Nilai dan Posisi Perempuan M uyu

5.7. Nilai dan Posisi Perempuan M uyu

M eski penamaan marga dalam masyarakat Et nik M uyu mengikut i garis ayah (pat rilinial), dan set elah menikah perempuan Et nik M uyu melepaskan marga asalnya, dan memakai marga suaminya sebagai marga barunya, t et api ada hal khusus yang membuat nya bernilai bagi keluarga asalnya.

Perempuan menempat i kedudukan khusus di m at a orang M uyu, pasang-surut sesuai dengan t ahapan umur perempuan t ersebut , yang oleh penelit i dibagi berdasarkan t ahap pernikahan. Pokok bahasan nilai dan posisi perempuan dalam Et nik M uyu ini selanjut nya akan dibagi berdasarkan bat asan saat

Koenig, Harold G., 2002. Spiritualit y In Patient Care. Pennsylvania; Tem plet on Foundat ion Press, 78-79.

Etnik Muyu, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua

pernikahan. Ada dua masa yang akan dibahas, yait u masa perempuan M uyu belum menjalani pernikahan, dan masa perempuan M uyu set elah menjalani pernikahan.

Pada masa perempuan M uyu belum menjalani pernikahan, perempuan M uyu merupakan sebuah aset berharga. Anak perempuan M uyu adalah hart a paling berharga. Phillip Leonard Bunggo mengat akan,

“ Ah… em as it u pak… anak perem puan it u hart a paling bernilai... paling berharga pak. Hart a orang Et nik M uyu it u ada dua yang paling ut am a. Anak perem puan dan babi, baru set elah keduanya it u... pohon-pohon, kebun…”

Berharganya anak perempuan M uyu t idak t erlepas dari prakt ek t ukon dalam budaya perkaw inan orang Et nik M uyu. Tukon at au dalam budaya Jaw a lebih m irip sepert i mahar at au maskaw in merupakan seserahan hart a benda yang dimint a oleh keluarga pihak perempuan yang akan melepas anak gadisnya, yang harus dipenuhi oleh pihak laki-laki yang meminang anak

gadisnya. Pada zaman dulu t ukon biasa berupa babi 228 sampai dengan 50 ekor. Saat ini agak sulit unt uk mendapat kan t ernak

babi sebanyak it u, maka pola t ukon ini bergeser dalam hal jenis barang seserahannya. M eski bergant i jenis, t et api secara nilai t idak jauh bergeser dari harga 50 babi t ersebut .

“ …kalau saat ini yang dim int a bukan lagi babi, saat ini t ukon yang dim int a biasa berupa m ot or… kalau m ot or it u biasanya RX King 229 , at au m int a rum ah bat u 230 , at au

228 Nilai jual babi saat ini di sekit ar w ilayah Dist rik M indipt ana m encapai enam sam pai t ujuh jut a per ekornya. Jadi nilai 50 ekor babi set ara dengan 300-350

jut a. 229 RX King m erupakan salah sat u unggulan pabrikan m ot or merk Yam aha yang

nilainya m encapai dua puluh jut a rupiah.

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

kadang juga mint a Johnson 231 … yaa kalau dit ot al bisa jadi nilainya lebih besar dari 50 babi…”

(Xaverius M anom but , 51 t ahun) Tukon merupakan t anggung jaw ab laki-laki M uyu yang

akan menikah. M eski juga t idak menut up kem ungkinan pihak keluarga laki-laki M uyu ikut t urun t angan membant u.Karena berat nya beban t ukon, maka t ukon bisa dibayar secara langsung at aupun diangsur. Tukon ini menjadi t anggung jaw ab dan beban seumur hidup bagi laki-laki M uyu.

Tanggung jaw ab dalam t ukon ini berisiko, karena dapat berimbas pada kemat ian. M erupakan hal biasa dalam masyarakat Et nik M uyu, laki-laki yang t idak segera melunasi hut ang t ukonnya dit emukan meninggal. Set elah diusut , t ernyat a ada “ masalah” t ersebut , maka masyarakat sepert i mahfum, dan berakhir dengan diam, dan bahkan t idak ada dendam dari keluarga laki-laki t ersebut set elahnya.

