2. Daerah Mataram pada pertengahan abad ke-16, legenda dan sejarah

XX-2. Daerah Mataram pada pertengahan abad ke-16, legenda dan sejarah

Cerita sejarah Jawa mengenai daerah-daerah Pengging dan Pajang, di sebelah timur Mataram cukup dapat dipercaya sehingga dapat kita benarkan bahwa di sana pada paruh pertama abad ke-16 telah memerintah raja-raja Islam yang ternama. Berkenaan dengan daerah Mataram, tidak ada cerita yang sebanding dengan cerita- cerita di atas.

Menurut semua cerita tutur Jawa, baik cerita Jawa Tengah maupun Jawa Barat, raja Pajang, pengganti Sultan Tranggana dari Demak, pada perempat ketiga abad ke-

16 telah mengutus seorang panglima pasukannya, penguasa di Pamanahan, ke daerah tetangga, Mataram, dengan tujuan memasukkannya ke dalam daerah Islam dan membangun daerah Islam di sana. 353 Dalam cerita-cerita itu tidak diberitakan tentang penguasa-penguasa setempat yang dikalahkan atau diusir oleh Ki Pamanahan. Yang diberitakan justru kegiatan membuka hutan.

Dapat diduga bahwa pada perempat ketiga abad ke-16 daerah inti Mataram sebagian besar masih belum berpenduduk dan tanahnya belum dikerjakan orang. Raja Pajang mungkin mempunyai rencana mengadakan permukiman baru di daerah tetangga yang tidak ada penguasanya dan hampir tidak ada penduduknya itu. Mungkin dahulu dan kemudian harinya para raja di Jawa telah berkali-kali memperluas tanah dengan cara demikian itu, dengan maksud menambah pendapatan dari pengumpulan upeti yang harus diserahkan kepada mereka. 354

352 Ikhtisar dari buku cerita (serat kandha) yang berisi legenda-legenda tentang sejarah lama Jawa Tengah (Codex LOr, no. 6379, salinan Codex KBG, no. 7) telah dimuat dalam Pigeaud, Literature (jil. II, hlm. 359a sampai hlm. 361 a). Lihat juga Pigeaud, Literature (jil. III, di bawah "Baka", "Kalang", "Prambanan", dan "Suwela Cala".

353 Dalam Graaf, Senapati (hlm. 47-54),cerita-cerita tutur Jawa Barat dan Jawa Tengah tentang awal mula berdirinya Kerajaan Mataram, telah dibicarakan panjang lebar. Yang perlu disebutkan ialah bahwa Babad Tanah Djawi (Meinsma, Babad, hlm. 98- 99) berkisah tentang Aria Mataram, yang kiranya adik tiri Aria Panangsang dari Jipang tidak seibu. la sebenarnya bermaksud mencegah niat kakaknya yang berdarah panas itu, ketika kakaknya tanpa bala bantuan cukup terjun ke medan pertempuran untuk menghadapi Sultan Pajang beserta pengikut-pengikutnya, yang telah menantang Aria Panangsang. Karena Aria Mataram merasa sangat dilukai hatinya oleh Aria Panangsang yang naik pitam itu, ia lalu mengundurkan diri dari Keraton Jipang, meskipun patih Jipang, Ki Matahun, telah berusaha mencegah niatnya itu. Kiranya ia telah pulang ke rumahnya (mantuk). Kelak tidak ada lagi berita tentang dia sama sekali. Bukanlah hal yang mustahil bahwa seorang pangeran muda dari keluarga raja Demak memakai nama gelar Aria Mataram. (Mengenai nama-name gelar bagi para pangeran lihat Bab III-3, Pangeran Kediri dari Demak). Sama sekali tidak ada kata-kata yang menyatakan bahwa ia secara nyata telah berkuasa di tanah Mataram, atau telah berkedudukan di sana. Mungkin setelah jatuhnya Aria Panangsang dari Jipang, raja Pajang telah mengira bahwa ia lebih baik mengangkat kepala pasukannya Ki Pamanahan sebagai Yang Dipertuan di Mataram, daripada mengangkat orang yang bergelar Aria itu, saudara pangeran yang memberontak itu, agar dengan jalan demikian bagi para pengikut keluarga raja Jipang tertutuplah kemungkinan untuk mendapatkan tempat bertahan untuk memulai gerakan-gerakan di Jawa Tengah sebelah selatan.

354 Dalam Pigeaud, Java, (jil. IV, hlm. 87) telah dibicarakan kolonisasi (menurut dugaan) tanah-tanah Sadeng dan Keta di ujung timur Jawa pada 1313 M. di bawah pimpinan Panglima Gajah Mada, yang menguntungkan keluarga raja Majapahit. DI situ pula diminta perhatian untuk suatu rencana kolonisasi pada tahun 1387 M. sebagai bahan bandingan, yaitu pembangunan Karang Bogem di pantai utara Javia atas perintah Keraton Lasem, yang dikerjakan oleh seorang "kawula", orang "tidak merdeka", dari Gresik.

