Pendekatan Feminisme Sastra Kajian Tentang Feminisme Sastra a.

330

c. Pendekatan Feminisme Sastra

Pada umumnya mereka mengakui bahwa feminisme merupakan gerakan yang berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta harus ada upaya mengakhiri penindasan dan pengeksploitasian tersebut. Berdasarkan asumsi di atas berkembang berbagai pendapat-pendapat sebagai berikut: ”Upaya penelitian demikian lalu memunculkan teori pengkajian feminisme sastra. Dari sini pengkajian sastra feminis dapat kearah dua sasaran, yaitu: 1 bagaimana pandangan laki-laki terhadap perempuan dan 2 bagaimana sikap perempuan dalam membatasi dirinya. Keduanya akan berpusar lebar ke dalam teks sastra yang jalin-menjalin dengan budaya masing-masing wilayah Suwardi Endraswara, 2008:147. Jabaran dua sasaran itu, menurut Selden Pradopo, 1991:137 dapat digolongkan menjadi lima fokus: 1 biologi, yang sering menempatkan perempuan lebih inferior, lembut, lemah, dan rendah; 2 pengalaman, seringkali perempuan dipandang hanya memiliki pengalaman terbatas, masalah menstruasi, melahirkan, menyusui, dan seterusnya; 3 wacana, biasanya perempuan lebih rendah penguasaan bahasa, sedangkan laki-laki memiliki ”tuntutan kuat”. Akibat dari semua ini, akan menimbulkan stereotip yang negative pada diri perempuan, perempuan sekadar kanca wingking; 4 proses ketidaksadaran, secara diam-diam penulis feminis telah meruntuhkan otoritas laki-laki. Seksualitas perempuan bersifat revolusioner. Suwardi Endraswara 2008:146 menjelaskan lebih lanjut tentang dasar pemikiran feminisme yaitu, “Subversive, beragam, dan terbuka. Namun demikian, hal ini masih kurang disadari oleh laki-laki; 5 pengarang feminis biasanya sering menghadirkan tuntutan sosial dan ekonomi yang berbeda dengan laki-laki. 331 Dari berbagai fokus tersebut, peneliti sastra yang berhaluan feminis dapat memusat pada beberapa pilihan agar lebih mendalam. Dasar pemikiran dalam penelitian sastra berprespektif feminis adalah upaya pemahaman kedudukan dan peran perempuan seperti tercermin dalam karya sastra. Peran dan kedudukan perempuan tersebut akan menjadi sentral pembahasan penelitian sastra. Penneliti akan memperhatikan dominasi laki-laki atau gerakan perempuan”. Feminisme mengkaji kedudukan dan peran perempuan dalam karya sastra sebagai dasar terpenting dalam pembahasan. Selanjutnya Selden1993:205 menyampaikan tentang kritik feminisme yaitu, “…feminist critical theory has mean, par excellence, contradiction, interchange, debate; indeed it is based on a series of creative oppositions, of critiques and counter-critiques, and is contantly and innovatively in flux – challenging, subverting and expand-ing not only male theories but its own positions and agenda”. Teori kritik feminisme tersebut menyampaikan adanya pertentangan, pembelokan dan perdebatan bukan hanya teori mengenai “pria” tapi juga tentang kaum perempuan yang mana memiliki posisi yang pantas untuk dipermasalahkan jadi bukan hanya kaum pria tetapi juga kaum feminis sendiri sebagai perempuan. Mariane H. Marchand and Jane L. Parpart1995:8 menyampaikan hal yang sama bahwa kritik feminisme menginspirasikan pencarian jati diri kaum perempuan di utara dan mendorong keterbukaan akan perbedaan dan ketidakberdayaan. “These critiques have inspired considerable soul-searching among feminists in the North, and have encouraged an openness to difference and a reluctance to essentialize “woman” that bodes well for global feminist understanding ‘. Suwardi Endraswara mengungkapkan focus kajian feminisme pada: 1 kedudukan dan peran tokoh perempuan dalam sastra; 2 ketertinggalan kaum perempuan dalam pendidikan dan aktivitas kemasyarakatan; 3 faktor pembaca 332 