31 Apabila satu jenis barang memiliki kandungan material yang berasal dari
ASEAN dan atau China ≥ 40 persen, maka produk tersebut berhak untuk memperoleh konsesi tarif FTA ASEAN-China.
2.4. Liberalisasi Perdagangan Pertanian dan Perekonomian Pedesaan
Secara umum kawasan pedesaan sering dicirikan sebagai sebuah wilayah yang memiliki tingat kepadatan penduduk rendah, dimana sebagian besar
penduduknya mempunyai kegiatan utama pertanian serta dengan hubungan sosial masyarakatnya yang masih kuat. Dalam persfektif regional, kawasan pedesaan
juga sering dikontraskan dengan kawasan perkotaan, yakni kawasan yang padat penduduk dengan aktivitas ekonomi didominasi oleh sektor non pertanian sepeti
industri atau jasa-jasa. Meski ciri kedua kawasan tersebut sangat kontras, namun komunitas masyarakat pedesaan dan perkotaan memiliki hubungan fungsional
yang cukup kuat. Kawasan pedesaan merupakan tempat memproduksi berbagai komoditi pertanian, termasuk komoditi pangan untuk memenuhi kebutuhan
pangan pokok masyarakat perkotaan, serta memasok bahan baku untuk keperluan industri perkotaan. Sebaliknya kawasan perkotaan juga menyediakan berbagai
hasil-hasil industri untuk memenuhi berbagai kebutuhan penduduk pedesaan, termasuk kebutuhan untuk mendukung aktivitas produksi pertanian mereka di
pedesaan. Gambaran tersebut mengisyaratkan bahwa sesungguhnya pembangunan pedesaan tidak terlepas dari kemajuan pembangunan sektor pertanian itu sendiri
serta kemajuan pembangunan perkotaan yang mampu memberikan spread effect terhadap pembangunan pedesaan.
Di Indonesia pengertian desa scara formal didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah
Nomor 72 Tahun 2005. Dalam undang-undang tersebut Desa disebutkan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-asul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya pada Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kawasan perdesaan
didefinisikan sebagai wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian,
32 termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Selanjutnya dari perspektif sosial dan kegiatan ekonomi msyarakat pedesaan, Hayami dan Kikuchi 1987 mengartikan d
esa sebagai tempat orang hidup dalam ikatan keluarga dalam suatu kelompok perumahan dengan saling ketergantungan
yang besar di bidang sosial dan ekonomi. Menurutnya, desa terdiri dari rumah tangga petani dengan kegiatan produksi, konsumsi dan investasi hasil keputusan
keluarga secara bersama. Pengertian ini lebih mengacu pada cara hidup masyarakat desa secara keseluruhan.
Terkait dengan pembangunan desa, berbagai definisi telah dikemukakan oleh para ahli. Secara tradisional, Mosher 1974 mendefinisikan pembangunan
perdesaan sebagai pembangunan usahatani atau pembangunan pertanian. Menurut
Hansen 1981 pembangunan perdesaan merupakan upaya meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian dan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Senada
dengan hal tersebut, Collier et al. 1996 mengartikan pembangunan perdesaan sebagai perubahan orientasi dari pertanian produksi ke bisnis seluas-luasnya.
Hafsah 2006 menyatakan bahwa tujuan filosofi dari pembangunan perdesaan adalah meningkatkan motivasi masyarakat dalam membangun dan
memobilisasi dirinya untuk bekerjasama dalam pencapaian tujuan bersama serta meningkatkan kapasitasnya dalam melaksanakan pembangunan, baik dalam aspek
fisik, politik maupun ekonomi. Karena itu tujuan praktis dari pembangunan perdesaan ini adalah :
a. Meningkatkan produktivitas ekonomi perdesaan seperti dengan inovasi teknologi modernisasi pertanian dan mengintroduksikan perubahan-
perubahan sosial dan kelembagaan yang berkaitan dengan pemilikan tanah, organisasi masyarakat kelompok tani, asosiasi petani dan koperasi,
perencanaan pemerintah dan administrasi pemerintah. b. Meningkatkan kesempatan kerja dan pendistribusian kesejahteraan yang lebih
merata. c. Mengembangkan sistem pelayanan sosial dengan menyediakan sistem
pelayanan terpadu yang ekonomis dan efektif serta komprehensif.
