4. Pasuruan pada paruh kedua abad ke-16, legenda dan sejarah

XV-4. Pasuruan pada paruh kedua abad ke-16, legenda dan sejarah

Kekacauan-kekacauan yang terjadi di Keraton Demak sesudah meninggalnya Sultan Tranggana pada tahun 1546, dan pengambilalihan kekuasaan kerajaan Islam di Jawa Tengah oleh raja Pajang, tidak menimbulkan keguncangan di Pasuruan maupun di daerah-daerah Jawa Timur lainnya. Ketika pada tahun 1581 raja Pajang diakui sebagai sultan oleh Sunan Prapen dari Giri dalam suatu rapat raja-raja Jawa Timur, menurut cerita tutur Jawa, raja Pasuruan hadir juga. Ada dugaan bahwa penyatuan kekuasaan politik raja-raja Islam Jawa Tengah dan Jawa Timur di bawah pimpinan pemuka agama dari Giri dan Sultan Pajang juga bertujuan mengatasi ancaman raja-raja di ujung timur Jawa yang masih "kafir" yang dibantu oleh Dewa Agung dari Bali. Raja Pasuruan, yang daerahnya hampir berbatasan langsung dengan Blambangan, mempunyai alasan kuat untuk mengusahakan persahabatan (jika mungkin, bantuan mereka) dari raja-raja Islam lainnya. Tidak diberitakan bahwa Sultan Pajang memang juga menguasai daerah Pasuruan.

Menurut cerita tutur Madura Barat, pada paruh kedua dan abad ke-16 raja Aros Baya, Panembahan Lemah Duwur yang menjadi menantu Sultan Pajang itu, telah berkuasa juga di seberang, yakni daerah Jawa yang berhadapan dengan wilayahnya di Madura; daerah itu adalah Sidayu, Gresik, dan Pasuruan. 266 Ada kemungkinan raja yang kuat itu mempunyai pengaruh di kerajaan-kerajaan tetangganya. Menurut Sadjarah Dalem, anak perempuannya yang tertua - dari perkawinannya dengan putri Pajang - kawin dengan Adipati Kapulungan di Pasuruan (Perkawinan ini kemudian batal). 267 Seseorang yang bernama Ki Gede Kapulungan disebut namanya dalam sejarah lokal Jawa tentang raja-raja Pasuruan dan Surabaya. 268 Jika kita teliti tutur Jawa setempat dan bandingkan lebih lanjut, mungkin akan muncul kepastian lebih banyak tentang sejarah dinasti penguasa-penguasa tersebut pada abad ke-16.

266 Mengenai Panembahan Lemah Duwur dari Aros Baya, lihat Bab XIII-3 dan Graaf, Senapati (hlm. 57 dst.). 267 Keturunan Panembahan Lemah Duwur dicantumkan dalam Padmasoesastra, Sadjarah Dalem (hlm. 216 dst.). 268 Lihat Pigeaud, Literature, jil. III, hlm. 272. Aneh, bahwa dalam cerita wayang Banyuwangi muncul Danyang Kapulungan yang

bersanggama dengan anjing. Hal ini pun dikenakan bagi Adipati Dengkol, anak Menak Sapetak (Pigeaud, Literature, jil. II hlm. 61). Kapulungan ini letaknya cukup jauh di sebelah barat Pasuruan. Distrik Kapulungan sering disebut dalam Nagara Kertagama (Pigeaud, Java, jil. V, hlm. 194 dan 357, di bawah "Pulungan"). Sebelum zaman Islam tempat ini sudah penting. Pulungan disebutkan dalam cerita mitos mengenai pembagian dwitunggal Pulau Jawa oleh Bharada (Empu Bradah); lihat komentarnya pada Nagara Kertagama tembang 68 (Pigeaud, Java, jil. IV, hlm. 201-205).

Ada. petunjuk samar-samar bahwa pada perempat terakhir abad ke-16 raja Pasuruan telah berhasil melebarkan sayapnya ke pedalaman Jawa Timur hingga daerah Kediri. Hanya sedikit yang kita ketahui tentang sejarah kerajaan penting ini pada abad ke-16. Yang diberitakan pada kronik peristiwa Jawa ialah campur tangan pemuka agama di Giri dalam urusan daerah pedalaman itu dari tahun 1548 sampai 1552, mungkin untuk memperkuat atau memulihkan kekuasaan agama Islam di situ (ini telah dibicarakan di bab XI-5, pemerintahan Sunan Prapen). Pada tahun 1579 serangan- serangan pasukan raja Pasuruan telah menghabisi riwayat kekuasaan raja "kafir" di Kediri itu.

