Pengetahuan tentang Kesehatan Reproduksi

4.1.1. Pengetahuan tentang Kesehatan Reproduksi

Penget ahuan dan cara pandang kesehat an reproduksi t ent ang menst ruasi pada remaja perempuan M uyu (konkoyu) yang dit emui di dist rik M indipt ana di saat penelit ian berlangsung, t idak jauh berbeda dengan cara pandang dari zaman

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

sebelumnya, zaman kehidupan ibunya (mama/ enang) dan neneknya (w oyang) pada usia remaja. Pada masyarakat Et nik M uyu bisa t erjadi dem ikian, karena pada saat anak remaja perempuan akan memasuki masa menst ruasi, sebelumnya akan memperoleh bim bingan dari ibunya t ent ang pemahaman t erhadap hal-hal yang harus dilakukan dan yang harus dia hindari. Sebelumnya, ibu dari anak perempuan remaja saat ini, saat usia remaja juga memperoleh penget ahuan dari orang t uanya. Demikian proses t ranfer informasi yang dit erima berlangsung dari generasi ke generasi. Penget ahuan aw al yang didapat kan t erkait kesehat an reproduksi khususnya t ent ang menst ruasi, dimulai dari keluarga, dan orang yang pert ama memberikan pemahaman it u adalah ibu kandung.

Penget ahuan yang diperoleh remaja perempuan M uyu berkait an dengan kapan dan bagaimana seorang perempuan it u akan mengalami menst ruasi? dan apa yang harus dilakukannya? Sudah disampaikan oleh seorang ibu ket ika m elihat anaknya beranjak remaja. Hal t ersebut dilakukan secara t urun-t emurun, dari generasi ke generasi. Sepert i penut uran Thadeus Kambayong (54 t ahun) berikut ini ket ika dit emui di rumahnya;

“ …bagaim ana cara anak perem puan dia bisa t ahu t ent ang halangan, it u past i m am a su kast au dan ajar dia dulu. It u kan urusan dia dengan m am a t o! bapak it u t idak. Jadi it u m acam su ot om at is begit u. Jadi nant i m am a di kast au di pu anak perem puan kalo anak ko sudah m au rem aja. dat ang bulan it u harus bagem ana. Tapi it u diam -diam t o, hanya ibu dengan anak perem puan yang t au…” (Thadeus Kam bayong, 54 t ahun)

Pengakuan lain dinyat akan empat orang remaja M uyu t ent ang sumber informasi lainnya. M ereka m engaku pernah mendapat kan penyuluhan t ent ang HIV/ AIDS dari Puskesmas

Etnik Muyu, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua

M indipt ana, selain juga mendapat pemahaman t ent ang menst ruasi dari para sust er Gereja Kat olik t empat mereka beribadah.

Theodora M argaret ha Pahun (14 t ahun) mengaku bahw a ia mendapat informasi dari sust er biaraw at i t ent ang menst ruasi, t et api pemahaman aw al it u didapat dari ibu kandungnya, “ ...biasa sust er-sust er juga kas t ahu kit ong (kami), t api pert ama it u dari mama dulu...” . Begit u pula halnya dengan M aria Theresia Ayandaan (15 t ahun). M enurut M aria Theresia, mamanya adalah orang yang mengajarkan t ent ang apa yang harus dia lakukan saat menst ruasi, “ ...kalo saya it u, saya pu mam a sendiri yang kast au...” .

Konfirmasi t erkait hal t ersebut dinyat akan oleh Florent ina Ambokt em (40 t ahun), orang t ua M aria Theresia, ia mengaku bahw a khusus unt uk menst ruasi, ia memang t elah mengajar anak perempuannya it u t ent ang pant angan yang harus dihindari kelak ket ika dia akan hadapi menst ruasi;

“ ...kalo saya dalam rum ah it u saya pu anak perem puan it u saya sudah bilang. Saya suka bilang dia, ae… Dort ea (nam a panggilan M aria Theresia) m asak dulu, t api dia bilang dia t ra m asak. It u saya su t au, nant i saya kastau bapak. Jadi dia cum a cuci piring, t im ba air. It u saja, t api m asak it u t idak...”