33 d. Meningkatkan kapasitas politik dan administrasi melalui peningkatan
kapasitas masyarakat dalam mengorganisir dirinya. Dalam konteks pendekatan pembangunan perdesaan ini, Misra dan
Bhooshan 1981 mengidentifikasi beberapa pendekatan dan strategi yang telah dilaksanakan oleh berbagai negara sedang berkembang dalam mengatasi masalah
keterbelakangan perdesaan. Pendekatan dan strategi tersebut adalah: 1 migrasi ke daerah baru; 2 pembangunan pertanian; 3 industrialisasi perdesaan; 4
pendekatan kebutuhan dasar; 5 pembangunan perdesaan terpadu; 6 strategi pusat pertumbuhan dan 7 pendekatan agropolitan.
Terlepas dari berbagai pendekatan dan program tersebut, pembangunan perdesaan pada dasarnya merupakan pembangunan yang bersifat multi aspek.
Karenanya perlu dianalisis secara lebih terarah serta keterkaitannya dengan berbagai sektor, dan aspek di luar perdesaan fisik dan non fisik, ekonomi dan non
ekonomi, sosbud dan non spasial. Menurut Esman dan Uphoff 1988, terdapat empat jenis pembangunan perdesaan, yakni: 1 yang berbasis pertanian; 2 yang
berbasis multisektor; 3 yang berbasis sumber daya alam dan lingkungan; dan 4 yang berbasiskan pelayanan jasa-jasa sosial berupa kesehatan, pendidikan dan
lain-lain. Mosher 1974 mengemukakan agar desa dapat berkembang menjadi lebih
pogresif, harus memiliki beberapa komponen akselerator, yaitu: 1 desa harus mempunyai kota-kota pasar market town; 2 perlu dibangun jalan-jalan
perdesaan untuk memperluas dan menekan biaya serta mempermudah penyaluran informasi dan jasa; 3 di desa harus ada percobaan-percobaan pengujian lokal
local verification trials untuk memilih cara berusaha yang paling sesuai dengan keadaan setempat; 4 harus ada aparat penyuluhan di mana penduduk dapat
belajar tentang teknologi baru dan bagaimana mempergunakan teknologi baru tersebut; dan 5 tersedia fasilitas-fasilitas kredit untuk membiayai produksi dan
pemasaran hasil. Pemikiran Mosher tersebut dikembangkan oleh beberapa pakar di Indonesia dengan memasukkan aspek sosial dan kelembagaan. Soewandi
1976 mengemukakan bahwa untuk tercapainya proses modernisasi perdesaan ada dua hal utama yang perlu diperhatikan yaitu 1 mengembangkan
kelembagaan-kelembagaan baru dalam masyarakat desa sebagai pendukung
34 terhadap sistem perekonomian dinamis, yang mampu melibatkan sebanyak-
banyaknya warga desa dalam sistem perekonomiannya, 2 mendorong perkembangan sektor-sektor non-pertanian untuk menyerap kelebihan tenaga
kerja di bidang pertanian. Selanjutnya Prabowo 1995 mengemukakan bahwa diperlukan adanya
diversifikasi usaha perdesaan yang selain mampu mendorong produksi pertanian tradisional, juga mampu memacu pertumbuhan kegiatan ekonomi rakyat
perdesaan yang
dapat menjadi
landasan bagi
pertumbuhan yang
berkesinambungan dan pemerataan. Murdoch 2000 juga mengemukakan bahwa dalam pembangunan masyarakat desa, selain perlu membangun keterkaitan
vertikal juga perlu membangun keterkaitan horisontal dengan memperkuat produksi lokal yang bermanfaat bagi ekonomi perdesaan secara keseluruhan
dengan mengintegrasikannya ke dalam perekonomian yang lebih luas. Dalam hal ini, pembangunan masyarakat desa bukan hanya sektor pertanian produksi tetapi
juga sektor pertanian yang berkaitan dengan ekonomi daerah perkotaan. Peningkatan produktivitas ekonomi perdesaan terutama bidang pertanian
memerlukan kelembagaan yang mengakar di tingkat masyarakat Pranoto 2005. Saptana et al. 2004 menguraikan hubungan pembangunan pedesaan
dengan pembangunan kelembagaan. Dijelaskan bahwa penyebab utama rapuhnya perekonomian rakyat di perdesaan, adalah rapuhnya kelembagaan yang
mendukungnya. Beberapa persoalan utama yang dihadapi kelembagaan ekonomi tradisional di perdesaan adalah kemampuan yang lemah dalam menggalang
jaringan kerja sama dengan kelembagaan modern, rendahnya kapasitas internal untuk dapat bersaing di bidang ekonomi, dan menghadapi tekanan dari luar di
bidang gaya hidup, ekonomi, politik, social dignity dan budaya kota dan manca negara.
