435
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 Tentang Sistem Akuntansi Pemerintahan SAP.
Salah satu pokok penyempurnaan yang menarik adalah aspek pertanggungjawaban pelaksanaan Anggaran Pemerintah
Daerah APBD dimana, Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah SKPD menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan,
aset, utang dan ekuitas dana serta menyiapkan laporan pelaksanaan anggaran dan barang yang dikelolanya, Pejabat
pengelola keuangan daerah menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang dan ekuitas dana, pembiayaan dan
perhitungannya serta menyusun laporan keuangan Pemerintahan Daerah. Laporan keuangan terdiri dari laporan realisasi Anggaran
Pemerintah Daerah APBD, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan yang dilampiri laporan ikhtisar realisasi
kinerja dan laporan keuangan Badan Usaha Milik Daerah BUMD, Seluruh laporan keuangan disiapkan dalam rancangan peraturan
daerah
tentang laporan
pertanggungjawaban pelaksanaan
Anggaran Pemerintah Daerah APBD yang disusun dan disajikan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan. Bahwa pemerintah
daerah sampai pada level Satuan Kerja Perangkat Daerah SKPD wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan
keuangan sudah sejalan dengan konsep good governance yaitu suatu konsepsi tentang penyelenggaraan pemerintahan yang
bersih, demokratis, dan efektif.
2. Paradigma Baru Pengelolaan Keuangan Daerah
Dalam Mewujudkan Good Governance.
Good governance dapat diartikan sebagai sebuah cara untuk memperkuat kerangka kerja institusional dan pemerintah.
345
Hal ini menurut mereka berarti bagaimana memperkuat aturan hukum
dan prediktibilitas serta imparsialitas dan penegakannya. Hal ini juga berarti mencabut akar dan korupsi dan aktivitas-aktivitas rent
seeking, yang dapat dilakukan melalui transparansi aliran informasi serta menjamin bahwa informasi mengenal kebijakan dan kinerja
dan institusi pemerintah dikumpulkan dan diberikan kepada
345
BAPPENAS, 2002, Public Good Governance: Sebuah Paparan Singkat, Jakarta: Sekretariat Pengembangan Public Good Governance BAPPENAS
436
masyarakat secara
memadai sehingga
masyarakat dapat
memonitor dan mengawasi manajemen dan dana yang berasal dari masyarakat. Bovaird and Loffler
346
rnengatakán bahwa good governance
mengusung sejumlah
isu seperti:
keterlibtan stokeholder; Transparansi; agenda kesetaraan gender, etnik, usia,
agama, dan Lainnya; etika dan perilaku jujur; akuntabititas; serta keberlanjutan.
Paradigma The New Governance menitikberatkan pada nilai- nilai yang menjunjung tinggi keinginan dan kehendak rakyat, dan
nilai-nilai yang dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pencapain tujuan nasional dan keadilan sosial. Paradigma the new
Governance lahir untuk memberikan keseimbangan antara kuatnya semangat privat di dalam Publik sektor dengan peran masyarakat
dalam pembangunan dan pelayanan Publik. Karya terakhir yang memperkuat paradigma the new governance adalah The New Public
Sevices Serving rather than steering.
347
Sesuai dengan perkembangan paradigma Good Governance dalam Administrasi Publik maka, isu Governance menjadi kunci
pembahasan dalam administrasi Publik. Hal ini terkait dengan upaya untuk menciptakan akses partisipasi masyarakat dalam
pelayanan Publik dan penyelenggaraan pemerintahan. Penguatan partisipasi ini bertujuan untuk meningkatkan efek lain berupa
akuntabilitas dan transparansi dalam pemerintahan, pelayanan dan pembangunan.
