7 Masjid Demak, legenda dan sejarah
I-7 Masjid Demak, legenda dan sejarah
Menurut cerita tradisional sejarah Jawa, tercatat dalam cerita dan buku-buku cerita, bangunan masjid itu didirikan oleh para wali bersama-sama dalam waktu satu malam. Atap tengahnya ditopang, seperti lazimnya, oleh empat tiang kayu raksasa. Salah satu di antaranya tidak terbuat dari satu batang kayu utuh; ia disusun dari beberapa balok, yang diikat menjadi satu. Dikisahkan dalam legenda itu bahwa tiang tersebut adalah sumbangan Sunan Kalijaga. Rupanya tiang itu disusun dari potongan-potongan balok yang tersisa dari pekerjaan wali-wali lainnya; pada malam pembuatan bangunan itu ia datang terlambat, oleh karenanya tidak dapat menghasilkan sebuah pekerjaan yang utuh.
Dalam lagenda-lagenda tentang Masjid Demak, Sunan Kalijaga menduduki tempat yang penting. Dialah yang berjasa membetulkan kiblat masjid (mengarah ke Mekkah). Sunan Kalijaga jugalah yang memperoleh baju wasiat "Antakusuma", yang jatuh dari langit di masjid itu di tengah-tengah para wali yang sedang bermusyawarah. Cerita mengenai peristiwa itu berbeda-beda. Baju yang juga disebut Kiai Gundil (Gundul) itu dalam cerita tradisional dianggap sebagai salah satu "pusaka" raja-raja Jawa. Panembahan Senapati, raja Mataram pertama yang merdeka, menurut cerita, pada tahun 1590 telah dapat mengalahkan pangeran Madiun karena mengenakan baju tersebut yang membuatnya kebal. Baju itu diterimanya dari pandita di Kadilangu, ahli waris Sunan Kalijaga. Pada tahun 1703 baju tersebut masih disebut sebagai salah satu pusaka keraton dalam suatu surat berbahasa Belanda. Pada waktu itu baju tersebut diserahkan kepada sunan baru, Mangkurat III, di Kartasura. (Dagh-Register, 12 November 1703; disimpan di Arsip Nasional, Jakarta, belum terbit).
Legenda ketiga tentang Masjid Demak, di samping cerita tentang pembangunan Masjid Demak dan tentang baju tersebut, ada hubungannya dengan api surga. Legenda itu mempunyai bermacam-macam versi; dalam semua versinya, Ki Gede Sesela, tokoh yang menangkap kilat, berada di ladang. la membawa kilat itu ke Masjid Demak atau kepada Sultan Demak. Sebuah relief, yang dibuat di atas pintu gerbang utara bangunan Legenda ketiga tentang Masjid Demak, di samping cerita tentang pembangunan Masjid Demak dan tentang baju tersebut, ada hubungannya dengan api surga. Legenda itu mempunyai bermacam-macam versi; dalam semua versinya, Ki Gede Sesela, tokoh yang menangkap kilat, berada di ladang. la membawa kilat itu ke Masjid Demak atau kepada Sultan Demak. Sebuah relief, yang dibuat di atas pintu gerbang utara bangunan
Mukjizat penangkapan kilat di Demak itu oleh cerita tradisi dihubungkan dengan suatu keputusan politik penting. Penghormatan Ki Gede Sesela merupakan tradisi dinasti bagi wangsa Mataram. Ada kemungkinan untuk menghubungkan atau setidak- tidaknya membandingkan cerita api surga ini dengan pandangan Hindu -Jawa dari zaman sebelum Islam, mengenai "asas Kekuasaan Syiwa yang berkilauan", (Schrieke) dan "Lingga Syiwa yang memancarkan sinar" (Bosch).
