Tana Barambon Ambip

5.1. Tana Barambon Ambip

M enurut Phillips Leonard Bonggo (64 t ahun), pada saat akan bersalin seorang perempuan M uyu harus keluar dari rumah induk, harus diasingkan. Suaminya akan membuat kan sebuah pondok kecil berjarak 10-20 met er dari rumah induk bila t anah di lingkungan rumahnya t idak rat a at au bahkan dekat jurang, dan jarak ini semakin jauh, bisa berjarak sampai dengan 50 met er, bila t anah lingkungannya cenderung dat aran. Pondok kecil inilah yang dinamai t ana baram bon am bip.

Tana barambon ambip t erdiri dari t iga suku kat a dalam Bahasa M uyu yang mempunyai art i; t ana = anak; barambon = t empat ; am bip = rumah. Secara harfiah diart ikan sebagai “ rumah t empat unt uk melahirkan seorang anak” . Art i yang sederhana dan net ral.

Tana barambon am bip ini berukuran cukup kecil, 2 met er x 2 met er, karena memang hanya disediakan unt uk ibu yang hendak melahirkan dan bayinya sampai dengan t ali pusarnya

put us pasca persalinan 208 . M enurut Adolfia Tepu (44 t ahun), pondok kecil ini dibuat secara sederhana dengan dinding dan

at ap dari daun rumbia. Bila di rumah induk t ersedia papan, maka bisa saja dinding pondok kecil unt uk bersalin ini dibuat dari papan.

Adolfia Tepu menambahkan bahw a pondok yang dibuat khusus unt uk persalinan ini diisi kayu bakar dan beberapa bahan

208 Dalam Etnik Jaw a put usnya t ali pusar ini biasa disebut sebagai pupak puser.

Etnik Muyu, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua

makanan unt uk keperluan si ibu dan jabang bayi. Pernyat aan ini dibenarkan oleh Pamijaya Wangbon (37 t ahun);

“ …kayu bakar biasanya disediakan unt uk m encegah ibu dan bayinya biar t idak kedinginan pak. Sedangkan untuk m akanannya t idak m ut lak harus ada, karena ada kem ungkinan t idak disediakan, t et api dikirim dari rumah induk oleh saudara perem puan at au ibu dari perem puan yang bersalin…”

Seringkali t ana barambon ambip dibangun langsung di at as t anah, t anpa lant ai. Unt uk persiapan persalinan, lant ai t anah pondok biasanya dilapisi dengan daun pisang, kemudian kain, dan t erakhir plast ik.

“ Beberapa yang lain ada yang dibuat kan lubang khusus unt uk bersalin pak. M aksudnya set elah persalinan kan ada banyak kot or-kot or dan darah, nah… set elah selesai lubang yang berisi darah dan kot oran it u bisa langsung dit im bun dengan t anah…” (Adolfia Tepu, 44 t ahun)

Tana barambon am bip yang digambarkan t ersebut adalah yang secara umum diket ahui, biasa disediakan oleh laki-laki M uyu saat ist rinya akan melakukan persalinan. Tapi fakt a empiris di lapangan menunjukkan banyak sekali variasi, t erut ama unt uk bahan pembangun t ana barambon ambip. Karena seringkali bergant ung pada bahan-bahan yang ada, yang saat it u t ersedia di sekit ar rumah.

M eski sebenarnya t ana baram bon am bip memiliki makna yang sederhana dan net ral, t et api dalam realit asnya merupakan sebuah rumah pengasingan bagi perempuan-perempuan Et nik M uyu. Pengasingan yang berlaku t idak hanya pada saat bersalin dan beberapa hari saat pasca persalinan saja, t et api juga pada

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

saat perempuan Et nik M uyu sedang mendapat t amu rut in bulanannya.

Pada saat sedang bersalin dan at au menst ruasi, diyakini oleh masyarakat Et nik M uyu bahw a perempuan membaw a haw a supernat ural yang kurang baik, yang dalam Bahasa M uyu biasa disebut sebagai ipt ém . Ipt ém perempuan yang dipercaya sedang membaw a haw a “ kot or” ini diyakini bisa mengakibat kan hal-hal buruk bagi orang-orang di sekit arnya, t erut ama bagi kaum laki- laki. Kesakt ian laki-laki Et nik M uyu bisa lunt ur, w aruk (mant ra- mant ra kesakt ian) yang dimilikinya bisa m elem pem , t idak memiliki daya kesakt ian lagi.

