indikator pansa pasar market shar, indeks spesialisasi perdagngan ISP dan indeks komplemener perdagangan IKP. Selain itu studi ini juga melihat
dampak peningkatan TFP pertanian terhadap dayasaing komoditi pertanian tersebut di pasar global. Dampak peningkatan TFP terhadap indikator
dayasaing di pasar global juga dipandang sebagai salah satu kebaruan daristudi ini. Berbagai studi komparasi dayasaing antarnegara ASEAN dan
China sebelumnya seperti Tongzon 2005, Hadi dan Mardianto 2004, Tambunan 2009 dan Ibrahim 2010, kesemuanya hanya menggunakan
pendekatan indikator dayasaing dari sisi demand, yakni indikator seperti the world market shares index
XCI, Constant Market Share CMS, revealed competitive advantage index
RCA, Index of Export Overlap IEO. 3. Dari segi metodologi, studi ini juga yang pertama mempertimbangkan
produktivitas faktor pertanian dan transmisi harga internasional ke pasar domestik ke dalam persamaan CGE dalam menganalisis implikasi
kesepakatan ACFTA terhadap perekonomian negara-negara ASEAN-5 dan China serta terhadap perekonomian pedesaan di Indonesia. Menurut
Valenzuela 2007 bahwa model CGE seperti halnya GTAP standar mengasumsikan adanya transmisi harga yang sempurna antara pasar global
dengan pasar domestik, sementara Conforti 2004 menyebutkan bahwa ketidak sempurnaan transmisi harga selalu muncul yang disebabkan oleh
faktor-faktor seperti biaya transaksi, struktur pasar, perubahan dalam nilai tukar exchange rates dan faktor lainnya. Bahkan Nicita 2005
menyebutkan bahwa perbedaan transmisi harga antarnegara, maupun antarregion dalam satu negara merupakan salah satu sebab perbedaan dampak
liberalisasi antarregion. Karena itu, menganalisis ketidaksempurnaan transmisi harga internasional ke pasar domestik, dan mempertimbangkannya
ke dalam model CGE di pandang sebagai salah satu aspek kebaruan dalam studi ini.
1.6. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Ruang lingkup analisis dalam penelitian ini adalah multinasional, khususnya pada enam negara yang menjadi fokus kajian yakni China dan lima
negara anggota ASEAN ASEAN-5 yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, Philipina, Thailand dan Singapura, sedangkan negara anggota ASEAN lainnya
diagregasi kedalam rest of the ASEAN, dan negara-negara di luar ASEAN dan China digabungkan ke dalam Rest of the World. Alasan yang mendasari terhadap
cakupan wilayah kajian yang fokus pada enam negara, karena dalam implementasi kerangka kesepakatan ACFTA, yang mulai diberlakukan pada tahun
2010 dibatasi hanya pada negara China dan enam anggota lama ASEAN yakni ASEAN-5 plus Brunei Darulsalam. Negara Brunei Darulsalam tidak dijadikan
fokus kajian, selain karena berada di luar keanggotaan ASEAN-5, juga karena ciri perekonomiannya tidak berbasis pertanian. Selanjutnya dalam studi ini, sektor
yang dikaji akan diagregasi menjadi duabelas sektor, sembilan diantranya merupakan kelompok pertanian primer ditambah sektor pertanian olahan dan
sektor non pertanian. Selanjutnya, aspek yang dikaji difokuskan pada tiga poin yakni mengkomparasi dayasaing komoditi pertanian di masing-masing negara
yang dikaji, menganalisis transmisi harga komoditi serta menganalisis dampak liberalisasi terhadap berbagai variabel makroekonomi dan mikroekonomi di
Indonesia. Dampak makroekonomi yang dimaksud meliputi variabel GDP, ekspor, impor, dan neraca perdagangan. Sedangkan variabel mikro mencakup