Tangermann 2005 menyebutkan bahwa pandangan dari para peneliti maupun dari pembuat kebijakan secara umum adalah sama bahwa dampak
liberalisasi perdagangan pertanian menguntungkan penduduk perkotaan dan merugikan penduduk pedesaan, bila negara-negara berkembang menghapus tarif
impor komoditi-komoditi pertanian. Keuntungan perkotaan berasal dari biaya konsumsi yang lebih rendah, sementara kerugian pedesaan adalah konsekuensi
35 dari meningkatnya kompetisi produk pertanian dengan barang-barang impor,
sehingga menekan baik laba maupun upah di sektor yang merupakan lapangan pekerja utama kebanyakan rumahtangga di negara-negara berkembang.
Konsekuensi menarik dari argumen ini adalah bahwa liberalisasi pertanian akan mempengaruhi kesejahteraan rumah tangga pedesaan di negara-negara
berkembang dengan menekan harga dunia untuk barang-barang pertanian. Beberapa pandangan yang cenderung memperkuat argumen bahwa
reformasi perdagangan pertanian berpengaruh negatif terhadap kesejahteraan pedesaan di negara-negara berkembang. Pertama, dikemukakan oleh Valdes dan
McCalla 2004 bahwa banyak rumah tangga pedesaan di negara-negara berkembang menghasilkan produk-produk pangan seperti gandum grain, akan
tetapi negara-negara yang berpenghasilan tinggi memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi bahan pangan tersebut. Dengan menghapus tarif impor
produk pangan menyebabkan ekonomi pedesaan di negara berkembang rentan terhadap persaingan dari produsen pangan di negara maju. Kombinasi program
pendukung bagi para petani pangan di negara-negara berpenghasilan tinggi dengan reformasi tarif di negara-negara berkembang, menimbulkan kerusakan
pada perekonomian pedesaan di negara-negara berkembang. Lebih lanjut dijelaskan bahwa lebih dari dua pertiga dari negara-negara berkembang adalah net
importers produk pangan.
Kedua, efek dari reformasi pertanian di negara-negara berpenghasilan tinggi cenderung diredam karena dalam banyak kasus negara-negara berkembang
sudah memiliki akses preferensial preferential access ke pasar negara maju untuk ekspor pertanian mereka. Negara-negara berkembang adalah net exporters
produk pertanian tropis, dimana persaingan dengan negara maju umumnya tidak menjadi masalah. Akses prefrensial mencakup sebagian besar ekspor negara
berkembang ke Uni Eropa dan Amerika Serikat, mencapai lebih dari 90 persen dari semua ekspor pertanian daerah ini untuk beberapa negara berkembang
Wainio et al. 2005. Berdasarkan argumen ini, negara-negara berkembang tetap mendapatakan keuntungan yang kecil dalam hal peningkatan akses ke pasar
Negara berpenghasilan tinggi daripada kerugian mereka dengan mengekspos produsen mereka untuk berkompetisi dari liberalisasi perdagangan pertanian.