Remaja perempuan Et nik M uyu mempunyai keunt ungan t ersendiri karena mendapat

pemahaman aw al t ent ang menst ruasi dari ibu kandung mereka sendiri, w alaupun memang informasi t erkait menst ruasi t ersebut disam paikan kepada mereka karena berhubungan dengan pandangan adat M uyu yang meyakini bahw a darah menst ruasi adalah sebuah penyakit . Set idaknya mereka masih boleh mendiskusikan hal t ersebut dengan ibunya. Hal ini berbeda dengan remaja perempuan pada Et nik Alifuru di Desa Waru. Remaja perempuan Alifuru segan dan

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

enggan berbicara dengan orang t ua, t erut ama dengan sang ibu. Keengganan para remaja perempuan unt uk berbicara t ent ang kesehat an reproduksi, bahkan kepada ibunya sendiri, karena merasa malu dan menganggap sulit unt uk berbicara kepada

orang t ua 195 . M enst ruasi yang seharusnya merupakan proses peralihan

bagi seorang perempuan dari usia anak-anak kepada remaja dan kemudian beranjak dew asa, bagi remaja M uyu, dipandang sebagai suat u hal yang sifat nya sangat khusus. Dikat akan sebagai sesuat u yang khusus, karena dalam keyakinan m asyarakat Et nik M uyu pada saat seorang perempuan M uyu sedang menst ruasi, ia sedang membaw a sebuah penyakit . Penyakit ini bisa berdampak buruk bagi siapapun keluarga yang t inggal di dalam rumah, kerabat dekat maupun lingkungan sekit ar, t erut ama kepada bapak (am be) dan saudara-saudara laki-laki dari. Khusus kepada lelaki dew asa, uap/ haw a dari darah menst ruasi (ìpt ém ) selain bisa menghilangkan kekuat an (w aruk) yang dimiliki laki-laki, t et api juga dapat mendat angkan penyakit semacam hosa (sesak nafas), bat uk dan bahkan radang persendian. Hal inilah yang membuat perempuan Et nik M uyu yang sedang mengalami menst ruasi (t ura) harus diasingkan unt uk beberapa w akt u selama t ura it u berlangsung.

Pemahaman t ent ang menst ruasi sebagai penyakit masih dipercayai remaja perempuan M uyu hingga saat ini. Hal ini sepert i diakui Ludw ina Tom (26 t ahun) berikut , m eski sebenarnya

195 M eda Perm ana, Kenti Friskarini, Sim ona Ch. H. Lit aay, Lahm udin Kellilauw , Set ia Pranat a. 2012. Buku Seri Et nografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012, Etnik

Alifuru Seram, Desa Waru, Kecamatan Bula, Kabupat en Seram Bagian Timur, Provinsi M aluku . Pusat Hum aniora, kebijakan Kesehat an dan Pem berdayaan M asyarakat , Badan Penelitian dan Pengem bangan Kesehat an, Kem ent erian Kesehat an Republik Indonesia; Surabaya, 52

Etnik Muyu, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua

perempuan M uyu ini merupakan perempuan berpendidikan yang t elah menamat kan pendidikannya di Fakult as Kesehat an M asyarakat Universit as Cenderaw asih;

“ ...dulu sam pe sekarang orang-orang m asih lakukan it u. Kan orang yang m elahirkan at au m acam m ens begit u kan, dong pu darah kalo t erhirup begit u nant i bikin orang dalam rum ah sesak at au dapat sakit . It u kan m acam virus begit u...”

Unt uk pembahasan selanjut nya penelit i menuliskan st udi kasus pada empat orang perempuan Et nik M uyu dari t iga generasi berbeda, yang masih merupakan sat u keluarga yait u nene (nenek) dan seorang adik perempuannya, menant u perempuan dan cucu perempuannya yang masih berusia remaja. Ket iganya mempunyai pengalaman yang berbeda dalam menghadapi menst ruasi.

Sisilia Konanem, w anit a kelahiran Jononggo 1946 silam yang pada t anggal 17 Juli mendat ang akan genap berusia 68 t ahun, t elah berkeluarga dan dikaruniai lima orang anak. Nene Sisilia, dem ikian Sisilia Konanem biasa disapa. Dia mencerit akan pengalamannya ket ika pert ama kali mendapat mens di usia remaja. Namun, mengenai umur berapa pert ama kali dia mendapat mens, t idak dapat diingat nya dengan persis karena usianya yang sudah lanjut . Diperkirakan masa remajanya pada masa t ahun 1960-an.

