M anusia Pekerja Keras

b. M anusia Pekerja Keras

Et nik M uyu adalah suku pekerja keras. Seolah t idak mengenal kat a berhent i berproduksi. Penilaian ini, paling t idak kit a dapat kan apabila kit a memperhat ikan keseharian Et nik M uyu ini, baik laki-laki maupun perempuan. Set iap pagi hari t iba, seluruh anggot a keluarga, t erut ama bapak, ibu, dan anak-anak yang t idak bersekolah akan pergi ke hut an, meramu. Demikian juga pada malam harinya, sepert i t elah disinggung di at as, para kaum laki-laki akan kembali ke hut an, berburu dan menangkap ikan.

Oleh sebab it u, para ant hropolog menyebut Et nik M uyu dengan sebut an “ prim it ive capit alist s” . Sebut an ini salah sat unya didasarkan at as penilaian bahw a et nik ini merupakan suku pedalaman Papua yang paling pint ar—sepert i t elah disinggung— khususnya jika dibandingkan dengan et nik-et nik lain yang

mendiami w ilayah Papua Selat an 107 . Prim it ive capit alist s at au juga biasa disebut sebagai

prim it ive accum ulat ion adalah ident ifikasi secara ekonomi unt uk menandai munculnya bibit -bibit kapit alisme sebelum adanya eksploit asi

bukan lagi sekedar mendapat kan apa yang t elah disediakan oleh alam 108 . Prim it ive

secara

besar-besaran,

capit alist s ini diperkirakan muncul pada saat suat u hubungan sosial dalam masyarakat t erjadi, dalam art ian peralihan at au masa t ransisi dari suat u suku yang aw alnya bersifat individualis

beralih ke sosialis 109 .

107 Schoorl, 1997. Kebudayaan dan Perubahan Suku M uyu,109-116 108 Epst ein, Trude Scarlett . 1979. Capitalism, Primit ive and M odern. Delhi; Hindust an Publishing Corporation, 19-33

109 Bonefeld, W., 2002. “ Capit al, Labour and Prim itive Accumulat ion. On Class and Const it ut ion” , dalam Dinerst ein, A.C. and M . Neary (edit or), The Labour

Etnik Muyu, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua

Sebut an prim it ive capit alist s memang sangat beralasan apabila disandangkan kepada Et nik M uyu ini. Sampai dengan saat ini, di pasar t radisional M uyu, semua barang dagangan yang dijajakan t anpa sedikit pun membut uhkan t eknologi unt uk mengolahnya; t et ap ment ah dan segar hasil pet ik di kebun at au hut an.

Apabila kit a mengikut i keseharian hidup Et nik M uyu yang t inggal di kampung-kampung w ilayah Dist rik M indipt ana ini, maka kit a akan langsung sampai pada just ifikasi it u; prim it ive capit alist s . M ereka t idak peduli apapun profesinya dan seberapa banyak hasil kebun yang dipunya, mereka t et ap berjualan, menjual hasil kebunnya; menjadikannya uang. Seolah t idak pernah berhent i berproduksi. Simak salah sat u perist iw a di baw ah ini.

Pagi it u, jalanan masih basah oleh sisa-sisa air hujan yang mengguyur semalam. Kabut pun masih t ebal menyelimut i. Suasana masih gelap dan dingin. Nyala lampu list rik t idak lagi menerangi jalan-jalan di kot a ini, t ermasuk jalan menuju pasar karena sudah padam semalam. Di ant ara dingin dan gelapnya jalanan it u, t erdengar langkah-langkah kaki dan nampak bergegas. Langkah kaki it u adalah langkah kaki para perempuan

sambil 110 menggant ung m en di kepalanya. Perempuan- perempuan Et nik M uyu sedang menuju pasar, menjual hasil

kebunnya. Apa yang dinamakan pasar it u hanyalah sebuah jalan yang membent ang sepanjang lapangan Trikora dan berhent i t epat di belakang kant or Dist rik M indipt ana. Tidak nampak sebuah bangunan pun, apalagi st and-st and yang menempat i lorong-

Debat e. An Investigat ion into t he Theory and Realit y of Capit alist Work . Aldershot ; Ashgat e 110 Tas rajut yang dijalin dari serat kayu pohon gnem o (melinjo).

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

lorongnya. Ya, pasar M indipat ana hanya berupa ruas jalan t anpa banguan, t anpa st and.