sastra, khususnya tanggapan pembaca terhadap emansipasi perempuan dalam sastra. Jika peneliti mampu mengungkap ketiga fokus tersebut, setidaknya akan terbaca pula tujuan penelitian feminis sastra yang dikemukakan Kuiper Sugihastuti dan Suharto, 2002: 68, yaitu: a untuk mengkritik hasil karya sastra dan untuk menyoroti hal-hal yang bersifat standar yang didasarkan pada patriakhal; b untuk menampilkan teks-teks yang diremehkan yang dibuat perempuan; c untuk mengokohkan gynocritic, yaitu studi teks-teks yang dipusatkan pada perempuan, dan untuk mengokohkan kaum perempuan; d untuk mengeksplorasi konstruksi kultural dari gender dan identitas. Lebih lanjut Teeuw dalam Ratna,2007:183-184 menyampaikan tentang beberapa indiktor yang dianggap telah memicu lahirnya gerakan feminis di dunia Barat tersebut, sebagai berikut: 1 berkembangnya teknik kontrasepsi, yang memungkinkan perempuan melepaskan diri dari kekuasaan lelaki; 2 adikalisasi politik, khususnya sebagai akibat perang Vietnam; 3 akhirnya gerakan pembebasan dari ikatan-ikatan tradisional, misalnya ikatan gereja, ikatan kulit hitam Amerika, ikatan mahasiswa dan sebagainya; 4 sekularisasi, menurunkan wibawa agama dalam segala bidang kehidupan; 5 perkembangan pendidikan yang secara khusus dinikmati oleh perempuan; 6 reaksi terhadap pendekatan sastra yang mengasingkan karya dari struktur sosial, seperti kritik baru dan strukturalime; 7 ketidakpuasan terhadap teori dan praktik ideology Marxis Orthodoks, tidak terbatas sebagai Marxis Asovyet atau Cina, tetapi Marxis di dunia Barat secara keseluruhan. 333 Sementara itu feminisme di Indonesia oleh Julia Kriteva dikatakan bahwa: “Pengkalisfikasikan gelombang feminisme menjadi tiga tahap, tetap Indonesia masih belum bisa merumuskan arah gerakan feminismenya secara konkrit dan menyuarakan gaungnya. Dari gelombang pertama feminisme egalitarian yang bertujuan menghapus kelas, Indonesia masih belum bisa menyikapi penghapusan kelas. Jangankan kelas perempuan dan laki-laki, penghapusan kelas proletar dan borjuis masih belum bisa dilakukan sehingga dampaknya adalah semakin langgengnya kapitalisme. Pada gelombang kedua yang menekankan radikalisme, Indonesia bisa dipastikan tidak akan pernah bisa mengusung gerakan ini. Pasalnya, pluralitas dan adat ketimuran masih menjadi pondasi bagi madyarakat Indonesia. Sehingga hal tersebut naif sekali untuk diterapkan di Indonesia. Kemungkinan terbesar, gerakan feminisme Indonesia akan mengarah kepada gerakan feminisme gelombang ketiga. Hal ini disebabkan pada gelombang ini, gerakan mengarah pada desakan eksistensi yang paralel yang mampu mengkaloborasikan dengan budaya setempat”. http:leeanarea.blogspot.com200807kritik-terhadap-feminisme- indonesia.html. Berakar dari penyebab munculnya feminisme dan seiring kemajuan teori feminisme Deboran Cameron 1993:5 menyatakan tanggapannya tentang perkembangan teori feminisme sebagai berikut. Feminist theory has advanced various accounts and examined the influence of a number of factors.An example is the sexual division of labour, present to some degree in all known societies, in which some tasks are woman,s and others are men,s. Men,s work is economically and socially valued; Woman,s usually is not. The Societies which most closely approach sexual equality seem to be those in which woman control their own production, and men need the things they produce. Kemajuan teori feminisme dalam bermacam-macam bidang dan menjelaskan pengaruh dalam beberapa faktor. Sebagai contoh dalam kelompok seksual dari ketenagakerjaan berlansung pada beberapa sosial yang diketahui, dimana di bedakan antara beberapa tugas perempuan dan tugas laki-laki. Tugas laki-laki dalam bidang ekonomi dan bernilai sosial. Perempuan selalu tidak demikian. Pengetahuan sosial yang paling dekat dengan pendekatan kualitas sosial yang terlibat dalam diri masing-masing yang mengontrol produksinya sendiri-sendiri dan laki-laki membutuhkan hal yang mereka produksi. 