mada (nama tradisional bagi para pemimpin pemerintahan pada zaman Majapahit akhir, dalam cerita tutur Jawa) disebut-sebut juga dalam hubungan ini. Akhirnya Raden Pramana terpaksa menyingkir juga, karena datangnya serangan oleh laskar Sultan Demak (Pigeaud, Literature, jil. II, hlm. 61). Menurut satu cerita tutur Jawa, kiranya Brawijaya yang terakhir beserta penghuni keratonnya telah menyingkir ke Klungkung di Bali Selatan. Raja bawahan Bali di Klungkung itu agaknya (anak) menantunya; ia telah ikut berperang juga melawan orang-orang Islam. Sesudah mengalami kekalahan, raja Bali itu mengantarkan ayah mertuanya ke Bali. Cerita-cerita tutur Bali yang historis tidak memberitakan peristiwa ini. Pada paruh pertama abad ke-16, Gelgel merupakan kerajaan terpenting di Bali Selatan. Baru sesudah tahun 1687 Klungkung menjadi tempat kedudukan para dewa agung (Berg, "Traditie" dan Berg, "Gusti"). Jatuhnya Gelgel pada tahun 1687 dibenarkan oleh berita kontemporer dalam Daghregister. Mengingat hal itu, dapat diambil kesimpulan bahwa nama Klungkung baru sesudah tahun 1687 muncul dalam buku-buku cerita Jawa. Lain daripada itu, tidak adanya pemberitaan-pemberitaan cerita-cerita tutur Bali tentang nasib Brawijaya dengan keluarganya sesudah jatuhnya Majapahit cocok benar dengan berita Tome Pires tentang tidak berartinya maharaja "kafir" itu pada dasawarsa pertama abad ke-16, dan sesuai juga dengan cerita-cerita tutur, yang termuat pula dalam naskah-naskah Jawa, yang mengatakan bahwa Brawijaya musnah, "hilang" begitu saja. Sebaliknya, Gajah Mada sangat terkenal dalam cerita tutur Bali.

Cerita tutur Jawa tersebut menampilkan banyak raja dari seluruh daerah, bahkan dari Palembang, dan semua "ulama". Sunan Giri konon telah memainkan peranan istimewa dengan keris ajaibnya. Cerita-cerita itu boleh dianggap pancaran daya angan- angan generasi penerus. Cerita-cerita itu juga bertentangan urutan waktunya; para sunan, dari Giri misalnya, baru mendapat kekuasaan dan kedudukan tinggi pada paruh kedua abad ke-16. Namun, mungkin sekali, raja Demak, setelah melihat bahwa serangan-serangan "para santri" yang penuh semangat tempur di Jawa Timur itu menggoyahkan kekuasaan maharaja Majapahit, ingin mengambil manfaat dari situasi

untuk memperkaya diri dan memperluas wilayahnya. 95

Dalam uraian di atas (Bab II-12) telah diberitakan, mungkin raja Islam itu sesudah jatuhnya ibu kota lama menanamkan kekuasaannya di bagian terbesar Jawa Timur dan Madura. Mungkin karena pengaruh Sunan Gunungjati, iparnya, pada waktu itu juga ia memakai gelar sultan (lihat Bab II-9).

Kemungkinan bahwa berkat sukses yang telah dicapainya dalam medan peperangan, kekuasaan penghulu Demak, yang pada waktu itu agaknya masih muda, menanjak sekali. Cerita-cerita Jawa tentang kebesaran dan tindakan-tindakan Sultan Kudus harus dianggap cerita tentang dia sendiri. Namanya disebut dalam Sadjarah Dalem, silsilah keturunan nenek moyang raja-raja Surakarta dari abad ke-19, berdasarkan sumber keterangan lama yang dapat dipercaya. la dianggap layak dicantumkan dalam buku itu, karena seorang putri keturunannya diperistri oleh Susuhunan Paku Buwana III di Surakarta (1749-1788). Sunan Kudus sendiri konon telah memperistri putri Kiai Gede Kali Podang (lebih lanjut tidak dikenal), putri bupati Terung yang sudah ditaklukkan dan telah masuk Islam (sebelumnya sudah disebutkan), dan putri Adipati Kanduruwan (mungkin masih kerabat Sultan Demak); karena itulah ia