Ada sebuah kisah menarik mengenai pasar ini. Sebelum t ahun 1987, pasar ini bahkan sudah buka sejak t engah malam, pukul 03.00 dini hari. Sehingga, karena t idak ada penerangan list rik, maka t ransaksi ant ara penjual dan pembeli dilakukan di ant ara penerangan lampu sent er, milik penjual dan pembeli. Demi alasan keamanan, maka pihak dist rik bekerja sama dengan TNI mengat ur w akt u dimulainya pasar. Pasar pun baru dibuka pukul 05 pagi. M ukayyin mencerit akan,

“ ...dulu sebelum kit a bat asi, pasar sudah buka m ulai jam 3 pagi. Karena sering t erjadi penyusupan-penyusupan, m aka kit a at ur, pasar baru boleh dibuka pukul 5 pagi. M eskipun begit u, sejak jam 4 pagi para penjual sudah dat ang dan m engant ri di depan kant or Koram il it u. Set elah pukul 5 pagi dan bel sebagai t anda m ereka sudah boleh berjualan kit a bunyikan, baru mereka m enuju

m enggelar barang dagangannya. Hal it u kit a lakukan demi alasan keam anan, karena seringkali para “ pengacau” m enyusup di ant ara kerum unan orang di pasar it u.”

Pasar t anpa gedung dan st and it u t idak buka set iap hari, t api hanya t iga kali dalam seminggu; Senin, Rabu, dan Sabt u. Wakt u unt uk bert ransaksi juga sangat singkat , hanya ant ara pukul 05.00–07.30 WIT. Bahkan ket ika jam menunjukkan pukul

07.00, banyak di ant ara para penjual sudah memberesi barang dagangannya. Dan pukul 07.30 lokasi pasar “ kaget ” t ersebut t elah bergant i menjadi jalanan lagi.

Embun pagi masih menempel di pucuk-pucuk dedaunan dan rumput -rumput yang nampak rimbun di pinggir-pinggir “ pasar” it u. Karung-karung plast ik begit u saja digelar di at asnya unt uk dijadikan sebagai alas barang dagangan mereka. Tharsisia

Etnik Muyu, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua

Kont erap nampak di ant ara kerumunan para perempuan yang t engah sibuk menggelar plast ik dan menat a barang dagangannya. Tidak banyak hasil kebun yang dia jual hari it u. Hanya 5 pondok (t umpuk) salak dan 4 pondok daun gat al. 1 pondok salak yang berisi 10 buah, ia jual dengan harga 5.000 (lima ribu rupiah), sedang 1 pondok daun gat al yang berisi 5 lembar daun gat al yang dijual 3.000 (t iga ribu rupiah) per-pondoknya. Apabila nant i barang dagangnya laku t erjual, maka ia akan membaw a pulang uang sebanyak 37.000 (t iga puluh t ujuh ribu rupiah).

Sement ara di sebelahnya, ada sat u gelaran plast ik milik t et angganya, Yohanna Wakoram. Nampak di at as gelaran karung plast ik milik Yohanna Wakoram it u, 4 ikat kangkung, 2 ikat pucuk bunga pepaya, dan 2 pondok ubi jalar.

Set elah selesai menat a barang dagangannya, Tharsisia mengat akan, “ ...saya kemarin t idak ada sempat memet ik daun ubi kayu, gnemo, dan pucuk bunga pepaya di kebun. Saya kemarin ada kepent ingan lain. M eskipun hanya ini saja saya dapat jual, t api saya harus t et ap berjualan, mudah-mudahan laku” , harapnya.

Tidak berapa lama, jalanan basah dan berem bun it u sudah dipenuhi gelaran karung plast ik dengan beraneka barang dagangan di at asnya. Sejauh mat a memandang sepanjang jalan yang berubah jadi pasar it u, nampak barang dagangan yang sama; hasil kebun, ment ah, segar, t anpa dimasak. Andai pun it u berbeda, hanyalah pada ragam hasil kebun dan jumlah yang dilet akkan di at as masing-masing karung plast ik it u. It upun t idak sampai melebihi dua gelaran karung plast ik jumlahnya. Dan sejauh mat a memandang pula, hampir semua penjualnya adalah para enang, kaum perempuan.

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar 2.11. Suasana pasar Kot a M indipt ana Sum ber: Dokument asi peneliti, M ei 2014

Hasil kebun memenuhi sepanjang jalan it u. Pucuk daun pepaya, kangkung, bayam, daun genemo, sayur gedi, nangka muda, pepaya muda, ubi kayu (kasbi), ket ela rambat (bat at as), buah pinang, cabe, lengkuas, jahe, gumbili, sayur labu, keladi hut an, t epung sagu, pisang, bunga pisang (ont ong), rebung, buah labu kuning, daging babi asar (asap), dan ikan air t aw ar dan udang t ert at a rapi beralaskan karung plast ik di sepanjang jalan.

