174 Perbandingan  proporsi  biaya  input  primer  diantara  negara-negara
ASEAN-5, seperti yang terlihat pada Tabel 30 diatas  menunjukkan bahwa untuk Indonesia,  Philipina  dan  Thaland,  proporsi  biaya  dari  lahan  lebih  tinggi
dibandingkan  proporsi  biaya  input  primer  lainnya,  sementara  Malaysia  justru proporsi  biaya  dari  tenaga  kerja  relatif  lebih  tinggi  dibandingkan  proporsi  biaya
input primer  lainnya,  pada  hal  Malaysia  adalah  negara  yang  paling  hemat
menggunakan tenaga kerja pertanian. Dengan kata lain bahwa tingginya proporsi biaya tenaga kerja di Malaysia bukanlah dari intensitas penggunaan tenaga kerja
yang  tinggi,  melainkan  dari  upah  tenaga  kerja  yang  tinggi,  ini  tercerimin  dari shadow price
atau produksi marginal  tenaga kerja yang secara rata-rata dua kali lebih besar dari shadow price tenaga kerja di ASEAN-5 secara rata-rata.
Selanjutnya  Singapura  adalah  satu-satunya  negara  di  ASEAN-5  yang memiliki proporsi biaya dari input modal lebih tinggi dibandingkan proporsi biaya
input primer  lainnya.  Secara  rata-rata  selama  periode  1961-2010,  proporsi  biaya
modal di Singapura sekitar 47,68 persen sementara proporsi biaya tenaga kerjanya sekitar  33,07  persen  dan  lahan  sekitar  19,25  persen.  Tingginya  proporsi  biaya
modal  di  Singapura  mengisyaratkan  bahwa  peningkatan  produksi  pertanian Singapura  lebih  bertumpu  pada  peningkatan  modal.  Hal  ini  juga  tercermin  dari
nilai  produksi  marginal  modal  yang  paling  tinggi,  selain  itu,  juga  karena  negara ini  memiliki  intensitas  penggunaan  mekanisasi  pertanian  yang  sangat  tinggi.
Seperti  terlihat  pada  Tabel  Tabel  28,  bahwa  intensitas  penggunaan  alat-alat pertanian  di  Singapura  kira-kira  enam  kali  lipat  dari  penggunaan  alat  pertanian
serupa  dibandingkan  China  dan  ASEAN-5  secara  rata-rata,  demikian  pula penggunaan  sarana  produksi  seperti  pupuk  jauh  lebih  intensif  dibandingkan
negara-negara lainnya.
6.1.1.3. Total  Factor  Productivity  TFP  dan  Kontribusi  Input  Primer
terhadap Pertumbuhan Output
Produktivitas  fakor  secara  total  atau  total  factor  productivity  TFP, merupakan  salah  satu  sumber  pertumbuhan  dari  sisi  supply.  Seperti  yang
dijelaskan  sebelumnya  bahwa  TFP  adalah  perubahan  dalam  output  yang  tidak dapat  dijelaskan  oleh  perubahan  dalam  input  yakni  jumlah  pertumbuhan  yang
175 tersisa  residu  setelah  dikurangkan  dengan  kontribusi  pertumbuhan  masing-
masing  input  faktor  produksi  yang  terukur.  Kontribusi  masing-masing  faktor terhadap  pertumbuhan  output  diukur  dari  hasil  perkalian  antara  proporsi  biaya
cost share dengan pertumbuhan input tersebut.
TFP  ini  seringkali  digunakan  sebagai  ukuran  kemajuan  teknologi  atau kemajuan  teknis.  Untuk  sektor  pertanian,  banyak  hal  yang  dapat  mempengaruhi
TFP  pertanian,  misalnya  meningkatnya  pengetahuan  petani  tentang  metode produksi yang lebih baik, peningkatan keterampilan pekerja pertanian, penemuan
bibit  ungul,  penggunaan  sarana  produksi  yang  tepat,  peningkatan  modal  fisik seperti  mesin,  infrastruktur  lahan  irigasi  dan  lainnya  yang  dapat  meningkatkan
efisiensi  produksi,  pokoknya  TFP  mencakup  apa  pun  yang  dapat  mengubah hubungan diantara input dan output Mankiw,2003.