mempunyai hubungan darah dengan kalangan bangsawan pada zamannya. 96

95 Meskipun cerita-cerita Jawa tidak secara tegas memberitakan adanya harta yang melimpah-limpah yang ditemukan di Majapahit, boleh diduga bahwa harapan untuk dapat merampas isi istana-istana kerajaan dan tempat-tempat suci "kafir" di dalam kota kerajaan lama atau di sekitarnya merupakan satu di antara beberapa daya dorong, baik bagi barisan-barisan orang-orang alim maupun bagi para raja, untuk mengadakan serangkaian serangan. Majapahit bukan satu kota yang dikelilingi tembok, melainkan suatu kompleks yang terdiri dari sejumlah besar tempat tinggal raja-raja, pangeran-pangeran, dan orang-orang terkemuka, masing-masing dikelilingi tembok atau diperkuat dengan cara lain dan dikelilingi rumah-rumah sederhana sebagai tempat tinggal para abdi (Pigeaud, Java, jil. IV, hlm. 528 dst.). Kompleks perkampungan ini, yang masing- masing terpisah oleh ladang atau sawah-sawah; memang sukar dipertahankan terhadap serangan musuh. Cerita-cerita Jawa masih menyimpan kenang-kenangan pada "mahkota Majapahit", yang berabad-abad kemudian telah menjadi milik raja-raja Mataram di Jawa Tengah. Ternyata, diberitakan juga bahwa raja Demak telah memerintahkan mengangkut balok-balok dari salah satu gedung penting di istana Majapahit ke ibu kotanya sendiri, untuk dipasang pada salah satu bangunan di Demak. Hal serupa itu telah diceritakan tentang Sunan Kudus dalam Serat Kandha. Agaknya ia telah menyuruh mengangkut pintu- pintu gerbang halaman muka Keraton Majapahit ke Kudus, untuk dijadikan pintu-pintu gerbang masjid. Tentu saja cerita-cerita ini mungkin dibuat-buat belaka, dengan maksud untuk menonjolkan kesinambungan Kerajaan Majapahit dengan kerajaan- kerajaan yang kemudian di Jawa. Tetapi cerita-cerita tersebut mungkin pula mengandung kebenaran. Yang dapat disebut lagi ialah bahwa cerita tutur Jawa Barat mencatat nama seorang ahli bangunan Majapahit, Kiai Sepet, yang mula-mula bekerja bagi Sultan Demak, dan kemudian, atas perintah Sultan, juga untuk Sunan Gunungjati di Cirebon. Di Cirebon atau di dekatnya ia telah membangun tempat permakaman bagi orang-orang suci yang beragama Islam. Kiai Sepet ini semula seorang abdi di keraton Majapahit yang dibawa ke Demak sebagai tawanan. Tidak mustahil bahwa sesudah runtuhnya kota kerajaan lama, para pemandu budaya (secara paksa) pergi ke Jawa Tengah dan Jawa Barat seperti halnya mereka yang telah pergi ke Bah bersama seluruh penghuni keraton.

96 Perkawinan Paku Buwana III dengan seorang keturunan Sunan Kudus telah dipandang sebagai salah satu dari mata rantai yang menghubungkan keturunan raja Mataram di Jawa Tengah dan keturunan-keturunan orang-orang suci dalam aganna

Sementara itu 'pemimpin rohani' yang berderajat tinggi dan penuh semangat tempur ini, yang diberi nama Sunan Kudus dalam cerita tutur Jawa Tengah, sesudah menyelesaikan tugas-tugas ketentaraan dalam perang melawan Majapahit pada tahun- 152'7, masih bertahun-tahun hidup di Demak sebagai penghulu masjid suci itu, hingga akhirnya ia mendirikan Kota Kudus, "kota suci", dan pindah sendiri ke kota itu. Menurut tambo, ia bertindak demikian karena timbulnya perselisihan dengan raja Demak, karena perbedaan pendapat mengenai permulaan bulan puasa.