334 Nyoman Kutha Ratna 2007:186 menyampaikan fokus pembicaraan teori feminisme yaitu, “Teori feminisme menfokuskan diri pada pentingnya kesadaran mengenai persamaan hak antara perempuan dan laki-laki dalam semua bidang. Teori ini berkembang sebagai reaksi dari fakta yang terjadi di masyarakat, yaitu adanya konflik kelas, konflik ras, dan, terutama, karena adanya konflik gender. Feminisme mencoba untuk mendekonstruksi sistem yang menimbulkan kelompok yang mendominasi dan didominasi, serta sistem hegemoni di mana kelompok subordinat terpaksa harus menerima nilai- nilai yang ditetapkan oleh kelompok yang berkuasa. Feminisme mencoba untuk menghilangkan pertentangan antara kelompok yang lemah dengan kelompok yang dianggap lebih kuat. Lebih jauh lagi, feminisme menolak ketidakadilan sebagai akibat masyarakat patriarki, menolak sejarah dan filsafat sebagai disiplin yang berpusat pada laki-laki, subyek sebagai ego- centric menggunakan pikiran-pikiran, sementara perempuan sebagai hetero- centric untuk orang lain”. Hal sama disampaikan oleh Tong dalam Witakania menyampaikan tentang fokus pembicaraan dalam teori feminisme yaitu, “Masyarakat patriarkal menggunakan fakta tertentu mengenai fisiologi perempuan dan laki-laki sebagai dasar untuk membangun serangkaian identitas dan perilaku maskulin dan feminin yang diberlakukan untuk memberdayakan laki-laki di satu sisi dan melemahkan perempuan di sisi lain. Masyarakat patriarkal menyakinkan dirinya sendiri bahwa konstruksi budaya adalah “alamiah” dan karena itu “normalitas” seseorang tergantung pada kemampuannya untuk menunjukkan identitas dan perilaku gender. Perilaku ini secara kultural dihubungkan dengan jenis kelamin biologis seseorang. Masyarakat patriarkal menggunakan peran gender yang kaku untuk memastikan perempuan tetap pasif penuh kasih sayang, penurut, tanggap terhadap simpati dan persetujuan, ceria, baik, ramah dan laki-laki tetap aktif kuat, agresif, penuh rasa ingin tahu, ambisius, penuh rencana, bertanggung jawab, orisinil, kompetitif Tong, 1998:72-73. http:resources.unpad.ac.idunpadontentuploadspublikasi_dosensas tra20dan20sastra20feminis20dalam20kebudayan.pdf. Lebih lanjut Selden 1993: 203 menegaskan bahwa tujuan kritik feminise adalah mencari dan menemukan kemudian menegaskan perlunya persamaan gender antara perempuan dan perempuan. Perbedaan jenis kelamin dan kebudayaan patrilineal perlu dihapus di dalam masyarakat. 335 “Throughout its long history, feminism for while the word may only havve come into English usage in the 1890s, women’s conscious struggle to resist patriarchy goes much further back has sought to disturb the complacent certainties of such a patriarchal culture, to assert a belief in sexual equality, and to eradicate sexist domination in transforming society. Tujuan dari kritk tersebut adalah mencari cara untuk mengusik keyakinan akan kebudayaan patrilineal, untuk menegaskan persamaan gender dan untuk mencabut dominasi jenis kelamin dalam masyarakat sehingga mengalami adanya perubahan. Hal yang sama disampaikan sesuai dengan tujuan inti pendekatan feminisme menurut Djajanegara dalam Nani Tuloli, 2000: 85 menyatakan bahwa: ”Pendekatan feminisme bertujuan untuk meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat laki-laki. Perjuangan untuk mencapai tujuan ini mencakup beberapa cara termasuk melalui bidang sastra “. Mansour Fakih meluruskan anggapan tentang feminisme