Dalam konteks ini Governance diartikan sebagai suatu hubungan yang interakti. dan berbasis pertukaran informasi antara
berbagai pemangku kepentingan dalam pemerintahan. Pemerintah bukanlah satu-satunya pemangku kepentingan pemerintahan,
melainkan juga harus melibatkan masyarakat dan kelompok- kelompok kepentingan lainnya. Penguatan partisipasi dilakukan
melalui antara lain apa yang disebut dengar
Citizen s Charter dan Complain Mechanism. Melalui penguatan partisipasi masyarakat
346
Bovaird, Tony and Elke Loffler Eds., Public Management and Governance, New York: Routledge, 2003, hlm: 5.
347
Denhardt, Robert B, The New Public Service. Serving, not Steering, M.E. Sharpe, New York, 2002, hlm: 34. Denhardt dan Denhardt mengajukan kritik yang keras
terhadap paradigma The New Pubtic Management yang dianggapnya lebih mengedepankan pasar dalam pengetotaan sektor Publik.
437
dalam pelayanan Publik pemerintah harus memiliki kinerja dan orientasi pemenuhan hak-hak. sipil masyarakat. Dan melalui
mekanisme pengaduan,
masyarakat dapat
menyampaikan keberatan-keberatan dan masukan terhadap kinerja pemerintah.
Dalam hal ini Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara tengah mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan yang memberikan penguatan terhadap kedudukan pemerintah.
a. Paradigma New Governance.
Saat ini, good governance merupakan isu yang mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik. Good Governance adalah
koordinasi bahkan sinergi kepengelolaan yang baik antara governance di sektor publik pemerintahan dengan governance di
sektor masyarakat, terutama swasta, sehingga dapat dihasilkan transaksional output melalui mekanisme pasar yang paling
ekonomis dari kegiatan masyarakat. Oleh karena itu, dalam good governance tidak saja dituntut suatu birokrasi publik yang efisien
dan efektif, melainkan juga private sectorgovernance yang efisien dan kompetitif.
Carl J. Bellone
348
1980: 285 menyebutkan bahwa birokrasi adalah:
An organizational structure characterized by hierarchical arrangement of office, merit-based selection, impartial
application of written rules and regulations, and some centralization of authority.
Birokrasi merupakan karakteristik struktur organisasi pemerintahan yang memiliki urutan hierarki. Berdasarkan
hierarki tersebut di dalamnya terdapat posisi-posisi atau jabatan yang mempunyai kewajiban dan tugas pekerjaannya masing-
masing dalam mencapai tujuan. Dalam menjalankan tugas pekerjaannya selalu berpatokan pada nilai-nilai hukum dan
peraturan yang berlaku. Dalam birokrasi juga mengatur tentang
348
Bellone, Carl. K, Organization Theory and The New Public Administrator. Boston: Allyn and Bacou, 1980, hlm: 285.
438
pembagian kekuasaan otoritas dalam menjalankan roda pemerintahan.
Pada sisi lain, birokrasi pemerintah sering diartikan sebagai officialdom
atau kerajaan pejabat,
349
yakni sebuah kerajaan raja di dalamnya memiliki yuridiksi yang jelas dan pasti. Dalam
yuridiksi tersebut, seseorang mempunyai tugas dan tanggung jawab resmi official duties yang memperjelas batas-batas
kewenangan pekerjaannya. Mereka bekerja dalam tatanan pola hierarki sebagai perwujudan dari tingkatan otoritas dan
kekuasaannya.
Dalam aplikasinya penerapan birokrasi tidak berjalan mulus sebagaimana teorinya. Di dalamnya terdapat banyak rintangan-
rintangan, sehingga birokrasi hanya sebagai kedok untuk menutupi kepentingan-kepentingan aparatur yang berperilaku menyimpang.
Indonesia misalnya, semakin sulit untuk mewujudkan good governance, yang terjadi selama ini governance sektor publik yang
intervensinya justru mengeroposkan governance di sektor swasta. Sejak pertengahan tahun 80-
an, dengan apa yang disebut crony capitalism
350
atau transaksi ekonomi KKKN Kolusi, Korupsi, Kronisme, dan Nepotisme.
