4. Hubungan keturunan penguasa di Jipang dengan Palembang

IX-4. Hubungan keturunan penguasa di Jipang dengan Palembang

Nama Jipang tampak dicantumkan pada plakat yang diumumkan pada tanggal 1 September 1818 oleh komisaris Belanda Muntinghe, yang isinya menjamin bahwa bagi Palembang pemerintah Hindia Belanda akan mempertahankan undang-undang, terkenal dengan nama "Piagam Pangeran Jipang" (de wet, bekend onder de naam van Pejagem van dan Pangerang van Djiepan). 159 Dalam riwayat Palembang yang bersifat sejarah, berkali-kali terdapat kata-kata yang menunjuk pada hubungan dengan Jawa, khususnya dengan Jawa Timur. Hal itu akan diuraikan dalam Bab XVIII-3.

Suatu undang-undang yang terkenal sebagai piyagem Pangeran ing Jipang tidak dikenal dalam kesusastraan Jawa. Yang pasti ialah bahwa di berbagai daerah Sumatera Selatan telah dipakai buku-buku hukum Jawa yang disusun di keraton raja- raja Demak. 160 Salah satu di antaranya, yang paling terkenal, dikarang oleh Senapati Jimbun; ini mungkin salah satu dari nama Sultan Tranggana. Besar sekali kemungkinan

157 Buku Sadjarah Dalem (Padmasoesastra, Sadjarah Dalem) dalam bahasa Jawa, yang berwujud daftar keturunan nenek moyang dan sanak saudara para raja Surakarta dan Yogyakarta dari abad ke-19 (baik yang bersifat legenda maupun sejarah) berisi banyak cerita yang amat menarik, yang tentu telah dikumpulkan oleh Padmasoesastra dari catatan-catatan keluarga milik orang-orang terkemuka. Karena ia seorang pegawai, lagi pula anak emas Patih Surakarta, dia banyak menaruh perhatian pada keturunan Matahun. Keturunan itu dilukiskan dalam bukunya sebagai Carangan Matahunan (Cabang Matahun, hlm. 250-261). Moyang keturunan para patih ternyata seseorang yang bernama Bagus Sangka, cucu seorang Aria dari Dadap Tulis, yang menjabat tumenggung carik di Keraton Kartasura. Paku Buwana I (Sunan Puger, 1703-1719) mula- mula telah menugasi Bagus Sangka sebagai wali pengasuh (ngemong) Aria Matahun, alias Tumenggung Surawijaya dari Jipang. Sesudah ia meninggal, Bagus Sangka diangkat sebagai penggantinya di Jipang, dengan gelar Adipati Aria Matahun. Siapa Tumenggung Surawijaya (yang tua?) dari Jipang itu dahulu, tidak diberitakan. Pada tahun 1678 Aria Panangsang dari Jipang, seseorang yang baru keinudian memakai nama yang dahulu tersohor itu, bersama pengikut-pengikutnya, dalam pengabdiannya terhadap Sunan Mangkurat II, ikut serta dalam mengejar Trunajaya, waktu pangeran Madura ini (Trunajaya), sesudah jatuhnya ibu kota Kediri, mengundurkan diri ke arah timur, lewat Sungai Brantas sampai ke hulu sungai. Tidak diketahui Aria Panangsang termasuk keturunan mana, sebab baru muncul menjelang akhir abad ke-17 ini (lihat Graaf, Hurdr, hlm. 250).

158 Raffles (Raffles, History) menyebutkan pada "Chronological Table" sebagai kejadian untuk tahun 1556 suatu Conquest of Blora 'Penaklukan Blora'. Pemberitaan Raffles ini dan pemberitaan-pemberitaan lainnya yang seperti itu berdasarkan daftar- daftar tahun Jawa. Daftar yang berbeda dari yang dipakai Raffles menyebutkan terjadinya "pamblora" itu pada tahun 1554. Yang dimaksudkan kedua pemberitaan ini pasti kejadian yang sama; dan tahun mana yang paling tepat tidak menjadi soal.

159 Teks "plakkaat" Muntinghe terdapat dalam kumpulan Hollandse Handschriften di KITLV (lihat Graaf, Catalogus, hlm. 6). 160 Naskah-naskah buku-buku hukum Jawa yang ditemukan di Lampung, disebutkan dalam Pigeaud, Literature, jil. II, hlm. 207

(LOr, no. 4280) dan jil. III, hlm. 139 b (AdKIT 1273/1a). Naskah yang disebutkan terakhir ini ditulis dengan huruf Lampung.

kitab hukum Senapati Jimbun, atau yang lain, seperti buku Jugul Mudha, juga telah dipakai di keraton Aria Panangsang (masih kerabat Sultan Tranggana). Konon, sesudah jatuhnya Kerajaan Jipang pada pertengahan abad ke-16, keturunan atau pengikut pangeran yang terakhir dalam pengungsian juga membawa naskah tulisan buku hukum itu bersama dengan pusaka-pusaka lain. Mereka mengungsi ke timur, ke Surabaya. Dengan memiliki buku yang penting itu, mereka akan dapat membuktikan hubungan keluarga mereka dengan keturunan maharaja Demak.