165
konkrit, yang hanya menunjuk kepada suatu kejadian tertentu saja, misalnya: matinya orang, terhadap peristiwa tersebut
tidak mungkin dilarang, tapi yang dilarang oleh hukum pidana adalah matinya orang karena perbuatan orang lain, tapi
apabila matinya orang tersebut karena keadaan alam, sakit, maka peristiwa tersebut tidak penting sama sekali bagi hukum
pidana. Menurut Utrecht
127
, menganjurkan memakai istilah peristiwa pidana, karena Peristiwa itu meliputi suatu
perbuatan handelen atau doen -positif atau suatu
melalaikan Verzuim atau nalaten , niet-doen -negatif
maupun akibatnya = keadaan yang ditimbulkan oleh karena perbuatan atau melalaikan itu. Jadi peristiwa pidana adalah
peristiwa hukum
rechtfeit, yaitu
suatu peristiwa
kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum;
2. Istilah Perbuatan Pidana
128
Istilah perbuatan pidana merupakan istilah yang mengadung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, sebagai
istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Pengertian pidana
mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang konkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga
perbuatan pidana haruslah diberi arti yang bersifaf ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan
istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat. Perbuatan pidana menurut Moeljatno adalah perbuatan yang
oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, dan dalam hal tersebut diingat bahwa larangan ditujukan kepada
perbuatan, yaitu keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang
yang menimbulkan kejadian itu. Sehingga antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, karena kejadian
tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian
yang ditimbulkan olehnya. Jadi perkataan perbuatan yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada dua keadaan
konkrit, yaitu: pertama, adanya kejadian tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian;
127
E. Utrecht, Hukum Pidana I, Universitas Jakarta: Jakarta, 1958, hlm: 250.
128
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, op. Cit: 124.
166
3. Istilah Tindak Pidana
129
Istilah tindak pidana digunakan dan tercantum dalam pasal 129 Undang-undang Nomor. 7 tahun 1953 tentang pemilihan
anggota Konstitusi dan anggota DPR, Undang-undang Pemberantasan Korupsi, dan lain-lain.
Berdasarkan penjelasan dan pengertian tentang istilah- istilah yang dipakai, maka dalam hal ini penulis lebih cenderung
menggunakan istilah perbuatan pidana, dikarenakan berdasarkan defenisi di atas, maka dapat dilihat bahwa istilah perbuatan pidana
menunjuk pada suatu kejadian yang pelakunya adalah manusia yang merupakan salah satu subyek hukum pidana disamping
korporasi, sedangkan istilah peristiwa pidana menunjuk pada suatu kejadian yang mana pelakunya bisa manusia, alam, hewan dan lain-
lain yang menurut penulis hal ini terlalu luas dan tidak masuk dalam kajian hukum pidana.
Hubungan antara perbuatan pidana dan Strafbaar Feit dalam lingkup kesamaan pengertian, dan dipakai dalam khasanah
keilmuan hukum pidana, mempunyai perbedaan makna. yang walaupun perbuatan pidana merupakan pengalihan bahasa dari
bahasa Belanda ke bahasa Indonesia.
Strafbaar Feit dipergunakan di Negeri Belanda yang beraliran paham monistis yang antar lain dikemukan oleh Simon.
yang merumuskannya sebagai berikut:
Strafbaar Feit sebagai suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum,
dilakukan oleh orang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya.
Berdasarkan dari
pengertian tersebut maka
dapat disimpulkan unsur-unsur dari Strafbaar Feit meliputi baik unsur-
unsur perbuatan yang lazim disebut dengan unsur obyektif, maupun unsur-unsur pembuat yang lazim disebut unsur subyektif
dicampur menjadi satu, sehingga Strafbaar Feit sama dengan syarat-syarat penjatuhan pidana, sehingga seolah-olah dianggap
kalau terjadi Strafbaar Feit maka pelakunya pasti dapat dipidana
129
Samidjo, Hukum Pidana Ringkasan Tanya Jawab, op.cit: 80.
167
Perbuatan pidana yang pokok pengertian harus mengenai Perbuatan, yang dalam hal ini tidak mungkin mengenai orang yang
melakukan perbuatan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Moeljatno di atas yang memisahkan antara perbuatan dan
pembuatnya. Pokok pengertian pada perbuatan dan apakah inkonkrito yang melakukan perbuatan tadi sungguh-sungguh
dijatuhi pidana atau tidak, itu sudah di luar arti perbuatan pidana
130
. Tapi pada perkembangnya telah tumbuh pemikiran baru
tentang Strafbaar Feit, yang menurut pandangan Pompe, Jonkers dan Vos, telah tumbuh pemikiran tentang pemisahan antara de
strafbaarheit van heit feit dan de strafbaarheit van de dader ,
dengan perkataan lain bahwa adanya pemisahan antara perbuatan yang dilarang dengan ancam
an pidana dan orang yang melanggar larangan yang dapat dipidana yang dalam hal ini satu pihak
tentang perbuatan pidana dan dipihak lain tentang kesalahan
131
. Dengan adanya pemisahan antara perbuatan dan pembuatan
merupakan termasuk aliran paham dualistis. Perbuatan pidana yang oleh hukum pidana dilarang dan
diancam dengan pidana dinamakan delik yang dalam sistem Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP terbagi dalam dua 2 jenis
yaitu sebagai berikut
132
:
1. Kejahatan misdrijven; Yang disusun dalam Buku II KUHP, kejahatan adalah Criminal-
onrecht yang merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan hukum atau dengan kata lain perbuatan yang
bertentangan dengan norma-norma menurut kebudayaan atau keadilan yang ditentukan oleh Tuhan dan membahayakan
kepentingan hukum. Contoh dari kejahatan dalam KUHP yaitu pada Pasal 362 tentang pencurian, Pasal 378 tentang
penggelapan, dan lain-lain. Tapi ada satu catatan bahwa pengertian kejahatan menurut hukum pidana berbeda dengan
kejahatan menurut ilmu kriminologi;
2. Pelanggaran overtredingen; Disusun dalam Buku III KUHP, pelanggaran adalah politie-
onrecht adalah perbuatan yang tidak mentaati larangan atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa Negara atau dengan
130
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, op.cit: 126.