Administrasi negara di Indonesia pada saat ini lebih tepat dikatakan sebagai alat untuk menegakkan kekuasaan negara bukan
kekuasaan rakyat. Itulah sebabnya realitas administrasi negara saat ini lebih banyak sebagai gambaran atau lukisan dari pada
realitanya. Sehingga diperlukan pemikiran-pemikiran baru yang dapat meluruskan kembali ke arah pelaksanaan administrasi
negara yang ideal menuju good governance.
Birokrasi pemerintah yang dipandang perlu untuk dibangun kembali guna menuju pemerintahan yang adil, bersih, berwibawa,
dan demokratis good governance. Sehingga permasalahan- permasalahan
yang perlu
dikaji kembali
sebagai jalan
pemecahannya antara lain:
1. Evaluasi diri terhadap kondisi birokrasi pemerintah Indonesia
saat ini.
349
Thoha, Miftah, Administrasi Negara, Demokrasi, dan Masyarakat Madani. Lembaga Administrasi Negara. Jakarta, 1999, hlm: 68-69.
350
Thoha, Miftah, Administrasi Negara, Demokrasi, dan Masyarakat Madani, Ibid: 67- 69.
439
2. Adanya perubahan paradigma birokrasi pemerintah ke arah
yang lebih ideal. 3.
Repositioning birokrasi pemerintah. 4.
Memiliki aparatur pemerintah yang memiliki komitmen terhadap
nilai-nilai, sehingga
terjadinya demokratisasi
birokrasi. 5.
Peranan pemerintah dan masyarakat dalam membangun birokrasi.
Diharapkan dengan
adanya perubahan
paradigma pemerintah ke arah birokrasi yang ideal, didukung aparatur
pemerintah yang menjunjung tinggi nilai-nilai dan berperilaku positif, adanya komunikasi yang baik antara pemerintah dengan
masyarakat, dan ikut berperan di dalamnya, maka good governance dapat diwujudkan.
Kehidupan dan tumbuh kembangnya birokrasi pemerintah di Indonesia sangat ditentukan oleh percaturan politik terlebih lagi
ketika sehabis dilaksanakan pemilihan umum. Oleh karena itu birokrasi pemerintah sangat ditentukan oleh kehidupan politik dan
pemilunya. Sejalan dengan pendapat Carl J. Bellone
351
bahwa ilmu pengetahuan politis adalah induk dari administrasi pemerintahan.
Bahkan di kalangan akademisi beranggapan bahwa administrasi pemerintahan lebih dari sekedar ilmu pengetahuan politis.
Kehidupan modern telah mendorong birokrasi menjadi alat yang unggul dalam mengatur proses pemerintahan. Kekuasaan
birokratis telah menjadikan lembaga pemerintahan memiliki kapasitas yang luar biasa dan menjadi sentral untuk mengarahkan
energi politis. Sebagai akibatnya, pemerintahan birokratis lebih dari partai politik.
Partai politik didirikan tidak memiliki keinginan lain, kecuali untuk bisa memerintah negara. Upaya untuk memerintah itu
menurut paham demokrasi dibatasi oleh waktu tertentu dan harus dilakukan melalui cara pemilihan umum yang dijalankan secara
demokratis, jujur, adil, bebas, rahasia, dan konstitusional. Pemerintah partai politik ini akan membawahi dan memerintah
birokrasi pemerintah yang eksistensinya tidak memalui pemilihan
351
Bellone, Carl. K, Organization Theory and The New Public Administrator, Op cit: 35- 37.
440
umum, melainkan melalui jalur karier yang dibinanya dengan cara- cara koalisi. Agar supaya profesionalisme birokrasi tidak terganggu
dengan silih bergantinya partai politik, para birokratnya tidak dibenarkan untuk memihak.
Selain itu administrasi negara digambarkan pula sebagai upaya yang lebih concern terhadap pelaksanaan suatu konstitusi
ketimbang membuatnya.
352
Ungkapan ini menjelaskan bahwa administrasi negara lebih populer disebut mengutamakan
melaksanakan kebijakan
ketimbang membuatnya.
