M encari pengobat an ke fasilit as pengobat an modern yang diselenggarakan oleh dokt er prakt ek (privat e m edicine).

6) M encari pengobat an ke fasilit as pengobat an modern yang diselenggarakan oleh dokt er prakt ek (privat e m edicine).

Pola perilaku pencarian pengobat an yang berlaku di masyarakat Et nik M uyu di Dist rik M indipt ana sangat bergant ung pada keyakinannya pada jenis penyakit yang diderit anya. Apakah

175 M en adalah sebut an dalam Bahasa M uyu unt uk Noken, t as rajut khas Papua di w ilayah Pegunungan Tengah. Biasanya dibuat dari bahan serat kayu pohon

genem o, t et api saat ini sudah banyak berkem bang dibuat dari benang nilon. M en at au Noken biasa dibaw a dengan cara digant ung di dahi. 176 Schoorl, 1997. Kebudayaan dan Perubahan Suku M uyu. 204-206

177 Soekidjo Not oatm odjo, 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan.Jakart a; Rineka Cipt a.

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

sakit karena disebabkan penyakit (fisik), at aukah sakit dikarenakan masalah gangguan dem a? At au disebabkan buat an orang?

Unt uk jenis sakit yang dikarenakan sebab penyakit , masyarakat Et nik M uyu di Dist rik M indipt ana sudah sangat m inded t erhadap pelayanan kesehat an modern. Ket ersediaan dan aksesibilit as fasilit as pelayanan kesehat an di Kampung M indipt ana sudah sangat baik membuat mereka memilih t enaga kesehat an sebagai pilihan pert ama saat mengalami gangguan kesehat an.

M eski demikian, masyarakat Et nik M uyu mempunyai kecenderungan unt uk melakukan self m edicine (pengobat an sendiri) t erlebih dahulu. Hal ini didapat i pada beberapa informan yang t inggalnya di kampung yang agak jauh dari Puskesmas M indipt ana maupun Rumah Sakit Bergerak.

Salah sat unya adalah kasus “ Samorika Yukamoh” . Gadis kecil berusia sembilan t ahun ini t inggal di Kampung Wanggat kibi, sekit ar 15 kilomet er dari Puskesmas M indipt ana. Gadis M uyu ini t erkena parang t emannya, sehingga mengakibat kan luka cukup serius di pipi kirinya, sedikit di at as bibir. Oleh mamanya, Samorika hanya diberi am oxicillin sisa obat dari pengobat an sakit nya yang t erdahulu, sama sekali t idak berupaya unt uk berobat ke Puskesmas, Rumah Sakit at au ke t enaga kesehat an. Ket ika dit anyakan oleh penelit i, “ Ada berapa sisa obat nya ma?” . “ Saya punya sat u saja,” jaw ab mama Samorika. Gadis kecil M uyu ini mengkonsumsi obat yang masuk kat egori ant i biot ik ini hanya sat u but ir saja. Kasus ini dit emukan penelit i set elah empat hari pasca kejadian.

M enurut pet ugas kesehat an di Puskesmas M indipt ana, memang masyarakat Et nik M uyu mempunyai kecenderungan merasa lebih t ahu t ent ang penyakit nya, t ermasuk juga obat nya;

Etnik Muyu, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua

“ ...Terkadang saya jengkel pak. M ereka it u dat ang ke sini berobat , t api yang ada pet ugas kesehat an malah didikt e. M int anya obat ini-it u, padahal sakit nya saja belum diperiksa...,” t erang Elpi M usa, peraw at , 34 t ahun. Lulusan Ahli M adya Keperaw at an yang menjabat sebagai Koordinat or Klinik Umum di Puskesmas M indipt ana it u menjelaskan bahw a kejadian yang menyebabkan kejengkelannya it u t idak hanya sekali saja t erjadi, t api t elah berulang kali t erjadi selama sembilan t ahun dia mengabdi di Puskesmas M indipt ana.

Unt uk beberapa kasus penyakit yang dirasa sangat berat , masyarakat Et nik M uyu cenderung menempuh pola pencarian pengobat an yang sedikit berbeda. Bagi mereka yang t elah beberapa kali berobat ke pelayanan kesehat an modern t et api t idak juga sembuh, mereka akan memint a pert olongan t ua-t ua adat unt uk dibant u penyembuhannya. Pola penyembuhan yang dilakukan oleh t ua-t ua adat biasanya dilakukan secara rahasia (sengaja dirahasiakan), t idak jarang dilakukan di dalam hut an, t anpa boleh diket ahui oleh orang lain. Hal ini karena proses pengobat an t ersebut merupakan sebuah pant angan (am óp) apabila met ode penyembuhannya diket ahui orang lain. Set elah dirasa cukup pengobat an yang diberikan oleh t ua-t ua adat , maka pasien t ersebut dapat berobat kembali ke Puskesmas at au Rumah Sakit Bergerak. Berikut penut uran Sut er Denkok (52 t ahun) sebagai salah sat u t ua-t ua adat ;