yang sempat ditolak oleh masyarakat. Mansour Fakih2007: 78 menyatakan: “Persoalannya feminisme itu sendiri,seperti juga aliran pemikiran dan gerakan lainnya, bukan merupakan suatu pemikiran atau aliran yang tunggal, melainkan terdiri atas pelbagai ideologi, paradigma, serta teori yang dipakai oleh mereka masing-masing. Meski gerakan feminis datang dengan analisis dan dari ideology yang berbeda-beda, umumnya mereka mempunyai kesamaan kepedulian, yakni memperjuangkan nasib perempuan”. Menurut Kasiyam dalam Sugiyastuti dan Itsna Hadi S 2007: 96 feminisme sebagai gerakan perempuan muncul dalam karakteristik yang berbeda- beda yang disebabkan asumsi dasar yang memandang persoalan-persoalan yang menyebabkan ketimpangan gender, sehingga munculah beberapa aliran dalam pendekatan feminisme. Gerakan feminisme muncul pada tahun 1960an, yaitu: 336 1 Feminisme Liberal Kerangka kerja feminis liberal dalam mamperjuangkan masyarakat tertuju pada “ kesempatan yang sama dan hak yang sama “ bagi setiap individu, termasuk di dalamnya kesempatan dan hak kaum perempuan .Kesempatan dan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan ini penting bagi mereka dan karenanya tidak perlu membedakan kesempatan antara laki- laki dan perempuan Mansour Fakih, 2007: 81. Pendidikan dan ketrampilan bagi perempuan akan meningkatkan partisipasi perempuan dalam berbagai lingkungan sosial sehingga terbentuk kemintraan laki-laki dan perempuan. Kemitraan bersifat kesejajaran yang saling bekerjasama dan saling melengkapi karena pada dasarnya perempuan memiliki kemampuan dan potensi apabila memperoleh kesempatan untuk mengembangkan potensi yang ada pada dirinya. 2 Feminisme Radikal Jaggar dalam Mansour Fakih, 2007: 84 mengatakan: “Para penganut feminisme radikal tidak melihat adanya perbedaan antara tujuan personal dan politik, unsur-unsur seksual atau biologis. Sehingga, dalam melakukan analisis tentang penyebab penindasan terhadap kaum perempuan oleh laki-laki, mereka menganggapnya berakar pada jenis kelamin laki-laki itu sendiri beserta ideologi patriakrinya. Dengan demikian ‘kaum laki-laki’ secara biologis maupun politis adalah bagian dari permasalahan. Dari situ aliran feminisme menganggap bahwa penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki seperti hubungan seksual, adalah bentuk dasar penindasan terhadap kaum perempuan “. Waluyo dalam Jurnal Dwijawarta, No. 1, 1998 menegaskan bahwa bagi feminisme radikal ideologi patriarki yang menimbulakan hierarki 337 kekuasaan di mana laki-laki berkedudukan superior dan perempuan inferior merupakan dasar penindasan perempuan. Pembaharuan teknologi ditujukan agar perempuan tidak menderita berkepanjangan karena harus mempergunakan alat KB, pengaturan kehamilan serta pengasuhan anak dan permasalahan rumah tangga menjadi tanggung jawab secara bersama. Dominasi laki-laki dalam menenukan reproduksi harus dihindari karena berkaitan dengan organ milik perempuan. Perempuan semestinya memiliki kebebasan kapan ia menentukan kehamilannya dan mempergunakan alat kontrasepsi yang diinginkan. Dalam bentuk yang paling ekstrim feminisme radikal menyampaikan konsepnya bahwa perempuan dianjurkan tidak perlu menikah jika pernikahan hanya merupakan sumber utama dari penindasan laki-laki atas perempuan. 