360
olah ada semacam kendala seperti tebang pilih, kejanggalan proses ataupun  beberapa  Pasal  yang  bersifat  meringkankan  terdakwa  di
dipergunakan dalam persidangan.
272
4. Daerah  Otonom  Lahan  Kondusif  Untuk  Melakukan
Korupsi.
273
Kegiatan  pemberantasan  korupsi  selama  ini  gencar dilaksanakan,  tetapi  kondisi  tidak  kunjung  membaik.  Korupsi
merupakan  isu  multidimensional  yang  mempunyai  komponen politik,  ekonomi,  sosial  dan  budaya,  yang  sering  melibatkan  para
pemegang  kekuasaan,  sehingga  memberantas  korupsi  bukanlah perkara  mudah.  Sejarah  mencatat  begitu  banyak  pemimpin  yang
dipilih oleh rakyat karena mengangkat isu pemberantasan korupsi sebagai  tema  sentral  kampanye  mereka.  Tetapi  paradoks  terjadi,
terlepas  apakah  mereka  benar-benar  anti-korupsi  dan  pada awalnya  berupaya  keras  untuk  memberantas  korupsi,  ataukah
mereka  sekedar  menggunakan  isu  korupsi  untuk  meraih  simpati masa  saja,  banyak  di  antara  mereka  yang  jatuh  akibat  kasus
korupsi. Di Indonesia misalnya, pada awal kepemimpinan Presiden Soeharto  berupaya  secara  serius  memberantas  korupsi  melalui
pembentukan  berbagai  lembaga,  tetapi  upaya  yang  bersifat formalistis  tersebut  gagal  dan  bahkan  isu  korupsi  ikut
menjatuhkannya  pada  tahun  1998.  Di  Filipina,  Presiden  Estrada terpilih  melalui  pemilu  yang  bebas  dan  terbuka  pada  tahun  1998
dengan  mengusung  isu  pemberantasan  korupsi.  Pada  tahun  2001, Estrada  kehilangan  kekuasaan  dan  bahkan  dihukum  karena
keterlibatannya  dalam  berbagai  kasus  korupsi.  PM  Benazir  Bhuto dari  Pakistan,  Presiden  Olusegun  Obasanjo  dari  Nigeria,  adalah
sebagian kecil dari deretan panjang pemimpin dunia yang bernasib sama.  Michael  Natch  menyebutkan  bahwa  tingginya  korupsi
272
Ibnu  Santoso,    Membasmi  Tikus-Tikus  Otonomi:  Gerakan  Moral  Pemberantasan Korupsi, Gava Mendia: Yogyakarta, 2011, hlm: 72.
273
Materi  ini  adalah  hasil  dari  analisis  penulis,  yang  terinspirasi  dari  Ibnu  Santoso. Lihat  dalam:  Ibnu  Santoso,    Membasmi  Tikus-Tikus  Otonomi:  Gerakan  Moral
Pemberantasan  Korupsi,  hlm:  74.  Ibnu  Santoso,  dalam  bukunya  menyebut  sebagai Kondusifitas  semu  daerah ,  sementara  penulis  menyebutnya  dengan  istilah
Daerah otonom lahan kondusif untuk melakukan korupsi .
361
merupakan  sebuah  parameter  yang  valid  untuk  memprediksi tumbangnya suatu pemerintahan.
274
Korupsi  merupakan  kejahatan  yang  sulit  diungkap,  karena korupsi melibatkan dua pihak yaitu koruptor dan klien yang sering
keduanya  berupaya  untuk  menyembunyikan  kejadian  tersebut, mengingat  manfaat  besar  korupsi  bagi  mereka  danatau  risiko
hukum  atau  sosial  apabila  tindakan  mereka  terungkap.  Dalam kasus  korupsi  dimana  klien  dan  pejabat  korup  yang  sama-sama
menikmati  manfaat,  mereka  akan  menutupi  asi  mereka  agar kepentingan  mereka  tetap  terlindungi.  Swmentara  dalam  kasus
korupsi  dimana  salah  satu  pihak  merupakan  korban,  si  korban cenderung  tidak  melaporkan  kejadian  mengingat,  dalam  banyak
kasus,  korban  dapat  dipersalahkan  ketika  membongkar  kasus korupsi dengan berbagai alasan termasuk alasan pencemaran nama
baik.  Busyro  Muqoddas  di  bagian  lain  dari  buku  ini mengungkapkan  contoh  kasus  yang  tepat  untuk  menjelaskan
fenomena ini.