“ ...bila ada yang sudah sakit parah dan pihak kesehat an sudah t idak sanggup... m ereka m int a t olong saya. Akan saya bant u... saya baw a ke hut an... saya obat i... saya hilangkan sem ua penyebabnya. Set elah it u silahkan berobat ke Puskesm as at au Rum ah Sakit ... past i bisa sem buh...”

Kepercayaan yang t inggi pada t enaga pelayanan kesehat an modern juga berlaku unt uk masalah pilihan t enaga

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

penolong persalinan. Sudah sejak lama masyarakat Et nik M uyu, t erut ama yang menet ap di Dist rik M indipt ana melakukan persalinan di Puskesmas M indipt ana. Tersedia t empat t idur, fasilit as raw at inap persalinan, dan t enaga yang cukup memadai. Tet api karena akhir-akhir ini ada banyak st af Puskesmas yang sedang menempuh pendidikan, sekit ar t ujuh orang, maka pelayanan persalinan di Puskesmas M indipt ana t idak lagi diselenggarakan. Pada saat ini semua layanan persalinan dalam gedung dialihkan ke Rumah Sakit Bergerak yang t erlet ak di Kampung Osso, yang berjarak sekit ar empat -lim a kilomet er dari Kampung M indipt ana.

M asyarakat Dist rik M indipt ana juga ada yang melakukan persalinan dengan bant uan t enaga kesehat an di rumah, t et api seringkali hanya para pendat ang di Dist rik M indipt ana saja yang melakukannya. M ereka memanggil t enaga bidan unt uk dat ang dan memint a bant uan agar dapat mendampingi persalinan di rumah.

Pola persalinan dengan memanggil t enaga kesehat an di rumah ini agak dihindari oleh masyarakat Et nik M uyu. Hal ini lebih dikarenakan ada konsekuensi biaya yang harus dit anggung unt uk memanggil pet ugas ke rumah. Sebagian besar masyarakat Et nik M uyu adalah kalangan menengah-baw ah. Hal berbeda bila persalinan dilakukan di fasilit as pelayanan kesehat an yang diselenggarakan pemerint ah, biaya layanannya dit anggung oleh Pemerint ah Provinsi Papua.

Unt uk persalinan mandiri (t anpa bant uan pet ugas kesehat an), perempuan M uyu biasa melakukan persalinan dengan dit olong oleh saudara perempuannya sendiri, at au t erkadang juga saudara perempuan dari ibunya. M enurut pengakuan para informan perempuan M uyu, memang sebenarnya t idak ada perempuan M uyu yang berprofesi sebagai dukun bayi. Kalaupun menurut pengakuan pet ugas Puskesmas

Etnik Muyu, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua

ada dukun bayi yang dilat ih, it u bukan dukun, hanya perempuan- perempuan M uyu yang pernah menolong persalinan.

Pencarian bant uan pelayanan persalinan ke t enaga kesehat an at au fasilit as pelayanan kesehat an di Dist rik M indipt ana hanya berlaku bagi Et nik M uyu di sekit ar Dist rik M indipt ana saja. M asyarakat Et nik M uyu yang t inggal jauh dari Puskesmas M indipt ana maupun Rumah Sakit Bergerak sebagian lebih memilih melahirkan dit olong oleh kerabat dan bahkan t idak jarang t erkadang melahirkan sendiri.

Hal ini seringkali t erjadi karena ket idakt ersediaan fasilit as at au t enaga kesehat an penolong persalinan di sekit ar mereka. Para t enaga kesehat an menumpuk di Kampung M indipt ana saja. Selain it u, aksesibilit asnya t erkendala

oleh jarak dan ket idakt ersediaan sarana angkut an t ransport asi yang memadai di w ilayah ini.

M enurut pengakuan Kepala Puskesmas M indipt ana, sebenarnya pet ugas kesehat an yang ada di Puskesmas M indipt ana sudah t erbagi habis didist ribusi sebagai pembina w ilayah di masing-masing kampung yang menjadi t anggung jaw ab w ilayah Puskesmas. Tet api hal ini sekarang t idak berjalan, dikarenakan ada beberapa pet ugas kesehat an yang sedang menempuh pendidikan, baik di Tanah M erah maupun di M erauke.

