Analisa Dampak Kebijakan Liberalisasi Perdagangan ASEAN-China

65 komposisi produk, distribusi pasar dan dayasaing terhadap ekspor produk pertanian di kawasan ASEAN. Menggunakan metode analisis Constant Market Share CMS, studi ini menyimpulkan bahwa 1 pertumbuhan ekspor Indonesia di kawasan ASEAN selama periode 1997-1999 adalah tertinggi di kawasan ASEAN, bahkan lebih tinggi daripada pertumbuhan ekspor dunia ke kawasan yang sama, tetapi selama periode 1999-2001 menurun dan lebih rendah dibandingkan Thailand, Filipina dan dunia; 2 komposisi produk ekspor Indonesia adalah yang terbaik diantara negara-negara ASEAN, walaupun melemah pada periode 1999-2001; 3 distribusi pangsa ekspor Indonesia pada periode 1997-1999 hanya kalah dari Singapura, tetapi pada periode 1999-2001 melemah dan kalah dari Singapura dan Vietnam; dan 4 dayasaing ekspor Indonesia pada periode 1997-1999 paling kuat diantara negara ASEAN, tetapi periode 1999-2001 melemah dan kalah dari Filipina dan Thailand.

3.4.2. Analisa Dampak Kebijakan Liberalisasi Perdagangan ASEAN-China

Beberapa studi yang menganalisis dampak kebijakan perdagangan bebas ASEAN-China berdasarkan pendekatan CGE menghasilkan temuan-temuan yang bervariasi. Ma dan Wang 2002 menggunakan model CGE recursive dynamic dengan database GTAP versi 5 yang diagregasi menjadi 18 region dan 26 sektor. Simulasi dilakukan atas empat skenario kebijakan, yaitu: 1 pembentukan FTA ChinaHongkong-ASEAN, 2 FTA Jepang-ASEAN, 3 FTA ASEAN-3 Jepang, China dan Korea Selatan, 4 FTA ASEAN-3 dengan Amerika Serikat. Skenario dasar yang digunakan adalah keanggotaan China dan Taiwan di WTO selama waktu transisi 1998-2012. Dampak ekonomi yang dilihat berdasarkan akumulasi pertumbuhan PDRB riil, persentase perubahan kesejahteraan yang diukur dengan equivalen variation EV, dan perubahan nilai ekspor. Hasil simulasi dengan skenario FTA ASEAN-China menunjukkan peningkatan GDP riil semua negara ASEAN dan China. Peningkatan GDP terbesar diperoleh Singapura 4 persen, diikuti Thailand dan Indonesia 0,7 persen. Ekspor China ke ASEAN meningkat 7 persen. Lee, et all 2004 melakukan penelitian mengenai implikasi perjanjian perdagangan bebas di Asia Timur dalam kaitannya dengan kemajuan ekonomi 66 China. Penelitian ini menggunakan model LINGKAGE, sebuah model CGE global dinamis yang dikembangkan oleh Mensbrugghe 2003. Database yang digunakan adalah GTAP versi 5,2 dengan agregasi 9 region dan 18 sektor. Penelitian ini melakukan simulasi dengan tujuh skenario kebijakan, yaitu: 1 Liberalisasi perdagangan China secara unilateral, 2 FTA ASEAN-China, 3 FTA ASEAN-Jepang; 4 FTA ASEAN+3, 5 FTA ASEAN-China-UE, 6 FTA China-Jepang-USA, dan 7 Liberalisasi perdagangan global. Hasil simulasi dengan skenario FTA ASEAN-China, yang didasarkan pada nilai Equivalent Variation EV menunjukkan bahwa pada tahun 2015 kesejahteraan negara-negara ASEAN-6 akan bertambah besar US 26,0 milyar 2,5 persen. Sedangkan kesejahteraan China dan Hong Kong bertambah sebesar US 34,8 milyar 1,4 persen dari skenario dasar. Bagi negara-negara di luar ASEAN dan China, FTA tersebut menimbulkan dampak kesejahteraan yang relatif lebih kecil 0,2 persen. ASEAN-China Working Group on Cooperation 2001, melakukan studi mengenai dampak ekonomi FTA ASEAN-China dengan menggunakan model standar GTAP versi 4 dengan agregasi 10 region dan 10 sektor komoditi. Berdasarkan hasil studi ini, diperkirakan pasar bebas ASEAN-China akan memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Ekspor ASEAN ke China akan meningkat sebesar 