500 berarti ia akan tinggal lebih lama lagi di ‘penjara’ itu Tabularasa.2004.hal:
94.
2 Mengajak Teman ke Jalan yang Benar
“Kenapa?” Tanya Gale. Violet menggeleng. “Kamu mau sembuh?” Violet mengangguk. “Ayo kita sembuh sama-sama. Kita bersih sama-sama, ya?”
Gale menggenggam tangan Violet, memandang dengan mata teduh di antara pandangan telernya. Violet mengangguk. Suatu percakapan yang aneh,
justru ada palung kesungguhan yang dalam saat perilaku adalah puncak paling curam seumpama tebing Tabularasa.2004.hal:89.
c. Nilai Pendidikan Adat IstiadatTradisi Budaya
Adat atau tradisi padat diartikan sebagai cara atau kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan sejak dahulu kala. Kebiasaan yang dimaksun seringkali sudah
mendarah daging dalam kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Pada orang Indonesia ada tradisi atau budaya-budaya tertentu yang mungkin tidak dimiliki
oleh Negara lain, demikian juga sebaliknya. Manusia hidup selalu mempunyai keinginan-keinginan dan harapan-
harapan tertentu. Keinginan dan harapan yang dimiliki inilah yang kemudian menggerakkan manusia untuk berbuat, bertindak serta berkarya guna menjalani
kehidupannya. Dengan bekerja, berbuat serta berkarya, manusia berusaha agar hakekat hidupnya semakin hari semakin bertambah baik. Dengan begitu, di dalam
berkarya untuk pengembangan diri, manusia mempunyai orientasi nilai tertentu tentang karya, tentang bagaimana ia berbuat.
Harapan atau keinginan manusia itu disebut dengan cita-cita dan cita-cita inilah yang merupakan faktor mendasar bagi pembentukan orientasi nilai pada
manusia terhadap karya, berkaitan dengan adat dan budaya. Menurut Levinas dalam Poespowardojo dan Bartens, 1982: 68, dengan cita-citalah manusia
501 merumuskan hidupnya untuk berkarya, bekerja serta bagaimana mempertahankan
diri untuk tetap bertahan hidup. Cita-cita menjadikan manusia dapat berasumsi tentang kebenaran dan kebaikan, tentang karya yang dihasilkannya dan yang
dihasilkan manusia lainnya. Dengan demikian cita-cita merupakan dasar bagi orientasi nilai manusia tentang hakekat karyanya
Jika melihat fenomena yang terjadi dalam sastra Indonesia selepas tahun 2000 ini, kehidupan kesusastraan Indonesia di masa mendatang, akan jauh lebih
semarak dengan tema dan gaya pengucapan yang lebih beragam. Persoalannya tinggal, apakah para sastrawan, terutama sastrawan perempuan Indonesia dapat
mengangkat tema-tema yang bersumber dan bermuara pada problem gender. Oleh karena itu, kinilah saatnya sastrawan perempuan Indonesia, memperlihatkan diri
akan kemampuannya mengeksploitasi dan mengeksplorasi berbagai problem sosio-kultural kita. Tanpa usaha pendayagunaan dan penjelajahan itu, tanpa usaha
penggalian dan pendalaman keberagaman kekayaan kultur kita, niscaya karya- karya yang akan dihasilkannya hanya sebagai karya yang baik, tidak monumental.
Jika begitu, ia hanya sekadar meramaikan belaka dan tidak cukup penting untuk melengkapi catatan sejarah kesusastraan Indonesia. Sejumlah nama yang secara
kolektif telah disebutkan itu, cukup signifikan mewarnai peta kesusastraan Indonesia di masa mendatang.
Pada novel Tabularasa, adanya nilai adat istiadat atau tradisi sangat kental terasa, terlihat pada penggalan novel Tabularasa berikut:
Suhu 15 derajat Celsius. Cukup dingin untuk ukuran penghuni tropis. Seorang perempuan bertubuh tambun dan laki-laki berambut putih
melambai-lambaikan tangan padaku. Anatoli dan Walla. Mereka membawa kertas ukuran A4 bertuliskan namaku. Kami bersalaman dan cium pipi.
502 Kebiasaan bangsa dari Negara komunis yang belum hilang. Dimana bumi
dipijak, di situ langit dijunjung. Aku merasa wajib menjunjung kebiasaan negeri ini selama aku di sini. Aku memperkenalkan dua orang wakil dosen
lainnya dari universitas yang sama tetapi beda fakultas. Mulai besok, selama tiga hari ke depan kami akan mengikuti seminar internasional
Tabularasa.2004.hal: 130.
d. Nilai Pendidikan Sosial