Saat pert ama mendapat kan menst ruasi Sisilia sedang bersekolah dan t inggal di Asrama Sant a Ana M indipt ana, t empat t inggal para sust er biaraw at i. Wakt u it u Sisilia sedang menempuh pendidikan SKKP (Sekolah Kejuruan Kepandaian Put ri). SKKP ini set ara dengan SLTP saat ini.

M asa remaja Sisilia t erjadi sekit ar t ahun 1960-an. Ada beberapa remaja perempuan M uyu yang juga bersama Sisilia

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

menempuh pendidikan dan bekerja di Asrama Sant a Ana M indipt ana.

Sisilia mencerit erakan, suat u saat ket ika sedang sibuk bekerja, dia merasa ada yang aneh. Ia lalu bergegas ke kamar mandi dan t ernyat a pakaian dalamnya basah. Ket ika pert ama kali dat ang bulan, dia t idak memberit ahukan kepada siapapun perihal apa yang dialaminya, t et api hanya membiarkan begit u saja sambil t et ap berakt ifit as. Rupanya sebelum ia akan mengalami masa menst ruasi, ibunya t elah menyampaikan bahw a pada saat dat ang bulan, ia t idak boleh kont ak langsung dengan air, kat anya am óp (dilarang). Dia hanya menggant i pakaiannya saja.

Pada hari kedua barulah disampaikannya kepada sust er biaraw at i di asrama t empat dia bekerja. Sust er lalu memberikan kepadanya kain duk unt uk dipakai selama dat ang bulan. M enurut Sisilia, t elah dipersiapkan pem balut w anit a yang nant inya akan dipergunakan oleh set iap perempuan yang akan mendapat dat ang bulan.

Pembalut ini t erbuat dari kain duk yang kemudian dijahit lagi dengan dilapisi beberapa helai kain. Jadi m odelnya sepert i pembalut w anit a sekarang, hanya saja lebih panjang dan lebar. Bent uknya sepert i popok unt uk bayi. Terdapat empat buah t ali unt uk pengikat , yait u dua t ali dibagian at as dan dua t ali di bagian baw ah. Sisilia mencont ohkan pem balut it u mirip dengan loyor (popok) unt uk bayi. Sust er lalu memberikan pembalut it u kepada ibu Sisilia sebanyak t iga buah.

“ …Sa dapat it u pert am a it u di asram a, bukan di kam pung. Beberapa hari, hari ini ka, besok, sa t ahan- t ahan. Sa pu orang t ua bilang t idak boleh m andi at o kena air, t idak boleh rendam. Jadi sa pi bilang sust er. Baru dikasi lap. Dia kasi t iga. M acam duk. Pake t ali, m acam ikat . M acam anak kecil pu loyor begit u. Sust er su siapkan unt uk perem puan…”

Etnik Muyu, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua

Berbeda dengan Sisilia Konanem, adiknya Priska Temat ep (63 t ahun), yang pada saat mendapat dat ang bulan ia sedang t inggal di kampung bersama ibunya. Walaupun kedua kakak beradik ini berada pada jaman yang sama namun ada sedikit perbedaan dalam menghadapi dat ang bulan yang pert ama.

M enurut Priska, saat pert ama kali mendapat dat ang bulan, biasanya akan dibuat acara adat . Acara ini dibuat dengan maksud agar w akt u dat ang bulan t idak akan berlangsung lama. Lama dat ang bulan yang normal biasanya t iga sampai empat hari dan bersih dari dat ang bulan adalah t ujuh hari. Namun, dengan dilakukannya acara adat maka dalam dua hari saja dat ang bulan akan berhent i. Acara it u harus dilakukan sendiri oleh ibu kandung si perempuan. Tidak bisa dilakukan oleh orang lain karena ini menyangkut dengan sesuat u yang sangat pribadi sekali bagi perempuan it u.

Cara melakukannya yait u, bagian t empat yang diduduki di bévak 196 , yait u t empat yang t erdapat darah haid, dialasi dengan

daun, kemudian daun it u dibakar oleh ibu kandung. Perempuan yang mendapat dat ang bulan it u berdiri dan asap yang keluar dari hasil pembakaran daun t adi akan mengena pada bagian vit al remaja perempuan it u. Alhasil, dat ang bulannya t idak akan berlangsung lama. M enurut Priska, hanya dalam dua hari saja maka dat ang bulan it u akan berhent i. Rit ual ini dilakukan hanya ket ika pert ama kali mendapat dat ang bulan. Apabila pada bulan berikut nya mendapat menst ruasi lagi, maka t idak perlu melakukan rit ual sepert i pada saat pert ama kali mendapat kan menst ruasi t ersebut .