Andai kit a t emui penjual yang menaw arkan barang dagangan yang berbeda, dan laki-laki, dapat dipast ikan mereka adalah pendat ang yang t inggal di M indipt ana dan sekit arnya. Bukan asli masyarakat M uyu. Apabila dihit ung, para pedagang pendat ang it u hanya sekit ar 5-6 orang. Barang dagangan yang dijualnya berbeda, bukan sayuran dan buah hasil kebun. M ereka menjual barang-barang kebut uhan rumah t angga, peralat an masak, dan juga baju dengan gelaran plast ik yang jauh lebih luas dengan barang dagangan yang beraneka ragam dan jumlahnya banyak.

Etnik Muyu, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua

“ ..saya sudah t iga t ahun berjualan t ahu dan t em pe di sini. Kalau ada pendat ang yang berjualan barang-barang yang sam a, para enang (sebut an bagi perem puan Et nik M uyu, pen.) biasanya akan m arah. Kami para pendat ang harus m enjual barang-barang yang berbeda dengan m ereka” , cerit a Syaiful, 32 t ahun, asal Sum edang, Jaw a Barat .

Kisah yang sama disampaikan oleh penjual baju dan kaos asal But on. Apa yang disampaikan oleh Hj. Zulaihah berikut mungkin dapat memberikan gambaran lebih jelas mengenai “ kemarahan” para enang apabila mendapat i penjual (pendat ang) yang menaw arkan barangan dagangan yang sama dengan mereka.

“ ...beberapa w akt u lalu, belum begit u lam a.. sekit ar dua bulan lalu… ada seorang ibu dari Bim a m enjual sayur- sayuran juga buah-buahan segar m enggunakan m obil pick up . Ent ah sudah berapa kali berjualan, t iba-t iba suat u saat dia didat angi dan dikeroyok oleh para enang. Para enang it u m engat akan, eh..., kam u dat ang bunuh saya punya jualan... gara-gara kam u, saya punya jualan t idak laku. Kau jangan berjualan di sini… Akhirnya, saya t idak m enem ukan lagi ibu dari Bim a it u berjualan di sini.”

Apa yang disampaikan oleh Hj. Zulaihah t ersebut , penelit i konfirmasi kepada informan lain, Hj. Nurnaniyah. Informan ini membenarkan apa yang disampaikan oleh inform an sebelumnya. Ia mengat akan,

“ …m em ang benar, sekit ar sebulan lalu ada pedagang m enjual sayur-sayuran, ikan, dan daging ayam . Eh, dia diomeli para enang…, kam u t idak boleh jualan yang sam a di sini..kam u punya jualan bikin saya punya jualan t idak laku… kam u boleh jualan di sini... t api ikan dan

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

ayam … set elah it u, orang it u t idak nam pak berjualan lagi di sini.”

Sebagaimana keduanya, M ujiat i, 34 t ahun, juga mengungkapkan hal sama.

“ …bet ul Pak, para enang di sini suka marah-m arah kalau ada pendat ang yang m enjual barang-barang yang sam a dengan m ereka. M em ang ya... barang-barang yang dibaw a oleh pendat ang dari Tanah M erah it u biasanya lebih segar, lebih bagus, dan lebih banyak dari punya para enang. Bahkan, kadang-kadang mem ang t idak ada di sini, sepert i kol. Tapi ya… enang-enang it u m asih suka m arah-m arah… Saya sering kat akan pada m ereka.. enang m alah enak t oh… enang bisa beli dari para penjual it u kem udian enang jual lagi di sanggar punya enang. M isalnya, sat u ikat kacang panjang, enang bisa beli 10.000 t oh per ikat nya. Lalu di rum ah, sat u ikat it u enang bisa jadikan t iga ikat t oh… nant i enang jual 5.000 per ikat nya. Enang dapat unt ung t oh.. Tapi ya it u pak, m ereka kayaknya t idak m au berprinsip it u. Pokoknya pendat ang yang berjualan di pasar t idak boleh menjual barang-barang yang sam a dengan mereka miliki.”

Informasi serupa juga disampaikan oleh Sumarni. Sepert i dat a-dat a sebelumnya, dapat digarisbaw ahi bahw a pada prinsipnya para enang akan sangat keberat an dan t idak berkenan apabila ada pendat ang yang menaw arkan barang-barang yang sama sepert i yang mereka jual. Bahkan, t idak hanya it u, para enang t idak segan-segan melarang penjual t ersebut berjualan di pasar M indipt ana. M eskipun demikian, t ernyat a ada juga enang yang berpikir berbeda dengan kebanyakan para enang t ersebut .