Proses pembuatan kebijakan publik domain dari wilayah politik. Di
wilayah ini partai politik berkiprah menentukan visi politik ke arah mana pemerintahan negara ini dikendalikan. Sedangkan visi politik
itu bagaimana mewujudkan diserahkan kepada ahlinya yakni kepada birokrasi pemerintah. Upaya birokrasi melaksanakan
kebijakan publik tersebut merupakan wilayah dan domain administrasi negara.
Birokrasi pemerintah saat ini mencerminkan birokrasi besar yang menekankan pada kewenangan yang tidak didukung dengan
aparatur yang profesional dengan kompetensi yang sesuai dengan bidang
fungsi yang
dilaksanakan. Disamping
itu Asep
Kartiwa
353
menyatakan bahwa birokrasi pemerintahan kita belum didukung dengan sistem kepegawaian yang didasarkan pada sistem
koalisi, dalam kondisi swasta belum dapat menciptakan lapangan kerja. Pada masa krisis ini birokrasi pemerintah menanggung
beban yang cukup banyak. Sehingga aparatur yang profesional dan memahami paradigma sesuai dengan konsep birokrasi ideal
menjadi kebutuhan yang mendesak.
Pembaharuan dan penyempurnaan birokrasi telah menjadi perhatian serius di negara-negara berkembang, termasuk negara
Indonesia. Bahkan di negara-negara maju sekalipun, masih merasakan kekurangpuasan peran birokrasi pemerintah, sehingga
terus berupaya untuk mencari identitas baru bagi birokrasinya.
352
Thoha, Miftah, Administrasi Negara, Demokrasi, dan Masyarakat Madani, Op cit: 67- 69.
353
Kartiwa, Asep, Membangun Birokrasi Pemerintah Daerah yang Profesional Menuju Terwujudnya Good Governance. UNPAD. Bandung, 2004, hlm: 7-9.
441
Para pakar administrasi selalu mengamati adanya alur pikir baru yang ditunjang dengan seperangkat teori yang melahirkan
paradigma baru dalam dunia ilmu administrasi negara. Paradigma baru yang memandang birokrasi sebagai organisasi pemerintahan
tidak lagi semata-mata hanya melakukan tugas-tugas pemerintahan akan barang-barang publik public goods, tetapi juga melakukan
dorongan dan motivator bagi tumbuh kembangnya peran serta masyarakat.
Pertumbuhan ciri birokrasi tradisional ke arah birokrasi modern menjadi suatu kenyataan yang bersifat implikatif. Seiring
dengan berbagai kemajuan dan munculnya kebutuhan aparatur birokrasi yang profesional, mengakibatkan kebutuhan akan
pelayanan juga semakin kompleks, serta menuntut kualitas pelayanan yang semakin baik. Birokrasi yang berada di tengah-
tengah masyarakat tersebut tidak dapat tinggal diam, tetapi harus lebih mampu memberikan berbagai pelayanan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
b. Model Participatory Planing dan Budgeting.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional
SPPN merupakan
momemtum pelembagaan prinsip perencanaan pembangunan yang partisipatif. Perencanaan dengan pendekatan partisipatif atau biasa
disebut sebagai participatory planning
354
merupakan suatu proses politik
untuk memperoleh
kesepakatan bersama
collectiveagreement melalui aktivitas negosiasi antar seluruh pelaku pembangunan stakeholders. Proses politik ini dilakukan
secara transparan dan fleksibel sehingga masyarakat memperoleh kemudahan setiap proses pembangunan yang dilakukan serta
354
John Friedmann. Planning in The Public Domain, From Knowledge to Action, Princeton University Press, New Jersey. 1987, hlm: 34. Yang di maksud dengan
participatory planning , merupakan Pembuatan keputusan adalah masyarakat dan para stakeholders yang bila diperlukan dapat dibantu oleh para ahli perencana
sebagai fasilitator
proses; Tingkat
komprehensifitas terserah
pada kesepakatan stakeholders.;
Biasanya proses
dan hasilnya
terserah pada
kesepakatan stakeholders bisa mengikuti
proses Strategic
Planning bila
disepakati; Contoh penerapan: Community Development, serta hal ini telah masuk dalam masa demokrasi.