Dalam cerita tutur tidak ada petunjuk bahwa baik raja Pajang maupun penguasa di Pamanahan mengetahui sesuatu tentang dinasti-dinasti Mataram Lama yang raja- rajanya lima abad sebelumnya telah memerintah di daerah yang tanahnya masih harus dibuka lagi itu. Tumbuh-tumbuhan tropis telah menutup puing-puing istana-istana tua sehingga tidak dapat diketahui lagi.

Menurut cerita babad di Jawa Tengah, ketika Ki Pamanahan mengadakan perjalanan dari Pajang ke barat, pada batas lama Kerajaan Pajang, dekat Taji (yang kelak menjadi "pos pabean"), ia telah bertemu dengan penguasa setempat di Karang Lo. la menerima rombongan kolonis itu dengan ramah; diantarkannya mereka ke daerah tempat Sungai Opak dapat diseberangi. 355

Ingatan samar-samar akan adanya hak-hak yang lebih tua atas daerah Mataram daripada hak-hak kolonis Ki Pamanahan mungkin telah diolah menjadi cerita babad tentang penyadap nira dari Giring (di Pegunungan Sewu, Gunung Kidul). Penyadap nira dari Giring itu mempunyai sebutir kelapa, yang airnya - bila diminum sekali teguk - akan membuat si peminum menjadi nenek moyang keluarga raja yang akan memerintah seluruh Jawa. Ki Gede Giring konon telah alpa meminum air kelapa itu; Ki Pamanahan secara kebetulan meminumnya, dan ramalan tersebut menjadi kenyataan. 356

Cerita mengenai terlepasnya nasib baik dari tangan Ki Gede Giring itu sendiri tidak begitu menarik perhatian. Tetapi dari cerita itu dapat diambil kesimpulan bahwa semula wewenang Ki Gede Giring atas kekuasaan lebih tua daripada wewenang Ki Pamanahan. Mungkin tokoh legenda penyadap nira dari Gunung Kidul ini dapat dihubungkan dengan Tunggul Petung, raja Prambanan, "raja para penyadap nira" dalam mitos, yang termasuk keturunan nenek moyang Kandi Awan. Legenda tentang hubungan persahabatan antara moyang keluarga raja Mataram, Ki Pamanahan, dan penyadap nira itu sebagai pemilik hak yang tertua di daerah itu merupakan pertanda kehadiran para kolonis dari timur itu. 357

Sebagai cerita yang termasuk asli di daerah Mataram dan yang - mungkin pada abad ke-17 - telah dihubungkan dengan munculnya dinasti Mataram, hendaknya dimasukkan juga mitos Nyai Loro Kidul yang konon menjadi istri raja. Di berbagai tempat di daerah-daerah sepanjang pantai selatan Jawa, dalam kisah-kisah dan adat istiadat, kita jumpai sisa-sisa penghormatan keagamaan dari zaman pra-Islam terhadap

355 Pertemuan dengan Yang Dipertuan di Karang Lo telah dibicarakan dalam Graaf, Senapati (hlm. 49); lihat juga cat. 326 dan 327).

356 Turunan-turunan Ki Gede Giring, penyadap nira (wong nderes) yang menjadi tokoh legenda itu, mungkin sejak dahulu telah mengadakan hubungan dengan kelompok rohaniwan di Tembayat, yang dibentuk oleh seorang berkedudukan tinggi di Semarang itu. Pemimpin-pemimpin rohani dari Tembayat dan Kajoran pada abad ke-17 telah dengan keras menentang kebijaksanaan politik raja-raja Mataram. Dalam Graaf, Senapati (hlm. 51 dst.) dan dalam Graaf "Kadjoran" sejarah Giring dan daerah-daerah suci yang serupa, telah dibicarakan. Menurut Padmasoesastra, Sadjarah (hlm. 119), seorang adik perempuan Panembahan Senapati Mataram diperistri Pangeran Agus dari Kajoran, dan salah seorang selir tertua Senapati sendiri kiranya berasal dari Giring. la menjadi ibu dari Panembahan Purbaya yang kemudian menjadi sangat terkenal itu, paman Sultan Agung dari Mataram (hlm. 121).