“ ...para enang t idak suka kalau ada pendat ang yang berjualan sam a dengan m ereka. Pernah ada pendat ang yang dilarang berjualan di sini karena berjualan sayuran

Etnik Muyu, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua

yang sam a. Para enang bilang...eh, kam u ogiran 111 , jangan berjualan di sini kam i punya pasar. Kam u punya

jualan bikin kami punya t idak laku. Nam un, ada juga enang yang t idak dem ikian, bahkan bilang, eh kam u t idak boleh begit u.. .kit a sam a-sam a cari m akan di sini... jangan m elarang-larang seenaknya.”

Berdasar fenomena ini, t idak berlebihan rasanya apabila dikat akan t erdapat semacam cara at au st rat egi bert ahan hidup begit u t inggi yang dimiliki oleh masyarakat M uyu. St rat egi bert ahan hidup it u dit unjukkan oleh; (1) keinginan unt uk menghasilkan uang dengan menjual hasil kebun yang dimilikinya, t idak peduli berapapun jumlah hasil kebun yang dit aw arkannya di pasar dan (2) menut up kesempat an pihak lain, t erut ama pendat ang, unt uk menjual komodit as yang sama dengan miliknya karena dianggap “ memat ikannya” .

Selain di pasar ini, masyarakat Et nik M uyu biasanya menaw arkan hasil kebunnya di “ sanggar” —t empat berjualan (biasanya) berupa meja kecil di depan rumahnya. At au selain keduanya, t erdapat pula semacam pasar kampung yang berada di masing-masing kampung di dist rik ini dan “ buka” set iap hari. “ ..hasil kebun it u yang kami orang punya di sini… sehingga it u yang kami jual. Kalau t idak dijual di pasar, ya… di rumah kami punya” , aku Yohanna Wakoram.

Sebagaimana Tharsisia Kont arep, Yohanna Wakoram, dan juga para enang M uyu lainnya, W ilhelmina Ow eng, 54 t ahun, juga melakukan hal yang sama. Wilhelm ina adalah seorang PNS

111 Ogiran adalah salah sat u julukan yang diberikan oleh w arga lokal kepada para pendat ang. Selain ist ilah t ersebut , w arga lokal juga seringkali menjuluki

para pendat ang dengan julukan; ram but lurus dan monggo-monggo. Tidak didapat kan m aksud dan art i yang sebenarnya dari ist ilah-istilah yang digunakan tersebut , hanya saja ist ilah-ist ilah it u, m enurut beberapa inform an, seringkali digunakan oleh orang lokal unt uk menyebut para pendat ang.

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

dan bekerja sebagai st af

Dist rik M indipt ana. Perbedaannya hanyalah ia t idak menjual barang dagangan, berupa hasil kebunnya di pasar. Tet api, meskipun t idak menjualnya di pasar, ia t et ap berusaha menjual hasil kebunnya di rumah, sebuah meja kecil yang dilet akkan di t eras rumahnya.

kant or

Pagi it u, sebelum berangkat ke kant or, ia sempat kan memet ik beberapa rambut an yang sudah t erlihat memerah dari pohon di depan rumahnya. Tidak banyak yang dia pet ik, sebab ket ika ia jadikan onggok-onggok kecil hanya sebanyak enam onggok yang t erkumpul. Ia t aruh enam onggok rambut an it u di at as meja kecil di depan rumahnya. Rambut an-rambut an it u, ia jual 3.000 (t iga ribu) rupiah peronggoknya. Ia t unggui barang dagangannya it u sebelum berangkat ke kant or dist rik t empat nya bekerja.

Belum lagi apabila kit a mengamat i kebiasaan para laki-laki Et nik M uyu ini. Sudah menjadi sebuah rut init as bagi para kaum laki-laki, set elah meramu pada siang hari, at au m enyadap pohon karet , maka di malam hari mereka akan kembali ke hut an maupun pinggiran sungai unt uk berburu dan m enangkap ikan. Hasil buruan di malam hari it u bukan sekedar unt uk memenuhi kebut uhan sehari-hari, namun juga akan dijual di pasar. Hasil buruan para suam i it ulah yang biasanya dijual para enang di pasar.

Kebiasaan it u, sebagaimana digambarkan oleh Philip Leonard Bunggo, 64 t ahun, berikut ,

“ ...t radisi berburu burung kasuari, babi hut an, biawak, t ikus besar maupun kecil, ular, kadal, belalang, kat ak, kuskus, juga m enangkap ikan at au udang t elah sejak dulu dilakukan oleh orang M uyu. Hal it u bukan karena m ereka kekurangan m akanan, t et api hasil buruan m aupun t angkapan di m alam hari it u, akan m ereka jual at au dit ukarkan dengan barang-barang lain. Berburu dan m enangkap ikan it u dilakukan di set iap m alam hari,

Etnik Muyu, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua

selepas di siang hari mereka pergi ke kebun, at au m enjadi buruh-buruh penyadap get ah karet.”