Proses pembunuhan ini seringkali berlangsung diam- diam, t idak t erang-t erangan. Pembunuhan bisa dilakukan sendiri

at au seringkali menyew a pembunuh bayaran 232 . Keluarga perempuan yang melakukan pembunuhan sama-sekali t idak

memikirkan nasib ist ri dan anak-anak si t erbunuh, yang not abene merupakan keluarganya sendiri. Pasca pembunuhan, ist ri laki-laki M uyu yang t erbunuh t ersebut t et ap sebagai bagian dari marga suaminya.

230 Rum ah yang m em punyai nilai sosial t inggi bagi m asyarakat M uyu. Rum ah biasa t erbuat dari kayu at au papan, sedang rum ah bat u dibangun

m enggunakan sem en dan bat u bat a. 231 Johnson m erupakan salah sat u m erk m esin t em pel untuk speed boat.

Penyebut an merk Johnson merupakan hal lazim unt uk mesin t empel m erk apapun di sekit ar wilayah Dist rik M indipt ana. 232 Pembunuh bayaran m erupakan hal yang lazim dan m enjadi rahasia um um

bagi m asyarakat Suku M uyu. Hal ini dibahas lebih det ail pada bab 2.

Etnik Muyu, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua

Berdasarkan beberapa fakt a empiris t ersebut , dalam pandangan penelit i, t ukon juga bisa disamakan dengan proses “ pert ukaran” at au “ jual-beli” w anit a M uyu. Pihak keluarga laki- laki membeli perempuan M uyu dari keluarganya.

Prakt ek t ukon ini mirip dengan böw ö yang berlaku pada masyarakat Et nik Nias di Desa Hilifadölö, Kecamat an Lölöw a’u,

Kabupat en Nias Selat an; 233 “ …pest a pernikahan baru t erjadi jika ada babi sebanyak

öfa wulu w a öfa , yang berart i 40 ekor babi berukuran 4 alisi , uang t unai t idak dim int a t api diganti dengan firö sebanyak 25 firö, 1 buah em as, dan 8 zo’e beras (sekarang harga 1 alisi babi adalah 500 ribu, jadi t ot al harga babi adalah 80 jut a, 1 buah em as seharga 3 jut a, 1 zo’e beras = 20 kg = 200 ribu, unt uk beras t ot alnya 1 jut a 600 ribu dan unt uk firö, 1 firö = 40 ribu dengan t ot al 1 jut a…”

Pada masyarakat Et nik M anggarai di Desa Wae Codi juga t erjadi prakt ek serupa yang dinamai belis. Raflizar, dkk menuliskan bahw a;

“ Belis adalah m as kaw in yang berupa uang dan atau t ernak. Jumlahnya bisa mencapai rat usan jut a. Sebagai cont oh, ada w arga Wae Codi yang menikah dengan belis yang bila dirupiahkan sebesar Rp. 160 jut a. Belis t idak harus dilunasi pada saat perkaw inan. Tidak jarang belis

233 Helper Sahat P. M analu, Ida, Okt avianus Pangaribuan, Arif Krist ian Law olo, Lest ari Handayani, 2012. Buku Seri Etnografi Kesehat an Ibu dan Anak 2012,

Et nik Nias, Desa Hilifadölö, Kecamat an Lölöwa’u, Kabupat en Nias Selat an, Provinsi Sumat era Ut ara . Pusat Hum aniora, Kebijakan Kesehat an dan Pemberdayaan M asyarakat , Badan Penelit ian dan Pengembangan Kesehat an, Kement erian Kesehat an Republik Indonesia; Surabaya, 29-33

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

dilunasi beberapa t ahun kem udian set elah anak-anak

m ereka besar” 234 .

