3. Sejarah Blambangan pada abad ke-16. Direbut oleh raja Islam dari Pasuruan sekitar tahun 1600 M.

XVII-3. Sejarah Blambangan pada abad ke-16. Direbut oleh raja Islam dari Pasuruan sekitar tahun 1600 M.

Tentang sejarah politik kerajaan terbesar di ujung timur Jawa pada paruh pertama abad ke-16 itu, hanya kita ketahui apa yang diberitakan Tome Pires. Daftar tahun peristiwa mengenai penaklukan daerah oleh Demak memberitakan bahwa Blambangan diduduki pada tahun 1546.

Pada tahun itu menurut Mendez Pinto terjadi serangan militer terhadap Pasuruan (seharusnya Panarukan), yang membawa malapetaka bagi kerajaan Islam muda di bawah pimpinan Sultan Tranggana dari Demak itu. Gerakan militer itu ditujukan kepada raja Blambangan, yang menurut Tome Pires sekitar tahun 1510 telah menduduki "Canjtam", Pajarakan, dan Panarukan. Jadi, pemberitaan dalam daftar tahun peristiwa Demak itu tidak keliru. Mungkin pasukan-pasukan Jawa Tengah dan Pasuruan pada tahun 1546 di ujung timur Jawa bagian tengah dan bagian timur telah mencapai hasil yang lebih besar daripada yang dapat disimpulkan berdasarkan uraian Portugis yang sedikit berkhayal itu. Tetapi tidak ada petunjuk bahwa orang-orang Islam Jawa Tengah pada waktu itu telah menerobos terus sampai pada daerah inti kerajaan ujung timur Jawa yang sekarang merupakan daerah Banyuwangi. Pada tahun 1559 pelaut-pelaut Portugis tidak melihat masjid-masjid, melainkan pagoda dan penyembah-penyembah berhala. Pada waktu itulah misionaris-misionaris Roma Katolik dari Malaka merencanakan membawa agamanya ke ujung timur Jawa. 290

Raja Batu Renggong dari Gelgel mempunyai kedudukan penting dalam sejarah politik Kerajaan Blambangan maupun di bagian tengah ujung timur Jawa. Pemerintahan Raja Batu Renggong pada perempat ketiga abad ke-16, bagi Kerajaan Bali Selatan ini, merupakan zaman kemajuan kebudayaan dan perluasan kekuasaan pemerintahan. 291 Menurut cerita sejarah Bali Selatan, raja itu telah memerangi raja Blmnbangan yang

290 Karangan C. Wessels sudah disebutkan pada cat. 264 sehubungan dengan sejarah Panarukan. 291 Dalam karangan Berg, Traditie, terdapat pembicaraan panjang lebar tentang Kerajaan Gelgel di Bali Selatan (hlm. 138 dst.).

Cerita tutur Bali yang bersifat sejarah mengenai abad ke-16 sebagian besar bertopang pada Pamancangah, yang sifatnya Jawa-Bali itu. Suatu versi karya penting ini dengan judul Kidung Pamancangah berbentuk puisi berirama dan telah diterbitkan oleh Berg, tanpa terjemahan, tetapi disertai daftar nama orang yang sangat berguna (Berg, Pamancangah). Babad Buleleng (Worsley, Babad) berisi cerita historis tentang suatu keturunan Bali, keturunan Jlantik, yang telah melahirkan beberapa tokoh prajurit terkenal, yang juga ikut berperang di ujung timur Jawa.

menggunakan gelar "Juru". Sang "Juru" ini konon gugur dalam perang tanding melawan seorang perwira pasukan Bali. Itu sebenarnya tidak dimaksudkan raja Gelgel, karena dia dan sang "Juru" masih mempuhyai hubungan keluarga; keduanya adalah keturunan Raja Kapakisan dari Samorangan. Raja itu hidup pada ketika keluarga raja Majapahit berhasil merebut kekuasaan di Bali Selatan, antara lain dengan ekspedisi yang dipimpin oleh Patih Gajah Mada yang tersohor beserta Aria Damar yang telah menjadi tokoh legenda itu. Menurut Tome Pires, raja yang pada permulaan abad ke-16 memerintah di Blambangan masih mempunyai hubungan saudara dengan keturunan para patih Majapahit. Pemberitaan ini dan cerita tutur Bali tidak bertentangan.