Di samping it u, gambaran mengenai “ prim it ive capit alist s” juga didapat kan dari ciri menonjol lain yang t erjadi dalam kebudayaan et nik ini. Ciri menonjol t ersebut adalah t erkait dengan mobilit as sangat t inggi yang dimiliki oleh et nik ini, khususnya kaum laki-lakinya.

Para lelaki M uyu lebih sering melakukan perjalanan unt uk kepent ingan-kepent ingan berikut ; kunjungan kepada kerabat dekat di pemukiman lain yang memiliki hubungan perdagangan t et ap dengannya; menghadiri penguburan seorang kerabat di permukiman lain, selain unt uk berbela sungkaw a, biasanya digunakan pula unt uk menagih hut ang orang yang meninggal t ersebut kepada keluarganya; menjual dagangan kepada orang dari t rah lain; dan menghadiri pest a babi karena pest a babi it u sekaligus dapat berfungsi sebagai pasar—sebuah perist iw a sosio-

ekonomi 112 . Bahkan, sejak jaman dulu et nik ini t elah memiliki

penget ahuan t ent ang bilangan dengan bent uk alat bayar berasal dari kulit kerang yang disebut ot . M at a uang berupa kulit kerang ini dibuat menjadi sedemikian halus dan memiliki bent uk sert a ukuran t ert ent u. Apabila kit a menerapkan krit eria yang diperankan oleh uang dalam perekonomian modern, maka peran

ot 113 adalah sebagai uang—sebagai alat t ukar at au t ransaksi .

112 Schoorl, 1997. Kebudayaan dan Perubahan Suku M uyu, 224. 113 M enurut Philip Leonard Bunggo, selain m at a uang dari kulit kerang (ot) sebagai m as kaw in, Et nik M uyu juga m em iliki barang sebagai m as kaw in

lainnya, yakni daun tem bakau. Oleh sebab it u, hingga saat ini t em bakau (rokok) m em iliki posisi dan m akna penting dalam keseharian Et nik M uyu ini. Posisi dan m akna pent ing t em bakau (rokok) bagi Et nik M uyu ini, selanjut nya akan dibahas dalam sub bab tersendiri.

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Selain digunakan sebagai alat t ukar, ot juga digunakan sebagai mas kaw in dan barang t ukar dalam upacara pest a babi. Pest a babi digelar unt uk mencari ot sebagai hadiah imbalan dari t amu-t amu yang dat ang. Barang-barang hasil bumi maupun kapak dan panah diperjualbelikan dengan ot .

M enurut Schoorl, ot dalam masyarakat M uyu t idak memiliki asal-usul ilmiah. Namun, apabila membicarakan t ent ang asal-usul ini, digunakan kat a pohon (t ree)—kat a yang juga digunakan unt uk menunjuk ket urunan menurut garis perempuan. M emang t idak dit emukan dat a sedikit pun mengenai asal-usul ot di daerah M uyu ini.

Disebut kan bahw a kemungkinan besar ot it u berasal dari daerah dekat muara Sungai Fly karena di m uara sungai it u banyak dit emukan kulit kerang kauri. Sebelum t erjadi kont ak dengan Barat , orang-orang dari M okbiran dan Amudipun t elah “ mengimpor” jenis kulit kerang it u, digosok halus, dan dijadikan hiasan. M eskipun ada berbagai bent uk dan variasi ot , namun perbedaan-perbedaan it u sangat kecil. Hanya ot dengan bent uk dan ukuran t ert ent u yang dit erima.

Di samping kulit kerang, dijum pai pula bahw a gigi anjing (m indit ) juga merupakan alat t ukar yang juga berfungsi at au berperan sebagai uang, namun sebagai uang kecil (recehan). Perbandingan nilai ant ara keduanya adalah 4 gigi anjing sama dengan 1 ot . Oleh karena anjing memiliki gigi t aring sebanyak 4 buah, maka nilai seekor anjing adalah 1 ot . Gigi anjing biasanya digunakan unt uk membayar barang-barang yang harganya

kurang dari 1 ot 114 . Namun, sejak t ahun 1950-an masyarakat M uyu t idak lagi

menggunakan ot sebagai alat t ukar karena pemerint ah kolonial Belanda memberlakukan mat a uang Golden sebagai alat

114 Schoorl, 1997. Kebudayaan dan Perubahan Suku M uyu, 133-137.

Etnik Muyu, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua

bert ransaksi. M asyarakat t idak diperbolehkan lagi menggunakan ot sebagai alat bert ransaksi. Kebijakan pemerint ah kolonial ini aw alnya menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat , t erut ama masyarakat yang t inggal di kampung-kampung.

