19 Sebaliknya kalangan ekonom yang menentang perdagangan bebas regional
Bhagwati and Krueger, 1995; Panagariya, 1999 berpandangan bahwa RTAs akan menghambat proses liberalisasi perdagangan multilateral, sebab di satu sisi
memberikan keleluasaan akses pasar bagi negara anggota, tetapi di lain pihak memproteksi pasar bagi negara-negara di luar anggota RTAs. Bhagwati 1995
menjelaskan lebih lanjut bahwa pembentukan Preferential Trade Area PTA akan menimbulkan efek
“spaghetti bowl”, yakni sebuah efek yang akan merancukan atau menyulitkan dalam menentukan asal usul barang rules of
origin yang berhak memperoleh konsesi tarif sesuai kesepakatan PTA.
Selanjutnyan Bhagwati dan Panagariya 1996 berpendapat bahwa pembentukan Preferential Tariff Area
antara sebuah ekonomi besar dengan ekonomi negara- negara berkembang hegemonic-centered seperti NAFTA North America Free
Trade Area bertentangan dengan sistem perdagangan bebas multilateral sebab
perbedaan tingkat ekonomi dan standar tenaga kerja diantara mereka akan menciptakan perdagangan yang tidak seimbang unfair Trade. PTA akan lebih
sesuai dengan sistem perdagangan global apabila dibentuk diantara sesama negara berkembang non-hegemonic-centered yang memiliki tingkat pembangunan
ekonomi relatif seimbang dan sebelumnya telah memiliki hubungan perdagangan secara tradisional, seperti MERCUSOR, yaitu sebuah blok perdagangan regional
yang dibentuk diantara negara-negara Amerika Selatan.
2.2.1. Sistem Perdagang Bebas Multilateral
Sebelum adanya WTO, perdagangan diatur dengan General Agreement on Tariff and Trade
GATT. GATT dibentuk pada tahun 1947 di Bretton Woods, yang kelahirannya bersamaan dengan kelahiran Bank Dunia dan International
Monetary Fund IMF. GATT dibentuk untuk mendorong penurunan secara progresif hambatan perdagangan melalui negosiasi yang berlangsung reguler atau
yang sering disebut sebagai “putaran” perundingan. Sejak berdirinya GATT
melaksakan delapan kali putaran perundingan yang dilakukan antara tahun 1947 sampai 1994.
Menurut Crowley 2003, sejak berdirinya GATT sebenarnya cukup berhasil dalam menurunkan tarif. Secara keseluruhan, kesuksesan dari putaran
20 negosiasi tersebut terlihat dari menurunya tarif untuk anggota GATT dari 35
persen pada tahun 1946 menjadi 6,4 persen pada tahun 1986. Dalam periode yang sama volume perdagangan antaranggota GATT meningkat dengan 25 kali lipat.
Namun karena GATT hanyalah seperangkat perjanjian kesepakatan dan bukan merupakan suatu institusi, GATT memiliki kelemahan-kelemahan terutama dalam
menangani konflik perdagangan diantara anggotanya, sehingga tidak memiliki suatu landasan hukum yang kuat dalam memecahkan perselisihan diantara
anggotanya dan akibatnya mekanisme penyelesaian sengketa GATT tidak dapat berjalan efektif.
Atas dasar berbagai kelemahan pada GATT, maka dalam putaran terakhir GATT pada tahun 1994, yang berlangsung di Punta del Este, Uruguay, atau yang
dikenal dengan Putaran Uruguay, para peserta menyepakati pendirian WTO World Trade Organization
dengan memasukkan berbagai persetujuan yang mampu mencakup berbagai persoalan yang dihadapi anggota. Selain
pembentukan WTO, putaran Uruguay juga menyepakati beberapa keputusan penting diantaranya disepakatinya perjanjian perdagangan di sektor jasa the
General Agreement on Trade in ServicesGATS, perjanjian mengenai hak
properti intelektual terkait dengan perdagangan Trade-related Intelectual Property RightsTRIPS,
perjanjian di sektor investasi Trade-related Investement Measures TRIMSs.