Bévak adalah sebuah gubuk kecil yang sengaja dibuat unt uk m engasingkan perem puan yang sedang m engalam i menst ruasi dan at au persalinan. Karena dianggap ìpt ém (supernat ural) m enstruasi dan at au persalinan m em baw a pengaruh buruk bagi kesehat an.

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Dalam keyakinan masyarakat Et nik M uyu, dengan melakukan rit ual t ersebut selain dapat memperpendek masa menst ruasi, juga akan mem buat w anit a yang mendapat menst ruasi t idak akan mengalami dism enorhea, at au merasa sakit selama mengalami menst ruasi.

M engenai pada umur berapa seorang perempuan akan mendapat menst ruasi pert ama kali dan berapa lama w akt unya, t idak dijelaskan informasi t erkait hal t ersebut . Semua yang dialam inya mengalir begit u saja.

“ ...Wakt u pert am a mens it u m ust i bakar yang kit a ada duduk. Wakt u Pert am a haid it u bikin adat . Sa it u m am a dia bakar t em pat t idur yang kit a ada duduk. Kot oran. Pelepah nibung (erok) yang sa duduk. Erok alas duduk baru kit a m au pulang baru bakar. Baru berdiri, bakar baru kena kit a sendiri supaya jangan cepat -cepat haid. It u sa su kena haid pert am a. Jadi sa kurang-kurang. Bikin adat jadi dua hari saja. Tiga t idak ada. Tidak boleh sem barang orang. It u kit a punya m am a sendiri. Tidak boleh orang lain t ahu. It u unt uk saya, lain it u t idak t ahu...”

Jika Sisilia Konanem menggunakan pembalut w anit a yang dibuat dari kain oleh sust er di asrama Sant a Ana, Priska Temat ep t idak menggunakan pembalut yang demikian, t et api hanya kain biasa yang melingkari t ubuhnya dan selam a dua hari ia mengungsi di bévak hingga selesai menst ruasi.

Generasi selanjut nya yang akan diulas adalah generasi sat u t ingkat di baw ah Sisilia Konanem dan Priska Temant ep, yait u generasi Pamijaya Wangbon (37 t ahun). Pamijaya Wangbon ini adalah menant u perempuan dari Sisilia Konanem.

Pamijaya t ermasuk remaja perempuan yang sangat berunt ung, sebelum mendapat menst ruasi, dia sudah diberikan informasi oleh ibunya t ent ang masalah menst ruasi t ersebut .

Etnik Muyu, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua

Kebet ulan ibu Pamijaya Wangbon, Adolfia Kiniyop (65 t ahun) berprofesi sebagai peraw at di Rumah Sakit M indipt ana saat it u (sekarang Puskesmas M indipt ana). Sehingga penget ahuan mengenai kesehat an sudah sudah sangat familiar bagi Adolfia Kiniyop. Hal it u juga yang mendasari mengapa Pamijaya bisa dengan mudah memperoleh pemahaman t ent ang kesehat an reproduksi khusus unt uk perempuan, karena langsung didapat dari ibunya sendiri.

Pamijaya mendapat menst ruasi pert ama kali pada umur

14 t ahun. Ini berart i masa remaja Pamijaya diperkirakan ada di t ahun 1990-an. Sebelum ia menanjak remaja, ibunya sudah memberit ahukan kepada Pamijaya bahw a pada umur 13 at au 14 t ahun, dia akan mendapat penyakit perempuan. Hal ini dilakukan bukan saja kepada Pamijaya Wangbon seorang, t et api juga kepada semua saudara-saudara kandung perempuannya yang lain;

“ …sebelum saya dapat it u m enst ruasi, w akt u it u saya pu m am a su kast au saya, kalo ko su 13 at au 14 t ahun begit u, nant i ko dapat penyakit gadis. It u juga sam a dengan saya pu sodara-sodara perem puan t ong (kam i) sem ua…”

Begit u pula dengan perhit ungan lama w akt u menst ruasi. Pamijaya diberikan pemahaman melalui munculnya bulan purnama at au bulan sabit . Apabila dia mendapat menst ruasi t epat saat muncul bulan purnama at au bulan sabit , maka pada w akt u yang sama di bulan berikut nya ket ika bulan it u muncul barulah dia akan mendapat menst ruasi lagi. Informasi mengenai saat kapan berakhirnya menst ruasi t idak disampaikan oleh ibunya, t et api Pamijaya sendiri akhirnya menghit ung lama hari pada saat dat ang bulan. Jadi jika ia ingin t ahu pada saat kapan dia akan mendapat haid, dia akan berpat okan pada munculnya kedua bulan t adi.