Hingga abad ke-19 masjid suci di Demak menjadi pusat bagi umat Muslim kuno di Jawa Tengah. Di kalangan itu bahkan ada anggapan bahwa mengunjungi Kota Demak dan makam orang-orang suci di sana dapat disamakan dengan naik haji ke Mekkah. Nama Kudus, yang pada abad ke-16 diberikan kepada pusat keagamaan Islam yang lain, terletak tidak jauh dari Demak, berasal dari kata al-Quds, nama Arab untuk Yerusalem, juga suatu kota suci bagi orang Islam.
Pantas disebutkan ucapan, yang - menurut Babad Tanah Djawi (Meinsma, Babad, hal. 566) - dikemukakan oleh Susuhunan Paku Buwana I di Kartasura pada tahun 1708. Waktu itu beliau harus mengakui bahwa susuhunan yang mendahului dia, Mangkurat III yang dibuang ke Sri Lanka oleh Kompeni di Jakarta, telah membawa semua pusaka kerajaan. Paku Buwana I berkata bahwa Masjid Demak dan makam suci di Kadilangu sajalah yang merupakan pusaka mutlak dan tidak boleh hilang (ugere pusaka ing tanah Jawa). Pada tahun 1710 ia memberi perintah untuk memperbaiki bangunan itu dan mengganti atapnya dengan sirap baru (atap dari kayu). Menurut berita yang bersumber pada Kompeni, sesudah meninggalnya Kapten Tack di Kartasura, konon Sunan Mangkurat II pada tahun 1688 menawarkan untuk mengucapkan sumpah setianya kepada perjanjian-perjanjian yang telah diadakannya dengan Kompeni, di Masjid Demak (Graaf, Tack, hal. 142, cat. 4).
Lagenda-lagenda dan cerita-cerita tradisi yang telah disebutkan itu penting, karena telah mengungkapkan betapa pentingnya Masjid Demak di alam pikiran orang Jawa
Islam pada abad ke-17, ke-18, dan ke-19. Kenyataan itu disebabkan oleh perkembangan sejarah. Masjid Demak telah menjadi pusat kerajaan Islam pertama di Jawa Tengah. Menurut cerita tradisi yang tampaknya dapat dipercaya, kota yang kemudian dikenal sebagai ibu kota Demak itu didirikan pada paruh kedua abad ke-15. la cepat menjadi pusat perdagangan dan lalu lintas, dan menjadi pusat ibadat bagi golongan menengah Islam yang baru timbul. Politik ekspansi raja-raja Demak dalam masa kejayaannya telah jauh masuk ke Jawa Barat, Tengah, dan Timur. Hal itu selalu dibarengi dengan dakwah agama, sebab raja-raja dan pengikut mereka sendiri sedang berkobar-kobar semangat agamanya. Mungkin sekali raja-raja Demak menganggap Masjid Demak sebagai lambang kerajaan Islam mereka. Tidak begitu penting untuk diketahui apakah masjid tertua di Demak itu didirikan oleh raja pertama atau raja lain. Bahwa Masjid Demak pada abad-abad berikutnya menjadi penting sekali dalam dunia
Jawa pada mulanya merupakan jasa dinasti Demak. 22
Legenda-legenda itu - yang telah menghubungkan Masjid Demak dengan wali-wali di Jawa (pembangunannya; baju Antakusuma) -dapat dianggap dongeng yang
22 Dalam Pigeaud, Literature, jil. I, hlm. 76 dst. ("The beginning of the Islamic period ' in Java, Javanese mysticism") perhatian dipusatkan pada sebuah kelompok pusat-pusat keislaman yang lain (di samping masjid-masjid di kota-kota pelabuhan) pada abad ke-15 dan ke-16, yiitu tempat-tempat pendidikan agama (pondok, pesantren), yang merupakan kelompok-kelompok masyarakat yang masing-masing berdiri sendiri; kadang-kadang jauh di pegunungan. Tentang berbagai orang suci dari suku Jawa diberitakao oleh cerita tutur, bahwa mereka telah membuat bertobatnya beberapa ajar, yaitu guru-guru yang beragama dari zaman sebelum Islam, dengan memperlihatkan kepada mereka betapa unggulnya mukjizat-mukjizat Allah. Dalam Pigeaud, Java, hlm,. 