Keresahan it u karena orang-orang yang t inggal di kampung-kampung hanya menerima ot sebagai alat pembayaran, bukan Golden. Akhirnya, pemerint ah kolonial membuat kebijakan unt uk menarik semuat ot di masyarakat dengan cara menukarnya dengan Golden. Barnabas Kalo menut urkan,

“ ..ot t idak lagi diperbolehkan digunakan sebagai alat t ukar sekit ar t ahun 1954/ 1955. Saat it u pem erintah kolonial Belanda hanya m em perbolehkan Golden digunakan sebagai alat pem bayaran yang sah. Kebijakan ini m enim bulkan keresahan di m asyarakat . M isalnya dialami oleh para guru dari Kei yang didat angkan oleh m isi ke M indipt ana dan sekit arnya t idak dapat mem beli t em bakau

kam pung hanya m enerim a ot unt uk m enukarnya. Akhirnya, Belanda bikin kebijakan penukaran ot dengan Golden. M asyarakat pun m enukarkan m ereka punya ot dengan Golden. Sejak it u, ot t idak berlaku lagi sebagai alat t ukar.”

karena

orang-orang

Kembali ke suasana pasar M indipt ana, begeser dari pasar t anpa gedung dan st and it u, di lajur jalan sebelahnya, mulai dari ujung jalan masuk menuju Kot a M indipt ana ini, nampak berdiri rumah (kebanyakan) berbahan bat u bat a dan ukuran yang lebih besar apabila dibandingkan dengan rumah-rum ah di seput aran kampung di dist rik ini. Di set iap rumah it u, ada t oko at au kios yang menjual beraneka ragam kebut uhan; mulai dari makanan dan minuman siap saji, barang-barang kelont ong, minyak t anah dan bensin, barang-barang elekt ronik, bahkan bahan-bahan bangunan.

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Pemilik dari rumah dengan t oko at au kios it u adalah w arga pendat ang, bukan w arga lokal, Et nik M uyu di M indipt ana. Sebut saja Sumarni, 52 t ahun, pendat ang asal Semarang. Pemilik w arung nasi dan bahan kebut uhan pokok rumah t angga ini menginjakkan kaki di kot a ini pada t ahun 1992. Aw al kedat angannya karena mengikut i suaminya, M ukayyin yang bert ugas sebagai anggot a TNI AD (ABRI saat it u) di Kabupat en M erauke.

Pada aw al kedat angannya, ia hanya berjualan gado-gado dan bakso. Namun, kini w arung gado-gado dan bakso it u t elah bergant i menjadi w arung nasi dan t oko yang menjual barang- barang kebut uhan sehari-hari lainnya. Warung nasi yang dikelolanya it u selalu t erlihat ramai pembeli, baik penduduk

M indipt ana at au orang-orang yang berkunjung ke kot a ini 115 . Sumarni menut urkan,

“ Dulu di sini m asih sepi, belum banyak rum ah di sini. Sekarang, syukurlah sudah ramai karena sem akin banyak penghuninya. Peluang usaha ini m asih sangat t erbuka. Pada saat aw al-aw al saya dat ang ke sini, m asih belum banyak yang berjualan di sini. Sekarang saja sem akin banyak yang berjualan dan penjual-penjual kebut uhan rum ah t angga dengan m udah dit em ui m enjajajakan barang dagangannya berkeliling kam pung.”

Selain w arung nasi Sumarni, salah sat u w arung nasi dari beberapa w arung nasi yang ada di w ilayah Dist rik M indipt ana ini adalah w arung nasi milik M ujiat i, 34 t ahun, yang berada di Kampung Osso. Warung nasi m ilik pendat ang asal Banyuw angi,

Bahkan bukan hanya itu. Kini, pasangan suami istri ini juga m em iliki penginapan yang t erletak di sam ping rum ahnya. Penginapan enam kam ar itu dapat disew a dengan harga Rp. 350.000 (t iga rat us lim a puluh ribu) perm alam nya.

Etnik Muyu, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua

Jaw a Timur yang merant au karena mengikut i Suw art o, suaminya yang bert ugas sebagai guru di SD Inpres Osso-Kamka ini juga selalu t erlihat ramai oleh pembeli. “ Ahamdulillah Pak, bisa unt uk membiayai kuliah dan sekolahnya anak-anak” , ucapnya dengan berseri-seri.