Ukuran  TFP  pertanian  dalam  tulisan  ini  dimaksudkan  sebagai  ukuran dayasaing masing-masing negara dalam menghasilkan berbagai komoditi tanaman
pertanian secara agregat, dimana konsep dayasaing yang dimaksud mengacu pada konsep  keunggulan  komparatif  comparative  advanteges  yakni  konsep  yang
menekankan  pentingnya  berspesialisasi  pada  produksi  yang  paling  efisien berdasarkan  limpahan  sumberdaya  dimiliki,  dimana  efisiensi  ini  tercermin  dari
tingkat produktivitasnya.
Keunggulan kompartif
suatu negara
dalam menghasilkan  suatu  produk,  dapat  bersumber  dari  limpahan  sumberdaya  tenaga
kerja,  modal,  lahan,  atau  dari  kemajuan  teknologi.  Laporan  Bank  Dunia  2005 banyak  negara  di  dunia  yang  mengalami  peningkatan  pendapatan  dramatis  dan
percepatan  pertumbuhan  ekonomi  tinggi  disebabkan  karena  kemajuan teknologinya.  Dengan  demikian  TFP  pertanian  sebagai  ukuran  kemajuan  teknis
dapat  dijadikan  salah  satu  tolok  ukur  tingkat  dayasaing  komoditi  pertanian  di suatu negara.
Berdasarkan  hasil    perhitungan  pertumbuhan  TFP  tanaman  pertanian secara  agregat  di  masing  masing  negara  ASEAN-5  dan  China,  menunjukkan
bahwa,  secara  rata-rata  selama  periode  1961-2010,  kontribusi  pertumbuhan  TFP tanaman  pertanian  China  terhadap  pertumbuhan  outputnya  sedikit  lebih  tinggi
dibandingkan kontribusi pertumbuhan TFP tanaman pertanian ASEAN-5 terhadap pertumbuhan output. Pertumbuhan TFP tanaman pertanian China selama periode
176 tersebut  berkontribusi  rata-rata  sekitar  1,97  persen  per  tahun,  sementara  di
ASEAN-5 sekitar 1,93 persen per tahun. Pada periode ini, Baik di China maupun di  ASEAN-5,  dimana  lebih  dari  separuh  pertumbuhan  output  tanaman
pertaniannya bersumber dari kemajuan teknologi TFP. Secara  rata-rata  loncatan  pertumbuhan  nilai  produksi  tanaman  pertanian
China  terjadi  pada  periode  1986-2000.  Pada  periode  ini  pertumbuhan  output China mencapai sekitar 4,28 persen. Tingginya pertumbuhan tanaman pertanian di
China pada periode ini terutama bersumber dari pertumbuhan TFP. Pertumbuhan TFP  tanaman  pertanian  China  yang  tinggi  pada  periode  ini,  sesungguhnya
merupakan buntut dari reformasi ekonomi yang sudah mulai didengungkan sejak tahun  1978  di  awal  kepemimpinan  Presiden  Deng  Xiophing.  Beberapa  langkah
penting  yang  dirumuskan  oleh  Deng  Xiophing  dalam  melancarkan  reformasi ekonominya  diantaranya  :    Penghapusan  komune  rakyat;  penghapusan  monopoli
negara;  Liberalisasi  usaha  dan  majemen,  pembukaan  diri  terhadap  modal  asing dan integrasi dalam ekonomi internasional Nainggolan, 1995.