484, dst. diungkapkan dugaan bahwa tempat-tempat pendidikan agama dari zaman sebelum Islam - asrama-asrama dan mandala-mandala - merupakan bentuk asli pondok-pondok dan pesantren-pesantren Islam. Para ajar, yang telah rela bertobat, masih tetap meneruskan tugasnya dalam memberi bimbingan keagamaan kepada para pengikutnya (dengan cara mereka sendiri dan sesuai dengan tingkat pengetahuan mereka). Begitulah agaknya maksud yang ingin disampaikan oleh cerita tutur Jawa. Dapat diperkirakan, bahwa beberapa pondok Islam tua telah menggantikan pusat-pusat keagamaan dari zaman sebelum Islam. Di antara naskah-naskah Jawa yang dikumpulkan oleh Schoemann (sekarang di Perpustakaan Negara, Berlin) terdapat sebuah naskah Jawa kuno, yang ditulis pada daun nipah dengan apa yang disebut huruf Buda. Naskah ini termasuk kumpulan naskah Jawa lama, yang pada tahun 1851 dibeli di Desa Kedakan (di Kedu, di lereng Gunung Merbabu sebelah barat) dari keturunan seorang panembahan bernama Windu Sona, yang telah mengasingkan diri di tempat itu pada abad ke-15, waktu agama Islam mulai memegang pimpinan di Jawa Tengah (ini catatan- catatan Dr. Schoemann). Memang suatu kenyataan bahwa di antara naskah-naskah pada daun nipah dengan tulisan yang biasa disebut huruf Buda, ternyata juga ada yang dipengaruhi Islam. (Pigeaud, Literature, jil. III, Facsimiles, him. 2-23, dan lndeks him. 199, di bawah "Buda" III).
Dalam hubungan ini baiklah disebutkan legenda tentang ziarah Sunan Kalijaga ke Pamantingan. Menurut legenda ini, yang menjadi bagian Sunan Kalijaga dalam pembangunan masjid suci Demak ialah satu tiang, yang dibentuknya dari balok-balok potongan yang disusun dan diikat menjadi satu tiang. Disebutkah pula secara khusus (Meinsma, Babad, him. 48), bahwa Sunan Kalijaga terpaksa bekerja dengan tergesa-gesa waktu ikut melaksanakan pembangunan tersebut, karena datangnya di Demak sudah jauh lepas tengah hari, sementara orang-orang suci.lainnya sudah bersiap-slap menegakkan sumbangan mereka masing-masing untuk bangunan itu. Ia datang terlambat, karena ia telah pergi bertirakat ke Pamantingan (tirakat dateng ing Pamantingan), dan agaknya kurang pagi berangkat dari situ.
Menurut cerita tutur itu, sebelum zaman Islam saja sudah ada tempat keramat yang terkenal, yakni Pamantingan atau Mantingan. Menurut pemberitaan, Pamantingan ialah salah satu dari delapan tempat kediaman yang terpenting bagi roh di Jawa (Lelembut, 'makhluk berbadan halus'), di samping merupakan tempat kediaman pertapa wanita dari Cemara Tunggal, yang kabarnya juga menjadi Ratu segara Kidul, 'Dewi Laut Selatan', Nyai Lara Kidul (Meinsma, Babad; hlm. l0 dan 21; lihat juga Pigeaud, Literature, jil. III. hlm. 301 dan 303 di bawah judul "Mantingan dan Mancingan"). Mantingan ini kiranya juga telah menjadi tempat kediaman Jumadil Kubra, orang suci Islam dari zaman dahulu (lihat cat. 2). Bolehlah diperkirakan, bahwa menurut legenda, Pamantingan yang telah dikunjungi Sunan Kalijaga ialah tempat dekat Jepara, yaitu tempat Ratu Kalinyamat yang tersohor itu kira-kira tiga perempat abad kemudian telah mendirikan makam (jirat) bagi suaminya yang telah terbunuh itu (lihat Bab VI-I dan cat. 113 berikut ini). Legenda yang mengisahkan bahwa orang suci seperti Sunan Kalijaga telah mengunjungi tempat seperti Pamantingan, kiranya berdasarkan kepercayaan lama akan adanya hubungan antara "kekafiran" Jawa kuno dan agama Islam.