WTO juga merangkum badan dunia lainnya dan memiliki tingkat legalitas yang kuat sehingga memiliki kekuatan hukum dalam
melaksanakan keputusannya. Ratusan negara yang terdiri negara maju dan negara berkembang ikut meratifikasi pendirian organisasi perdagangan dunia ini,
termasuk Indonesia World Trade Organization, 2006. Sejak pendiriannya tahun 1995, WTO telah menyelenggarakan 6 enam
kali Konferensi Tingkat Menteri KTM. KTM adalah forum pengambilan kebijakan tertinggi dalam organisasi perdagangan dunia ini. Dari sejumlah KTM
yang telah dilaksanakan KTM IV dianggap oleh banyak pihak sebagai KTM yang mulai menghasilkan keputusan-keputusan penting Hendrahan dan Schnept, 2006
dalam Hariyadi, 2008. KTM IV yang berlangsung pada tanggal 9-14 November 2001 di Doha Qotar, menghasilkan dokumen utama berupa Deklarasi Menteri
atau disebut Doha Development Agenda DDA yang menandai dimulainya
21 perundingan baru yang akan membahas : perdagangan produk pertanian,
investasi, jasa isu lingkungan dan hak atas kekayaan intelektual HAKI, penyelesaian sengketa dan peraturan-peraturan WTO lainnya.
DDA juga dinilai menghasilkan langkah maju karena berhasil mengamatkan kepada WTO untuk memberi bantuan pembangunan kepada
negara-negara berkembang,
sehingga mereka
dapat mengintegrasikan
ekonominya ke dalam sistem perdagangan multilateral. Salah satu isu penting yang dihasilkan dalam DDA adalah disetujuinya negosiasi yang komprehensif
dalam bidang pertanian dengan tiga pilar utama yakni 1 perluasan akses pasar melalui penurunan tarif, 2 penurunan subsidi ekspor dan kredit ekspor sehingga
tercipta persaingan ekspor yang komprehensif, dan 3 penghapusanpenurunan subsidi domestik kepada petani di negara-negara maju untuk menghilangkan
distorsi pasar. WTO sebagai satu-satunya lembaga internasional yang secara khusus
mengatur perdagangan antarnegara, memiliki tiga prinsip utama adalah : 1
Prinsip Most Favored Nation MFN
: Artinya bahwa setiap perlakuan yang diberikan kepada satu anggota WTO harus sama dengan perlakuan ke negara
anggota lainnya, dengan kata lain setiap negara tidak bisa mengistimewakan salah satu negara mitra dagangnya, kecuali jika negara tersebut bukan anggota WTO.
Prinsip MFN dapat dikatakan sebagai penerapan standar dari kebijakan
perdagangan global. 2 Prinsip National Treatment NT : Prinsip ini
menekankan bahwa perlakuan terhadap produk-produk yang berasal dari negara anggota WTO tidak boleh berbeda dengan perlakuan terhadap produk hasil
domestik. 3 Prinsip Transparancy : Prinsip ini menekankan bahwa setiap
negara anggota diwajibkan untuk bersikap terbuka terhadap berbagai kebijakan perdagangannya sehingga memudahkan para pelaku usaha untuk melakukan
kegiatan perdagangan. World Trade Organization, 2005. Selanjutnya dalam negosiasi, WTO menerapkan asas resiprositas dan non-
diskriminasi. Resiprositas berarti bahwa tawaran dari satu negara untuk menurunkan hambatan perdagangannya akan disertai dengan tawaran tawaran dari
negara lain untuk menurunkan hambatan perdagangannya juga. Sedangkan non- diskriminasi berarti bahwa apa yang ditawarkan oleh satu negara ke negara lain
22 juga harus ditawarkan ke semua negara anggota lainnya. Dalam pengambilan
keputusan, WTO juga menerapkan sistem konsensus yang diharapkan dapat mengakomodasi kepentingan semua anggota, Haryadi 2008,.
Pemerintah Indonesia meratifikasi pembentukan WTO pada tanggal 2 Nopember dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. Indonesia juga telah
mengadopsi prinsip-prinsi regim perdagangan bebas ini dan telah mengambil sejumlah langkah dalam mengurangi proteksi perdagangan, sesuai dengan skedul
komitmen Indonesia dalam perjanjian dengan WTO.
2.2.2. Sistem Perdagang Bebas Regional