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

“ …w akt u it u saya pu m am a bilang, kalo ko dapat pas bulan purnam a, nant i sam pe bulan purnam a habis. Kalo ko pas dapat bulan sabit , nant i bulan it u m uncul berikut lagi baru ko dapat . Tapi perhit ungan it u mem ang bet ul. Jadi sa it u kalo haid lihat bulan it u (sam bil m enunjuk ke arah langit ).”

Bahan pembalut yang dipergunakannya pada saat mengalami menst ruasi yait u dengan menggunakan kain yang disebut nya kain duk. Kain duk ini bermot if garis-garis hit am dan put ih, biasa digunakan sebagai selimut unt uk pasien di rumah sakit pada w akt u t idur at au pengalas t empat t idur. Kain duk ini akan dilapisi dengan beberapa helai kain bekas yang sudah t idak t erpakai. Bahan yang digunakan dan cara membuat nya juga t erbilang sederhana dan mudah.

Bahan:

1. Kain duk

2. Kain bekas t idak t erpakai

3. Jarum

4. Benang

5. Gunt ing Cara M embuat :

1. Kain duk di gunt ing panjang dan lebarnya sama sepert i pembalut yang dipakai para w anit a saat ini

2. Kain bekas yang t idak t erpakai, digunt ing sebanyak 3-4 lembar. Ukuran panjang dan lebarnya lebih kecil dari pot ongan kain duk, karena akan berfungsi sebagai bahan pelapis bagian dalam unt uk menyerap cairan.

3. Kain bekas sebanyak 3-4 lembar t adi kemudian dilet akkan diat as kain duk, lalu kain duk dirapat kan kedua sisinya dan dijahit .

Etnik Muyu, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua

Pembalut disiapkan sebanyak t ujuh buah. Set iap kali digunakan dan sudah dirasa penuh dengan cairan, maka Pamijaya akan menggant i pembalut lain lagi yang sudah di siapkan. Pembalut kain yang sudah dipakai dan dirasa penuh oleh cairan, akan direndam dan dicuci.

Pencucian kain yang dipakai sebagai pembalut yait u dengan merendamnya di dalam ember kecil yang sudah berisi air yang t elah dilarut kan dengan sabun om o (sekarang disebut sabun R* nso cair). Em ber ini memang disiapkan khusus unt uk merendam pembalut kain menst rusiyang biasa dipakai, dan t idak digunakan unt uk merendam kain at au pakaian lainnya. Kemudian pembalut kain kot or yang sudah digunakan t adi dicuci dan dijemur di t ali jemuran yang juga sudah dibuat t erpisah dari jemuran unt uk kain dan pakaian lainnya.

“ …saya punya m am a sendiri yang jahit kain duk it u. Dia ada lapis dengan kain-kain bekas lagi baru di jahit . Ada t iga at o em pat lem bar begit u. Dia bikin ada t ujuh. Nant i kalo kam i pake t rus bisa gant i lagi. Jadi kami rendam dengan sabun om o... yang sekarang ini sabun R* nso. Habis it u cuci t rus jem ur baru nant i pake lagi... sa punya m am a sudah bikin t ali jem uran khusus unt uk jemur barang it u. Jem uran t erpisah…”

Saat ini Pamijaya Wangbon sudah t idak lagi mempergunakan kain duk saat mengalami menst ruasi. Dia sudah beralih ke pem balut w anit a modern bikinan pabrik yang banyak dijual di t oko.

M enurut Pamijaya Wangbon, pada saat mengalami menst ruasi, apabila dia akan memasak makanan, maka makanan hasil olahannya it u hanya boleh dimakan oleh dirinya sendiri dan juga saudara-saudara perempuan, besert a ibunya. Saudara- saudara laki-laki dan ayahnya t idak diperbolehkan makan dari hasil masakannya.