131
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ibid; 126.
132
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ibid; 96-97.
168
kata lain perbuatan yang pada umumnya menitik beratkan dilarang oleh peraturan penguasa Negara. Contoh dari bentuk
pelanggaran dalam KUHP adalah: Pasal 504 tentang pengemisan, Pasal 489 tentang kenakalan, dan lain-lain.
Dalam ilmu pengetahuan, banyak dipakai istilah Delik
133
sedangkan Pemerintah dalam beberapa peraturan perundang- undangan selalu memakai istilah Tindak Pidana . Misalnya, dalam
Undang-Undang. Nomor. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tidak ketinggalan R.UU. K.U.H.Pidana juga
nampaknya lebih memilih untuk menggunakan istilah Tindak
Pidana . al ini terlihat jelas dari penggunaan istilah tindak pidana dalam Buku Kesatu dan Buku Kedua R.UU. K.U.H.Pidana.
Mengenai istilah peristiwa pidana, istilah ini terlampau luas untuk merumuskan delik, karena istilah peristiwa sebenarnya
berarti segala sesuatu yang terjadi, mungkin kejadian alam, mungkin juga karena tindakan manusia. Pada hal strafbaarfeit
adalah suatu perbuatan manusia, yang dalam bahasa Belanda banyak digunakan istilah handeling yang berarti perbuatan.
misalnya, delict is een mensclijke handeling.
Apabila tinjau lebih lanjut mengenai istilah perbuatan manusia, istilah ini juga merupakan istilah yang sempit untuk
dirumuskan berkenaan dengan masalah apa yang dinamakan dengan delik. Bila memakai istilah handeling ini berarti perbuatan
manusia yang aktif. Sedangkan yang dimaksud dengan strafbaarfeit juga meliputi tindakan yang pasif yaitu bila seseorang tidak berbuat.
Kemudian oleh beberapa sarjana juga menggunakan istilah
gedraging yang dapat diterjemahkan dengan istilah tindakan
yang aktif dan pasif.
133 Menurut penulis, kata delik berasal dari bahasa Latin, yaitu dellictum, yang didalam Wetboek Van Strafbaar feit Netherland dinamakan Strafbaar feit. Dalam
Bahasa Jerman disebut delict, dalam Bahasa Perancis disebut delit, dan dalam Bahasa Belanda disebut delict. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, arti delik diberi
batasan sebagai berikut: perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana. E. Utrecht,
memakai istilah peristiwa pidana karena istilah peristiwa itu meliputi suatu perbuatan handelen atau doen atau suatu melalaikan verzuin atau nalaten
maupun akibatnya keadaan yang ditimbulkan oleh karena perbuatan atau melalaikan itu, dan peristiwa pidana adalah suatu peristiwa hukum, yaitu suatu
peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum.
169
Sehingga tindakan-tindakan manusia di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana telah diberi arti secara luas, yakni
bukan semata-mata sebagai suatu tindakan yang bersifat aktif atau yang di dalam bahasa Belanda juga sering disebut sebagai een doen
atau doen atau handelen atau suatu tindakan untuk melakukan sesuatu atau kelakuan yang positif berbuat sesuatu, melainkan
juga meliputi suatu sikap yang bersifat pasif atau yang di dalam bahasa Belanda juga sering disebut sebagai een niet doen atau een
nalaten atau nalaten atau zerzuim atau suatu sikap untuk tidak melakukan sesuatu ataupun suatu sikap untuk mengalpakan
sesuatu atau kelakuan yang negatif tidak berbuat sesuatu.
134
Simons merumuskan bahwa strafbaarfeit adalah kelakuan handeling yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan
hukum, yaitu berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab. Sedangkan Van Hamel,
mengatakan bahwa; Strafbaarfeit adalah kelakuan orang menselijke gedraging yang dirumuskan dalam Wet, yang bersifat
melawan hukum yang patut dipidana strafwaardig yang dilakukan dengan kesalahan.
Secara bahasa bahasa Belanda strafbaar itu adalah dapat dihukum, sedangkan feit adalah peristiwakenyataan. Kata
peristiwa di sini tentunya adalah perbuatan. Sehingga secara keseluruhan strafbaarfeit itu adalah suatu peristiwakenyataan
yang dihukum. Definisi ini sebetulnya tidak tepat. Persoalannya sekarang apakah perbuatan itu dapat dipidana? Padahal sebetulnya
yang dipidana adalah orang yang perbuatannya dikualifikasikan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.
Di dalam menjawab pertanyaan tadi, kita dihadapkan pada 2 dua persoalan yaitu perbuatan dan pertanggungjawaban. Hal ini
melahirkan dua teori yaitu teori dualisme dan teori monisme.
135
1. Teori Dualisme: Teori dualisme adalah sebuah teori tentang cara berfikir yang memisahkan antara perbuatan dan
pertanggung jawaban. Cara berfikir ini dinamakan cara berfikir yang dualistis teori dualisme. Menurut para sarjana penganut
134
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Refika Aditama: Bandung, 2003, hlm: 31-36.
135
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia: Jakarta, 1994, hlm: 124-129.
170
teori ini, perbuatan pidana hanya menunjukkan sifatnya sebagai perbuatan yang terlarang. Dengan kata lain
strafbaarfeit tetap ada, walaupun oleh sesuatu dasar yang meniadakan hukuman, unsur schuld dari suatu tindakan itu
telah ditiadakan, asalkan tindakan tersebut benar-benar telah memenuhi semua unsur dari sesuatu tindak pidana seperti
yang telah dirumuskan di dalam undang-undang. Lain lagi
apabila unsur wederrechtelijk dari sesuatu tindakan yang terlarang itu telah ditiadakan oleh sesuatu dasar yang
meniadakan hukuman, maka kita tidak lagi dapat mengatakan bahwa strafbaarfeit itu ada. Dalam merumuskan perbuatan
pidana, hal ini hendaknya diperhatikan. Pengertian perbuatan pidana
terpisah dari
pertanggungan jawab
pidana. Konsekuensinya perbuatan pidana tetap ada meskipun orang
yang melakukannya tidak dapat dipertanggung jawabkan. Teori dualisme ini dipengaruhi oleh aliran modern. Penganut
teori ini diantaranya adalah Moeljatno.