Perselisihan dengan raja Demak, yang menyebabkan tokoh yang kelak bernama Sunan Kudus itu terpaksa angkat kaki dari Demak itu, karena alasan yang lebih dalam daripada sekadar salah paham tentang permulaan bulan puasa itu. Dapat diduga bahwa ada iri hati antara yang kelak bernama Sunan Kudus - yang di Demak menjadi penghulu Masjid Suci - dan Sunan Kalijaga yang dalam pemerintahan Pangeran Tranggana telah pindah ke Demak dari Cirebon. Sunan Kalijaga adalah seorang dari keturunan tinggi, yang bertalian darah dengan para penguasa di kota pelabuhan tua, Tuban. Rupanya, ia disenangi baik oleh yang kelak bernama Sunan Cirebon maupun oleh yang kelak disebut Sultan Tranggana di Demak. Sunan Kudus, seperti halnya dengan kerabatnya, Sunan Bonang, terutama adalah seorang ahli dan penyebar agama.

Tambo Jawa Tengah memuat cerita yang menunjukkan adanya persaingan antara Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga itu. Pangeran Prawata, pengganti Sultan Tranggana di Demak, konon setelah mula-mula menjadi murid Sunan Kudus, kemudian mengakui Sunan Kalijaga sebagai gurunya. (Serat Kandha, hal. 466). Dalam buku babad yang kemudian (Meinsma, Babad, hal. 79-80) bahkan diceritakan bahwa Sunan Kudus telah menghasut, atau setidak-tidaknya telah memberi kuasa, muridnya yang paling dikasihi, Aria Panangsang di Jipang, untuk membunuh Pangeran Prawata yang pada waktu itu menjadi raja yang memerintah di Demak, karena dianggap suatu dosa besar menjadi murid pada dua guru sekaligus. Cerita-cerita ini ternyata berasal dari lingkungan "masyarakat orang-orang alim" atau masyarakat santri. Dapat dimengerti bahwa hal itu

juga mencerminkan pandangan dan pendirian kelompok penganut Sunan Kudus. 97 Akhirnya terdapat kemungkinan juga Sunan Kudus meninggalkan Demak karena

keinginan untuk hidup merdeka dan membaktikan seluruh hidupnya untuk memperdalam ilmu ketuhanan dan melakukan karya-karya yang direstui Tuhan, di luar lingkungan keraton (Demak). Sukar ditetapkan pada tahun berapa ia mengambil

Islam. Dalam Pigeaud, Literature (jld. I, hlm. 150 dst., dan hlm. 171), dimuat catatan-catatan mengenai keturunan menurut garis Kanan (Panengen 'yang Islam, yang suci') dan yang menurut garis Kiri (Pangiwa ‘yang "kafir", yang heroik') bagi raja- raja Mataram.

97 Ikatan antara guru dan murid diadakan hanya satu kali dan akan tetap ada selama hidup. Keyakinan ini dijunjung tinggi dalam banyak jemaah-kepercayaan; hubungan semacam itu ada pula dalam peradaban Jawa sebelum zaman Islam. Dalam hal ini mistik Islam sama sekali tidak mengajarkan barang baru. Nilai tinggi, yang terdapat pada ikatan antara guru dan murid, seperti yang dinyatakan dalam cerita-cerita babad Jawa yang dikutip dalam buku ini, ternyata sesuai dengan cerita tutur yang terkenal bahwa orang-orang suci itu adalah guru tasawuf, yang masing-masing mempunyai paham sendiri, yang juga merupakan inti ajaran mereka.