Yang menarik perhatian kita ialah cerita Pamancangah Bali yang mengisahkan seorang putri Blambangan yang - karena menolak untuk menjadi istri Raja Batu Renggong - telah menyebabkan terjadinya perang antara ayahnya dan raja Bali itu. Ia dapat lolos dari Raja Batu Renggong berkat bantuan salah seorang saudaranya lain ibu, yang bernama Bima Cili. Mereka bersama telah melarikan diri ke Pasuruan. Pada pertengahan abad ke-16 Islam merupakan agama utama di Pasuruan, dan raja-raja Pasuruan bermusuhan dengan raja-raja Blambangan. Oleh karena itu, dapat dimengerti (jika cerita tutur Bali itu berdasarkan kenyataan) bahwa penolakan putri Blambangan dan pengungsiannya kemudian ke Pasuruan yang beragama Islam itu ada hubungannya dengan adanya pertentangan antara "kekafiran" dan Islam. 292

Konon, Raja Batu Renggong dari Gelgel meninggal sekitar tahun 1570. Jadi ia hidup sezaman dengan Sultan Pajang yang meninggal pada tahun 1587, sezaman juga dengan Sunan Prapen dari Giri yang masih hidup lama sesudah keduanya meninggal. Munculnya dinasti Mataram dimulai dengan Panembahan Senapati - yang naik tahta pada tahun 1584 - tidak dialami lagi oleh Raja Batu Renggong.

Menurut berita yang berasal dari pelaut-pelaut Eropa, seorang raja Blambangan yang bernama Santa Guna pada tahun 1575 merebut Panarukan dari tangan orang-

292 Dalam sudut kehidupan bermasyarakat, baik bagi kaum pria maupun kaum wanita, terdapat perbedaan penting antara "kekafiran" dan agama Islam, yaitu perbedaan yang berhubungan dengan kedudukan perkawinan di dalam kedua ajaran itu masing-masing. Dalam "kehidupan kafir" secara Jawa-Kuno dan Jawa-Bali, yang sangat dipengaruhi oleh adat istiadat India, pemilihan istri terikat pada peraturan-peraturan yang keras, yang ditentukan oleh asal keturunan masyarakat ("kasta" atau penggolongan-penggolongan yang serupa). Perkawinan, sekali disahkan, amat sukar diputus lagi. Janda tidak kawin lagi. Pembakaran diri seorang janda, bila suaminya meninggal, dirasakan sebagai suatu kehormatan bagi seluruh keluarga. Hampir semua istri raja diharapkan mengorbankan hidupnya (bila raja meninggal). Sebaliknya, dalam agama Islam, perkawinan itu bukan hal yang mengikat untuk seumur hidup dan pemutusan perkawinan mudah dilakukan oleh pihak pria, sedang dari pihak wanita pemutusan perkawinan itu setidak-tidaknya bukan hal yang mustahil. Agama Islam tidak mengakui adanya rintangan/halangan terhadap perkawinan karena keturunan kemasyarakatan. Wanita yang diceraikan dan para janda tetap memiliki hak hidupnya pribadi dalam masyarakat. Dapat diduga bahwa perbedaan antara "kekafiran" dan agama Islam ini kadang-kadang mempunyai sifat menentukan bagi kaum wanita, bila mereka mau pindah ke agama lain. Bukti-bukti yang dapat membenarkan dugaan ini sukar sekali ditemukan dalam kesusastraan Jawa. Oleh sebab itu, cerita Jawa-Bali tentang pengkhianatan putri Blambangan, yang bersama saudara laki-lakinya yang tidak seibu, lari ke daerah musuh, yang dikuasai agama Islam, sungguh amat menarik. Tindakan kedua putra raja itu dalam Pamancangah diberitakan dengan penuh rasa jijik, tetapi tanpa petunjuk jelas bahwa mereka di Blambangan memang sudah beragama Islam. Hal tersebut masing-masing dapat kita anggap mungkin terjadi. Dalam Pigeaud, Literature (jil. I, hlm. 220) diberikan perhatian pada hubungan antara kesusastraan romantis abad ke-16 dan ke-17 dan pendapat-pendapat baru mengenai perkawinan yang berkaitan dengan agama Islam.