Sama  halnya  dengan  kasus  penggunaan  obat  terlarang ataupun perkosaan, kasus korupsi ditutupi oleh pihak yang terlibat,
termasuk oleh korban, sehingga data yang terekspose kemungkinan hanya  merupakan  sebagian  kecil  dari  jumlah  kasus  yang
sesungguhnya  terjadi.  Dengan  kata  lain,  kasus  korupsi  seperti gunung  es  dimana  sebagian  besar  kejadian  tidak  muncul  di
permukaan.
Pelaporan  oleh  pihak  yang  dirugikan  oleh  kasus  korupsi merupakan  ujung  dari  mata  rantai  pemberantasan  korupsi.
Sayangnya, para
pelapor yang
biasa disebut
dengan wistleblower merupakan  makluk  langka  yang  jarang ditemui.  Satu  faktor  di  antaranya  adalah  kurang  memadainya
perlindungan  terhadap  pelapor.  Walaupun  Indonesia  sudah memiliki wistleblower  rule,  tetapi  dalam  taraf  implemetasi,
kebijakan tersebut masih mengandung banyak kelemahan.
Korupsi terjadi apabila tiga hal terpenuhi yaitu:
275
274
Arvin.  K.  Jain,  Corruption:  A  Review,  Concordia  University,  Journal  of  Economics Survey, Vol 15 No 1, 2001.
275
Johann  G.  Lambdorff,  Corruption  in  Empirical  Research –  A  Review,  TI  working
Paper, 1999, hlm: 34.
362
1.  Adanya benefit atau rent yang bisa dibagikan, 2.  Adanya  pejabat  publik  yang   memiliki  kekuasaan,  yang  mau
memfasilitasi  proses  korupsi –  dalam  hal  ini  memberikan
akses kepada pihak tertentu terhadap benefit tersebut, dan 3.  Adanya  pihak  tertentu  yang  mau  melakukan  upaya
penyogokan.
Poin  kedua  di  atas,  menggambarkan  bahwa  kasus  korupsi sering melibatkan pejabat publik atau elit politik yang mempunyai
kekuasaan. Mereka tentunya tidak akan tinggal diam dan berupaya mempengaruhi proses penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi.
Kemungkinan  yang  sering  terjadi  adalah  para  koruptor,  secara terorganisasi  maupun  tidak,  bekerjasama  melawan  upaya
pemberantasan  korupsi;  atau  sering  disebut  dengan  corruption
fight  back  atau  serangan  balik  korupsi.  Serangan  ini  sering mengakibatkan  jatuhnya  tokoh  sentral  dibelakang  pemberantasan
korupsi.
Sebuah potret yang menunjukkan maraknya  abuse of power penyalahgunaan  kekuasaan  yang  dilakukan  para  pejabat
bermental  korup.  Itulah  potret  korupsi  yang  terus  saja dipertontonkan  secara  telanjang  dan  kasat  mata  para  pemegang
kekuasaan.  Betapa tidak, Kementerian Dalam Negeri Kemendagri mencatat dari 524 kepala daerah gubernur, bupati, dan wali kota,
173  di  antaranya  terlibat  kasus  korupsi  pada  2004-2012.  Dari jumlah  tersebut,  70  persen  telah  diputus  bersalah  dan
diberhentikan, sebuah jumlah yang sungguh mencengangkan.
Fenomena  maraknya  korupsi  para  kepala  daerah  di  era otonomi  ini  seakan  membenarkan  tesis  bahwa  era  reformasi
korupsi  di  kalangan  pemerintah  sudah  tumbuh  ke  atas  dalam hierarki dan ke bawah menjalar ke daerah-daerah. Wabah korupsi
benar-benar  telah  sistemis.  Endemi  korupsi  telah  begitu menggurita  hingga  ke  generasi  muda.  Ini  jelas  tak  bisa  dianggap
enteng.
Genderang  perang  terhadapnya  tampaknya  harus  terus ditabuh. Penyakit kronis korupsi tidak hanya memiskinkan rakyat,
tapi  juga  merupakan  pembusukan  peradaban.  Apalagi  modus operasinya  yang  selalu  bergeser  dari  masa  ke  masa.  Pada  awal
kemerdekaan,  korupsi  lebih  banyak  terjadi  di  level  pemerintah
363
pusat,  kemudian  pada  masa  Orde  Baru  disebabkan  semangat kronisme disertai nepotisme yang begitu kuat.