3 Feminisme Marxis Kelompok ini menolak keyakinan kaun radikal yang menyatakatn biologis sebagai dasar perbedaan gender. Bagi kaum ini penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan reproduksi. Persoalan perempuan selaku diletakkan dalam kerangka kritis atas kapitalisme Mansour Fakih, 2007:86. Hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam feminisme marxis dalam pernikahan seperti hubungan antara kelas borjuis dan kelas proletar. Kepemilikan laki-laki terhadap perempuan disamakan dengan kepemilikan laki-laki terhadap barang produksi. Segala peraturan dari laki- laki harus ditaati perempuan sehingga laki-laki sebagai “pemilik” dan perempuan sebagai” barang milik” laki-laki. 338 4 Feminisme Sosialis Aliran ini menurut Jaggar dalam Mansour Fagih, 2007: 91 mengatakan bahwa: “Feminisme merupakan paduansintesa antara metode histories materialis Marx dan Engels dengan gagasan personal is political dari kaum feminis radikal. Aliran ini menganggap bahwa konstruksi sosial sebagai sumber ketidakadilan terhadap perempuan. Termasuk di dalamnya adalah stereotipe-stereotipe yang diletakkan pada kaum perempuan “. Lebih lanjut Mansour Fakih 2007: 90 menyampaikan tambahan pendapatnya tentang feminisme sosialis sebagai berikut: ”Penindasan perempuan terjadi di kelas manapun, bahwa revolusi sosialis ternyata tidak serta merta menaikkan posisi perempuan.Atas dasar itu mereka menolak fisi Marxis klasik yang meletakkan eksploitasi ekonomi sebagai dasar penindasan gender. Sebaliknya, feminisme tanpa kesdaran kelas juga menimbulkan masalah. Oleh karen itu analisis patriarki perlu dikawnkan dengan analisis kelas. Dengan demikian kritik terhadap eksploitasi kelas dari sistem kapitalisme harus dilakukan pada saat yang sama dengan disertai kritik ketidak adilan gender yang mengakibatkan dominasi, subordinasi,dan marginalisasi atas kaum peremuan”. Sejalan dengan pemikiran Mansour Fakih yang membagi aliran dalam empat macam yaitu Feminisme Liberal, Feminisme Radikal, Feminisme sosialis, dan feminisme Marxis, Herman J. Waluyo Jurnal Wanodya, 2000: 1 menyampaikan konsepnya tentang aliran dalam pendekatan feminisme yaitu: Feminisme Liberal memandang bahwa menurut kodratnya perempuan itu lemah dan kapasitasnya terbatas. Karena itu, perempuan disisihkan dari dunia publik pendidikan, pekerjaan, jabatan, dan sebagainya, sehingga tidak dapat berkembang dan hak-haknya menjadi terbatas. Perempuan tidak mendapatkan kesempatan untuk berkompetisi secara adil dengan pria. 339 Karena itu, feminisme liberal menganjurkan gugatan agar diadakan pengendalian agar perempuan tidak dirugikan. Feminisme Radikal memandang bahwa perbedaan biologis antara pria dan perempuan menjadi sumber apresi dan subordinasi perempuan yang membedakan dari pria. Karena itu, pembebasan perempuan harus diusahakan dengan revolusi biologis-teknologi. Perempuan tidak mengalami penderitaan berkepanjangan karena harus menderita dalam KB, kehamilan, pengasuhan anak, melayani suami, dan urusan” perempuan” yang sebenarnya adalah urusan bersama. Dominasi pria dalam sistem reproduksi perempuan harus dihindarkan karena semua hal tersebut berkaitan dengan perempuan. Institusi sosial budaya dan struktur legalitas politis harus ditumbangkan dari dominasi laki-laki. Perempuan harus bebas memutuskan kapan ia mau atau tidak mau menggunakan alat kontrasepsi, hamil, bayi tabung ataupun kontrak kehamilan. Bukan pria yang menentukan hal itu semua. Feminisme psikoanalitik Freud, memandang bahwa akar apresi perempuan adalah pada jiwa perempuan itu sendiri .anak-anak lelaki dibuat sangat tergantung pada ayahnya. Anak laki-laki kemudian mampu melepaskan dominasi ibu dan berintegrasi pada budaya ayah untuk menguasai alam dan perempuan, karena sama-sama memiliki ”penis”, sementara anak perempuan yang tidak memiliki selalu tergantung pada orang lain karena integrasinya tidak sempurna. Perempuan selalu berada 340 pada perbatasan budaya, tidak dapat menguasai tetapi selalu dikuasai, bahkan perempuan takut akan kekuatannya sendiri. Feminisme sosialis memandang bahwa kondisi perempuan ditentukan