keputusan yang penting itu. Mungkin sekali itu terjadi beberapa tahun sebelum tahun 1549, tahun yang sesuai dengan tahun 956 Hijriah yang tahun pendiriannya dicantumkan di atas mihrab masjid besar di Kudus. Dapatlah dimengerti bahwa pembangunan masjid ini memerlukan waktu beberapa tahun, dan selain itu masjid itu bukan rumah ibadat pertama yang dipakai oleh ulama itu. Sebuah cerita Jawa (yang mungkin tidak sepenuhnya dapat dipercaya) menyatakan, Sunan Kalijaga datang dari Cirebon di Demak pada tahun 1543. Apabila dianggap benar bahwa penghulu Demak - juga karena rasa tidak senang terhadap Sunan Kalijaga - telah tergerak untuk pindah ke Kudus, maka tahun 1543 dapat dianggap sebagai batas perhitungan paling awal. Tahun itu masih berada dalam periode pemerintahan Sultan Tranggana yang pada

tahun 1546 sudah wafat. 98

Kudus (kata dalam bahasa Jawa untuk al-Quds, yaitu Baitulmukadis) ialah nama yang diberikan terhadap tempat itu, waktu tempat itu dinyatakan sebagai "tempat suci" oleh Sunan Kudus pertama, yang sebelumnya di Demak menjadi imam jemaah. 99 Nama yang lebih tua bagi tempat itu ialah Tajug. 100 Letaknya tidak begitu jauh di sebelah timur laut Demak, pada suatu jalan tua yang menuju ke timur. Tidak ada petunjuk bahwa pernah ada pelabuhan dagang di sana. 101

Menurut legenda setempat, Mbah Kiai Telingsing-lah yang mula mula menggarap tempat yang kemudian menjadi Kota Kudus. Beberapa orang

menyebut dia seorang Cina Islam, namanya semula The Ling Sing. Adanya cerita-cerita yang demikian menunjukkan bahwa tempat itu sudah agak berarti, sebelum dijadikan "kota suci" oleh Sunan Kudus. 102

98 Pada tahun yang sama, 1549 M. (1471 J.), waktu mihrab Masjid Kudus selesai dibuat, menurut cerita tutur Jawa, telah didirikan juga "keraton" sebagai tempat tinggal "raja imam" di Giri. Orang pasti bertanya-tanya dalam hati apakah persamaan waktu ini benar-benar hanya kebetulan. Pembunuhan terhadap Sunan Prawata telah memberikan pukulan berat terhadap kekuasaan duniawi keluarga raja Demak. Menurut satu cerita tutur Jawa, pembunuhnya - Aria Panangsang - melakukan perbuatan itu karena hasutan penasihat rohaninya, yaitu Sunan Kudus. Sudah jelas bahwa jatuhnya kekuasaan politik pemerintahan raja di pusat pasti telah memperlicin munculnya kekuasaan-kekuasaan yang setengah merdeka. Pemimpin- pemimpin rohani itu, yang menginginkan kekuasaan duniawi, dapat memanfaatkan kesempatan tadi untuk memperkuat kedudukan mereka, begitulah kiranya anggapan orang. Dapat diperkirakan, bangunan-bangunan yang mereka dirikan pada waktu itu dimaksudkan sebagai tanda akan bertambahnya kekuasaan mereka.

99 Di antara nama-nama kota di Jawa nama Kudus, yang asalnya dari bahasa Arab, merupakan suatu keistimewaan. Memang ada cerita tutur Jawa yang menyamakan Demak dengan Mekkah, Kadilangu (tempat dimakamkannya Sunan Kalijaga) dengan Medinah (tempat dimakamkannya Nabi Muhammad saw) dan (mungkin) Pati dengan Mesir (Kairo), tetapi sepanjang diketahui orang kota-kota tersebut dalam kenyataannya tidak pernah disebut demikian.

100 Tajug berarti "rumah-rumahan (di atas makam) dengan atap meruncing". Gaya bangunan ini agaknya dahulu kala telah mulai dipakai untuk tujuan-tujuan keramat. Berdasarkan pemikiran itu boleh diperkirakan bahwa tempat yang kelak akan diberi nama Kudus dahulu (sebelum zaman Islam) telah memiliki sifat kekeramatan tertentu. Nama Tajug terdapat dalam Serat Kandha, yang diikhtisarkan oleh Brandes (Brandes, Pararaton, hlm. 224-225) dan dalam Codex LOr no. 6379 (mungkin naskah yang berkesesuaian).