Kebijakan  penghapusan  komune  rakyat  Renmin  Gongshe,  penghapusan monopoli negara, termasuk reformasi tenaga kerja di awal tahun 1980-an, dinilai
sebagai  batu  pijakan  bagi  loncatan  pembangunan  pertanian  China  pada  periode- periode  berikutnya.  Komune  rakyat  yang  dulunya  menghimpun  semua  fungsi
pemerintahan  termasuk  mengurus  rencana  produksi  nasional.  Setelah  komune rakyat  dihapus  pada  september  1980,    pemerintah  memperkenalkan  usaha
pertanian  baru  yang  dipropagandakan  kepada  khalayak  luas  sebagai  sistem tanggung  jawab  zerenzhi.  Dalam  mekanisme  tanggungjawab  tiap  keluarga
petani  secara  bersama  dalam  satu  komune  melakukan  perjanjian  dengan pemerintah  setempat,  untuk  mengerjakan  sebidang  tanah  dan  mendapatkan
keuntungan langsung. Areal pertanian dipercayakan kepada keluarga petani secara pribadi.  Sistem  baru  ini  membolehkan  setiap  tahun  keluarga  petani  mengolah
sendiri  tanahnya,  sehingga  dengan  sendirinya  menghapus  kebijakan  kolektif pedesaan di China.
Aturan baru tersebut kemudian disusul beberapa regulasi pada 1983-1984, dimana para pemilik lahan kontrak diharuskan untuk menggunakan buruh upahan
wage  workers  untuk  produksi  dan  atau  menyewakan  lahannya  kepada  petani.
177 Sistem  upahan  ini  menggantikan  sistem  upah  kolektif  yang  diterapkan
sebelumnya.  Reformasi  ketenaga  kerjaan  juga  mencakup  penghapusan pembatasan  jumlah  tenaga  kerja,  yang  sebelumnya  jumlah  tenaga  kerja  keluarga
yang  dipekerjakan  dibatasi  hanya  7  orang.  Selanjutnya  pada  tahun  1985 pemerintah  juga  mengelurkan  kebijakan  untuk  menghapus  sistem  monopoli
negara, termasuk monopoli dalam pembelian hasil panen oleh pemerintah. Urain  panjang  diatas  mengisyaratkan  bahwa  bisa  jadi  pertumbuhan  TFP
yang  tinggi  selama  periode  1986-2000  adalah  imbas  dari  adanya  ketegasan proporty  right
atas  lahan  bagi  keluarga  petani,  sejak  di  gantikannya  sistem pertanian  berbasis  kolektif  Komune  Rakyat  menjadi  sistem  pertanian  berbasis
tanggung  jawab  keluarga  yang  dikuasai  secara  pribadi,  dan  beberapa  rentetan kebijakan yang bersifat insetif bagi usaha pertanian pada awal hingga pertengahan
1980-an.  Dengan  adanya  ketegasan  property  right  ini  mendorong  kreativitas keluarga  petani  untuk  mengembangkan  usahataninya.  Semangat  keluarga  petani
untuk  meningkatkan  produktivitas  usahataninya  pada  periode  ini  juga  tercermin dari  loncatan penggunaan alat-alat pertanian dan penggunaan pupuk yang cukup
tinggi  pada  periode  ini  dibandingkan  periode  sebelumnya.  Pada  periode  1961- 1985  penggunaan  alat-alat  pertanian  di  China  hanya  sekitar  4  unit  per  100  Ha
meningkat menjadi  sekitar 7 unit per 1000 Ha pada periode 1986-2000. Demikian pula pada intensitas penggunaan pupuk meningkat drastis dari rata-rata 92 Kg per
Ha  periode  1961-1985  menjadi  250  Kg  per  Ha  pada  periode  1986-2000  Tabel
28. Selanjutnya  pada  periode  2001-2010,  meski  laju  pertumbuhan  output
tanaman  pertanian  China  sedikit  menurun  dibandingkan  periode  sebelumnya, yang  disebabkan  oleh  penurunan  pertumbuhan  tenaga  kerja  dan  pertumbuhan
lahan,  namun  kemajuan  teknis  TFP  pertanian  tanaman  pertanian  pada  periode ini masih cukup tinggi yakni sekitar 3,27 persen per tahun. Masih tingginya TFP
pertanian China pada periode diduga terkait semakin baiknya infrastruktur lahan- lahan usahatani di China. Hal ini tercermin dari proporsi lahan beririgasi di China
mencapai puncaknkya pada periode ini, yakni sekitar 48,43 persen dari total lahan pertaniannya,  bahkan  sejak  tahun  2007,  lebih  dari  separuh  lahan  pertanian  di
China  sudah  dilengkapi  sarana  irigasi.  Selain  perbaikan  infrastruktur  lahan,  TFP
178 yang  tinggi  pada  periode  ini  juga  diduga  terkait  dengan  semakin  intensfnya
penggunaan mekanisasi pertanian dan sarana produksi pertanian lainnya terutama pupuk, mencapai puncak penggunaan paling tinggi pada periode ini.