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Dalam keyakinan masyarakat Et nik M uyu, seorang laki- laki M uyu sangat dilarang makan masakan hasil olahan perempuan yang sedang dat ang bulan. Laki-laki M uyu yang memiliki w aruk (kesakt ian), apabila mengkonsum si hasil masakan perempuan yang sedang menst ruasi dan at au persalinan, baik it u ist ri maupun anak perempuannya, maka w aruk-nya akan bert olak belakang dengan darah menst ruasi it u, dan hal ini bisa mengakibat kan sesak nafas.

“ ...bila keluarganya sedang berkum pul di dalam rumah at au akan m akan bersam a... dan ada saudara laki-laki at au bapa... saya t ra boleh m akan bersam a-sam a dengan m ereka. Kecuali sem ua yang sedang duduk m akan adalah perem puan...” (Pam ijaya Wangbon, 37 t ahun)

M enurut keyakinan masyarakat Et nik M uyu, remaja perempuan yang sedang mengalami menst ruasi juga t idak boleh berjalan melew at i saudara laki-laki at au bapaknya. Tempat dimana saudara laki-laki at au bapaknya sedang bekerja at au duduk, ia t idak boleh melew at inya. Apabila rem aja perempuan yang sedang mengalami menst ruasi berjalan melew at i mereka maka akibat nya adalah uap/ haw a darah panasmenst ruasi it u dapat menyebabkan sesak nafas dan sakit -sakit bagi bapak dan saudara-saudara laki-lakinya.

Generasi selanjut nya adalah generasi ket iga, at au generasi remaja pada masa kini. M aria Sisilia Nomont em (15 t ahun), anak perempuan dari Pamijaya Wangbon, seorang remaja M uyu

akan menamat kan pendidikannya di bangku SLTP. M aria Sisilia mengat akan bahw a ia mulai mendapat menst ruasi pada saat duduk di bangku Sekolah Dasar kelas enam. Pada aw alnya, saat mengalami menst ruasi, M aria Sisilia t idak menyadari akan keadaannya t ersebut . Seharian penuh dia t erus-

yang

sebent ar lagi

Etnik Muyu, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua

menerus masuk dan keluar dari kamar mandi. M aria Sisilia sangat gelisah, karena disangkanya bahw a dia sedang sakit . Karena begit u khaw at ir dengan dirinya sendiri, akhirnya M aria Sisilia bert anya kepada bapaknya unt uk memberikan obat . Dia malu unt uk mengat akan apa yang sedang dialaminya.

Pada akhirnya ibunya, Pamijaya Wangbon, mencurigai keadaan t ersebut , lalu bert anya perihal masalah yang sedang t erjadi padanya. M aria Sisilia mencerit akan kepada ibunya t ent ang kondisi yang dialam inya. M aria Sisilia lalu diberikan pandangan bahw a dia sedang mendapat menst ruasi.

Pamijaya Wangbon lalu mengajarkan kepadanya t ent ang bagaimana cara menggunakan pembalut ket ika mendapat menst ruasi. M aria Sisilia t idak lagi menggunakan pembalut yang t erbuat dari kain duk, t et api menggunakan pembalut yang dijual di t oko.

“ …sa pert am a kali dapat it u pert engahan kelas enam sekolah dasar. Baru sa t ra t au ini. Sa t inggal keluar m asuk kam ar kam ar mandi ini. Baru sa mint a obat sam a bapa karna sa kira sa sakit . Baru nanti m am a yang t anya karna m am a lihat sa t inggal keluar m asuk kamar m andi. Jadi pas sa cerit a sam a m am a, baru m am a bilan. Aduu.., sayang, it u ko dapat sakit perem puan. Baru m am a yang kast au sa unt uk pake pem balut . Wakt u it u sa pake Soft ex ...”

Pada saat mengalami menst ruasi, M aria Sisilia biasa mandi dan membersihkan t ubuhnya. Apa yang dijalaninya ini sedikit berbeda dengan pengalaman kakak perempuannya. M enurut M aria Sisilia, ket ika kakak perempuannya mengalami menst ruasi, kakaknya disarankan oleh ibunya unt uk t idak menyent uh air at au mandi di kali, karena memang demikian t radisi yang berlaku bagi perempuan Et nik M uyu saat mengalami menst ruasi. Dikhaw at irkan ìpt ém perempuan M uyu yang sedang

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

mengalami menst ruasi dapat menjadi sebab penyakit yang disebabkan oleh t ulah dem a (roh-roh halus) penguasa kali t empat perempuan it u mandi at au membersihkan diri.