Prakt ek böw ö pada Et nik Nias dan belis pada Et nik M anggarai ini juga bisa disimpulkan sama at au mirip dengan prakt ek t ukon pada Et nik M uyu sebagai proses “ pembelian” . M eski bisa disimpulkan mirip, “ harga” perempuan Et nik M uyu jauh lebih fant ast is dibanding perempuan Et nik Nias at au Et nik M anggarai.

Laki-laki M uyu harus dapat menyediakan t ukon bila ingin mempunyai ist ri, bahkan ket urunan. Bila t idak mampu menyediakan, maka dalam seumur hidupnya laki-laki M uyu bisa t idak menikah sama sekali. Fakt a empiris lelaki lajang dalam keseluruhan hidupnya karena t idak mampu menyediakan t ukon ini dit egaskan Phillips Leonard Bonggo benar-benar ada dan berlaku bagi laki-laki M uyu.

Pada masa menjadi seorang ibu, perempuan M uyu memiliki nilai yang t inggi. “ Ibu adalah surga dan segala-galanya…” ujar Xaferius M anombut , 51 t ahun. Tingginya nilai perempuan M uyu sebagai seorang ibu t erut ama berlaku dalam suat u marganya sendiri.

M eski dua masa pada perempuan ini sama-sama bernilai t inggi, t et api memiliki dimensi nilai yang berbeda. Pada masa sebelum menikah perempuan lebih bernilai secara keekonomian bagi keluarganya, sedang pada masa set elah menikah perempuan M uyu lebih bernilai sebagai sesuat u yang dipuja dan dijaga kehormat annya.

234 Raflizar, Laras Aridhini, Clem ent ina M . Tagul, Gordiano S. Set yoadi, FX. Sri Sadew o, Tri Juni Angkasaw ati, Et nik M anggarai Desa Wae Codi, Kecamat an

Cibal, Kabupat en M anggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Surabaya: Pusat Hum aniora, kebijakan Kesehat an dan Pem berdayaan M asyarakat , Badan Penelit ian dan Pengem bangan Kesehat an, Kem enterian Kesehat an Republik Indonesia, 2013), 35-40.

Etnik Muyu, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua

Kalau t erjadi perceraian, si suami berhak mint a pembayaran kembali at as t ukonnya — dikecualikan kalau ada anak. Kalau dalam keadaan it u ia t et ap m int a pembayaran kembali, kerabat yang sah dari si ist ri akan m engambil anak-

anaknya 235 . Di samping it u, ket ika perempuan (ist ri) meninggal

dunia, maka (seolah-olah) menjadi kew ajiban bagi pihak laki-laki dan hak bagi pihak perempuan t erkait denda adat . Pihak perempuan akan memint a denda adat kepada pihak laki-laki, t erut ama suami. Denda adat , seringkali berupa hart a (uang dan babi) dalam jum lah yang bervariasi. Variat ifnya jumlah denda adat it u sangat bergant ung kepada kondisi si mayat (perempuan) selama hidup dan saat kemat iannya. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Hendrikus Kamben,

“ ...apabila si ist ri m eninggal, m aka suam i harus m enyediakan sejum lah denda adat yang akan dim int a oleh pihak perem puan. Jum lahnya

berbeda-beda t ergant ung kondisi si perem puan yang m eninggal. Apabila selam a hidupnya perem puan dianggap t idak bahagia, m aka jumlah denda adat yang dim int a oleh pihak perem puan punya keluarga akan sem akin besar.”

Seolah mengamini pernyat aan Hendrikus Kamben t ersebut , Florent ina Ambokt im, 40 t ahun, menam bahkan,

“ ...apabila kondisi m ayat perem puan nam pak hitam m ukanya, m aka pihak keluarganya akan m emint a seekor babi berw arna hit am sebagai dendanya. Sedangkan apabila kondisi m ayat perem puan t erlihat nam pak put ih, m aka denda yang dimint a berupa seekor babi berw arna put ih. Di sam ping denda berupa babi it u, juga (biasanya) sejum lah uang dim int a dan harus dibayarkan pula.

