270
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Karya sastra merupakan suatu kesatuan yang utuh. Unsur-unsur pembangun dalam karya sastra harus saling melengkapi, berkaitan erat dan
berhubungan erat sehingga terbentuk hubungan yang seimbang dan berkarakter. Unsur-unsur yang membangun karya sastra tersebut membentuk suatu kesatuan
isi dan bentuk, sehingga terciptalah karya sastra yang mempunyai kohesi dan koherensi.
Sastra adalah karya fiksi yang merupakan kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetik baik yang di
dasarkan aspek kebahasaan maupun makna Zainuddin Fahanie, 2000: 6. Hasil kreasi dari ungkapan emosi spontan pengarang berupa pengalaman batin yang
dituangkan dalam bahasa dan imaji. Imaji yang dituangkan dapat berupa pengalaman kenyataan hidup, wawasan pengarang terhadap kenyataan kehidupan,
imajinasi murni pengarang yang tidak berkaitan sama sekali dengan kenyataan hidup rekaan, atau dambaan intuisi pengarang dan dapat pula sebagai campuran
dari kedua bentuk penuangan imajinasi di atas. Sastra sebagai salah satu unsur kesenian mengandalkan kreativitas dan
imajinasi. Pengarang dengan menggunakan bahasa sebagai media. Bahasa yang tertuang dalam karya sastra menggunakan bahasa yang indah, tidak semata-mata
271 merujuk pada bentuknya, tetapi juga keindahan isinya yang berkaitan dengan
emosi, imajinasi, kreasi dan ide yang menarik. Melalui bahasa pengarang menuangkan kreatifitasnya tidak lain untuk
menyampaikan intuisi pengarang itu sendiri melalui makna yang disampaikan. Makna karya sastra berhubungan dengan hasil karya sastra itu sendiri dan dengan
pembaca sastra. Karya sastra akan dipahami dan bermakna manakala pembaca sudah mengerti apa yang dimaksud dan apa yang tertuang dalam bentuk imajinasi
yang berkembang didalam karya sastra. Pemahaman isi karya sastra yang ditulis pengarang bergantung pada kemajuan dan ketajaman interpretasi pembaca itu
sendiri. Untuk dapat menginterpretasikan karya sastra dengan baik. Pembaca harus memahami dengan sungguh–sungguh dan bijaksana terhadap maksud
pengarang dalam karya yang diciptakannya. Karya sastra berdasarkan gendernya dibedakan menjadi dua yaitu prosa
dan puisi, salah satu dari prosa adalah novel. Karya sastra berbentuk novel mempunyai daya tarik tersendiri karena berisi cerita tentang kehidupan manusia
yang diidealkan oleh pengarang dan mengandung unsur estetik. Dikatakan ideal karena memuat cerita tentang kehidupan tokohnya yang beraneka ragam dan
perwatakan secara mendalam sekaligus menyampaikan wawasan yang luas tentang pemecahan permasalahan yang disajikan kepada pembaca. Dengan
demikian mampu memberikan suatu gambaran kehidupan manusia secara luas dan utuh melalui unsur-unsur yang membangunnya.
Perkembangan hasil kesusastraan Indonesia berbentuk novel dewasa ini, banyak diangkat novel-novel di awal perkembangan tahun 20-an sampai novel
272 terbaru dalam ujud penampilan yang berbeda. Bidang media cetak baik berupa
harian, tabloid, maupun bulanan banyak memuat cerita rekaan bersambung dari novel. Bidang perfilman banyak mengangkat cerita dari novel, baik berupa
sinetron dengan tayangan sekali tayang, tayangan dengan seri pendek maupun dengan tayangan seri yang panjang. Bidang pendidikan sudah pasti masuk dalam
standar kompetensi bidang pelajaran bahasa dan sastra indonesia di sekolah. Novel dijadikan salah satu materi pengajaran sastra. Hal tersebut membuktikan
bahwa novel bukan sekedar bacaan hiburan para pembaca apalagi sekadar mengisi waktu melainkan merupakan salah satu hasil karya sastra yang dapat dikaji dan
dikembangkan. Struktur formal karya sastra adalah struktur yang terrefleksi dalam
kesatuan teks karena meliputi unsur-unsur yang membentuk karya sastra. Unsur- unsur tersebut antara lain meliputi: tema, penokohan, plot, setting, dan sudut
pandang yang disebut unsur intrinsik. Sedangkan unsur ektrinsik adalah unsur yang berada di luar karya sastra dapat berupa tradisi dan nilai-nilai kehidupan.
Kajian unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik karya sastra searah dengan pendekatan telaah sastra dengan sasaran kajian feminisme karya sastra yang
merupakan dua ilmu yang berbeda. Kedua ilmu tersebut dapat saling melengkapi. Dagun dalam Nyoman Kutha Ratna, 1992: 187 mengatakan:
”Dalam sastra kontemporer, feminis merupakan gerakan perempuan yang terjadi hampir di seluruh dunia. Gerakan ini dipicu oleh adanya
kesadaran bahwa hak-hak kaum perempuan sama dengan kaum laki- laki. Seperti diketahui, sejak berabad-abad, perempuan berada di bawah
dominasi laki-laki, perempuan sebagai pelengkap, perempuan sebagai makhluk kelas dua. Secara biologis jelas perempuan berbeda dengan
273 kaum laki-laki, perempuan lebih lemah, sebaliknya, lak-laki lebih kuat.