Dapat diperkirakan bahwa di Kediri, salah satu kota utama Kerajaan Majapahit, setengah abad sesudah didudukinya kota kerajaan yang lama, masih terdapat perlawanan terhadap kekuasaan maharaja Islam di Pajang. Mungkin juga perlawanan berkobar kembali setelah jatuhnya Kesultanan Demak. Tradisi "kafir" daerah tua itu kiranya memegang peranan yang pokok dalam perlawanan terhadap orang-orang Jawa Tengah. Pada waktu yang sama, raja Islam di Pasuruan mungkin telah berhasil memperkukuh kekuasaannya atas bagian tengah Kerajaan Majapahit (termasuk Sengguruh yang masih lama tetap "kafir"), hingga tentaranya dapat bergerak ke arah barat lewat bagian hilir Sungai Brantas, hingga dapat mencapai Kediri. Raja Pasuruan ini (yang belum kita ketahui namanya) mungkin sudah hampir berhasil - sesudah kira- kira 50 tahun - memulihkan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur, tetapi sekarang di bawah kekuasaan Islam.

Dalam cerita historis Jawa Tengah mengenai munculnya dinasti Mataram dalam dasawarsa terakhir abad ke-16 disebut juga seorang raja Pasuruan. Sesudah menduduki Madiun pada tahun 1590, Senapati Mataram yang masih muda itu di dekat kota tersebut mendapat kemenangan atas Adipati Kaniten dalam pertempuran berkuda. Adipati Kaniten adalah seorang bawahan raja Pasuruan. Kemenangan dekat Kali Dadung pada tahun 1591 itu tidak menghasilkan perluasan wilayah raja Mataram ke timur. Sekembalinya, atas perintah raja Pasuruan, Adipati Kaniten dibunuh sebagai hukuman karena ia telah mundur perang, suatu hal yang sangat memalukan. 269

Kaniten ini nama daerah. Dalam kronik-kronik Jawa, pada permulaan abad ke-16, (tahun 1510 M. ), telah dicantumkan munculnya keluarga penguasa Kaniten. Dapat diperkirakan bahwa seorang Adipati Kaniten pada tahun 1590 atas perintah raja Pasuruan, yang menganggap Kediri termasuk wilayahnya, berkewajiban menahan Senapati Mataram bergerak lebih jauh ke sebelah timur Madiun. 270

269 Adegan cerita tentang Adipati Kaniten dalam buku-buku sejarah Jawa Tengah, yang menceritakan hidup Senapati Mataram, telah dibicarakan dalam Graaf, Senapati (hlm. 112-114) dan dalam Bab XX-6.

270 Dalam Tuuk, Woordenboek (jil. II, hlm. 33) "Kaniten" disebutkan: (1) sebagai nama distrik di Magetan (daerah Madiun) dan (2) sebagai nama keturunan berderajat keningratan tinggi yang mempunyai hubungan keluarga dengan Blambangan. Sebagai nama keluarga Bali-Jawa, Kaniten tercantum dalam cerita tutur historis Bali (Pamancangah, lihat karangan Berg, Traditie, catatan pada hlm. 145) sehubungan dengan direbutnya Blambangan oleh raja Bali di Gelgel pada paruh kedua abad ke-16. Kedua Kaniten ini sukar dihubungkan satu sama lain. Menurut Padmasoesastra, Sadjarah Dalem (hlm. 123), anak Senapati

Raja Pasuruan, yang pada perempat terakhir abad ke-16 telah berhasil meluaskan kekuasaannya mungkin sampai dengan Kediri, di ujung timur Jawa pun konon bertindak keras. Kerajaan "kafir" Blambangan pada tahun 1596 dan 1597 telah diserang oleh tentara Islam dari Pasuruan. Pada tahun 1600 atau 1601 kota Kerajaan Blambangan direbut. Orang-orang Bali, yang dikirim oleh raja Gelgel untuk membantu, tidak dapat menghalang-halangi kerajaan "kafir" penting yang terakhir di Jawa. Peristiwa-peristiwa itu dapat disimpulkan dari pemberitaan pelaut-pelaut Belanda yang pertama (pimpinan Cornelis de Houtman), yang pada tahun 1597 singgah di Blambangan. Dalam pembicaraan mengenai sejarah daerah itu (Bab XVII-4) akan diperhatikan lagi perluasan daerah yang dilakukan oleh raja Islam di Pasuruan pada akhir abad ke-16.