Tabel 31 Pertumbuhan  TFP  dan  Kontribusi  Pertumbuhan  Input  Primer
Terhadap  Pertumbuhan  Output  Tanaman  Pertanian  di  ASEAN-5 dan China 1961-2010.
No. NegaraPeriode
Pertumbuhan Nilai
Produksi Pertanian
Crops Kontribusi Pertumbuhan
Input Primer terhadap
Pertumbuhan Output Pertumbuhan
TFP Tenaga
Kerja Modal
Lahan 1  China
1961-1985 3,88
1,93 0,07
0,51 1,38
1986-2000 4,28
0,60 0,04
0,13 3,51
2000-2010 3,07
0,04 0,05
0,21 3,27
Rata-rata 1961-2010 3,82
1,63 0,06
0,16 1,97
2  ASEAN-5 1961-1985
3,88 0,74
0,07 0,84
2,23 1986-2000
2,69 0,67
0,10 0,38
1,55 2000-2010
3,57 0,06
0,01 0,62
2,89 Rata-rata 1961-2010
3,44 0,85
0,06 0,60
1,93 3  Indonesia
1961-1985 3,70
0,81 0,12
0,24 2,52
1986-2000 3,04
0,83 0,22
0,83 1,16
2000-2010 4,61
0,08 0,01
1,07 3,47
Rata-rata 1961-2010 3,68
1,01 0,21
0,64 1,83
4  Malaysia 1961-1985
4,70 0,44
0,10 0,54
4,50 1986-2000
3,28 0,21
0,46 0,81
2,21 2000-2010
3,38 0,29
0,00 0,01
3,68 Rata-rata 1961-2010
3,96 0,35
0,34 0,56
3,40 5  Philipina
1961-1985 3,26
0,84 0,00
0,83 1,59
1986-2000 1,93
0,38 0,24
0,02 1,33
2000-2010 3,20
0,11 0,51
0,15 2,44
Rata-rata 1961-2010 2,84
0,53 0,24
0,53 1,55
6  Singapura 1961-1985
2,08 3,32
3,56 0,60
1,37 1986-2000
10,02 1,46
0,37 0,77
8,16 2000-2010
17,79 0,39
0,01 0,00
18,17 Rata-rata 1961-2010
0,25 0,87
4,93 0,57
3,74 7  Thailand
1961-1985 4,72
0,72 0,13
1,41 2,46
1986-2000 2,63
0,09 0,01
0,18 2,72
2000-2010 2,24
0,09 0,04
0,06 2,43
Rata-rata 1961-2010 3,48
0,40 0,11
0,60 2,37
8  ASEAN 1961-1985
3,56 0,89
0,10 0,58
2,00 1986-2000
3,07 0,35
0,58 0,57
1,57 2000-2010
3,90 0,20
0,11 0,61
2,99 Rata-rata 1961-2010
3,46 0,66
0,25 0,56
1,99 Sumber : Diolah dari FAOSTAT, 2012
179 Selanjutnya,  pada  Tabel  31  diatas  juga  menunjukkan  bahwa  diantara
negara-negara  ASEAN-5,  Malaysia  selain  memiliki  rata-rata  pertumbuhan tanaman  pertanian  paling  tinggi  negara  ini  juga  memiliki  rata-rata  kemajuan
teknis  TFP  pertanian  paling  tinggi  selama  periode  1961-2010.  Rata-rata pertumbuhan  nilai  produksi  tanaman  pertanian  di  Malaysia  selama  periode
tersebut  mencapai  sekitar  3,96  persen  dengan  rata-rata  pertumbuhan  TFP  sekitar 3,40  persen  per  tahun.  Pertumbuhan  nilai  produksi  tanaman  pertanian,  demikian
pula pertumbuhan TFP pertanian  Malaysia paling tinggi pada periode 1961-1985, yakni  sekitar  4,70  persen  pertahun  untuk  pertumbuhan  output  dan  sekitar  4,50
persen  untuk  pertumbuhan  TFP.  Tingginya  pertumbuhan  TFP  Malaysia dibandingkan  negara-negara  ASEAN-5  lainnya,  diduga  terkait  struktur  pertanian
Malaysia  yang  memang  sejak  awal  cenderung  mengembangkan  subsektor pertanian modern perkebunan, terutama tanaman kelapa sawit, dimana sebagian
besar usaha tanaman sawit di Malaysia dikelola dalam bentuk perkebunan swasta, sehingga  memungkinkan  menerapkan  teknologi-teknologi  produksi  yang  lebih
baik.  Sinaga  dan  Siregar  2006  menyebutkan  bahwa  dalam  bidang perkelapasawitan,  Indonesia  hanya  unggul  dari  luas  areal  dan  biaya  produksi
terhadap Malaysia, sedangkan untuk produksi dan produktivitas tandan buah segar TBS  dan  minyak  sawit  serta  rendemen  minyak  sawit  Malaysia  lebih  bagus.