357 Cerita mitos mengenai nenek moyang itu, Kandi Awan dan turunan-turunannya, telah dimuat ikhtisarnya dalam Pigeaud, Literature (jil. Il, hlm. 3596), berdasarkan Serat Kandha (Codex LOr, no. 6379).

kekuasaan seorang dewi yang tinggal di Segara Kidul 'lautan selatan' yang luas dan tanpa batas. Di sekitar muara sungai-sungai Opak dan Progo di Segara Kidul di daerah Mataram, kepercayaan itu bertahan lama. 358 Kemungkinan, raja-raja dari zaman sebelum Islam sudah menghormati dewa-dewa di Segara Kidul itu dengan upacara- upacara keagamaan. 359 Menurut cerita babad Jawa zaman baru, dewi laut itu pertama kali bertemu dengan Panembahan Senapati. 360 Sampai pada abad ke-20, keturunannya, yaitu raja-raja dart dinasti Mataram yang kemudian terbagi atas cabang Surakarta dan Yogyakarta, masih mempertahankan kebiasaan mengadakan kurban (sajen), terutama berupa sandang, di pantai selatan. Upacara semacam itu terjadi juga di tempat-tempat lain: di Gunung Lawu dan Merapi, untuk menghormati para dewa gunung, dan di Dlepih, di daerah Wonogiri, untuk menghormati Bengawan Solo. 361

Yang tidak atau hampir sama sekali tidak ada hubungannya dengan keluarga raja Mataram ialah legenda Syekh Bela-Belu dan Gagang Aking, yang konon bertempat tinggal tidak terIalu jauh dari muara Sungai Opak. 362 Legenda orang suci Islam yang aneh ini banyak persamaannya dengan cerita Jawa Kuno yang terkenal dari zaman sebelum Islam mengenai riwayat Bubuksa dan Gagang Aking. Cerita ini ada kaitannya dengan paham belah dua, yang mempunyai kedudukan penting dalam alam pikiran religius Jawa zaman dahulu. 363 Dihubungkannya lagenda Orang Suci tentang Syekh Bela-Belu dan Gagang Aking dan cerita ajaran Jawa Kuno ini dengan latar daerah Mataram-Lama, menimbulkan dugaan bahwa tempat dekat muara Sungai Opak (di daerah udik sungai ini juga terletak Prambanan) itu, sudah merupakan tempat suci sejak zaman Mataram-Lama sekitar tahun 1000. Di sana terdapat bekas-bekas bangunan, namun kelihatan tidak terlalu tua. Meskipun begitu, dianggap ada juga kemungkinan bahwa penghormatan religius di tempat itu jauh lebih tua dari abad ke-16, yakni waktu Ki Pamanahan - dengan persetujuan raja Pajang - datang untuk menguasai daerah Mataram itu.

358 Dalam Pigeaud, Literature, jil. III, hlm. 361-362 di bawah "Ratu Lara Kidul" telah ditunjukkan teks-teks dalam bahasa Jawa yang berhubungan dengan dewi tersebut. Lihat juga Pigeaud, Volksvertoningen, hlm. 534.

359 Dapat diperkirakan bahwa sejak zaman kuno telah ada tradisi untuk memuja Dewi Laut Selatan (Ratu Lara Kidul, Dewi Segara Kidul) di.dekat muara Sungai Opak. Dapat diperkirakan pula bahwa bangunan-bangunan suci Syekh Bela-belu dan Syekh Gagang Aking di tempat tersebut mempunyai kaitan dengan pemujaan itu (lihat cat. no. 343 dan 344). Mungkin penghormatan terhadap kekuasaan kedewaan di laut sudah hidup di dalam pikiran orang-orang Jawa pada zaman Kerajaan Majapahit. Hal itu mendapat perhatian dalam Pigeaud, Java, jil. IV, (hlm. 79 dst., komentar pada Nagara Kertagama, tembang 37-1; lihat juga jil V, hlm. 161b, di bawah "Ratu Lara Kidul").

360 Kisah pertemuan Senapati dari Mataram dengan Ratu Lara Kidul di Segara Kidul (Laut Selatan) diceritakan dalam Meinsma, Babad (hlm. .139-143).

361 Sajian-sajian ini disebut labuh. Sajian-sajian itu antara lain disebut dalam Pigeaud, Literature Oil. II, hlm. 378a, Codex LOr, no. 6437-3; dan hlm. 496a, Codex LOr, no. 8652f-3). Lihat juga Pigeaud, Literature (jil. III, hlm. 325a, di bawah "Offerings IV", dan cat. 353 berikut ini).

362 Legenda Orang Suci Islam tentang Syekh Bela-Belu dan Syekh Gagang Aking disebutkan dalam Codex LOr, no. 8652d, suatu himpunan cerita-cerita rakyat Jawa Tengah sebelah selatan; lihat juga Pigeaud, Literature, (jil. III, hlm. 190a, di bawah "Beta- Belu"). Cerita tersebut juga diketengahkan dalam Akkeren, Shri and Christ.

363 Teks-teks Jawa kuno mengenai kisah Bubuksa dan Gagang Aking telah dicantumkan dalam Pigeaud, Literature (jil. I, hlm. 71a). Rassers, "Ciwa" telah menunjukkan adanya persamaan yang mencolok antara legenda orang suci Islam dan cerita bernasihat Budha ini.