442
setiap tahap perkembangannya. Dalam hal ini perencanaan partisipatif lebih sebagai sebuah alat pengambilan keputusan yang
diharapkan dapat meminimalkan konflik antar stakeholder. Perencanaan partisipatif juga dapat dipandang sebagai instrumen
pembelajaran masyarakat social learning secara kolektif melalui interaksi antar seluruh pelaku pembangunan. Pembelajaran ini
pada akhirnya akan meningkatkan kapasitas seluruh stakeholders dalam upaya memobilisasi sumberdaya yang dimilikinya secara
luas.
Perencanaan partisipatif selain sebagai sebuah proses politik juga merupakan sebagai sebuah proses teknis. Dalam proses
ini yang lebih ditekankan adalah peran dan kapasitas fasilitator untuk mendefinisikan dan mengidentifikasi stakeholder secara
tepat. Selain itu proses ini juga diarahkan untuk memformulasikan masalah secara kolektif, merumuskan strategi dan rencana tindak
kolektif, serta melakukan mediasi konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya publik. Salah satu hal penting dalam
proses teknis ini adalah upaya pembangunan institusi masyarakat yang cukup legitimat sebagai wadah bagi masyarakat untuk
melakukan proses mobilisasi pemahaman, pengetahuan, argumen, dan ide menuju terbangunnya sebuah konsensus, sebagai awal
tindak kolektif penyelesaian persoalan publik.
Dengan model participatory planning, maka kegiatan perencanaan tingkat daerah harus diarahkan berdasarkan isu yang
dianggap relevan bagi pembangunan. Kegiatan ini dimulai dengan perumusan visi dan tujuan umum pembangunan jangka panjang
berdasarkan masukan dari kelompok stakeholders terkait, sehingga visi dan misi menjadi milik bersama dan acuan untuk semua pelaku
pembangunan di daerah. Untuk beragam partisipasi masyarakat diterapkan alat dan metode yang memberikan kesempatan luas
kepada semua unsur masyarakatstakeholders untuk menyalurkan persepsi dan aspirasinya yang selanjutnya dimasukkan ke dalam
pembuatan tujuan kebijakan dan program pembangunan daerah.
Forum-forum stakeholders, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat LSM, organisasi perempuan, pemuda dan dunia usaha
difasilitasi untuk meningkatkan partisipasi di antara masyarakat setempat dan kelompok kepentingan sebagai elemen yang
443
mendukung untuk menentukan prioritas pembangunan daerah. Forum stakeholders berperan sebagai salah satu proses untuk
menyuarakan kepentingan
masyarakat terhadap
tujuan pembangunan secara spesifik.
Dalam proses perumusan visi pembangunan daerah sebagai dasar untuk perencanaan jangka menengah penting untuk
menampung aspirasi masyarakat melalui berbagai forum stakeholders yang ada di level daerah. Perencanaan dilihat sebagai
proses terstruktur yang bertahap dan bertingkat. Perencanaan pembangunan daerah oleh lembaga teknis didasarkan pada analisa
potensi dan kebutuhan daerah, integrasi rencana khusus dan rencana pembangunan dari tingkat propinsi maupun nasional.
Aspek tersebut dipadukan dengan alur perencanaan partisipatif untuk menggali aspirasi dan kebutuhan masyarakat setempat.
Monopoli pemerintah
terhadap akses
pengambilan kebijakan publik, terutama masalah alokasi anggaran sudah
menjadi isu klasik. Menurut James Buchanan, pemenang nobel ekonomi 1986, pemerintahan identik dengan sekumpulan individu
yang lebih mementingkan kepentingannya sendiri daripada kepentingan publik melalui peraturan hukum dan pungutan
pajak. Kumpulan kepentingan ini menimbulkan perilaku pemburu rente. Meskipun ada paksaan bagi pejabat publik lebih transparan
dalam menentukan kebijakan publik, namun sistem informasi di negara berkembang masih sangat memungkinkan terjadinya
penyimpangan. Berbeda dengan para penganut pasar bebas lebih mengandalkan mekanisme pasar ketika pemerintah dianggap gagal
mengatasi masalah, penganut demokrasi lebih percaya untuk mengatasi
aktivitas pemburu
rente tersebut
diperlukan kekompakan warga untuk memperjuangkan haknya.