Lebih  lanjut  dijelaskan  bahwa  produktivitas  TBS  Indonesia  hanya  sekitar  14-16 ton  per  ha,  sedangkanMalaysia  mencapai  sekitar  18-21  ton  per  ha.  Produktivitas
minyak sawit Indonesia yang pada tahun 2005 sebesar 3,54 ton per ha juga lebih rendah dibandingkan Malaysia yakni sekitar 4,20 ton per ha.
Pengembangan  komoditi  kelapa  sawit  di  Malaysia  terutama  terjadi  pada periode  1961-1985.  Hal  ini  ditunjukkan  bahwa  pada  tahun  1961  kontribusi  nilai
produksi  komoditi  sawit  Malaysia  hanya  sekitar  2,49  persen  terhadap  total  nilai produksi  tanaman  pertaniannya,  meningkat  tajam  menjadi  37,68  persen  pada
tahun 1985. Pada tahun 2010 komoditi sawit Malaysia berkontribusi sekitar 60,01 persen  terhadap  total  nilai  tanaman  pertanian  Malaysia.  Berbeda  halnya  dengan
negara-negara  ASEAN-5  lainnya,  terutama  Indonesia,  Philipina  dan  Thailand, dimana  sejak  periode  awal  hingga  saat  ini  kontribusi  tanaman  padi  masih
mendominasi  total  nilai  produksi  tanaman  pertaniannya.  Pada  tahun  2010,
180 kontribusi  nilai  komoditi  padi  terhadap  total  nilai  produksi  tanaman  pertanian
Indonesia sekitar 31,08  persen, di Philipina sekitar 20,81 persen dan di  Thailand sekitar 29,80 persen.
Selanjutnya  pada  Tabel  31  terlihat  pula  bahwa  secara  rata-rata  selama periode  1961-2010,  pertumbuhan  TFP  tanaman  pertanian  Indonesia  lebih  rendah
dari  rata-rata  pertumbuhan  TFP  pertanian  ASEAN-5,  namun  masih  lebih  tinggi dibandingkan  dengan  Philipina  dan  Singapura.  Ketertinggalan  kemajuan  teknis
TFP pertanian Indonesia terutama terjadi pada periode 1986-2000. Pada periode tersebut,  Indonesia  memiliki  nilai  TFP  paling  rendah  dibandinkan  negara-negara
ASEAN-5  lainnya  di  luar  Singapura.  Pada  periode  ini,  tanaman  pertanian Indonesia  juga  memiliki  pertumbuhan  nilai  produksi  paling  rendah  yakni  hanya
sekitar 3,04 persen per tahun. Kemerosotan  pembangunan  pertanian  Indonesia  pada  periode  tersebut
diduga terkait beberapa faktor. 1 Adanya gangguan iklim yang tidak bersahabat, ketika empasan badai kering El Nino tahun 1997-1998 yang bersamaan waktunya
dengan  bencana  krisis  moneter  di  akhir  tahun  1997.  Bencana  alam  ini  sudah barang  tentu  mempengaruhi  produksi  dan  produktivitas  pertanian  sehingga
pertumbuhan  TFP  mengalami  pertumbuhan  kecil  pada  periode  ini.  2  TFP pertanian  yang  relatif  kecil  pada  periode  ini,  juga  terkait  menurunnya  perhatian
pemerintah  terhadap  pembangunan  pertanian  setelah  mencapai  prestasi gemilangnya  mencapai
“swasembada  beras”  pada  tahun  1984.  Hal  ini  terlihat dari  berkurangnya  subsidi  pupuk,  awal  tahun1990an  sehingga  harga  pupuk
melambung  tinggi  pada  fase  ini.  Dampaknya  adalah  terjadinya  pengurangan penggunaan  pupuk  di  tingkat  petani  pada  tahun  1991-1994  dibandingkan
beberapa  tahun  sebelumnya.  terutama  terutama  jenis  pupuk  TSP  dan  KCl  untuk subsektor tanaman pangan. Pada hal sarana produksi pupuk ini merupakan salah
satu kunci sukses gerakan “revolusi hijau” yang dimulai pada akhir tahun 1960- an.