235 Schoorl, 1997. Kebudayaan dan Perubahan Suku M uyu, 75.

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Selam a denda it u belum dibayarkan dan ada di sam ping m ayat , m aka m ayat biasanya t idak boleh dikuburkan” .

Namun demikian, seiring berjalannya w akt u prakt ek denda adat at as kemat ian seorang ist ri t ersebut t idaklah diprakt ekkan oleh keseluruhan masyarakat M uyu. Hal ini karena dalam kondisi saat ini, sebagian di ant ara mereka t idak lagi memprakt ekkan budaya t ersebut . Demikian juga keket at an dan kekakuan prakt ek pembayarannya. Phillip Leonard Bunggo mengat akan,

“ …dulu m em ang ada prakt ek m em int a denda adat atas kem at ian seorang ist ri (perem puan) oleh pihak keluarga perem puan kepada pihak laki-laki, t erut am a suam i. Hanya saja, saat ini t idak banyak lagi dilakukan oleh m asyarakat M uyu. Demikian juga dengan praktek pem bayarannya. Apabila t erjadi perm int aan denda adat t ersebut , pem bayaran denda adat boleh dinegosiasikan, sehingga pem akam an m ayat t idak lagi harus m enunggu pem bayaran denda adat t ersebut.”

5.8. “M elaw an” Tradisi?

Bagi kebanyakan perempuan Et nik M uyu, melahirkan di bévak seringkali merupakan sat u-sat unya pilihan saat dihadapkan dengan masalah t ransport asi dan at au w akt u persalinan yang t idak mengunt ungkan. Sepert i yang t erjadi pada Suzana Biyarob (31 t ahun), perempuan M uyu ini sebenarnya bersedia unt uk melahirkan di Rumah Sakit Bergerak, hanya saja w akt unya t idak pas, si jabang bayi keburu lahir saat malam, saat Rumah Sakit Bergerak masih t ut up. M aka pilihannya hanya melakukan persalinan di bévak, bukan di rumah!

M endengar pengakuan dan mengamat i apa yang t erjadi di lapangan pada masyarakat Et nik M uyu, t erlihat bahw a

Etnik Muyu, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua

sebagian besar dari mereka, t erut ama yang hidup di sekit ar Puskesmas dan Rumah Sakit Bergerak, sudah mempunyai kecenderungan unt uk memanfaat kan pelayanan kesehat an modern. Apalagi akses pembiayaan unt uk mendapat kan pelayanan kebidanan t ersebut t elah t erbuka sangat lebar, semuanya dit anggung oleh Pemerint ah.

M eski demikian, penelit i merasakan masih t erdapat kepercayaan yang kuat t erhadap pengaruh ìpt èm perempuan M uyu yang sedang bersalin. Fakt a empiris memang menunjukkan bahw a perempuan Et nik M uyu yang t inggal di “ perkot aan” Kampung M indipt ana sebagian besar sudah melakukan persalinan di fasilit as pelayanan kesehat an. Bahkan mereka melakukannya lebih baik daripada perempuan-perempuan di Jaw a, mereka melakukan persalinannya t idak di rumah, t et api di rumah sakit . Realit asnya memang t erjadi peningkat an persalinan di Rumah Sakit Bergerak. Tet api just ru fakt a empiris inilah yang menjadi dasar pert imbangan penelit i, bahw a m asyarakat Et nik M uyu masih sangat

mempercayai pengaruh “ kot or” nya perempuan yang sedang bersalin.

Tingginya keyakinan masyarakat Et nik M uyu bahw a darah persalinan bisa membaw a pengaruh buruk.

Alasan perempuan Et nik M uyu melakukan persalinan di Rumah Sakit adalah “ asal” bersalin di luar rumah. Dalam melakukan persalinan, pilihan t empat bagi perempuan Et nik M uyu adalah di bévak; at au Puskesmas;at au rumah sakit ; at au dimanapun; asal t idak di dalam rumah! Se-modern apapun pemikiran mereka, t et ap saja kesan mendalam bahw a perempuan it u “ kot or” saat bersalin masih melekat erat . Bagaimanapun mereka t elah rat usan t ahun hidup dengan keyakinannya t ersebut , keyakinan bahw a ìpt èm (supernat ural) perempuan M uyu yang sedang “ kot or” ini diyakini bisa mengakibat kan banyak hal buruk, t erut ama bagi laki-laki.