pendapatan rumah tangga perdesaan dan rumah tangga perkotaan. Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini terutama bersumber dari hal-
hal seperti model analisis yang digunakan, jenis dan sumber data yang digunakan, variabel yang digunakan serta sistem pengklasifikasian data agregasi dan
disagregasi data. Sumber-sumber keterbatasan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut :
1. Keterbatasan Pemodelan : Studi ini mengunakan tiga pemodelan utama
yakni model analisis daysaing komoditi berdasarkan indikator Total Factor Productivity
TFP, model persamaan Autoregressive Distributed Lag, atau yang dikenal sebagai model Revallion untuk mengukur trasmisi harga dan
model CGE untuk menganalisis dampak ACFTA terhadap perekonomian perdesaan. Keterbatasan dalam model analisis transmisi harga, karena
idealnya transmisi harga internasional yang dianalisis hingga ke harga pedesaan, namun karena keterbatasan data dan kerumitan dalam
mengintegrasikan ke dalam model CGE, sehingga transmisi harga yang dianalisis hanya pada tingkat produsen di pasar domestik. Model CGE
sendiri memiliki keterbatasan terutama mengenai asumsi Armington dan asumsi persaingan sempurna perfect competition. Asumsi Armington yang
mengatakan bahwa semua negara memiliki kekuatan pasar sehingga dapat mengatur arus perdagannya. Asumsi ini kurang realistis terutama bagi
negara kecil, seperti beberapa negara ASEAN Wibowo, 2009. Selanjutnya, asumsi CGE yang mengatakan bahwa semua pasar akan beroperasi secara
sempurna, juga kurang realistis. Untuk sektor pertanian, beberapa negara masih memberlakukan subsidi bagi produsen, sehingga harga pasar tidak
mencerminkan permintaan dan penawaran secara tepat. Selain itu, dalam pasar domestik, beberapa komoditi juga memiliki struktur pasar yang tidak
kompetitif, seperti halnya adanya intervensi pemerintah dalam mengatur distribusi beras di pasar domestik di Indonesia, sehingga dapat mengganggu
transmisi harga beras dari pasar dunia ke harga produsen beras di pedesaan Indonesia.
2. Jenis dan Sumber Data : Keseluruhan jenis data yang di gunakan dalam
penelitian adalah jenis data skunder, seperti database GTP 8, Social Accounting Matriks
SAM, dan beberapa publikasi resmi dari BPS, Sekertariat ASEAN, World Bank, IMF, FAO, dan institusi lainnya yang
relavan. Kelemahan utama dari jenis data sekunder tersebut, karena banyaknya data yang bersifat agregasi, sehingga beberapa komoditi atau
variabel tidak dapat dianalisis secara sepesifk. 3.
Sistem klasifikasi agregasi dan disagregasi data : Terkait dengan ketersediaan data yang akan digunakan serta untuk penyederhanaan analisis,
maka studi akan melakukan sistem agregasi dan disgaregasi data. Pengelompokan jenis data komoditi yang akan dianalisis dalam studi ini
akan disesuaikan dengan sistem agregasi data yang tersedia pada database GTAP 8. Klasifikasi rumahtangga yang dianalisis akan disesuaikan dengan
klasifikasi rumah tangga dalam data Sistem Neraca Sosial Ekonomi SNSE Indonesia. Sedangkan dalam mengkomparasi dayasaing komoditi peranian
masing-masing negara menghadapi ACFTA, maka negara akan
didisagregasi menjadi enam negara masing-masing China, Indonesia, Malaysia, Philipina, Thailand dan Singapura, selebihnya diagregasi menjadi
ASEAN lainnya dan rest of the world, ini dilakukan untuk tujuan penyederhanaan. Konsekuensinya komparasi dayasaing komoditi Indonesia
terhadap seluruh negara-negara ASEAN secara sendiri-sendiri dan terhadap negara pesaing lainnya di luar ASEAN tidak dapat dilakukan.
II. TINJAUAN PUSTAKA