2. Teori Monisme: Teori monisme adalah sebuah teori tentang cara berfikir yang menggabungkan antara perbuatan dan
pertanggungjawaban. Cara berfikir ini dinamakan cara berfikir yang monistis teori monisme. Para sarjana penganut teori ini,
berpendapat bahwa wederrectelijkheid dan schuld itu merupakan unsur-unsur yang selalu melekat pada setiap
strafbaarfeit . ni berarti orang tidak dapat menyebut sesuatu
tindakan itu sebagai sutau strafbaarfeit, apabila pada tindakan tersebut tidak melekat suatu sifat yang wederrechtelijk
ataupun tindakan tersebut oleh pelakunya tidak dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja. Jadi tidak
mungkin ada perbuatan pidana jika orangnya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Teori monisme ini dipengaruhi oleh
aliran klasik. Penganut teori monisme ini diantaranya adalah Pompe, Satochid dan Van Bemelen. Contoh: orang gila yang
melakukan pembunuhan.
Menurut paham monistis perbuatan orang gila yang membunuh adalah bukan perbuatan pidana, karena orang gila tidak
bisa dipertanggungjawabkan, maka perbuatannya tidak dapat dikatakan sebagai tindak pidana. Menurut paham dualistis
perbuatan orang gila yang membunuh adalah merupakan perbuatan pidana, karena sekalipun orang gila tersebut nantinya tidak akan
dipertanggungjawabkan karena ia tidak mampu bertanggungjawab, perbuatan orang gila tersebut tetap dikatakan sebagai tindak
pidana. Persoalan perbuatan adalah persoalan lahiriah ada pada
171
lapangan lahiriah. Perbuatan berarti bicara tentang melawan hukum. Sedangkan pertanggung jawaban adalah persoalan batiniah
ada pada lapangan batin. Aspek batiniah adalah hal-hal yang ada dalam diri manusia yang memandu batin. Dengan demikian
pertanggung jawaban berarti bicara tentang kesalahan. Cara berfikir mana yang kita pakai saat ini, cara berpikir dualistislah yang
dipakai.
Untuk menjabarkan sesuatu rumusan delik tindak pidana kedalam unsur-unsurnya, maka yang mula-mula dapat dijumpai
adalah disebutkannya sesuatu tindakan yang dilarang oleh undang- undang. Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana, sesuatu
tindakan itu dapat merupakan hal melakukan sesuatu ataupun hal tidak melakukan sesuatu.
Unsur-unsur dalam tindak pidana, dapat dijelaskan sebagai berikut:
Unsur formal meliputi :
1.
Perbuatan manusia, yaitu perbuatan dalam arti luas, artinya tidak berbuat yang termasuk perbuatan dan dilakukan oleh
manusia.
2.
Melanggar peraturan pidana. dalam artian bahwa sesuatu akan dihukum apabila sudah ada peraturan pidana sebelumnya
yang telah mengatur perbuatan tersebut, jadi hakim tidak dapat menuduh suatu kejahatan yang telah dilakukan dengan
suatu peraturan pidana, maka tidak ada tindak pidana.
3.
Diancam dengan hukuman, hal ini bermaksud bahwa KUHP mengatur tentang hukuman yang berbeda berdasarkan tindak
pidana yang telah dilakukan.
4.
Dilakukan oleh orang yang bersalah, dimana unsur-unsur kesalahan yaitu harus ada kehendak, keinginan atau kemauan
dari orang yang melakukan tindak pidana serta Orang tersebut berbuat sesuatu dengan sengaja, mengetahui dan sadar
sebelumnya terhadap akibat perbuatannya. Kesalahan dalam arti sempit dapat diartikan kesalahan yang disebabkan karena
si pembuat kurang memperhatikan akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang.
5.
Pertanggungjawaban yang menentukan bahwa orang yang tidak
sehat ingatannya
tidak dapat
diminta pertanggungjawabannya. Dasar dari pertanggungjawaban
seseorang terletak dalam keadaan jiwanya.
172
Unsur material dari tindak pidana bersifat bertentangan dengan hukum, yaitu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat
sehingga perbuatan yang tidak patut dilakukan. Jadi meskipun perbuatan itu memenuhi rumusan undang-undang, tetapi apabila
tidak bersifat melawan hukum, maka perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana. Setiap tindak pidana yang
terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu pada umumnya dapat kita jabarkan kedalam unsur-unsur yang pada
dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yakni:
d. Unsur subjektif Tindak Pidana.
Unsur-unsur tindak pidana dalam ilmu hukum pidana dibedakan dalam dua macam, yaitu unsur objektif dan unsur
subjektif. Unsur objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri pelaku tindak pidana. Unsur ini meliputi :
1.
Kesengajaan dolus, dimana hal ini terdapat di dalam pelanggaran kesusilaan Pasal 281 KUHP, perampasan
kemerdekaan Pasal 333 KUHP, pembunuhan Pasal 338.
2.
Kealpaan culpa, dimana hal ini terdapat di dalam perampasan
kemerdekaan Pasal
334 KUHP,
dan menyebabkan kematian Pasal 359 KUHP, dan lain-lain.
3.
Niat voornemen, dimana hal ini terdapat di dalam percobaan ataupoging Pasal 53 KUHP
4.
Maksud oogmerk, dimana hal ini terdapat dalam pencurian Pasal 362 KUHP, pemerasan Pasal 368 KUHP, penipuan
Pasal 378 KUHP, dan lain-lain
5.
Dengan rencana lebih dahulu met voorbedachte rade, dimana hal ini terdapat dalam membuang anak sendiri Pasal 308
KUHP, membunuh anak sendiri Pasal 341 KUHP, membunuh anak sendiri dengan rencana Pasal 342 KUHP.