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Kesakt ian laki-laki M uyu bisa lunt ur, w aruk yang dimilikinya bisa t idak mempan, t idak memiliki daya kesakt ian lagi.

at as keyakinan masyarakat M uyu ini set idaknya dikuat kan oleh fakt a empiris yang diungkapkan Dokt er Yohannes Indra (29 t ahun). Dokt er PTT asal Bandung yang dit ugaskan di Rumah Sakit Bergerak ini menyat akan bahw a;

Pernyat aan

kesimpulan

penelit i

“ ...aw alnya saya heran pak, kenapa baju-baju ibu bersalin di sini dikum pulkan, t et api bukan unt uk dicuci. Sem uanya... baik baju-baju m aupun kain yang sudah t erkena darah persalinan dim asukkan dalam sat u plast ik... kat anya m au dibakar sem ua... karena t idak boleh dipakai lagi... baw a penyakit ...”

Fakt a empiris lainnya juga diungkapkan oleh Adolfia Tepu (44 t ahun). Bidan Koordinat or Program Kesehat an Ibu dan Anak yang t elah 28 t ahun bert ugas di Puskesmas M indipt ana ini menyat akan bahw a;

“ Iya pak... m ereka it u kalo m elahirkan di sini (Puskesm as), suaminya ga ada yang menunggui ist rinya. Biasanya ibunya at au saudaranya yang perem puan it u yang

biasanya hanya m engant ar saja, m elihat dari jauh, ga ada yang mau m asuk...”

m enem ani,

yang

laki-laki

Pada kondisi dem ikian, meski t erlihat masih sangat t inggi kepercayaan pada buruknya ìpt èm perempuan M uyu yang sedang bersalin, t et api just ru penelit i melihat peluang yang cukup baik bagi Pemerint ah (Dinas Kesehat an Boven Digoel dan at au Kement erian Kesehat an Republik Indonesia) unt uk “ melaw an” t radisi pada posisi ini. Karena kepercayaan yang mereka yakini t ersebut pada akhirnya dapat membuat akses persalinan ke pelayanan kesehat an menjadi lebih baik.

Etnik Muyu, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua

Pemerint ah hanya harus lebih siap menyediakan akses fasilit as t empat persalinan yang lebih baik, lebih banyak, dan lebih t ersebar sampai ke seluruh daerah pemukiman masyarakat M uyu di Dist rik lain di w ilayah Ut ara.

Peluang pada Et nik M uyu ini t erlihat sangat menarik dan t erlihat lebih memungkinkan unt uk diint ervensi. Hal ini berbeda dengan t emuan Agung Dw i Laksono, dkk., pada Et nik M adura di

Kabupat en Sampang, Propinsi Jaw a Timur 236 . Dilaporkan bahw a, masyarakat M adura di Sampang masih sangat m inded t erhadap

pelayanan dukun bayi. Tercat at ada 518 dukun bayi di Kabupat en Sampang, lebih dari dua kali lipat bidan yang hanya ada 207 orang. Bert olak belakang dengan masyarakat Et nik M uyu yang berkeyakinan “ harus” melahirkan di luar rum ah, masyarakat Et nik M adura just ru lebih senang melahirkan di dalam rumah, sehingga pet ugas kesehat an lebih sering menyerah bila dimint a membaw a perempuan M adura bersalin di fasilit as pelayanan kesehat an. Jalan t engah yang diambil adalah pelayanan dilakukan oleh t enaga kesehat an, meski t idak di fasilit as pelayanan kesehat an.

236 Agung Dw i Laksono, dkk., 2014. Posit ioning Dukun Bayi. St udi Kasus Upaya Penurunan Kematian Ibu di Kabupat en Sampang . Yogjakart a; Kanisius. 1-22.

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014