Kualitas Sumber Daya Manusia SDM masyarakat selalu menjadi alasan klasik aparat pemerintah daerah untuk tidak
melibatkan masyarakat. Seperti halnya bagi sebagian besar pemerintah daerah di negara-negara berkembang, partisipasi di
mata pemerintah daerah di Indonesia cenderung merupakan ancaman. Setelah 8 delapan tahun kebijakan desentralisasi
digulirkan, ada kecenderungan bahwa mandat yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi akan dicabut.
444
Perjuangan untuk
melibatkan CSO
Civic Society
Organization dalam proses perencanaan pembangunan daerah masih sangat panjang. Meskipun Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpan Pinjam LPSP menegaskan bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
bertujuan
mengoptimalkan partisipasi
masyarakat, namun
partisipasi dilakukan sekedarnya. Kenyataannya, pemerintah daerah yang menganggap dirinya sebagai penguasa masih setengah
hati untuk melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan.
Sebab hal itu, dalam pelaksanaannya, masyarakat cukup diberitahu, dan kalau ada masukan cukup ditampung. Di lain pihak,
masih banyak Lembaga Swadaya Masyarakat LSM yang belum mampu terlibat dalam pengambilan keputusan. Sebuah kajian yang
dilakukan oleh yayasan Tifa Foundation menyatakan bahwa tidak lebih dari 10 Lembaga Swadaya Masyarakat LSM di Indonesia
yang benar-benar mendapat kepercayaan masyarakat.
Perjuangan untuk mewujudkan CSO Company Security Officer yang mampu meraih kepercayaan masyarakat menjadi
cukup vital, mengingat CSO Company Security Officer sebagai perantara antara masyarakat dan pemerintah pada berbagai
tingkat. Pada tingkat lokal, CSO Company Security Officer yang biasa tinggal dan bekerja dengan masyarakat, mampunyai
informasi tentang kebutuhan masyarakat dan meyakinkan pemerintah untuk mengembangkan program-program yang lebih
membumi. CSO Company Security Officer bisa juga membantu mengorganisasi pertemuan konsultasi antara anggota komunitas,
organisasi akar rumput, organisasi keagamaan dengan pemerintah. Pada pemerintahan yang lebih tinggi baik profinsi maupun
nasional, CSO Company Security Officer bisa berperan melakukan advokasi bagi komunitas miskin, misalnya dengan memastikan
bahwa alokasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBD atau Anggaran Pendapatan Belanja Negara APBN benar-benar pro
rakyat miskin. Di Uganda yang pembangunannya jauh lebih tertinggal dari Indonesia, CSO Company Security Officer bisa
benar-benar
menjadi partner
pemerintah dalam
proses penyusunan anggaran pemerintah, sementara Porto Alegre di
Brazil merupakan model participatory budget yang paling berhasil.
445
Untuk mewujudkan
terciptanya anggaran
berbasis partisipasi dalam konteks sosial dan geografi, berdasarkan
pengalaman di beberapa negara berkembang lain, ada beberapa faktor yang menentukan keberhasilan.