(Mungkin Mantingan itu lebih dari satu. Dewi Manting ialah nama dewi padi di Bali; lihat Pigeaud, Literature, jil. III, hlm. 312. Dewi menurut kepercayaan lama itu telah mengejawantah, baik sebagai dewi tetumbuhan dan dewi kesuburan maupun sebagai Nyai Lara Kidul).
termasuk kesusastraan agama untuk yang menghormati orang-orang suci, terutama Sunan Kalijaga, pendakwah dan pelindung Jawa Tengah sebelah selatan. Ketika kekuasaan raja-raja Demak jatuh, pada paruh kedua abad ke-16, kesetiaan yang berurat berakar terhadap orang-orang suci menjadikan Masjid Demak sebagai pusat kehidupan beragama di Jawa Tengah.
Cerita tradisi sejarah Banten (Edel, Hasanuddin) memuat kisah-kisah tentang imam- imam Masjid Demak pada perempat terakhir abad ke-15 dan dalam perempat pertama abad ke-16. Salah satu bagian buku ini akan membahasnya. Cerita tradisi ini membukrikan bahwa pada zaman itu masjid beserta para pengurusnya sangat terpandang.
Menurut S. Wardi, seorang peminat yang ternyata mengenal daerah itu dengan baik, di dekat pengimaman (mihrab) Masjid Demak terdapat sebuah tableau yang disemen dalam tembok: Tableau tersebut menunjukkan candra sangkala, yaitu tahun kejadian berwujud lukisan-lukisan kongkret, namanya mempunyai nilai angka. Menurut beliau, candra sangkala tersebut berwujud lukisan kepala, kaki, tubuh, dan ekor; keseluruhan itu menunjukkan tahun Jawa 1401 yang sesuai dengan tahun 1479 M. (Wardi, Kumpulan). Dengan cara seperti itu pada pintu gerbang utama Masjid Demak tertera pada kayu tahun 1428 Jawa yaitu tahun 1506 M. Tahun-tahun kejadian itu tampaknya dapat dipercaya; tahun-tahun itu bertepatan dengan waktu timbulnya dan berkembangnya kekuasaan Kerajaan Demak. Mungkin dapat diterima bahwa pada permulaan abad ke-16 telah didirikan suatu bangunan yang diperindah dan diperbesar, yang mengelilingi mihrab lama yang sudah berumur 30 tahun. Tahun 1506 cocok dengan tahun 1507, yaitu ketika raja Demak (Tranggana) hadir pada peresmian Masjid,
setelah diperbarui (lihat Bab II-5 berikut ini). 23
23 Sebuah karangan Dr. de Graaf (Graaf, "Mosque"), menyajikan uraian tentang bangunan masjid-masjid lama dengan atap bertingkat-tingkat, menurut pandangan dan penggambaran musafir Eropa dari abad ke-17. Persamaan yang terdapat dalam hal atap bertingkat, antara masjid-masjid lama di Sumatera dan Jawa di satu pihak, dan di pihak lain rumah-rumah ibadat Islam di Malabar, Gujarat, dan bahkan di Kashmir, sungguh mencolok. Kemungkinan tentang adanya hubungan antara masjid-masjid Indonesia yang beratap bertingkat dan "pagoda-pagoda" di daratan Asia Tenggara juga dapat dipertimbangkan, mengingat bahwa kerabat-kerabat orang Islam lama yang jadi pelopor berasal dari Asia Tenggara; juga mengingat hubungan- bubungan mereka dengan Cina.