36 Bahkan, beberapa LDC mungkin kehilangan dari liberalisasi perdagangan sebagai
akibat dari erosi preferensi
1
Tangermann 2005. Beberapa bukti dari model economic-wide menunjukkan bahwa dampak
reformasi perdagangan pertanian di negara-negara berkembang LDC akan positif, namun, sebagian besar beralasan bahwa efek reformasi tersebut terletak
pada sektor non-pertanian. Tangermann 2005 melaporkan temuan dari model GTAP bahwa liberalisasi penuh pertanian oleh negara-negara berpenghasilan
tinggi akan meningkatkan term of trade non-pertanian bagi negara berkembang, sehingga memberikan keuntungan pendapatan. Namun, Anderson dan Valenzuela
2007, menggunakan model GTAP, menemukan efek negatif dari negara yang melakukan reformasi perdagangan pertanian terhadap nilai tambah pertanian di
semua negara-negara berkembang yang dianalisis. FAO, 2003 dalam laporannya menjelaskan bahwa liberalisasi perdagangan
dan globalisasi berperan penting dalam meningkatkan peran sektor pertanian sebagai mesin pertumbuhan di negara-negara berpenghasilan rendah. Penurunan
proteksi dan subsidi pertanian, terutama di negara-negara maju dan peran pemerintah dalam memfasilitasi pengembangan akses terhadap asset pertanian
dan mengoreksi kegagalan pasar dan distorsi ke pasar domestik, akan membantu banyak orang miskin pedesaan untuk mendapatkan harga produk pertanian yang
lebih baik serta memperbaiki kehidupan dan mata pencaharian mereka. Lebih lanjut dijelaskan bahwa, pertumbuhan pertanian berkelanjutan dan pembangunan
pedesaan dapat dicapai dengan beberapa faktor kunci : 1 akses atau hak terhadap asset tanah, air, hewan ternak, teknologi; 2 akses ke pasar yang adil
dan kompetitif, baik pasar domestik maupun pasar internasional, untuk produk pertanian; 3 informasi yang diperlukan dan infrastruktur fisik untuk
memudahkan mengakses pasar. Dijelaskan pula bahwa setidaknya terdapat tiga prioritas untuk mempercepat pertumbuhan pertanian dan pembangunan pedeaan
di negara-negara berkembang yakni 1 mengembangkan potensi pertanian produktif; 2 diversifikasi kegiatan pertanian dan kegiatan non-pertanian
produktif; dan 3 menjaga kesempatan kerja pedesaan yang tidak sehat dan fluktuasi yang berlebihan pada pasar domestic dan pasar internasional.
1 Erosi preferensi mengacu pada kerugian akses prefrensial pasar relatif terhadap keuntungan negara lainnya dari reformasi perdagangan
37 Menurut Taylor et al 2010 bahwa dalam teori mikroekonomi, dampak
liberalisasi pasar pertanian terhadap kesejahteraan pedesaan rural welfare di negara kurang berkembang LDC adalah belum jelas, karena dengan liberalisasi,
rumah tangga pedesaan akan menghadapi harga internasional yang fluktuatif. Rumah tangga pedesaan akan merugi sebagai produsen, ketika harga jatuh, akan
tetapi sebagai konsumen menguntungkan. Sebaliknya ketika harga pertanian naik, maka rumah tangga non pertanian akan terbebani, dan rumah tangga pertanian
akan diuntungkan. Apakah dampak negatif produksi atau dampak positif konsumsi yang akan mendominasi merupakan pertanyaan empiris yang perlu
dibuktikan. Selain itu, dampak perubahan harga tersebut juga akan berbeda antara kelompok rumah tangga yang berbeda. Pada sisi produksi, penurunan harga
misalnya pangan akan merugikan produsen komoditi pangan, sebaliknya akan menguntungkan rumah tangga yang mengusahakan tanaman lain non pangan,
sebagai konsekuensi dari perubahan harga relatif antara pangan dan non pangan. Selain itu Nicita 2005 menyatakan bahwa dampak liberalisasi perdagangan