1. Dinamika masyarakat madani. Dalam kasus Porto Alegre Brazil, pada 1988 jumlah CSO Company Security Officer sudah
mencapai 600 lembaga, dengan tingginya tingkat kesadaran masyarakat terhadap hak-haknya dalam menentukan anggaran
publik. Sebelum dilaksanakan program participatory budget, konsultasi terhadap anggaran dan aktivitas monitoring sudah
menjadi tradisi bagi CSO Company Security Officer ;
2. Pemerintah Daerah mempunyai niat baik untuk mewujudkan partisipasi dengan kemampuan kapasitas yang memadai untuk
memfasilitasi proses partisipasi warganya, terutama dalam skala yang lebih besar. Banyak pemerintah daerah yang
berusaha replikasi program anggaran berbasis kinerja, tetapi banyak yang gagal;
3. Lembaga legislative yang terbuka terhadap proses partisipasi dapat menjadi mitra utama bagi masyarakat dalam
merealisasikan manfaatnya; 4. Keberhasilan implementasi program ini juga tidak bisa terlepas
dari kondisi pembangunan ekonomi;
355
5. Terakhir kemampuan media untuk membangkitkan dan memfasilitasi peran serta masyarakat pada tingkat partisipasi
yang lebih tinggi, bukan hanya sekedar mendapatkan informasi. Pengalaman di Brazil dan Uganda tidak bisa terlepas
dari peran media masa terhadap pendidikan masyarakat adult education. Bahkan gaung keberhasilannya yang mendunia
juga tidak terlepas dari informasi yang diberitakan oleh media.
Munculnya paradigma baru dalam sistem perencanaan pembangunan juga diikuti dengan diterapkannya prinsip dan
pendekatan baru yang dinamakan sistem pengelolaan anggaran berbasis kinerja. Beberapa prinsip itu meliputi:
1. Transparansi dan
akuntabilitas anggaran.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD harus dapat
menyajikan informasi yang jelas mengenai tujuan, sasaran, hasil, dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu
355
Shultz 2002 menjelaskan bahwa anggaran berbasis partisipasi ini dimulai daerah yang cukup makmur, kemudian berkembang ke negara berkembang lain seperti
Argentina dan Mexico, dan saat ini sudah berkembang di negara miskin seperti Uganda dan Nicaragua.
446
kegiatan atau proyek yang dianggarkan. Anggota masyarakat memiliki hak dan akses yang sama untuk mengetahui proses
anggaran karena menyangkut aspirasi dan kepentingan masyarakat, terutama pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup
masyarakat. Masyarakat juga berhak untuk menuntut pertanggungjawaban atas rencana ataupun pelaksanaan
anggaran tersebut.
2. Disiplin anggaran. Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai
untuk setiap sumber pendapatan, sedangkan belanja yang dianggarkan pada setiap pospasal merupakan batas tertinggi
pengeluaran belanja. Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan
dalam jumlah yang cukup dan tidak dibenarkan melaksanakan kegiatanproyek yang belumtidak tersedia anggarannya
dalam APBDperubahan APBD.
3. Keadilan anggaran. Pemerintah daerah wajib mengalokasikan penggunaan anggarannya secara adil agar dapat dinikmati oleh
seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi dalam pemberian pelayanan karena pendapatan daerah pada
hakekatnya diperoleh melalui peran serta masyarakat.
4. Efisiensi dan efektifitas anggaran. Penyusunan anggaran hendaknya dilakukan berlandaskan azas efisiensi, tepat guna,
tepat waktu
pelaksanaan, dan
penggunaannya dapat
dipertanggungjawabkan. Dana
yang tersedia
harus dimanfaatkan
dengan sebaik
mungkin untuk
dapat menghasilkan peningkatan dan kesejahteraan yang maksimal
untuk kepentingan masyarakat. 5. Disusun dengan pendekatan kinerja. APBD disusun dengan
pendekatan kinerja, yaitu mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja outputoutcome dari perencanaan alokasi biaya
atau input yang telah ditetapkan. Hasil kerjanya harus sepadan atau lebih besar dari biaya atau input yang telah ditetapkan.
Selain itu harus mampu menumbuhkan profesionalisme kerja di setiap organisasi kerja yang terkait.
