5. Surabaya pada paruh kedua abad ke-16, legenda dan sejarah
XII-5. Surabaya pada paruh kedua abad ke-16, legenda dan sejarah
Kemajuan-kemajuan ekspansi Jawa Tengah ke arah timur, yang dipimpin oleh Sultan Pajang, mungkin juga masih dapat dikait-kaitkan dengan dua cerita lain, sehubungan dengan peristiwa-peristiwa tahun-tahun 1570-1580. Menurut kisah yang pertama (hanya diberitakan dalam Raffles, History, jil. II, hal. 143) konon para penguasa di Surabaya, Gresik, Sidayu, Tuban, dan Pasuruan (di pantai utara) dan para penguasa di Wirasaba, Ponorogo, Kediri, Madiun, Blora, dan Jipang (di pedalaman) telah menyatakan diri "bebas" dari raja Madura; dengan demikian mereka dapat mengakui Panji Wiryakrama, adipati di Surabaya, sebagai atasan mereka bersama. Adipati Surabaya ini telah bertindak sebagai wahana 'juru bicara' mereka terhadap raja Pajang. Menurut orang yang merupakan sumber berita Raffles, hal itu terjadi pada waktu Santa Guna, raja "kafir" di Blambangan, di ujung timur Jawa, menduduki Panarukan. 235
Tentang sejarah ujung timur Jawa ini dalam paruh kedua abad ke-16 ada beberapa hal yang sudah kita ketahui; hal itu akan dibicarakan pada Bab-bab XV-XVII. Ada kemungkinan, raja-raja Islam di Jawa Timur telah merasa dirinya terancam oleh makin meningkatnya kekuasaan "kekafiran" di ujung timur Jawa (dibantu oleh raja Bali); oleh karena itu, mereka bersatu di bawah pimpinan raja Surabaya yang daerahnya mungkin berada paling dekat dengan ancaman bahaya. (Menurut Tome Pires, pada permulaan abad ke-16 "Pate Bubat" dari Surabaya sudah sering terlibat dalam pertempuran melawan raja "kafir" Blambangan yang sangat berkuasa itu). Juga dapat dimengerti bahwa raja-raja Islam di Jawa Timur dan di daerah-daerah Pesisir lalu mengadakan hubungan dengan raja Pajang yang dianggap sebagai pengganti Sultan Demak yang sah.
Di Madura, yaitu di bagian barat pulau, di Sampang dan Aros Baya, yang memerintah dalam perempat ketiga abad ke-16 ialah seorang raja yang bernama Kiai Pratana atau Panembahan Lemah Duwur. Konon, ia anak penguasa Islam pertama di Gili Mandangin/Sampang. Menurut Sadjarah Dalem, Panembahan Lemah Duwur telah memperistri putri Pajang; jadi tidak ada sikap permusuhan dengan Pajang. 236 Tidak ada satu pun cerita Jawa atau Madura yang menunjukkan bahwa raja Madura pernah berkuasa di Jawa Timur dan daerah-daerah Pesisir. Jadi pindahnya kekuasaan ini pada Panji Wiryakrama dari Surabaya seperl yang dikesankan oleh sumber berita Raffles,
235 Pemberitaan dalam Raffles, History, tentang Panji Wiryakrama dari Surabaya tidak memperoleh pembenaran dalam daftar- daftar tahun-tahun peristiwa dalam tulisan Raffles itu sendiri. Mungkin keterangan tersebut berasal dari naskah Jawa Timur atau Madura.
236 Buku Sadjarah Dalem dari Jawa Tengah berisi cerita panjang lebar tentang keturunan-keturunan raja Madura Barat (Sampang dan Aros Baya kemudian bernama Bangkalan) dan Sumenep, karena mereka mempunyai hubungan keluarga dengan keluarga-raja Mataram; masih pada tahun 1834 seorang putri Bangkalan diperistri oleh Susuhunan Paku Buwana VII dari Surakarta. Karena perkawinan ini, maka di keraton dan juga pada para penulis di Surakarta timbul atau bertambah perhatian terhadap Madura.
tidaklah pasti. Tentang sejarah Madura dalam abad ke-16, bab berikut akan memberi penjelasan.