Era  reformasi  saat  ini  aktor-aktor  korupsi  telah  meluas  ke level  seantero  wilayah  Nusantara  yang  melibatkan  pejabat  daerah
dengan  demikian  pesat.  Perubahan  institusional  di  era  reformasi tampaknya memang berkontribusi pada pelebaran korupsi. Seperti
dikatakan  kalangan  neoinstitusionalisme,  sebuah  perubahan struktur pemerintahan dan politik akan memengaruhi tingkah laku
aktor  politik  dan  mekanisme  kebijakan  beserta  efek  politik  yang ditimbulkan.
Dalam konteks desentralisasi, otonomi daerah lebih banyak melahirkan  korupsi  daripada  kemajuan  kesejahteraan  rakyat
secara  keseluruhan.  Ada  beberapa  faktor  yang  menyebabkan korupsi  era  otonomi  justru  semakin  menyebar  dan  meluas.  Salah
satunya  karena  aturan  legal  formal  dan  pelembagaan  penegakan korupsi  di  daerah  belum  komprehensif.  Selain  itu,  kelemahan  civil
society dan pada saat bersamaan budaya politik patronclient cukup kuat.
Korupsi  tidak  hanya  satu  sebab.  Th  eodore  M  Smith
276
mencatat setidaknya
ada enam
penyebab muncul
dan berkembangnya korupsi di Indonesia.
1.  Pertama,  faktor  politik,  yakni  terkait  kemauan  dan  iktikad baik  rezim  dan  elite  politik  dalam  menyelesaikan  kasus
korupsi. 2.  Kedua,  faktor  yuridis,  yakni  terkait  persoalan  perundang-
undangan dan sanksi hukum terhadap koruptor yang lemah. 3.  Ketiga,  faktor  budaya.  Ini  berkaitan  dengan  perkembangan
pandangan  feodalistik  dan  sikap  ingin  dilayani  serta  hidup mewah.
4.  Keempat  adalah  faktor  administrasi  pemerintahan.  Ini berkaitan  dengan  kelemahan  pengawasan  yang  akhirnya
berpotensi membuka peluang korupsi. 5.  Kelima,  faktor  insentif  ekonomi  yang  tidak  berimbang
sehingga  cukup  memancing  aparat  birokrasi  mencari tambahan dengan menyalahgunakan wewenang.
6.  Keenam,  faktor  historis  yang  terkait  dua  warisan  utama kolonialisme, yakni mental korup dan struktur pemerintahan
yang  berorientasi  menjadi  pelayan  atasan  ketimbang masyarakat.
276
Johann G. Lambdorff, Corruption in Empirical Research – A Review, Ibid: 102-105.
364
Keenam  faktor  itulah  yang  akhirnya  menjadikan  korupsi benar-benar  kronis  sebagai  kejahatan  kemanusiaan.  Faktor-faktor
tersebut juga menunjukkan korupsi menjadi sistemis, personal, dan politis.  Bagaimana  memutus  mata  rantai  korupsi  yang  telah
menggurita  sehingga  tidak  terjadi  pergerseran  modus  operandi? Pemberantasan korupsi harus ke atas dan ke bawah.
Pada  level  atas,  persoalan  pembinaan  integritas  dan keteladanan  tetap  memainkan  peran  menentukan.  Selain  itu,
mengingat  bahwa  upaya  pencegahan  dan  pemberantasan  korupsi membutuhkan  sebuah  lembaga  kredibel,  eksistensi  semacam
Komisi Pemberantasan Korupsi KPK mutlak. Lembaga semacam ini patut  diberi  wewenang  yang  lebih  besar,  akses  administrasi,  dan
intelijen  yang  memadai.  KPK  harus  memiliki  jaringan  yang  kuat hingga  ke  pelosok  daerah  dan  harus  mandiri  secara  politis  dan
finansial.
Hukum  harus  dibenahi  secara  komprehensif,  materi,  dan penegaknya.  Perlu  juga  pembuktian  terbalik  karena  korupsi
semakin  canggih.  Secara  esensial,  pembuktian  terbalik  juga dimaksudkan  agar  para  pejabat  terbiasa  transparan  akan
kekayaannya.  Dengan  demikian,  masyarakat  boleh  berharap pergeseran tempat korupsi di era otonomi bisa diantisipasi.
Begitu  pun  tergerusnya  kepercayaan  masyarakat  terhadap pemerintah  sebagai  dampak  korupsi  yang  paling  berbahaya  dapat
dihindari  sebab  ketika  kepercayaan  itu  hilang,  yang  terjadi  ialah kehancuran proses reformasi yang susah payah dibangun.
5. Moralitas Pemimpin Daerah Otonom Lemah.