Sampai pada saat ini, masih t erdapat perempuan Et nik M uyu yang t idak menggunakan pembalut modern yang dijual di t oko pada saat mengalami menst ruasi, t et api memilih menggunakan pembalut berbahan kain. Permasalahannya beragam, ada yang mengaku karena merasa t idak nyaman dengan pembalut jadi yang dijual dit oko, ada pula yang karena kondisi

membeli pembalut merupakan beban t ersendiri baginya. M art ina Denkok (30 t ahun), perem puan M uyu yang pekerjaan sehari-harinya adalah ibu rumah t angga selain juga bert ani, mengaku bahw a sejak pert ama kali mendapat menst ruasi sampai pada saat

perekonomiannya,

sehingga

sekarang ini, dia t idak menggunakan pembalut yang dijual di t oko sama sekali, t et api menggunakan kain bekas. Underw ear (konak)yang sudah t idak t erpakai, dibuat menjadi kain pembalut . M art ina Denkok mengaku t idak menggunakan pembalut jadi yang dijual di t oko karena bisa menyebabkan organ vit alnya lecet . “ ...saya dari dulu pert ama dapat haid sampe sekarang ini, t idak pernah pake pembalut yang dong (mereka) jual di kios-kios. Nant i lecet . It u sa (saya) biasa pake konak bekas...” t erang M art ina.

Alasan lain diut arakan oleh Kourina Bert ilak Amkamagan (28 t ahun). Perempuan M uyu yang mempunyai empat orang anak laki-laki dan sat u orang anak perempuan ini mengaku bahw a ia sampai saat ini t idak menggunakan pembalut jadi yang dijual di t oko. Ket ika pert ama kali haid pada saat duduk di bangku Sekolah M enengah Pert ama (SM P) kelas dua, ia hanya menggunakan kain bekas. Bahkan w akt u selesai bersalinpun ia menggunakan kain bekas. Hal it u dilakukannya karena Kourina Bert ilak mengaku t idak mempunyai cukup uang unt uk membeli

Etnik Muyu, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua

pembalut . Pekerjaan suaminya yang hanya sebagai pet ani membuat nya memilih pembalut dari kain bekas. M eski demikian, Kourina Bert ilak mengaku jika dia punya uang, past i akan membeli dan mempergunakan pembalut modern yang sudah jadi buat an pabrik.

Penggunaan pembalut kain oleh sebagian rem aja dan sebagian lagi yang kemudian masih menggunakan pembalut yang dijual di t oko, juga dicerit erakan t erjadi pada remaja perempuan Et nik Dayak Siang M urung yang ada di Desa Dirung Bakung. Pada remaja perempuan Et nik Dayak Siang M urung, kebanyakan remaja put ri pada saat menst ruasi, t idak menggunakan pembalut jadi yang biasa dijual di pasaran, namun hanya menggunakan kain biasa yang bisa mereka pakai lagi set elah dibersihkan. Namun dem ikian, juga ada beberapa remaja put ri yang

menggunakan pembalut yang dijual di pasaran 197 . M endengar pengalaman menst ruasi dari t iga generasi

yang berbeda, t erlihat adanya pergeseran yang cukup berart i. Pert ama, dari aw alnya perempuan M uyu yang sedang mengalami menst ruasi harus mengasingkan diri ke bévak, saat ini sudah jarang dit emui mereka melaksanakan t radisi t ersebut . Kedua, dahulu perempuan M uyu yang sedang dat ang bulan dilarang at au am òp (pamali) unt uk “ injak air” (menyent uh air), t et api saat ini mereka sepert inya bebas saja bila mau membersihkan diri secukupnya.

Pada jaman dahulu perempuan M uyu yang sedang mengalami menst ruasi memang diharuskan unt uk mengasingkan diri di bévak, sepert i halnya perempuan yang sedang mengalami persalinan. Tet api saat ini, sudah sangat jarang dit emui perempuan M uyu yang mengasingkan diri di bévak saat

Syarifah Nuraini, dkk, 2012. Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012, Et nik Dayak Siang M urung, 73-74.