Cerita Jawa yang kedua menyangkut pertemuan para raja Jawa Timur di Giri pada tahun 1581. Pada waktu itu Sunan Prapen yang berusia lanjut telah meresmikan pengangkatan raja Pajang yang juga tidak muda lagi agar diakui raja-raja lain. Hal itu harus ditafsirkan dengai latar belakang yang sama, yaitu pembenahan kekuasaan raja- raja Islam yang disebabkan adanya bahaya serangan yang mengancam lewat darat atau laut, dari pihak raja-raja "kafir" di kawasan timur. 237
Keturunan-keturunan terakhir dari dinasti Demak dan Pajang tidak dapat bertahan menghadapi semangat ekspansi yang berkobar dalam Kerajaan Mataram di pedalaman yang masih muda itu. Waktu Sultan Pajang meninggal dunia pada tahun 1589, Senapati di Mataram cepat-cepat mulai bertindak agar kekuasaannya diakui oleh raja- raja di Jawa Timur, yang sebelumnya sudah mengakui sultan-sultan di Demak dan Pajang sebagai penguasa tertinggi. Usaha-usaha perluasan kekuasaan yang dilakukan oleh raja baru di pedalaman Jawa Tengah ini terbentur pada perlawanan para penguasa Jawa Timur dan daerah-daerah Pesisir. Perlawanan ini lebih dari yang dihadapi raja Pajang kira-kira seperempat abad sebelumnya. Boleh diduga pada perempat terakhir abad ke-16 peradaban Islam Pesisir, yang selama hampir seratus tahun berkembang atas dasar pola peradaban Majapahit, telah membentuk ikatan kesatuan antara daerah-daerah yang sebelum itu telah mengakui kekuasaan maharaja "kafir". Meskipun letaknya di pedalaman, karena adanya perhubungan baik lewat Bengawan Solo dan jalan-jalan darat sudah sejak abad ke-15. Pengging dan Pajang ikut serta dalam geraka sosial politik baik di Jawa Timur maupun di daerah-daerah Pesisi sebelah timur laut. Karena Mataram hanya dapat menggunakan perhubungan darat dengan Pajang dan dengan Jawa Barat, pada abad ke-15 dan masih juga dalam paruh pertama abad ke-16, oleh raja-raja Jawa Timur, Mataram dianggap sebagai daerah terbelakang yang berperadaban kasar. Sebagian raja-raja Jawa Timur itu keturunan pedagang Islam yang sudah maju peradabannya dan berasal dari negeri asing.
Menurut tambo Jawa Tengah, boleh dikatakan tidak lama sesudah meninggalnya Sultan Pajang, Senapati dari Mataram berusaha agar kekuasaannya diakui di Jawa Timur. Pasukan Panembahan Senapati di dekat Japan (Mojokerto yang sekarang) telah dibendung oleh tenaga gabungan sejumlah besar raja-raja Jawa Timur. Gabungan itu terdiri dari: daerah-daerah Pesisir, yaitu Tuban, Sidayu, Lamongan, dan Gresik; daerah- daerah pedalaman yaitu Lumajang, Kertosono, Malang, Pasuruan, Kediri, Wirasaba,
237 Cerita tutur tentang pelantikan raja Pajang sebagai sultan pada tahun 1581 dikemukakan dalam Bab XI-5. Boleh jadi upacara ini merupakan puncak kejayaan kehidupan mereka memegang kekuasaan pemerintahan, baik bagi Sunan Prapen dari Giri maupun bagi Sultan Pajang. Dengan jalan diplomasi itu maka di bagian timur Kerajaan Demak, yang sudah kembali di bawah kekuasaan sultan baru, status quo dapat dimantapkan. Bahwa dalam cerita tutur ini Panji Wiryakrama dari Surabaya tidak disebut, telah kita kemukakan lebih dahulu.
dan Blitar; di samping itu masih ada lagi Pringgabaya, Pragunan, Lasem, Madura, Sumenep, dan Pakacangan. Mereka telah dikerahkan oleh panggede, 'pemimpin' mereka, yaitu pangeran Surabaya, untuk melawan kehendak Senapati. Pada kesempatan itulah Sunan Giri mendamaikan Mataram dan Surabaya, dengan menyuruh kedua raja itu memilih antara "bungkus" dan "isi". Kemudian kedua penguasa itu berpisah dengan damai. 238 Tanpa mempersoalkan sampai berapa jauh Sunan Giri itu betul-betul bertindak sebagai penengah pada saat-saat gentingnya ancaman perang, dapat diperkirakan bahwa percobaan pertama raja Mataram untuk mendapat pengakuan di Jawa Timur sebagai maharaja itu ternyata telah gagal. la ditolak serentak oleh sejumlah besar penguasa setempat yang dipimpin pangeran Surabaya.
Nama raja Surabaya, yang konon kekuasaannya pada perempat terakhir abad ke-
16 di Jawa Timur dan Madura cukup besar untuk menggerakkan sejumlah besar penguasa setempat supaya bekerja sama melawan Mataram, tidak disebutkan dalam buku-buku sejarah Jawa Tengah abad ke-18. Dalam Sadjarah Dalem terdapat nama Panembahan Ratu Jayalengkara dari Surabaya sebagai nama ayah Pangeran Pekik (yang sesudah tahun 1625 menjadi ipar Sultan Agung). Jadi, mungkin Panembahan Jayalengkara itulah yang pada tahun 1589 menjadi lawan Senapati Mataram. Pada tahun 1625 - pada akhir hayatnya - ia dikalahkan dan diturunkan dari tahta oleh cucu Senapati, Sultan Agung. Tidak ada keterangan yang membuat percaya bahwa Pangeran Pekik dari Surabaya dan ayahnya Jayalengkara (mungkin juga Panji Wiryakrama) termasuk keturunan langsung Adipati Terung ("Pate Bubat") dari zaman permulaan abad ke-16. Menurut suatu sumber Jawa, agaknya ia dipindahkan ke Semarang. Juga tidak dapat dipastikan apakah keturunan Jayalengkara benar-benar menurut garis langsun merupakan keturunan Sunan Ngampel, orang suci abad ke-15 itu. 239