101 Nama kota lain yang agaknya ada hubungannya dengan Tajug/Kudus ialah Undung atau Ngudung. Nama yang sesuai dengan nama tempat itu adalah sebutan yang diberikan kepada ayah Sunan Kudus, ulama yang memperoleh kemenangan yang memastikan atas laskar "kafir" raja Majapahit. Letak tempat itu belum diketahui. Tempat itu juga diberitakan dalam Codex LOr no. 6379. Pemberitaan dalam naskah itu, bahwa Pangeran Ngudung itu adalah anak Pangeran Ngampel, tidak dapat dipercaya. Menurut daftar keturunan pada Hikayat Hasanuddin, Pangeran Ngudung itu tiga generasi lebih muda dari Pangeran Ngampel; ia juga bukan keturunan langsung menurut garis lurus.

102 Legenda setempat tentang Kudus terdapat dalam Solichin Salam, Kudus, dan dalarn sumbangan J. Knebel dalam Oudheidkundig Verslag (tahun 1910, hlm. 140-151). Pemberitaan Solichin Salam tentang Orang-orang Cina Islam itu sesuai

Dari cerita setempat ini - mengenai menetapnya penghulu Demak yang menyingkir ke tengah-tengah kelompok kecil penduduk yang menghuni pedukuhan pada jalan lama menuju ke arah timur - dapat juga diambil kesimpulan bahwa yang kelak menjadi sunan di Kudus itu mula-mula memperoleh penghasilan dari tanah-tanah ladang di sekitarnya, yang diolah para pengikutnya. Boleh jadi ia sebagai panglima mempunyai kawula- kawula itu, yang semula milik para penguasa "kafir" di daerah Majapahit yang sudah ditaklukkannya. 103 Juga dapat dimengerti bahwa sebagian barisan santri, yang telah bertempur di bawah pimpinannya dalarn perang jihad melawan "orang-orang kafir" di Jawa Timur, merasa tertarik oleh pusat kehidupan Islam baru di "kota sucj" itu. 104 Anehnya, tidak ada pemberitaan dalarn cerita tutur Jawa tentang penghadiahan tanah oleh raja Demak kepada para ulama besar di Kudus. Sedangkan para ulama Kadilangu, yang termasitk keturunan Sunan Kalijaga (mungkin lawan Sunan Kudus), sepanjang masa hidup dari hasil tanah perladangan, yang telah dihadiahkan kepada mereka oleh Keraton Demak.

"Kota Suci" Kudus Baitulmukadis sudah terkenal di Jawa dan bahkan di Nusantara sebagai pusat agama. Masjid besarnya diberi nama al-Manar atau al-Aqsa, seperti masjid suci di Baitulmukadis bagian Islam. Pengunjung-pengunjung Barat sudah sejak

dengan ccrita yang mengisahkan adanya tokoh-tokoh lain dari zaman Islam yang tertua di Jawa, yang keturunan Cina (Pigeaud, Literature, jil. III, di bawah "Chinese"). Kiai Telingsing yang ditampilkan dalarn cerita Solichin Salam itu ada seorang pemahat kayu, yang akhirnya hilang dalarn Sungai Sun Ging(?). Perincian-perincian kejadian semacam ini tidak diceritakan oleh Knebel. Menurut cerita Knebel, ada empat orang bersaudara yang bemama Telingsing, yang ingin mendapat bantuan Sunan Kudus dalarn mengolah tanah mereka yang masih bera (tandus). Sunan Kudus (yang karena perselisihan dengan raja Demak tentang hari permulaan puasa telah meninggalkan Demak) dalam perjalanannya ke Ngampel (Surabaya) untuk minta nasihat kepada gurunya telah berjumpa dengan empat orang bersaudara itu. Sesudah ia kembali dari Ngampel (di sana ia mendapat gelar susuhunan). ia sebagai Sunan Kudus telah menetap bermukim bersama keempat orang bersaudara itu. Snouck Hurgronje telah menyatakan bahwa masalah yang tiap tahun lazim menjadi pangkal perselisihan di negeri-negeri Islam ialah penentuan hari permulaan bulan puasa itu. Sebagai contoh diceritakan Snouck Hurgronje terjadinya selisih paham antara seorang Sultan Aceh dari paruh kedua abad ke-16 dan Tuwan, seorang ahli agama di Bitay; akhimya ternyata bahwa ahli agama itulah yang benar. (Snouck Hurgronje, Atjehers, jil. II, hlm. 324).