48 persen, sebaliknya ekspor China ke ASEAN bertambah 55,1 persen. PDB riil ASEAN akan bertambah sebesar US 5,4 milyar 0,9 prsen, sedangkan PDB riil China akan naik US 2,2 milyar 0,3 persen. Kenaikan PDB riil terbesar akan diperoleh Vietnam 2,15 persen, sedangkan Indonesia 1,12 persen sedikit lebih rendah dari Malaysia 1,17 persen. Chirathivat2002 mengembangkan sebuah model CGE berdasarkan model standar GTAP yang disebut CAMGEM Chulalongkom and Monash General Equilibrium Model untuk meneliti implikasi FTA ASEAN-China. Penelitian ini menggunakan database GTAP versi 4 dengan agregasi 45 x 50 untuk mensimulasikan dua sknario kebijakan, yaitu : 1 penghapusan tarif perdagangan, dan 2 penghapusan hambatan non-tarif di negara-negara ASEAN dan China. Dampak ekonomi dihitung berdasarkan persentase perubahan PDB riil dan perubahan tingkat kesejahteraan yang diukur dengan menggunkan equivalent variation. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa liberalisasi tarif akan 67 meningkatkan PDB riil ASEAN-6 dan China sebesar 0,4 persen. ASEAN memperoleh kesejahteraan EV sebesar US 2.986,2 milyar, sedangkan China memperoleh US 1 787,1 milyar. Namun dengan penghapusan hambatan non- tarif maka keuntungan yang diperoleh akan lebih besar baik bagi ASEAN maupun China. Kenaikan PDB riil ASEAN-6 bertambah menjadi 1,4 persen dan China naik sebesar 2,3 persen. Kesejahteraan ASEAN-6 meningkat sebesar US 11.639,5 milyar, sedangkan China memperoleh tambahan kesejahteraan sebesar US 11.858,2 milyar. Hal ini menunjukkan bahwa penghapusan non-tarif sangat penting artinya dalam liberalisasi perdagangan ASEAN-China. Secara khusus studi mengenai implikasi ACFTA terhadap perekonomian Indonesia dikaji oleh Wibowo 2009, Tambunan 2009 dan Ibrahim, et al., 2010, Octaviani et al 2010 dan Hartono, et al., 2007. Meski dengan penekanan yang berbeda-beda berbagai studi ini berdasarkan model analsis CGE Global menghasilkan kesimpulan yang serupa bahwa pelaksanaan ASEAN-China FTA akan menguntungkan perekonomian Indonesia dan negara ASEAN lainnya termasuk China. Wibowo 2009 dalam studinya yang berjudul dampak perdagangan bebas ASEAN-China terhadap kinerja ekonomi Indonesia khususnya sektor pertanian dan kehutanan. Studi ini menggunakan model dan database GTAP versi-6 yang telah dimodifikasi menjadi model keseimbangan jangka panjang dan menggunakan beberapa skenario kebijakan untuk memperkirakan dampak ACFTA terhadap kinerja ekonomi Indonesia, khususnya sektor pertanian dan kehutanan. Hasil simulasi menunjukkan bahwa “program early harvest” di mana hanya sektor pertanian dan kehutanan yang diliberalisasi diperkirakan akan meningkatkan GDP riil Indonesia sebesar 0,16 persen dan total nilai perdagangan ekspor dan impor sebesar 0,24 persen. Sedangkan pelaksanaan ACFTA secara penuh akan berdampak posiif yang lebih besar terhadap perekonomian Indonesia yakni 1,29 persen. Ibrahim 2010 menganalisis dampak implementasi kerjasama perdagangan bebas ASEAN-China terhadap perdagangan ekspor Indonesia, dengan menggunakan model GTAP. Studi ini menemukan bahwa implementasi ACFTA memberikan peluang bagi peningkatan ekspor Indonesia. Dari hasil model GTAP, 68 secara keseluruhan Indonesia mempunyai net trade creation sebesar 2 yang bersumber dari dampak trade creation dari anggota ACFTA 10,3 dan trade diversion dengan mitra dagang ROW sebesar -1,5. Meskipun perjanjian kerjasama ACFTA berdampak negatif terhadap penurunan neraca perdagangan Indonesia secara keseluruhan sebesar 2,3, hasil analisis lebih lanjut