orang Islam. 293 Ini mungkin merupakan salah satu babak dalam peperangan yang pada abad ke-16 telah terjadi di bagian tengah ujung timur Jawa antara raja-raja Islam dari Pasuruan dan Surabaya dan penguasa-penguasa "kafir" dari Blambangan dan Bali Selatan. Panarukan diperebutkan antara mereka. Menurut berita-berita Portugis, pada tahun 1559 Panarukan masih di bawah pemerintahan "kafir". Tidak ada tanda atau bukti apakah Raja Santa Guna dari Blambangan itu adalah seorang bawahan raja Gelgel. Mungkin juga ia telah menyatakan dirinya bebas sewaktu pemerintahan menjadi lemah di bawah raja Bekung yang merupakan pengganti Raja Batu Renggong.

Pada waktu pemerintahan Raja Santa Guna di Blambangan dan Panarukan berkat kegiatan Misi Roma Katolik bahkan di kalangan keraton ada yang memeluk agama Katolik. Tiga romo "Capucijn", yang datang pada tahun 1584, disambut dengan ramah oleh raja, dan mereka mendapat kesempatan untuk memulai pekerjaannya. Sebagai akibat pelbagai kerumitan dan makin meningkatnya ancaman dari orang Islam, pos misi tersebut ditutup sebelum akhir abad ke-16.

Raja "kafir" dari Blambangan selama sebagian besar dari perempat terakhir abad ke-16 telah menguasai bagian tengah ujung timur Jawa dengan atau tanpa bantuan prajurit-prajurit Bali. Waktu pada tahun 1581 raja-raja Islam dari Jawa Tengah dan Jawa Timur - atas dorongan Sunan Prapen - mengakui raja Pajang yang lanjut usia itu sebagai sultan, sudah terbayang di muka mata mereka semua bahwa ada bahaya yang mengancam karena makin bertambah kuasanya Blambangan "kafir".

Konon, Raja Santa Guna meninggal sekitar tahun 1590, dalam usia lanjut. Beberapa tahun setelah anaknya menggantikan kedudukannya (namanya tidak dikenal), ia sudah mulai diserang raja Islam dari Pasuruan. Raja Pasuruan ini, yang namanya juga tidak diketahui, pada tahun 1590 merencanakan perluasan kekuasaannya ke barat sampai melewati Kediri; di dekat Madiun pasukannya terbentur Senapati Mataram yang saat itu masih muda. Tetapi di ujung timur Jawa sesudah pertempuran-pertempuran sengit mulai tahun 1596 ia berhasil menduduki kota kerajaan "kafir" Blambangan. Kelompok-kelompok laskar Bali dipimpin oleh seorang keturunan Jlantik datang membantu raja "kafir" di ujung timur Jawa itu, tetapi mereka dikalahkan dan Jlantik pun gugur. 294 Dengan kemenangan yang diraih pada tahun 1600 atau 1601 oleh raja Islam Pasuruan atas Blambangan yang "kafir" inj, akhirnya - sesudah melalui perkembangan yang berjalan lebih dari satu abad - semua kerajaan penting di seluruh Jawa telah berada di bawah pemerintahan Islam.

293 Pada tahun 1588 pelaut Inggris Thomas Cavendish dalam pelayarannya mengelilingi dunia telah singgah di Banyuwangi. Berita tentang Raja Santa Guna berasal darinya. Pada tahun 1580 pelaut senegaranya, Francis Drake, berlabuh di muka Blambangan.

294 Adegan cerita tentang kegagalan Jlantik dalam campur tangannya di ujung timur Jawa, yang dimuat dalam cerita tutur Jawa- Bali, Pamancangah, dengan panjang lebar telah dibicarakan oleh Berg, Traditie, hlm. 153 dst. Lihat juga cat. 272.