Kisah serupa juga dicerit akan oleh H. Najamuddin, 62 t ahun. Perant auan asal M akasar ini bahkan semenjak masih bujang t elah merant au di M indipt ana ini. Kini, ia t elah memiliki rumah dan t oko yang menyediakan barang-barang kebut uhan rumah t angga. Ia mengat akan,

“ ...para pendat ang yang m em buka usaha di sini kebanyakan sem akin m aju usahanya. Nam un sayangnya, kondisi it u t idak berlaku bagi penduduk asli sini. Sem enjak saya dat ang sam pai sekarang, penduduk asli sini t et ap saja sepert i it u... Kalau berjualan, barang yang m ereka jual begit u-begit u saja, hasil kebunnya, t idak berubah…”

Di ant ara kisah sukses pendat ang yang juga t urut mew arnai geliat ekonomi di kot a ini adalah Suparno. Lelaki berusia 52 t ahun asal Sragen, Jaw a Tengah ini menjual barang dagangan, mulai dari alat -alat kebut uhan rumah t angga sampai pakaian, sepat u, dan sandal. Beragam jenis kebut uhan rumah t angga, ukuran dan model pakaian sert a sepat u dan sandal digelarnya di depan penginapan M ukayyin t empat nya bermalam. Di samping di M indipt ana ini, ia juga memiliki sat u “ t empat jualan” lagi, yakni di pasar kampung Asiki, Dist rik Jair, t empat nya t inggal.

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar 2.12. Suparno sedang M enunggui Barang Dagangannya di Em peran Rum ah Tem pat nya M enginap Sum ber: Dokument asi peneliti, M ei 2014

Berbekal sepeda mot or bebek, ia melint asi jalan Asiki- M indipt ana.

“ ...w ah, sekarang jalanan sudah sangat enak, m ulus Pak. Sangat berbeda dengan dulu sebelum jalan diperbaiki. Sekarang paling-paling berangkat pagi dari Asiki, siang hari sudah sam pai di sini (m aksudnya M indipt ana, Pen). Hanya but uh w akt u sekit ar lim a jam saja kok Pak... Kalau dulu, duuuhhhh... berat sekali, set engah m at i rasanya” , kisahnya sam bil m at anya m eneraw ang seolah m engingat m asa-m asa sulit it u.

Ia lalu mencerit akan, saat jalan M erauke-Tanah M erah sampai M indipt ana belum diperbaiki, seringkali ia harus melew at kan malam-malamnya di perjalanan. Apalagi jika ada mobil at au t ruk yang t ert anam di lumpur, bisa-bisa ia menghabiskan w akt u sebulan perjalanan. Perjalanan dari M erauke ke M ut ing membut uhkan w akt u 10 (sepuluh) hari,

Etnik Muyu, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua

sement ara M ut ing ke Asiki but uh w akt u ant ara 5-7 hari. Dari Asiki ke Tanah M erah dibut uhkan 3-4 hari. Sement ara masih dibut uhkan 2-3 hari lagi unt uk mencapai M indipt ana dari Tanah M erah.

M enurut nya, barang dagangannya dia beli dari pasar Klew er, Solo. Barang dagangan t ersebut ia angkut lew at pesaw at dengan t ujuan M erauke. Ia but uh w akt u cepat sebab apabila t ransport asi laut , baru akan sampai 14 hari kemudian. M eskipun harus menambah ongkos kirim, pilihan it u dilakukan karena ia merasa rugi apabila t idak dapat berjualan karena barang dagangannya belum dat ang.

Sebelum jalanan bagus, ia bisa menjual barang dagangannya dengan selisih sampai 400 persen dari harga belinya. Namun, set elah jalanan bagus, kini ia hanya mampu menjual dagangannya t idak lebih dari 200 persen perbedaannya.

“ ...dulu m asih dapat ant ara 2-2,5 jut a per hari, t api sekarang sudah banyak berkurang Pak...karena sudah banyak saingannya, he…he...he… (kat anya sambil t ert aw a). Jalanan sudah bagus... jadi sudah banyak penjual yang m asuk sini dengan barang dagangan yang sam a. M eskipun dem ikian, kalau alat -alat rum ah t angga m asih bisa selisih t iga kali lipat , t api kalau pakaian paling t inggi selisih dua kali lipat Pak…” , t am bahnya.

M emang, saat ini, selain Suparno, sudah ada enam pedagang juga dari Sragen mengikut i jejaknya dengan menjual barang dagangan yang sama. Belum lagi penjual dari Bugis dan But on yang menjual barang dagangan yang sama pada saat pasar buka. Hanya saja, perbedaan para penjual it u dengan Suparno, apabila penjual-penjual lainnya—yang dikenal dengan sebut an opsi it u—berjualan dengan cara berkeliling dari kampung ke kampung. Kampung-kampung yang mereka dat angi bukan hanya kampung yang berada di w ilayah Dist rik M indipt ana saja, t et api

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

juga kampung-kampung di w ilayah dist rik-dist rik lainnya, Kombut , Sesnukt , dan Iniyandit .