Yang dimaksud dengan unsur subjektif itu adalah unsur- unsur yang melekat pada diri sipelaku atau yang berhubungan
dengan diri sipelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya. Dapat penulis simpulkan
bahwa, yang menjadi unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah:
a. Kesengajaan atau ketidak sengajaan dolus dan culpa
b. Maksud pada suatu percobaan seperti yang dimaksud didalam
Pasal 53 ayat 1 KUHP
173
c. Macam-macam maksud seperti yang terdapat misalnya
didalam kejahatan
pencurian, penipuan,
pemerasan, pemalsuam dan lain-lain.
d. Merencanakan terlebih dahulu seperti misalnya yang terdapat didalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP
e. Perasaan takut seperti yang antara lain terdapat didalam
rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
e. Unsur objektif Tindak Pidana.
Unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana
tindakan-tindakan dari sipelaku itu harus dilakukan. Unsur subjektif, meliputi sebagai berikut:
1.
Perbuatan atau kelakuan manusia, dimana perbuatan atau kelakuan manusia itu ada yang aktif berbuat sesuatu, misal
membunuh Pasal 338 KUHP, menganiaya Pasal 351 KUHP.
2.
Akibat yang menjadi syarat mutlak dari delik. Hal ini terdapat dalam delik material atau delik yang dirumuskan secara
material, misalnya
pembunuhan Pasal
338 KUHP,
penganiayaan Pasal 351 KUHP, dan lain-lain.
3.
Ada unsur melawan hukum. Setiap perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh peraturan perundang-undangan
hukum pidana itu harus bersifat melawan hukum, meskipun unsur ini tidak dinyatakan dengan tegas dalam perumusan.
Ada beberapa tindak pidana yang untuk mendapat sifat tindak pidanya itu memerlukan hal-hal objektif yang menyertainya,
seperti penghasutan Pasal 160 KUHP, melanggar kesusilaan Pasal 281 KUHP, pengemisan Pasal 504 KUHP, mabuk Pasal
561 KUHP. Tindak pidana tersebut harus dilakukan di muka umum.
Unsur lain yang menentukan sifat tindak pidana, adalah:
1.
Unsur yang memberatkan tindak pidana. Hal ini terdapat dalam delik-delik yang dikualifikasikan oleh akibatnya, yaitu karena
timbulnya akibat tertentu, maka ancaman pidana diperberat, contohnya merampas kemerdekaan seseorang Pasal 333 KUHP
diancam dengan pidana penjara paling lama 8 delapan tahun, jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat ancaman
pidana diperberat lagi menjadi pidana penjara paling lama 12 dua belas tahun.
2.
Unsur tambahan yang menentukan tindak pidana. Misalnya dengan sukarela masuk tentara asing, padahal negara itu akan
174
berperang dengan Indonesia, pelakunya hanya dapat dipidana jika terjadi pecah perang Pasal 123 KUHP.
Dapat penulis simpulkan bahwa unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah:
a. Sifat melawan hukum b.
Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri didalam kejahatan jabatan menurut Pasal
KUP atau keadan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas didalam kejahatan menurut Pasal
KUHP. c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai
penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Berikut ini akan penulis kemukakan pula unsur-unsur tindak pidana menurut para sarjana, diantaranya adalah sebagai
berikut: C.S.T. Kansil merinci unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:
1. Harus ada suatu kelakuan; 2. Kelakuan itu harus sesuai dengan uraian Undang-undang;
3. Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak; 4. Kelakuan itu dapat diberatkan kepada pelaku;
5. Kelakuan itu dapat diancam dengan hukuman.
Satochid Kartanegara mengutip pendapat Simons tentang unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:
1. Suatu perbuatan manusia dan handeling dimaksudkan tidak saja perbuatan tetapi juga mengabaikan
2. Perbuatan itu yaitu perbuatan dan mengabaikan dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang
3. Perbuatan itu harus dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan, artinya dapat dipersalahkan karena
melakukan perbuatan itu.
136
Unsur bertentangan dengan hukum itu selalu harus dianggap diisyaratkan didalam setiap rumusan delik tindak
pidana, walaupun unsur tersebut oleh pembentuk undang-undang telah tidak dinyatakan secara tegas sebagai salah satu unsur dari
136
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah bagian I, Balai Lektur Mahasiswa, hlm. 174
175
delik yang bersangkutan. Apa yang kini harus dilakukan oleh seseorang hakim apabila unsur melanggar hukum itu ternyata tidak
terbukti didalam peradilan. Jawabannya tergantung pada kenyataan apakah unsur melanggar hukum tersebut oleh
pembentuk undang-undang telah dinyatakan secara tegas sebagai unsur dari delik atau tidak. Apabila unsur melanggar hukum itu
oleh pembentuk undang-undang telah dinyatakan secara tegas sebagai unsur dari delik, maka tidak terbuktinya unsur tersebut
akan menyebabkan hakim harus memutuskan suatu pembebasan. Apabila unsur melanggar hukum itu telah tidak dinyatakan secara
tegas sebagai unsur dari delik, maka tidak terbuktinya unsur tersebut di dalam peradilan menyebabkan putusan terdakwa
dilepaskan dari segala tuntutan.
Di dalam kuliah-kuliah Profesor Mr. Satochid Kartanegara telah menggunakan perkataan unsur sebagai nama kumpulan bagi
apa yang disebut element di atas dan kini kita akan menggunakan perkataan unsur dalam arti luas yakni meliputi perkataan-
perkataan element. Penggunaan dari perkataan unsur di atas bukan disebabkan karena telah menjadi bingung karena adanya
perkataan-perkataan element di dalam kepustakaan Belanda dimana dua perkataan tersebut sesungguhnya juga dapat diartikan
sebagai unsur , melainkan karena pembentuk undang-undang sendiri sebenarnya telah memberikan arti kepada perkataan
element atau unsur itu di dalam pengertiannya yang luas, yang meliputi semua element dari tindak pidana dan semua persyaratan-
persyaratan lainnya untuk membuat sesorang itu menjadi dapat dihukum.