209 Dalam cat at an Schoorl bahkan menyebut kan bahw a masyarakat Et nik M uyu juga berkeyakinan bahw a ìpt ém

perempuan yang sedang bersalin at au menst ruasi bila berada di sekit ar orang yang sedang berjualan, bisa membuat barang dagangan menjadi t idak laku dijual; bila perempuan it u berada di rumah seorang pemburu, maka w aruk (kesakt ian) berburunya melemah, dan bahkan bisa hilang; bila berada dalam rumah, bisa membuat seluruh isi rumah menjadi jat uh sakit (hosa/ sesak nafas, TBC, radang sendi, bat uk), dan bahkan bisa menyebabkan kemat ian.

Dalam sebuah penelit ian pada masyarakat Et nik Tow e Hit am di Kecamat an Web, Kabupat en Jayapura, Djoht 210

melaporkan bahw a “ kot or” nya darah pada proses persalinan perempuan dipercaya bisa membaw a sial bagi laki-laki Tow e Hit am;

“ Pola m elahirkan sepert i ini diprakt ekkan oleh semua perem puan ham il yang ada di kam pung Tow e. Ada suat u kepercayaan pada darah perem puan yang dianggap

209 Schoorl, 1997. Kebudayaan dan Perubahan Suku. 210 210 Djekky R., Djoht , 2003. Tow e, M asyarakat yang Ham pir Punah. 13-26

Etnik Muyu, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua

sangat kot or dan bisa m em buat kekuat an laki-laki m elem ah sehingga t idak bisa m encari m akan, oleh karena it u perem puan pada saat m elahirkan harus diasingkan dari kam pung karena darahnya akibat m elahirkan bisa m em baw a sial pada laki-laki. Ket ika sang ibu sudah m elahirkan dan pulang ke kam pung ia dilarang m enyent uh barang-barang mem asak dan t idak boleh m em asak karena ia m asih dianggap kot or. Set elah infeksi akibat m elahirkan m engering baru ia bisa diijinkan m em asak unt uk keluarganya.”

Aan Kurniaw an, dkk., dalam sebuah riset et nografi kesehat an mencat at kepercayaan yang sama t ent ang “ kot or" nya perempuan saat mengalami menst ruasi at au sedang bersalin, yang berlaku pada masyarakat Et nik Ngalum di Oksibil, ibukot a Kabupat en Pegunungan Bint ang. Dalam kepercayaan orang Et nik Ngalum, seorang perempuan yang sedang dalam masa kew anit aannya dipercaya membaw a suat u jenis penyakit yang berbahaya bagi anggot a keluarga yang lain. Oleh karena it u, dalam masa-masa it u mereka harus memisahkan diri dari

keluarga mereka 211 . Dalam riset et nografi kesehat an yang dilakukan pada

t ahun 2012 t ersebut masyarakat Et nik Ngalum – yang berbat asan secara langsung dengan Et nik M uyu di sebelah Ut ara – juga dilaporkan melakukan rit ual prakt ek yang mirip dengan masyarakat Et nik M uyu dalam hal mengasingkan perempuan yang sedang mengalami menst ruasi dan/ at au mengalami persalinan. Tana baram bon am bip versi masyarakat Et nik Ngalum t ersebut diberi nama sukam ;

“ Seorang ibu suku Ngalum yang akan m elahirkan t idak diperbolehkan m elahirkan anaknya di rum ah sendiri.

211 Aan Kurniaw an, dkk. 2012. Buku Seri Etnografi Kesehatan, 79-80

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Secara adat ia harus m elahirkan anaknya di dalam sebuah rum ah khusus yang disebut sukam. Sukam adalah rum ah khusus perem puan. Secara khusus rumah ini diperunt ukkan bagi kaum perem puan ketika m ereka sedang berada dalam m asa kew anit aan m ereka, sepert i pada saat m enst ruasi dan beberapa hari set elah m elahirkan... Rum ah khusus ini dibangun t idak jauh dari rum ah induk (abip), biasanya hanya beberapa m et er jauhnya. Kaum laki-lakilah yang m em bangun rum ah ini. Bent uk bangunannya t idak berbeda jauh dari bent uk rum ah ut am a, hanya ukurannya lebih kecil. Biasanya sebuah sukam berukuran kurang lebih 2 x 2 m et er. Tidak sem ua keluarga dalam sat u rum pun iw ol m emiliki sukam . Biasanya sebuah sukam dibangun unt uk m em enuhi kebut uhan sebuah keluarga besar 212 .”