Meskipun demikian, perbedaan biologis mestinya tidak dengan sendirinya, tidak secara alamiah membedakan posisi dan kondisinya
dalam masyarakat”. Perbedaan–perbedaan tersebut menyebabkan munculnya gerakan
feminisme dalam dunia sastra. Pandangan yang mempermasalahkan ketidakadilan yang dialami perempuan diakibatkan adanya paham patriarkhi di dalam dunia
sastra. Karya sastra terutama novel banyak sekali terdapat bias gender antara
penulis laki-laki dan penulis wanita. Seorang penulis laki-laki pada umumnya menjadikan tokoh perempuan sebagai seorang yang tertindas di berbagai bidang,
baik di dalam keluarga, masyarakat, agama maupun politik. Kesemuanya itu tidak lepas dari bagaimana seorang penulis melihat fenomena yang ada di sekitarnya.
Akhirnya bermunculan penulis perempuan yang ingin mengubah keadaan yang disebabkan oleh persepsi bias genjer dalam masyarakat.
Diskriminasi terhadap perempuan sudah mulai tampak sejak awal perkembangan kesusastraan Indonesia modern. Siti Nurbaya sebagai novel
pemula telah mengungkapkan kehidupan perempuan dengan berbagai penindasan dan penderitaan yang diciptakan oleh kondisi sosialnya. Wanita-perempuan dalam
novel sebelum perang digambarkan sebagai objek semata, penurut, lemah, kalah, dan tak berdaya melawan kekuatan sistem budaya yang diskriminatif dan feodalis,
sehingga perempuan dikalahkan oleh kemapanan budaya. Novel-novel sesudah perang tampaknya sudah berani mengungkapkan eksistensi perempuan sebagai
274 mahkluk yang tidak berbeda secara sosial dan psikologis dengan pria. Mereka
berpandangan bahwa perempuan seharusnya disejajarkan dengan pria. Siti Nurbaya adalah novel jenis feminis. Hal ini merupakan kemajuan
yang sangat berharga karena sebelumnya tidak pernah ada novel yang sefeminis Siti Nurbaya. Namun, feminisme di dalamnya tidak sama persis dengan
femininisme pada masa sekarang. Feminisme Stti Nurbaya dan kawan-kawannya adalah feminisme vernacular, feminisme kedaerahan yang dipengaruhi oleh
kondisi setempat pada masa itu. Siti Nurbaya menamakannya ”feminisme permulaan”, yaitu feminisme
yang muncul secara sporadis, bersifat individual, dan menyuarakan emansipasi perempuan, menuntut persamaan antara perempuan-sejak dulu laki-laki sudah
otonom-yaitu pemberian kebebasan kepada mereka untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Tuntutan persamaan itu tidak bersifat radikal karena mereka
menyadari bahwa persamaan yang betul-betul dalam segala hal tidak mungkin terjadi. Yang jelas bahwa dalam fase ini para tokohnya menjadikan adat sebagai
sasaran tembaknya karena adatlah yang menciptakan konstruksi gender dan subordinasi perempuan Sugihastuti Suharto, 2005: 337.
Menurut Mansour Fakih, 2007: 147 perbedaan gender ternyata telah mengakibatkan lahirnya sifat dan stereotype yang oleh masyarakat dianggap
sebagai ketentuan kodrati atau bahkan ketentuan Tuhan. Sifat dan stereotype yang sebetulnya merupakan konstruksi ataupun rekayasa sosial terkukuhkan menjadi
kodrat cultural, dalam proses yang panjang telah mengakibatkan terkondisikannya beberapa posisi perempuan antara lain: 1 Perbedaan dan pembagian gender yang
275 mengakibatkan, termanifestasi dalam, posisi subordinasi kaum perempuan di
hadapan laki-laki. Secara ekonomis, perbedaan dan pembagian gender juga melahirkan proses marginalisasi perempuan; 2 Perbedaan dan pembagian gender
juga membentuk penandaan atau stereotype terhadap kaum perempuan yang berakibat penindasan; 3 Perbedaan dan pembagian gender juga membuat kaum
perempuan bekerja lebih keras dan memeras keringat lebih panjang; 4 Perbedaan gender juga melahirkan kekerasan dan penyiksaan terhadap kaum
perempuan baik secara pisik maupun secara mental, dan 5 Perbedaan dan pembagian gender dengan segenap manifestasinya di atas, mengakibatkan
tersosialisasinya citra posisi, kodrat, dan penerimaan nasib perempuan yang ada. Hal yang menarik dalam novel Tabularasa karya Ratih Kumala ini
adalah kebebasan pengarang dalam menempatkan kedudukan penggarang dalam wujud penceritaan point of view. Pada bagian awal cerita sampai akhir cerita,
tokoh aku menempati kedudukan sebagai tokoh utama yang bebas menggunakan nama dan bebas menampilkan karakternya. Pengarang membangun karakter, alur,
setting, sudut penceritaan dengan kebenaran. Kebenaran dalam karya sastra mengandung makna kebenaran yang sesuai dengan keyakinan pengarang dan
sesuai dengan pandangannya terhadap masalah hidup dan kehidupan sebagai pencipta hasil karya sastra. Kebenaran dalam karya sastra tidak harus sama
dengan kebenaran di dalam dunia nyata, sesuatu yang tidak mungkin terjadi dalam kehidupan nyata mungkin akan dapat terjadi dalam kehidupan di dalam
karya sastra .