Pola perilaku pencarian pengobat an bagi Et nik M uyu di Dist rik M indipt ana dilandasi oleh konsep sehat -sakit yang sangat dipengaruhi oleh keyakinannya pada m it os dan hal-hal supernat ural (ìpt èm ). Selain it u juga sangat dipengaruhi oleh ket ersediaan fasilit as pelayanan kesehat an, dan aksesibilit as dari fasilit as pelayanan kesehat an it u sendiri.

Penelit i mencat at aksesibilit as fasilit as pelayanan kesehat an di Kampung M indipt ana yang berpengaruh minimal t erdiri dari empat jenis akses. Keempat jenis akses it u t erdiri dari

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

akses pembiayaan (t erut ama pembiayaan yang bersifat ‘beyond healt h ’, sebagai konsekuensi masalah t ransport asi), akses jam pelayanan, akses sosial (bahasa at au komunikasi), dan akses t ransport asi yang t erdiri dari prasarana jalan dan sarana angkut an. Pilihan pelayanan kesehat an yang bisa diakses oleh masyarakat juga sangat dipengaruhi oleh keyakinan at as kualit as pelayanan dari fasilit as pelayanan kesehat an yang t ersedia. Temuan menarik di lapangan menyajikan fakt a empirik bahw a Klinik M isi Kat olik Sant o Jacobus diyakini mempunyai kualit as yang lebih baik dari Puskesmas M indipt ana.

Ada beberapa kasus menarik yang dijadikan rujukan penelit i t erkait kualit as pelayanan ini. Kasus pert ama adalah kasus Phillips Leonardo Bonggo yang menyat akan bahw a obat - obat an unt uk penyakit malaria yang diderit anya, yang t ersedia di Puskesmas sudah t idak manjur lagi. Pria pensiunan Kepala Sekolah SM A ini menyat akan bahw a obat -obat an yang disediakan di Klinik M isi Sant o Jacobus jauh lebih baik, dan dapat meredakan gejala penyakit malarianya saat kambuh.

Kasus ke-dua adalah kasus Thadeus Kambayong, 54 t ahun. Pria paruh baya yang juga Kepala Puskesmas M indipt ana ini t erjat uh saat sedang membangun bangunan t ambahan unt uk dapur rumahnya. Timbul dua luka kecil di lut ut nya sebelah kiri. Pria M uyu yang t erpilih sebagai “ Tenaga Kesehat an Teladan Nasional Tahun 2011” ini memilih memint a obat ke Klinik M isi unt uk lukanya. Ket ika dit anyakan kepadanya kenapa dia t idak berobat ke Puskesmas M indipt ana saja? t oh grat is. Pria M uyu ini mengat akan obat nya t idak ada, t idak t ersedia di Puskesmas M indipt ana.

Kasus ke-t iga adalah kasus Pet ronela Apai, 32 t ahun. Wanit a yang t inggal di Kampung Wanggat kibi ini, sekit ar 15 kilomet er dari Kampung M indipt ana, menyat akan bahw a dia lebih memilih berobat ke Klinik M isi Kat olik daripada Puskesmas

Etnik Muyu, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua

M indipt ana apabila sedang mempunyai uang. Perempuan M uyu yang t idak pernah mengenyam pendidikan formal ini menyat akan bahw a berobat ke Klinik M isi obat -obat nya bagus, sekali berobat langsung bisa sembuh. Hal berbeda bila berobat ke Puskesmas M indipt ana, dia harus dat ang lebih dari sat u kali, harus periksa (laborat orium) ke t empat lain lagi, dat ang periksa lagi, baru bisa sembuh.

Ket ika pilihan dua fasilit as kesehat an ini dit anyakan pada informan lain yang not abene berst at us sepert i orang M uyu kebanyakan, mereka lebih memilih ke Puskesmas M indipt ana. Alasannya sederhana saja, berobat ke Klinik M isi Sant o Jacobus it u mahal. Sedang berobat ke Puskesmas t idak dipungut biaya sama sekali.

Pembebasan pembiayaan kesehat an mungkin saja t idak berpengaruh t erhadap aksesibilit as pelayanan kesehat an dalam bat as-bat as t ert ent u, bagi masyarakat t ert ent u (dan bahkan pet ugas kesehat an sekalipun), bila berhubungan dengan keyakinan t erhadap kualit as pelayanan. Sat u orang M uyu dengan st at us pekerjaan pensiunan PNS guru dan seorang lagi PNS Kepala Puskesmas, lebih memilih pelayanan kesehat an yang berbayar dibanding dengan pelayanan kesehat an yang disediakan Pemerint ah. Sement ara masyarakat secara umum masih sangat ant usias dengan pelayanan yang diselenggarakan oleh Puskesmas.