oleh struktur produksi, reproduksi, seksualitas dan sosialisasi masa kanak- kanaknya. Kalau perempuan ingin memperoleh kebebasan, maka status dan fungsinya dalam struktur harus diubah. Sikap rendah diri perempuan harus diubah untuk memperoleh kepercayaan diri dalam melepaskan pemikirannya dari cara pandang patriarkal. Feminisme eksistensialis memandang perempuan sebagai the other karena ia bukan perempuan. Perempuan tidak bebas menentukan makna eksistensinya dan hanya menjadi obyek yang eksistensinya ditentukan oleh pria. Karena itu, perempuan harus mendobrak definisi, label, dan esensi yang membatasi eksistensinya dan berusaha untuk dirinya sendiri. Feminisme paska modern berpandangan bahwa pengalaman perempuan berbeda menurut kelas, ras, dan budayanya. Dogma patriakal harus ditentang melalui penolakan terhadap pemikiran-pemikiran yang tunggal dan simplitis. Feminisme moderat memandang bahwa kodrat perempuan dan pria memang berbeda yang harus dibuat sama adalah hak, kesempatan, dan perlakuan. Karena itu, yang penting dalam hubungan pria dan perempuan adalah terciptanya hubungan kemitrasejajaran. Kemitrasejajaran ini adalah merupakan pandangan pokok dari jender. 341 Sesuai dengan prinsip yang ditawarkan femiisme radikal di atas, Gerarda Sunarsih Jurnal Wanodya, 2000:1 menjelaskan perlunya pelaksanaan berbagai program untuk menjamin hak reproduksi didasarkan pada pengakuan terhadap hak-hak asasi semua pasangan dan perorangan untuk menentukan secara bebas dan bertanggung jawab: jumlah, jarak dan saatnya melahirkan anak-anak mereka serta informasi dan cara-cara yang dibutuhkan untuk meleksanakannya; serta hak untuk mendapatkan derajat kesehatan reproduksi dan seksual yang paling tinggi. Termasuk hal dari semua untuk memutuskan tentang masalah reproduksi, bebas dari diskriminasi, paksaan, dan kekerasan. Martha Shelly dalam Mansour Fakih et all, 2000: 226 menyampaikan pendapatnya tentang feminisme radikal yang lebih ekstrim berorientasi bahwa menjadi lesbian adalah terbebas dari domonasi laki-laki, baik secara internal maupun eksternal. Selanjutnya Martha Shelly berkata bahwa perempuan lesbian perlu dijadikan model sebagai perempuan mandiri. Lebih jelasnya disampaikan dengan bahasa Inggris sebagai berikut: ”I have never met a lesbian who was feminist ..... I have never met a lesbian who believed that she was innately less rational or capable that a man, … in a male-dominated society, lesbianism is a sign of metal health”. Hal yang sama disampaikan bahwa Feminisme radikal muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi perjuangan separatisme perempuan. Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. 342 Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Gerakan ini adalah gerakan yang sesuai namanya yang radikal. Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas termasuk lesbianisme, seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. The Personal is Political menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan perempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk black propaganda banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini memiliki Undang Undang RI No. 23 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga UU PKDRT. http:id.wikipedia.orgwikiFeminisme. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan dan teori sastra feminis melihat bagaimana nilai-nilai budaya yang di- anut suatu masyarakat, suatu kebudayaan, yang menempatkan perempuan pada kedudukan tertentu serta melihat bagaimana nilai-nilai tersebut mempengaruhi hubungan antara perempuan dan laki-laki dalam tingkatan psikologis dan budaya. 343

d. Pendekatan Feminisme dalam Kajian Sastra Novel