6. Pengaruh kebudayaan Keraton Pajang di jawa Tengah bagian selatan Pajang pada paruh kedua abad ke-16

XIX-6. Pengaruh kebudayaan Keraton Pajang di jawa Tengah bagian selatan Pajang pada paruh kedua abad ke-16

340 Pertemuan para raja Jawa Timur di Keraton Giri pada tahun 1581 telah menjadi pokok pembicaraan pada Bab II-5 (Sejarah Sunan Prapen).

341 Berita-berita Eropa yang samar-samar dari abad ke-16 tentang Pajang telah dicantumkan dalam Graaf, Senapati (hlm. 67 dst.).

Ada alasan untuk mengakui bahwa selama pemerintahan Raja Adiwijaya dari Pajang, kesusastraan dan kesenian keraton yang sudah maju peradabannya di Demak dan Jepara lambat laun dikenal di pedalaman Jawa Tengah. Menurut cerita tutur, pengetahuan tentang agama Islam telah tersebar di Pengging berkat pengaruh tokoh legenda Syekh Siti Jenar. Jauh di selatan lagi penyebaran agama dilakukan oleh Sunan Tembayat. Sunan Tembayat konon berasal dari Semarang; ia masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan keluarga raja Demak. Berabad-abad lamanya makamnya di Tembayat tetap menjadi tempat ziarah bagi kaum Muslimin di Jawa Tengah bagian selatan. Gaya bangunan di sana ada hubungannya dengan gaya permulaan zaman Islam abad ke-16 di Kudus dan Kalinyamat di Jawa Tengah, dan dengan reruntuhan bangunan-bangunan sejenisnya di Jawa Timur. Tahun-tahun yang terpahat pada bangunan memastikan bahwa bangunan-bangunan tersebut didirikan di Tembayat selama pemerintahan Raja Adiwijaya. Cerita tutur Jawa menyatakan bahwa menjelang akhir hidupnya, ia pergi berziarah ke tempat itu untuk memohon bantuan dalam perjuangannya melawan Mataram. Hal itu dapat dianggap memberikan gambaran yang jelas tentang hubungan keagamaan antara Keraton Pajang dan "masyarakat santri" yang telah dibentuk oleh ulama dari Semarang itu. 342

Di kaki Gunung Merapi, tidak terlalu jauh dari Pengging, terdapat tempat ziarah lain, yang mungkin pada abad ke-16 sudah juga dikunjungi oleh umat Islam. Jatinom di daerah Klaten yang sekarang, yang dahulu termasuk wilayah Pajang, telah terkenal karena perayaan religius tahunan yang dirayakan dengan kue apem yang dilemparkan di atas kepala para pengunjung. Pesta itu disebut Angka Wiyu. Kata tersebut mungkin berasal dari kata seruan suci dalam bahasa Arab kepada Tuhan: Ya Kawiyu ('l-Azizu'l- Hamid, Yang Kuat, Yang Dahsyat, Yang Terpuji). Pada perayaan tersebut kalimat itu harus berulang kali diucapkan oleh orang-orang alim, seperti litani. Perlu diselidiki apakah upacara Angka Wiyu itu ada hubungannya dengan upacara-upacara ibadat pribumi kuno sebelum zaman Islam. 343

Yang perlu dikemukakan lagi ialah cerita tutur yang menjelaskan bahwa pada zaman Raja Adiwijaya dari Pajang, pada paruh kedua abad ke-16, Pangeran Karang Gayam menulis sajak moralistik Jawa Niti Sruti. 344 Pangeran Karang Gayam ini dalam cerita tutur sastra Jawa mendapat julukan "Pujangga Pajang". la adik moyang cikal bakal keturunan Karang Lo yang pada paruh kedua abad ke-18 menjadi besan keluarga raja Surakarta. 345 Nenek moyangnya, Ki Gede Karang Lo Taji, dahulu berasal dari

342 Cerita-cerita tutur Jawa tentang Tembayat telah disebutkan pada Bab II-14. Ziarah Sultan Pajang yang tidak berhasil, dikisahkan dalam Meinsma, Babad (hlm. 161).

343 Pesta Angka Wiyu di Jatinom disebutkan dalam Codex LOr, no. 8652d, no. 16 (Pigeaud, Literature jil. 11, hlm. 495). 344 Niti Sruti karangan Pangeran Gayam telah diberitakan dalam Pigeaud, Literature, (jil.1, hlm. 106); dan Vreede, Catalogus

(hlm. 271 dst.). 345 Pangeran Gayam, pujangga ing Pajang, disebutkan dalam Padmasoesastra, Sadjarah (hlm. 210), pada daftar keturunan para

Yang Dipertuan di Karang Lo. Keturunan ini kiranya berasal dari panembahan dari Jagaraga (tanah di daerah Madiun sekarang). Asal usul panembahan ini dari Sunan Ngampel Denta di Surabaya kiranya hanya bersifat legenda.

daerah di sekitar Taji, tempat berdirinya "pos pabean" di jalan yang telah berabad-abad umurnya, yang merupakan penghubung terpenting antara daerah-daerah Pengging- Pajang dan Mataram. 346 Dari cerita tutur mengenai Niti Srud dan pengarangnya Pangeran Karang Gayam; boleh diambil kesimpulan bahwa pada zaman Kesultanan Pajang kesusastraan Jawa juga dihayati dan dihidupkan di Jawa Tengah bagian selatan.