terhadap komoditas ekspor internasional tradable menunjukkan dampak positif sebesar 0,5. Dari sisi ekspor, komoditas dari Indonesia berpeluang meningkat 2,1 terutama bersumber dari peningkatan ekspor ke Cina. Peluang perluasan pasar ke Cina didukung oleh karakteristik komoditas ekspor Indonesia dan negara ASEAN lainnya yang mempunyai derajat persaingan yang relatif rendah. Dengan demikian, barang-barang ekspor dari Indonesia dan ASEAN pada umumnya lebih mudah dapat melakukan ekspansi. Hasil analisis indikator IES dan IEO dalam dua periode pengamatan menghasilkan kesimpulan bahwa, derajat intensitas kompestisi barang ekspor Indonesia ke kawasan ACFTA secara bilateral dengan masing-masing negara ASEAN menurun. Kesimpulan tersebut di dukung juga dengan derajat homogenitas komoditas ekspor ke ACFTA yang lebih rendah dibandingkan ekspor keseluruhan ke pasar dunia. Dengan tingkat homogenitas barang ekspor yang lebih rendah, tingkat persaingan dengan sesama negara ASEAN ke pasar Cina relatif berkurang. Namun demikian, ekspor Indonesia menghadapi tantangan baru dengan masuknya barang-barang impor Cina dikawasan ASEAN. Mitra dagang Indonesia dari kawasan ASEAN yang selama ini terjalin berpotensi mengalami penurunan. Dari hasil model GTAP, diperoleh perkiraan ekspor negara ASEAN ke kawasan ASEAN mengalami penurunan 4,9, termasuk penuruan ekspor indonesia sebesar 4,4. Disisi lain ekspor Cina ke ASEAN mengalami peningkatan 50,5. Hasil penelitian paper ini menunjukkan bahwa komoditas barang ekspor Cina dan negara ASEAN cenderung menunjukkan arah yang berkurang tingkat persamaan komoditasnya. Hal ini sejalan dengan perkembangan ekspor barang dari Cina yang bergerak ke arah ekspor barang industri. Dari hasil pengujian sprearman rank correlation atas indikator RCA secara umum menunjukkan hubungan yang lebih bersifat komplementer antara barang ekspor Cina dengan negara ASEAN. 69 Octaviani et al 2010 menganalisis dampak FTA ASEAN-China terhadap makroekonomi dan ekonomi sektoral Indonesia. Studi ini menggunakan model dan database GTAP7 dengan skenario menghapus tarif impor ASEAN dan China menjadi 0 persen untuk semua komoditi perdagangan ASEAN-China untuk melihat dampaknya terhadap berbagai variabel makroekonomi. Studi ini menemukan bahwa dengan penghapusan tarif perdagangan ASEAN-China akan memberikan dampak makro dan sektoral di Indonesia. ACFTA akan memberikan dampak terhadap berbagai variabel makroekonomi Indonesia seperti peningkatan kesejahteraan, GDP riil, GDP deflator, konsumsi pemerintah danswasta, investasi, term of trade, volume dan harga investasi namun menyebabkan neraca perdagangaan yang negatif. Selain itu ACFTA juga akan berdampak secara sektoral di Indonesia. ACFTA akan meningkatkan output komoditas tertentu yang hal ini sejalan dengan peningkatan ekspor dan kesempatan kerja. Komoditas yang mengalami penurunan output, kecenderungannya ekspor maupun kesempatan kerja juga mengalami penurunan. Hartono, et al., 2007 mengkaji integrasi ekonomi regional dengan beberapa area perdagangan bebas termasuk ACFTA dan dampaknya terhadap pertumbuhan, kemiskinan dan distribusi pendapatan di Indonesia. Dengan menggunakan CGE Global berdasarkan database GTAP 6.0. Secara umum ditemukan bahwa Indonesia memperoleh keuntungan dalam hal GDP riil, output, dan kesejahteraan, kecuali FTA dengan India. Berbagai FTA juga meningkatkan pendapatan kelompok rumahtangga pedesaan rural group yang lebih tinggi dibandingkan kelompok rumahtangga perkotaan urban group.

3.5. Hipotesis Penelitian