Ketentuan-ketentuan yang tidak terdapat di dalam rumusan delik melainkan di dalam buku ke-1 KUHPidana atau dapat
dijumpai sebagai asas-asas hukum yang bersifat umum yang dipandang sebagai asas-asas yang juga harus diperhatikan oleh
hakim yang terdiri dari berbagai elemen, yakni :
1. Hal dapat dipertanggung jawabkannya sesuatu tindakan atau sesuatu akibat terhadap pelakunya.
2. Hal dapat dipertanggung jawabkannya seseorang atas tindakkan yang telah ia lakukan atau atas akibat yang telah ia timbulkan.
3. Hal dapat dipermasalahkan sesuatu tindakan atau suatu akibat kepada seseorang, oleh karena sesuatu tindakan atau akibat
176
tersebut telah ia lakukan atau telah ia timbulkan berdasarkan unsur kesengajaan ataupun unsur ketidak sengajaan .
4. Sifatnya yang melanggar hukum.
Menurut Profesor van Bemmelen, walupun elemen-elemen itu oleh pembentuk Undang-undang telah tidak pernah dinyatakan
secara tegas sebagai unsur dari delik yang manapun di dalam undang-undang, akan tetapi elemen-elemen tersebut haruslah
dianggap sebagai juga diisyaratkan di dalam setiap rumusan delik. Oleh karena elemen-elemen tersebut tidak pernah sebagai bagian
dari delik, maka dengan sendirinya penuntut umum juga tidak perlu mencantumkannya di dalam surat dakwaan dan dengan
sendirinya juga tidak perlu dibuktikan di dalam persidangan. Apabila hakim berpendapat bahwa terdakwa tidak dapat
dipertanggung jawabkan atas tindakannya, maka hakim harus membebaskan terdakwa tersebut dari segala tuntutan hokum.
Elemen di atas telah diterjemahkan sebagai hal dapat dipersalahkannya sesuatu tindakan atau telah menimbulkan
sesuatu akibat yang dilarang oleh undang-undang, yaitu apabila tindakannya atau perbuatannya untuk menimbulkan sesuatu akibat
yang dilarang oleh undang-undang itu harus didasarkan pada suatu kesengajaan ataupun didasarkan pada suatu ketidak sengajaan.
Untuk mengetahui apakah sesuatu tindak pidana itu dilakukan dengan sengaja atau tidak, seperti oleh undang-undang
disebutkan sebagai kejahatan masalahnya sangat mudah, oleh karena dari rumusan-rumusannya di dalam buku ke-2 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana dengan mudah kita dapat mengetahui apakah sesuatu kejahatan itu harus dilakukan dengan
sengaja ataupun tidak dengan sengaja,. Dengan demikian maka seseorang itu dapat dikatakan bersalah telah melakukan sesuatu
kejahatan, apabila kejahatannya itu telah ia lakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja.
Di dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak dapat diketahui apakah sesuatu pelanggaran itu harus dilakukan
dengan sengaja atau tidak dengan sengaja atau sebaliknya. Hingga tahun 1916 Hoge Raad menganut suatu paham yang juga dikenal
sebagai de leer van het materieelie feit
atau paham mengenai tindakan secara material di dalam oge Raad telah berpendapat,
177
bahwa sudah cukup untuk menyatakan sesorang itu sebagai dapat dihukum karena telah melakukan suatu pelanggaran, apabila orang
tersebut secara material atau secara nyata telah berperilaku seperti yang dirumuskan di dalam sesuatu ketentuan pidana, tanpa perlu
mempertimbangkan lagi apakah perilaku orang tersebut dapat dipersalahkan kepadanya atau tidak.
Untuk membuat suatu ringkasan mengenai ajaran Profesor Van Bammelen dengan membuat suatu perbandingan antara apa
yang beliau sebutkan sebagai bestanddelen van het delict, dengan apa yang beliau sebutkan sebagai elementen van het delict, maka
akan didapat hal-hal sebagai berikut
Bestanddelen atau bagian-bagian dari delik itu :
1. Terdapat di dalam rumusan dari delik; 2. Oleh penuntut umum harus dicantumkan di dalam surat
dakwaan; 3. Harus di buktikan di dalam persidangan;
4. Bilamana satu atau lebih bagian ternyata tidak dapat dibuktikan, maka hakim harus membebaskan terdakwa atau
dengan perkataan lain hakim harus memutuskan suatu vrijspraak.
Elementen atau elemen-elemen dari delik itu :
1. Tidak terdapat di dalam rumusan dari delik; 2. Terdiri
dari toerekenbaarheid
van het
feit, toerekeningsvatbaarheid van de dader, verwijtbaarheid van het
feit dan wederrechtelijk heid; 3. Harus dianggap sebagai juga diisyaratkan di dalam setiap
rumusan delik; 4. Oleh penuntut umum tidak perlu dicantumkan di dalam surat
dakwaan dan dengan sendirinya juga tidak perlu dibuktikan di persidangan;
5. Bilamana terdapat keragu-raguan mengenai sebuah elemen, maka hakim harus membebaskan tertuduh dari segala
tuntutan hukum, atau dengan perkataan lain hakim harus memutuskan suatu ontslag van alle rechtsveolging.
Jadi untuk dapat dikatakan seseorang melakukan tindak pidana harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Kelakuan dan akibat perbuatan. b. Hal ihwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.
178
d. Unsur melawan hukum yang objektif. e. Unsur melawan hukum yang subyektif.
Perlu ditekankan lagi bahwa sekalipun rumusan delik tidak terdapat unsur melawan hukum, namun jangan dikira bahwa
perbuatan tersebut lalu tidak bersifat melawan hukum. Sebagaimana hal di atas, perbuatan tadi sudah demikian wajar sifat
melawan hukumnya, sehinga tak perlu untuk dinyatakan tersendiri.
Akhirnya ditekankan bahwa meskipun perbuatan pidana umumnya adalah keadaan lahir dan terdiri dari elemen-elemen lahir, namun
ada kalanya dalam perumusan juga diperlukan elemen batin yaitu sifat melawan hukum yang subyektif.
f. Jenis-jenis Tindak Pidana.