Yang masih perlu diberitakan ialah tentang Kiai Cede dari Kudus, yang menurut legenda Jawa Tengah bagian selatan sebenarnya kakek Jaka Tarub, moyang bagi para pemimpin Sesela, yang mempunyai hubungan kerabat dengan keluarga raja Mataram yang timbul kemudian (Meinsma, Babad, hlm. 36). Legenda ini mempunyai bagian-bagian yang menyerupai dongeng atau cerita mitos.

Kota Kudus yang diceritakan dalam legenda itu sukar disamakan dengan "Kota Suci" Islam itu, yang kiranya baru pada paruh pertama abad ke-16 mendapat nama demikian. Mungkin nama "Kudus" dalarn legenda itu hanya merupakan nama untuk suatu tanah asal segala asal dalam alam dewa-dewa. Atau mungkin juga nama Kudus yang baru kemudian muncul itu, dalam legenda secara anakronistis diberikan pada tempat kediaman seorang Kiai Gede, yang mestinya bernaama Kiai Gede Tajug atau Ngudung?

103 Masalah bahwa para "kawula" dan "orang-orang tergadai" boleh jadi mempunyai kedudukan penting dalarn ekonomi di Jawa dalarn zaman sebelum Islam telah dibicarakan dalarn Pigeaud, Java jil. IV, hlm. 473 dst.). Tidak ada alasannya untuk berpendapat bahwa posisi para pekerja yang tergolong "orang-orang tergadai" telah berubah karena pengislaman golongan para penguasa. Pada abad ke-17, di bawah pemerintahan raja-raja Mataram, masih terdapat "kawula-kawula", yang menurut kenyataan harus dipandang sebagai pekerja-pekerja tidak bebas (Wertheim, Society, Bab 9). Di Kerajaan Demak, pada abad ke-16, hubungan-hubungan ekonomi dan kemasyarakatan di daerah pedesaan, kiranya hampir tidak ada bedanya dengan ikatan-ikatan yang kita dapati di daerah-daerah yang dahulu diperintah oleh maharaja "kafir" Majapahit.

104 Para bekas pejuang "alim" ini kiranya menganggap dirinya sebagai "orang-orang merdeka" (apakah sebagian mereka semula sebelum mereka masuk Islam, mungkin merupakan "kawula" yang melarikan diri dari tuan-tuan "kafir" merdeka?). Dapat diduga bahwa "Orang-orang Alim ini", yang menganggap dirinya sebagai "petani bebas", telah mulai membuka ladang di daerah tanah tidak bertuan (mungkin dengan bantuan "kawula-kawula" yang telah mereka peroleh sendiri dalam peperangan melawan "orang-orang kalir"), di dekat "kota suci" tempat tinggal pemimpin mereka, yang disanjung-sanjungnya. Yang dapat dipermasalahkan ialah apakah menetapnya "Orang-orang Alim" bekas pejuang di sekitar "kota suci" di bawah pimpinan penghulu gagah berani yang telah menyingkir itu menyenangkan pula bagi Sultan Demak, karena dengan demikian ia terlepas dari kelompok-kelompok yang gelisah dan membahayakan kekuasaannya di dalarn kotanya sendiri, di sekitar Masjid suci (lihat juga cat. 65).

abad ke-17 (Antonio Hurdt, dalam ekspedisinya ke Kediri pada tahun 1678) mengagumi menara raksasanya, suatu bangunan yang kukuh tampan dan yang arsitekturnya jelas diilhami oleh candi-candi zaman pra-Islam. Penduduk "kota suci", Sunan Kudus dan "orang-orang santri"-nya, ternyata tidak merasa perlu memusnahkan segala sesuatu yang mengingatkan pada "kekafiran" zaman pra-Islam, atau melupakannya sama sekali. 105