Setelah  mengalami  fase  stagnan  pada  periode  1986-2000,  pembangunan pertanian  Indonesia  mengalami  perkembangan  yang  cukup  signifikan  pada
periode  2000-2010.  Pada  periode  ini  pertumbuhan  nilai  produksi  tanaman pertanian  Indonesia  mencapai  prestasi  tertingginya  dengan  pertumbuhan  sekitar
181 4,61  persen  per  tahun.  Kemajuan  sektor  pertanian  Indonesia  pada  periode  ini
terutama bersumber dari kemajuan teknologi TFP, yakni rata-rata mencapai 3,68 persen. Tingginya pertumbuhan TFP pada periode ini, diduga terkait beberapa hal
diantaranya,  1  Semakin  baiknya  kualitas  sumberdaya  masusia  pada  sektor pertanian. Hal ini tercermin dari tingginya produktivitas tenaga kerja yang dicapai
pada  periode  ini,  jauh  melampaui  produktivitas  tenaga  kerja  pada  periode
sebelumnya  Tabel  29.  2  pada  periode  sejumlah  kebijakan  insentif  bagi
pembangunan  pertanian,  turut  memacu  pertumbuhan  produksi  dan  pertumbuhan TFP  pertanian,  seperti  peluncuran  program  kredit  usaha  tani,  program  Bantuan
Langsung  Masyarakat  BLM  untuk  sektor  pertanian,  seperti  program pengembangan  ketahanan  pangan  PKP,  program  pemberdayaan  kelembagaan
pangan  PPKP  dan  program  pemberdayaan  petani  agribisinis,  PPA.  Program- program  terebut  secara  umum  untuk  memperkuat  permodalan  petani  terutama
untuk  pembelian  sarana  produksi  pupuk.  Hasilnya  memang  terlihat  bahwa
penggunaan  pupuk  per  ha  di  Indonesia  tertinggi  dicapai  pada  periode  ini  Tabel 28. 3 Selain itu, tingginya TFP pertanian Indonesia pada periode ini juga diduga
terkait  dengan,  transformasi  internal  sektor  pertanian    dari  subsektor  pertanian yang  masih  dikelola  secara  “trandisional”,  terutama  komoditi  padi  ke  subsektor
yang  pengelolaannya  lebih  “modern”  berbasis  perkebunan,  khususnya  kelapa
sawit  yang  mengalami  lonjakan  cukup  tinggi  pada  periode  ini.  Hal  ini  tercermin dari  kontribusi  nilai  produksi  tanaman  pertanian  sawit  terhadap  total  nilai
pertanian Indonesia yang pada periode 1986-2000 hanya berkontribusi sekitar 5,1 persen  meningkat  tajam  menjadi  sekitar  13,9  persen  pada  periode  2001-2010.
Sementara komoditi padi mengalami penurunan kontribusi dari 40,3 persen pada periode 1986-2000 turun menjadi 32,4 persen periode 2001-2010.
6.1.2. Dayasaing Komoditi Pertanian ASEAN-5 dan China di Pasar Global