Penggolongan tindak pidana, dalam buku Cross and Jones dicantumkan dengan istilah The Clasification of Crimes. Jika
diterjemahkan istilah Crime dengan kejahatan, maka kita akan tetap meneropongnya dari segi kriminologi atau sosiologi, padahal
peneropongannya adalah dari segi hukum pidana. Untuk itulah maka Bawengan, menganggap lebih tepat menggunakan istilah
tindak pidana.
137
Cross and Jones disamping itu mengakui bahwa masalah penggolongan tindak pidana, belum dijumpai suatu
metode yang lebih memuaskan. Golongan atas Indictable dan Summary atau secara historis diklasifikasikan sebagai reason,
felonies dan Misdemeanour adalah sekedar untuk mempermudah uraian.
Bilamana dilihat dari segi acara pidana maka penggolongan itu dapat dibedakan atas:
1 Indictable Offences. Ialah tindak pidana yang peradilannya dilakukan melalui atau
dengan menggunakan surat dakwaan. 2 Summary Offences
Ialah tindak pidana yang peradilannya dilakukan secara sederhana, atau lazim kita sebut perkara singkat.
137
Bawengan, Hukum Pidana Dalam Teori dan Praktek, PT. Pradya Paramita, Jakarta, 1983, hlm.26 .
179
Acara pidana di Indonesia, mengenal pembagian sedemikian itu, adalah perkara biasa dan perkara singkat. Lebih
sederhana lagi kita mengenal perkara dengan acara cepat misalnya perkara lalu lintas yang akhis-akhir ini dilakukan dengan suatu
metode yang dinamakan tilang. Perkara acara biasa atau yang lebih lajim disebut dengan istilah perkara tolakan, pada umumnya
merupakan perkara-perkara yang sulit atau yang diancam dengan hukuman berat, seumur hidup dan juga hukuman mati dinamakan
perkara tolakan, oleh karena Jaksa mengajukan perkara itu dengan menggunakan
surat dakwaan.
Surat dakwaan
berisikan keterangan-keterangan mengenai perbuatan yang dilakukan oleh
terdakwa dan disertai pula permohonan kepada hakim agar perkara termaksud diajukan kedepan sidang pengadilan pidana.
Dakwaan itupun harus memenuhi baik syarat formil maupun syarat materiil. Nama, umur, tanggal dan tempat kelahiran demikian pula
pekerjaan serta alamat si tertuduh syarat formil harus dinyatakan dengan tegas di dalam surat dakwaan. Mengenai syarat materiil
adalah :
1 Perbuatan yang didakwakan harus dirumuskan dengan jelas. 2 Waktu dan tempat peristiwa pidana harus dinyatakan dengan
jelas; 3 Unsur-unsur yang dipandang memberatkan atau meringankan
supaya dinyatakan juga.
Mengenai syarat-syarat yang tercantum pada a dan b adalah mutlak, jika tiada maka dakwaan tersebut dapat dinyatakan batal
demi hukum. penggolongan yang dilakukan oleh masyarakat Germania yang membedakan delik-delik pidana itu atas scelera dan
flagitia yang kira-kira dapat dipersamakan dengan kejahatan, lalu laviora delicta yang dapat dipandang sama dengan pelanggaran.
Penggolongan lain yang banyak mempengaruhi daratan Eropah belahan Barat adalah pembagian atas causae majores dan
minores ialah klasifikasi yang nampak pada abad pertengahan. Causae majores disebut juga ardue yang merupakan perkara berat,
sedangkan Minores adalah perkara ringan. Ancaman-ancaman hukuman yang diberikan bagi causae majores misalnya hukuman
mati, ancaman bagi minores dapat berbentuk siksaan seperti dipukul atau dikenakan cap bakar.
180
Utrecht, mengemukakan pula jenis penggolongan yang dilakukan oleh Hazewinkel-Suringa, ialah sebagai berikut :
1 Delicta actocissma, ialah suatu delik yang diancam dengan hukuman mati;
2 Delicta atrocia, memberikan hukuman mati dengan cara tidak seganas Delicta actocissma atau ancaman hukuman badan
yang cukup berat; 3 Delicta levia, yang memberi ancaman dengan hukuman ringan.
Bentuk-bentuk termaksud itu diperlukan orang pada abad ke-17 yang dikenal dalam tulisan-tulisan Carpzovius dan kemudian
dibahas oleh Hazewinkel-Suringa yang dapat dijumpai dalam bukunya E.Utrecht Hukum Pidana I.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana membagi tindak pidana itu kedalam kejahatan misdrijf tercantum dalam buku II
dan pelanggaran overtreding didalam buku ke III. Pembagian tindak pidana sebagaimana disebutkan di atas didasarkan pada
perbedaan antara apa yang disebut dengan rechtsdelict delik hukum dengan apa yang disebut dengan wetsdelict delik undang-
undang. Suatu perbuatan disebut delik hukum bilamana perbuatan tersebut bertentangan dengan asas-asas hukum yang terdapat di
dalam kesadaran hukum masyarakat, tidak relevant dari hal apakah asas-asas itu dicantumkan atau tidak di dalam perundang-
undangan. Suatu perbuatan diklasifir sebagai delik undang-undang, bilamana perbuatan itu berbenturan dengan apa yang yang secara
tegas tercantum di dalam peraturan perundang-undangan pidana. Irrelevant daripada hal apakah perbuatan itu berbenturan atau
tidak bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. dengan perkataan lain undang-undang hanya memberikan klarifikasi dalam
kejahatan dan pelanggaran, namun tidaklah memberikan arti yang jelas, sedangkan ukuran bahwa kejahatan maupun rechtdelict dan
pelanggaran atau wetsdelict adalah pembagian berdasarkan teoritis saja, berdasarkan ilmu pengetahuan saja.
Berdasarkan kepada suatu perkembangan ilmu pengetahuan mencoba untuk memberikan suatu barometer mengenai perbedaan
antara kejahatan dan pelanggaran sebagai berikut:
1. Kejahatan adalah criminele-onrecht dan pelanggaran adalah politie-onrecht. Criminele-onrecht merupakan perbuatan yang
bertentangan dengan kepentingan hukum, politie-onrecht itu
181
merupakan perbuatan yang tidak mentaati larangan atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa negara.