terhadap kesejahteraan social social welfare tidak dapat digeneralisir antarnegara, bahkan antargeografis dalam satu negara, seperti halnya wilayah
pedesaan dan perkotaan akan dipengaruhi secara berbeda. Karena, selain disebabkan oleh perbedaan pengembalian dan produktivitas faktor, juga karena
adanya perbedaan transmisi harga antarwilayah. Isolasi pasar lokal dari harga- harga internasional terutama berlaku di daerah pedesaan dimana infrastruktur
pemasaran adalah kurang berkembang. Temuan Nicita 2005 menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan multilateral akan memberikan dampak negatif
pada rumah tangga Meksiko, walaupun sangat kecil. Namun, ketika pelaksanaan agenda pembangunan Doha dilengkapi dengan kebijakan domestik yang bertujuan
untuk meningkatkan produktivitas dan memperbaiki transmisi harga dalam negeri, efek secara keseluruhan menjadi positif. Hasil penelitian ini menunjukkan
pentingnya transmisi harga domestik dalam menentukan varians dari efek di seluruh rumah tangga. Implikasi dari temuan ini mengisyaratkan bahwa dampak
liberalisasi terhadap perekonomian pedesaan di Indonesia bisa jadi tidak berpengaruh besar jika tidak berdampak negatif, mengingat penduduk pedesaan
Indonesia saat ini masih tergantung pada produksi tanaman pangan, di mana
38 komoditi pangan tersebut sebagian besar di impor, selain itu kondisi infrastruktur
pedesaan Indonesia yang masih kurang memadai turut memberi pengaruh terhadap minimnya dampak liberalisasi perdagangan terhadap perekonoian
pedesan di Indonesia.
III. KERANGKA TEORITIS
3.1. Konsep Dayasaing dan Perdagangan Antarnegara 3.1.1. Determinan Perdagangan Antarnegara
Teori ekonomi klasik menjelaskan bahwa pendorong terjadinya pergerakan barang dari suatu negara daerah ke negara lain adalah adanya
perbedaan harga yang merupakan mekanisme dinamis pasar dalam mencapai terjadinya keseimbangan. Bekerjanya mekanisme pasar didorong oleh adanya
perbedaan permintaan dan penawaran pada setiap wilayah Sobri, 2001. Perbedaan kuantitas permintaan disebabkan oleh sejumlah faktor determinan
seperti jumlah penduduk, pendapatan, kesukaan dan sebagainya. Perbedaan penawaran disebabkan oleh ketidaksamaan faktor-faktor produksi, kondisi
geografis, dan budaya masyarakat. Perbedaan tingkat permintaan dan penawaran suatu komoditas yang menyebabkan terjadinyan perdagangan antarnegara berkisar
pada tiga faktor utama yaitu : 1 perbedaan tingkat kelangkaan barang scarcity, 2 perbedaan faktor produksi: perbedaan faktor-faktor produksi yang
menyebabkan perbedaan tingkat produktivitas di tiap daerah dan 3 perbedaan harga komparatif barang Sobri, 2001.
Perbedaan ketiga faktor tersebut pada setiap wilayah, sekaligus mencerminkan adanya perbedaan keunggulan komparatif comparative
adventages pada masing-masing wilayah dalam menghasilkan barang tertentu.
Keunggulan komparatif ditentukan oleh adanya perbedaan limpahan faktor-faktor seperti sumberdaya alam, tenaga kerja, modal, dan atau teknologi sehingga setiap
daerah masing-masing dapat menghasilkan barang tertentu secara lebih produktif dibandingankan daerah lainnya. Perbedaan kelangkaan faktor-faktor tersebut
sekaligus mempengaruhi perbedaan harga faktor dan harga barang pada masing- masing daerah yang mendorong terjadinya perdagangan antar daerah secara
menguntungkan Meier, 1995. Menurut Kasliwal, 1995 bahwa teori perdagangan yang didasarkan pada
doktrin keunggulan komparatif, memiliki implikasi bahwa selama terjadi perbedaan karakteristik permintaan dan penawaran yang tercermin dari perbedaan