Lain Suparno, lain pula Adi Renyaken, 38 t ahun. Laki-laki penjual ikan t aw ar segar asal Tual, M aluku ini sejak kecil sudah ikut orang t uanya menet ap di M erauke. Kini ia menet ap di Asiki dan set iap dua kali dalam seminggu ia membaw a ikan t aw ar segar ke M indipt ana ini. Set iap kali dat ang, ia membaw a ikan t aw ar segar sampai 100 kg. Ikan-ikan air t aw ar it u ia jual dengan selisih sampai 150 persen dari harga belinya. “ Saya mengambil dengan harga 15-20 ribu perkilonya dari penjual dan saya menjualnya dengan harga 35-40 ribu perkilonya” , kat anya.

Ikan-ikan t aw ar segar it u ia dapat kan dari para penjual ikan yang dat ang ke daerahnya, Asiki. Para penjual ikan it u adalah w arga negara PNG. Set iap hari Rabu dan Sabt u mereka “ menyeberang” ke Asiki menjual ikan hasil t angkapannya ke pembeli di daerah Asiki. Ikan-ikan it u mereka t angkap dari raw a- raw a yang ada di sekit ar perbat asan RI-Papua New Guinea.

Tidak kurang dari 3.000 ekor ikan air t aw ar, sejenis ikan mujaer, mereka jual di hari Rabu dan Sabt u it u. Ikan air t aw ar liar yang mereka t angkap dari raw a-raw a it u besar-besar sekali. Bahkan sat u ekor ikan dapat mencapai berat 3-4 kg. Ikan-ikan it u kemudian dijual berkeliling oleh orang-orang sepert i Adi Renyaken. Ikan-ikan yang dijual berkeliling it u menyuplai kebut uhan ikan t aw ar di w ilayah Asiki, Tanah M erah, Woropko, M indipt ana, dan sekit arnya.

Sejak jalanan bagus, kini bukan hanya Adi Renyaken sendiri yang menjajakan ikan di w ilayah ini. M inggu lalu ikannya bahkan t idak habis karena ada penjual ikan dengan dua mobil pick up yang masuk w ilayah ini. M ereka menjual ikan yang sama namun dengan harga lebih murah. Terpaksa sisa ikan yang t idak habis t erjual it u, ia jadikan ikan asin dan dibaw anya pulang kembali ke Asiki. Ikan-ikan it u akan ia jemur t erlebih dahulu dan

Etnik Muyu, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua

set elah kering akan ia baw a kembali ke M indipt ana unt uk dijualnya kembali. “ ...ikan-ikan ini akan saya asinkan, dikeringkan dulu di Asiki, lalu saya baw a lagi ke sini” .

Pada kesempat an lain ket ika ngobrol dengan penelit i, sambil meminum segelas kopi pesanannya, ia mengat akan,

“ ...hari ini t iga w arung langganan saya t idak beli ikan saya. M ereka bilang ikannya m asih penuh karena baru m em beli dari penjual lain. Rasanya ikan-ikan saya it u (sam bil m enunjuk ke arah keranjang ikan di m ot ornya) akan t idak habis lagi” , ucapnya kem udian kem bali m em inum kopinya.

Jalan bagus, di sat u sisi membaw a dampak posit if bagi percepat an laju roda perekomian di w ilayah ini. Barang dagangan dengan mudah dapat diperoleh karena semakin banyak penjual yang masuk ke daerah ini. Namun, kondisi ini menghadirkan kepiluan sendiri bagi penjual-penjual keliling sepert i Suparno dan Adi Renyaken. Keadaan ini menunjukkan bahw a mereka t idak lagi sendiri menjajakan barang dagangan di M indipt ana ini. M ereka t elah memiliki saingan yang bahkan siap menjual harga barang dagangan yang lebih m urah darinya.

Namun, kont est asi pasar sedemikian it u hanya dirasakan oleh para pendat ang, bukan penduduk asli M indipt ana dan sekit arnya. Hal ini mengingat , kom odit as yang dit aw arkan oleh para enang (penduduk lokal) sejak dulu sampai sekarang t idak berubah. Bukan hanya jenis barang yang dijual saja yang t idak mengalami perubahan, namun dem ikian juga halnya dengan jumlah (kuant it asnya).

Thadeus Kambayong mengat akan, “ ...w arga asli sini t idak akan m am pu bersaing dengan

para pendat ang Pak... M akanya, barang-barang yang dijual juga it u-it u saja, hasil kebun sendiri. Di sam ping karena kami t idak m em iliki keahlian, juga karena ada

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

ket akut an apabila nant i dagangan m aju, berkem bang akan dapat m enim bulkan kecem buruan dari yang lain.”