2. kejahatan adalah memperkosa suatu kepentingan hukum krenkinas delicten seperti pembunuhan, pencurian dan
sebagainya, atau juga membahayakan suatu kepentingan hukum dalam pengertian yang kongkret concrette gevaar
zetting delicten, seperti Pasal 489 tentang kenakalan terhadap orang atau barang, sedangkan pelanggaran adalah hanya
membahayakan kepentingan hukum dalam arti yang abstrak abstracte gevaar zetting delicten seperti penghasutan dan
sumpah palsu, namun kadang kala dapat dikatakan bahwa sumpah palsu maineed itu juga termasuk dalam kejahatan.
3. kejahatan dan pelanggaran dibedakan karena sifat dan hakekatnya, berbeda seperti ukuran perbedaan yang telah
diuraikan terdahulu, akan tetapi ada pula ukuran perbedaan kejahatan
dan pelanggaran
didasarkan atas
bahwa pelanggaran itu dipandang dari sudut criminologi tidak begitu
berat dibandingkan dengan kejahatan. Perbedaan yang demikian itu disebut perbedaan secara kualitatif dan
kuantitatif.
Kejahatan merupakan suatu perbuatan yang karena sifatnya bertentangan dengan ketertiban hukum sedangkan pelanggaran
adalah suatu perbuatan yang oleh undang-undang dicap sebagai perbuatan yang betentangan dengan ketertiban hukum.
Berdasarkan apa yang diutarakan di atas, tampaklah bahwa KUHP tidak memberikan ketentuan apa yang menjadi syarat-syarat
untuk membedakan antara misdrijf dengan overtreding itu. Hanya untuk mudahnya dan gampangnya dapat dilihat bahwa kejahatan
dimuat di dalam buku II sedangkan pelanggaran disusun di dalam buku III KUHP.
Pembagian dari tindak pidana menjadi kejahatan dan pelanggaran itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian
Kitab Undang-undang Hukum Pidana menjadi Buku ke-2 dan Buku ke-3 melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum
pidana di dalam perundang-undangan pidana sebagai keseluruhan.
Pembagian dari tindak pidana menjadi kejahatan dan pelanggaran seperti dimaksud di atas membawa berbagai akibat
hukum yang bersifat hukum material, yaitu :
1. Undang-undang telah tidak membuat suatu perbedaan antara opzet culpa di dalam pelanggaran;
182
2. Percobaan untuk melakukan suatu pelanggaran tidak dapat dihukum;
3. Keturutsertaan di dalam pelanggaran tidak dapat dihukum; 4. Di dalam pelanggaran, pengurus atau anggota pengurus atau
pun para komisaris itu hanya dapat dihukum apabila pelanggaran itu telah terjadi dengan pengetahuan mereka;
5. Di dalam pelanggaran itu tidak terdapat ketentuan bahwa adanya suatu pengaduan itu merupakan suatu syarat bagi
penentuan; 6. Jangka waktu daluarsanya hak untuk melakukan penuntutan
Pasal 78 ayat 2 KUHP dan hak untuk menjalani hukuman Pasal 84 ayat 2 KUHP pada pelanggaran itu pada umumnya
adalah lebih singkat; 7. Peraturan mengenai hapusnya hak untuk melakukan
penuntutan karena adanya suatu pembayaran secara sukarela dari nilai denda yang setinggi-tingginya Pasal 82 ayat 1 KUHP
hanya berlaku bagi pelanggaran; 8. Adanya ketentuan yang tersendiri mengenai dapat disitanya
benda yang diperoleh karena pelanggaran Pasal 39 ayat 2 KUHP;
9. Tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang warga negara Indonesia di luar negeri itu hanya menimbulkan hak
untuk melakukan penuntutan umum, apabila tindak pidana tersebut oleh undang-undang pidana yang berlaku di Indonesia
telah dikualifikasikan sebagai kejahatan dan bukan sebagai pelanggaran;
10. Ketentuan-ketantuan pidana
menurut undang-undang
Indonesia itu hanya dapat diperlakukan terhadap pegawai negeri yang diluar negeri Indonesia telah melakukan suatu
kajahatan-kejatahatan jabatan dan bukan pelanggaran- pelanggaran jabatan;
11. Pasal-Pasal pindahan Pasal 480 KUHP dan seterusnya selalu mensyaratkan bahwa benda-benda yang bersangkutan
haruslah diperoleh karena kejahatan dan bukan karena pelanggaran;
12. Ketentuan-ketentuan pidana khusus mengenai keturut sertaan di dalam delik-delik yang telah dilakukan dengan suatu alat
cetak di dalam delik-delik yang telah dilakukan dengan suatu alat cetak di dalam Pasal 61 dan 62 KUHP itu hanya berlaku
untuk kejahatan-kejahatan dan bukan untuk pelanggaran- pelanggaran.
Kecuali pembagian-pembagian
seperti yang
telah disebutkan di atas, di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana
183
selanjutnya masih terdapat sejumlah pembagian-pembagian lainnnya dari tindak pidana-tindak pidana sebagai berikut :
138
a. Doleuse delicten dan culpose delicten
Doleuse delicten adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang dilakukan dengan sengaja. Rumusan
undang-undang mempergunakan kalimat opzettelijk akan tetapi juga dikenal sebagai perbuatan yang dilakukan karena dolus atau
opzet, seperti misalnya Pasal 338 KUHP.
Culpose delicten adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang dilakukan dengan kealpaan atau
nalatigheid atau onachtzaamheid. Rumusan undang-undang mempergunakan kalimat schuld seperti misalnya Pasal 359 KUHP.
b. Formele delicten dan materiele delicten
Formele delicten adalah rumusan undang-undang yang menitik beratkan kelakuan yang dilarang dan diancam oleh
undang-undang, seperti misalnya Pasal 362 KUHP tentang pencurian.
Materiele delicten adalah rumusan undang-undang yang menitik beratkan akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana
oleh undang-undang, seperti misalnya Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.