276 Dialog yang disampaikan dalam Tabularasa disampaikan penuh dengan
kekayaan imajinasi, bahkan ada banyak kalimat-kalimat yang memiliki makna sangat vulgar terkemas dengan berbagai gaya bahasa sehingga terkesan tidak
vulgar, tidak terkesan porno, dan tidak terkesan murahan dalam penyajiannya. Novel Tabularsa karya Ratih Kumala merupakan novel serius yang
bertemakan gejolak jiwa perempuan pada jaman neo kapitalis yang berlebel bagus. Di dalamnya mengungkapkan proses kreatif pengarang melalui
pengalaman langsung dan tidak langsung dan permasalahan kehidupan manusia modern yang kompleks. Melalui dua tokoh utama dalam novel ini melakukan
begitu banyak perjalanan untuk mencapai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka tentang cinta. Galih mencintai Krasnaya, Raras mencintai Violet, namun
cinta mereka yang tak pernah dipersatuakan karena dipisahkan oleh maut. Kisah cinta
yang sebenarnya
diungkapkan melalui
tokoh-tokohnya tanpa
mengungkapkan pengambaran adegan seks yang artifisial. Dengan demikian yang muncul adalah gagasan tentang makna perkawinan, tentang memilih pasangan
hidup apapun jenis kelaminnya sehingga terangkatlah ideologi tentang seksual dalam makna yang sesungguhnya.
Pada umumnya novel-novel berkembang bersamaan dengan munculnya Tabularasa karya Ratih Kumala adalah novel-novel yang semata-mata hiburan
hanya dibaca untuk kepentingan santai, meliputi pesona kepada pembaca. Novel yang bersifat hiburan tersebut kurang mengedepankan nilai-nilai pendidikan yang
dapat bermanfaat untuk kehidupan. Fakta menyatakan meskipun kebanyakan orang memuji fiksi serius dengan melabelinya ”bagus”, hanya sebagian kecil yang
277 membacanya. Pembaca memuji fiksi serius karena telah diajarkan untuk berbuat
demikian dan bukan karena mereka lebih menyukainya ketimbang fiksi populer. Cara penjelasan yang dipakai untuk menjelaskan yang ”bagus” dan yang enak
dibaca seolah-olah mengisyaratkan bahwa ”bagus” bagi fiksi serius berarti tidak enak dibaca. Secara implisit maupun eksplisit mereka menyebutkan bahwa fiksi
serius dimaksudkan untuk mendidik dan mengajarkan sesuatu yang berguna untuk kita dan bukannya memberi kenikmatan Robert Stanton, 2007: 4.
Adapun alasan memilih novel Tabularasa Karya Ratih Kumala ini adalah sebagai berikut. Pertama, karena selama ini belum ada yang meneliti
novel Tabularasa dengan tinjauan mengenai feminisme sastra, meskipun ada tetapi kurang spesifik karena hanya sebuah ulasan karya sastra. Kedua, novel
Tabularasa menampilkan hakekat cinta dengan latar belakang perkembangan sejarah peradaban manusia pada masa kapitalis hingga berlanjut ke Neo Kapitalis
yang erat hubungannya dengan feminisme, dikatakan demikian karena feminisme dianggap sebagai musuh terbesar komunisme. Ketiga, Ratih Kumala dalam
Tabularasa melihat masalah perkelaminan sebagai hak asasi manusia yang berlaku universal. Ia mencoba mengangkat masalahnya dari semangat untuk tidak
tergantung kepada salah satu jenis kelamin saja. Yaitu jenis kelamin laki-laki atau perempuan dan siapapun bebas menentukan pilihan ketika seseorang dengan
pasangan hidupnya memilih untuk punya anak atau tidak. Keempat, novel Tabularasa sarat dengan nilai-nilai pendidikan, agama, sosial, budaya, moral dan
nasionalis. Oleh karena itu, Tabularasa menjadi objek penelitian dengan judul
278 ”Novel Tabularasa Karya Ratih Kumala” Tinjauan Feminisme Sastra dan Nilai
Pendidikan.
B. Rumusan Masalah