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

mengalami hal t ersebut . Pergeseran ini seringkali dimaknai sebagai bagian dari akibat modernisasi, t ermasuk sebagai akibat pergeseran pakaian perempuan M uyu dari yang semula menggunakan caw at wonom (rok dari bahan rumput raw a yang dikeringkan), bergant i menjadi rok m odern sepert i yang t erlihat saat ini;

“ ...ya kalo dulu kan pake caw at (w onom) it u pak... t elanjang. It u darah bisa kem ana-m ana. Tapi kalo sekarang kan sudah ada konak (rok dalam an atau underw ear ), ada pem balut apa it u s* ft ex... jadi lebih prakt is... lebih rapi. Darah t idak kem ana-m ana... jadi lebih am an...” (Sarlot a Nengok, 32 t ahun)

Unt uk “ injak air” menurut ket erangan Pet rus Komaop (58 t ahun), t ernyat a hingga saat ini, at uran t radisi yang melarang perempuan M uyu yang sedang mengalami m enst ruasi unt uk “ injak air” masih dianggap berlaku bagi semua perempuan M uyu. Ada perbedaan mendasar ant ara “ injak air” dengan bersih-bersih menggunakan air yang dilakukan perempuan M uyu saat ini, hal ini t erlet ak pada sumber air yang dipergunakan.

Pada jaman dahulu, orang M uyu hanya menggunakan air kali sebagai sat u-sat unya sumber air. Sehingga ada larangan unt uk “ injak air” bagi perempuan M uyu yang sedang mengalami menst ruasi dan at au persalinan. Karena dit akut kan bisa mencemari sungai dan ìpt ém (pengaruh buruk supernat ural) menst ruasinya bisa menyebar kemana-mana menyebabkan malapet aka bagi banyak orang, dan kerugian yang luar biasa besar.

“ ...at uran it u m asih berlaku pak. It u harus dipegang t eguh... t ra (t idak) boleh dilanggar begit u saja. it u sudah digariskan oleh nenek m oyang kit a, kalo dilanggar akan m enim bulkan kerugian

besar di kem udian hari.

Etnik Muyu, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua

Akibat nya m ungkin t idak berlaku sekarang, t et api di kem udian hari akan t erjadi... Uap m enst ruasi yang panas it u bisa berpengaruh pada orang banyak yang ada di sekit ar sungai...” (Pet rus Kom aop, 58 t ahun)

Tet api pada saat ini masyarakat M uyu sudah banyak yang menggunakan drum dan at au profile t ank sebagai w adah menampung air hujan, beberapa penduduk juga sudah mempunyai kamar mandi sendiri, sehingga perempuan M uyu yang sedang mengalami menst ruasi dan menggunakan sumber air alt ernat if t ersebut dianggap t idak akan mencemari sumber air ut ama (kali). M eski demikian at uran adat unt uk larangan “ injak air” masih berlaku, karena sebagian besar masyarakat M uyu masih memanfaat kan air kali sebagai sumber air ut ama, t erut ama yang masih t inggal di kampung-kampung.

Am óp (pamali) bagi perempuan Et nik M uyu unt uk mandi di kali/ sungai pada w akt u menst ruasi juga berlaku pada remaja perempuan Et nik M anggarai di Desa Wae Codi, Kecamat an Cibal,

Kabupat en M anggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur 198 . Remaja perempuan Et nik M anggarai akan t inggal di dalam rumah dan

menghindar dari kumpulan orang-orang disekit arnya, t erut ama laki-laki remaja dan dew asa, kerabat dekat nya at au orang disekelilingnya apabila menget ahui dirinya sedang mengalami menst ruasi. Tanpa diberit ahu unt uk menghindari kum pulan orang t ersebut , mereka akan secara langsung menjaga jarak. Hal t ersebut merupakan suat u t radisi yang disampaikan secara t urun-

198 Raflizar, Laras Aridhini, Clem entina M . Tagul, Gordiano S. Set yoadi, FX. Sri Sadew o, Tri Juni Angkasaw at i, 2012. Etnik M anggarai Desa Wae Codi,

Kecamatan Cibal, Kabupat en M anggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pusat Hum aniora, kebijakan Kesehat an dan Pem berdayaan M asyarakat , Badan Penelit ian dan Pengem bangan Kesehat an, Kem enterian Kesehat an Republik Indonesia; Surabaya,62.

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

t emurun dari para ibu Et nik M anggarai pada anak-anak perempuannya.