Kadang-kadang suatu delict meragukan sebagai delict formil ataukah materil, seperti tersebut di dalam Pasal 279 KUHP tentang
larangan bigami, demikian juga dapat terjadi suatu delict dirumuskan secara formil materil yaitu Pasal 378 KUHP tentang
penipuan.
c. Commissie delicten dan omissie delicten
Commissie delicten adalah delict yang terjadi karena suatu perbuatan seseorang yang dapat meliputi bagi delik formil dan
delict materiel, yaitu di dalam Pasal 362 dan Pasal 378 KUHP Omissie delicten, adalah delict yang terjadi karena seseorang
tidak berbuat sesuatu, dan biasanya merupakan delict formil, yaitu
138
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hlm. 99
184
di dalam Pasal 224 KUHP tentang orang yang tidak memenuhi panggilan pengadilan.
Perbedaan antara kedua macam delict itu sering dikatakan bahwa, commissie delicten merupakan delict karena berbuat atau
een doen, yang dilakukan dengan melanggar larangan atau verbod, sedangkan omissie delicten merupakan delict karena tidak berbuat
atau een nalaten yang dilakukan melanggar keharusan gebod.
Omissie delicten dibedakan menjadi:
1. eigenkijke omissie delicten zuivere omissie delicten seperti Pasal-pasal 164, 224, 522, 531 KUHP.
2. oneegenlijke omissie delicten atau delicta commissiones peromissionem comissa sebagai delict untuk berbuat akan
tetapi yang tampak tak berbuat seperti misalnya Pasal 194 dan Pasal 338 KUHP dengan cara berbuat yang tidak berbuat.
d. Zelfstandige delicten dan voortgezette delicten
Zelfstandige delicten adalah delict yang berdiri sendiri yang terdiri atas satu perbuatan tertentu. Voortegzette delicten adalah
delict yang terdiri atas beberapa perbuatan berlanjut. Pembagian delict ini diperlukan untuk kepentingan sistem penerapan
penjatuhan pidana, seperti ketentuan yang diatur di dalam Pasal 64 tentang perbuatan berlanjut dan Pasal 65 tentang perbarengan
perbuatan, dari bab concursus KUHP.
e. Aflopende delicten dan voortdurende delicten.
Alflopende delicten adalah delict yang terdiri atas kelakuan untuk berbuat atau tidak berbuat een doen of natalen dan delict
telah seselai ketika dilakukan, seperti kejahatan tentang penghasutan, pembunuhan, pembakaran dan sebagainya, atau
Pasal 330 dan Pasal 529 KUHP.
Voortdurende delicten adalah delict yang terdiri atas melangsungkan atau membiarkan suatu keadaan yang terlarang,
walaupun keadaan itu pada mulanya ditimbulkan untuk sekali perbuatan. Voortdurende delicten antara lain terdapat di dalam
Pasal 211 tentang menyembunyikan orang jahat, Pasal 333 tentang meneruskan merampas kemerdekaan orang, Pasal 250 tentang
mempunyai persediaan bahan untuk memalsukan mata uang, Pasal 261 tentang menyimpan bahan yang diketahui untuk kejahatan
185
pemalsuan, yang semua keadaan itu berlangsung atau dibiarkan menjadi terlarang oleh undang-undang.
f. Enkelvoudige delicten dan samengestelde delicten.
Enkelvoudige delicten mempunyai arti yang dubieus kesamaan dengan aflopende delicten yaitu delict yang selesai
dengan satu kelakuan.
Samengestelde delicten adalah delict yang terdiri atas lebih dari satu perbuatan. Ada juga yang mnyebut dengan collective
delicten. Delict ini pada umumnya menyangkut kejahatan karena mata pencaharian atau karena kebiasaan, atau pekerjaan misalnya
Pasal 480-481 tentang penadahan, Pasal 512-512a tentang melakukan pekerjaan harus dengan keewenangan untuk pekerjaan
itu atau praktek dokter tanpa ijin dan beberapa golongan bedrijfsdelicten atau beroefsdelicten yaitu Pasal-pasal 295, 296, 299,
303
mengenai kejahatan
memudahkan perbuatan
cabul, meemberikan obat untuk pengguguran kandungan dan perjudian.
g. Eenvoudige delicten dan gequalificeerde delicten
Eenvoudige delicten adalah delict biasa yang dilawankan dengan gequalificeerde delicten yaitu delict yang mempunyai
bentuk pokok yang disertai unsur yang memberatkan, atau juga disebut geprivilegieerde delicten yaitu delict yang mempunyai
bentuk pokok yang disertai unsur yang meringankan.
Gequalificeer delicten antara lain tersebut dalam Pasal 362 sebagai Eenvoudige delicten menjadi bentuk Pasal 363 dengan
disertai pemberatan pidana karena adanya syarat-syarat tertentu. Demikian juga Pasal 365 terhadap Pasal 362, dimana Pasal yang
terdahulu mengatur pemberatan dari pasal yang kemudian.
Geprivilegieerde delicten antara lain tersebut dalam Pasal 341 lebih ringan daripada Pasal 342, Pasal 338 lebih ringan
daripada Pasal 340 dan Pasal 339, Pasal 308 lebih ringan daripada Pasal 305 dan Pasal 306.
h. Politieke delicten dan commune delicten.
Politieke delicten adalah delict yang dilakukan karena adanya unsur politik, yang dapat dibedakan menjadi:
186
1. Zuivere politieke delicten yang merupakan kejahatan
hoogverrad dan landverrad sebagaimana diatur dalam Pasal 104-110 penghianatan intern dan Pasal 121, 124, 126
penghianatan ekstern;
2. Gemengde politieke delicten yang merupakan pencurian terhadap dokumen negara;
3. Connexe politieke delicten yang merupakan kejahatan menyembunyikan senjata.
Commune delicten adalah delict yang ditujukan kepada kejahatan yang tidak termasuk keeamanan negara, misalnya
penggelapan, pencurian dan lain sebagainya.
i. Delicta propria dan commune delicten
Delicta propria adalah delict yang dilakukan hanya oleh orang tertentu karena suatu kualitas misalnya delict jabatan dan
delict militer. Comune delicten adalah delict yang dapat dilakukan oleh setiap orang pada undang-undang.
2. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Dalam Undang-