Selain prinsip-prinsip secara umum seperti yang telah diuraikan diatas, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang
Keuangan Negara, mengamanatkan perubahan-perubahan kunci tentang penganggaran sebagai berikut :
1. Penerapan pendekatan penganggaran dengan perspektif jangka menengah. Pendekatan dengan perspektif jangka
menengah memberikan
kerangka yang
menyeluruh, meningkatkan keterkaitan antara proses perencanaan dan
447
penganggaran, mengembangkan disiplin fiskal, mengarahkan alokasi sumber daya agar lebih rasional dan strategis, dan
meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dengan pemberian pelayanan yang optimal dan lebih efisien.
Dengan melakukan proyeksi jangka menengah, dapat dikurangi ketidakpastian di masa yang akan datang dalam penyediaan
dana untuk membiayai pelaksanaan berbagai inisiatif kebijakan baru dalam penganggaran tahunan agar tetap
dimungkinkan, tetapi pada saat yang sama harus pula dihitung implikasi kebijakan baru tersebut dalam konteks keberlanjutan
fiskal dalam jangka menengah. Cara ini juga memberikan peluang untuk melakukan analisis apakah perlu melakukan
perubahan
terhadap kebijakan
yang ada,
termasuk menghentikan program-program yang tidak efektif, agar
kebijakan-kebijakan baru dapat diakomodasikan; 2. Penerapan penganggaran secara terpadu. Dengan pendekatan
ini, semua kegiatan instansi pemerintah disusun secara terpadu, termasuk mengintegrasikan anggaran belanja rutin
dan anggaran belanja pembangunan nasional. Hal tersebut merupakan tahapan yang diperlukan sebagai bagian upaya
jangka panjang untuk membawa penganggaran menjadi lebih transparan, dan memudahkan penyusunan dan pelaksanaan
anggaran yang berorientasi kinerja. Dalam kaitan dengan menghitung biaya input dan menaksir kinerja program, sangat
penting untuk mempertimbangkan secara simultan biaya secara keseluruhan, baik yang bersifat investasi maupun biaya
yang bersifat operasional;
3. Penerapan penganggaran berdasarkan kinerja. Pendekatan ini memperjelas tujuan dan indikator kinerja sebagai bagian dari
pengembangan sistem penganggaran berdasarkan kinerja. Hal ini akan mendukung perbaikan efisiensi dan efektivitas dalam
pemanfaatan sumber
daya dan
memperkuat proses
pengambilan keputusan tentang kebijakan dalam kerangka jangka menengah. Rencana kerja dan anggaran RKA yang
disusun berdasarkan prestasi kerja dimaksudkan untuk memperoleh
manfaat yang
sebesar-besarnya dengan
menggunakan sumber daya yang terbatas. Oleh karena itu, program dan kegiatan Kementerian NegaraLembaga atau
SKPD harus diarahkan untuk mencapai hasil dan keluaran yang telah ditetapkan sesuai dengan Rencana Kerja Pemerintah
RKP atau rencana Kerja Pemerintah Daerah RKPD.
Beberapa isu kritis yang harus selalu dicermati terkait dengan implementasi paradigma baru dalam perencanaan
448
pembangunan dan penerapan prinsip-prinsip penganggaran berbasis kinerja, yakni sebagai berikut:
1.
Masyarakat dilibatkan dalam perencanaan pembangunan daerah seperti Musrenbang Musyawarah kerja pembangunan
tidak dilibatkan dalam proses pembahasan dan penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD;
2.
Masyarakat tidak dilibatkan dalam penentuan prioritas sektoral, padahal usulan sektoral mendominasi Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah APBD – usulan spasial rata-rata
hanya 1 dari Anggaran Pendapatan Belanja dan Daerah APBD;
3.
Pembahasan dan Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD masih dianggap wilayah ekslusif
pemerintah daerah dan DPRD;
4.
Partisipasi masih diartikan sebagai proses
penjaringan aspirasi masyarakat , yakni pengumpulan informasi dan
feedback dari masyarakat. Masyarakat tidak pernah tahu bagaimana pengambilan keputusan dilakukan atas informasi
yang diberikannya;
5.
Partisipasi belum memberikan ruang bagi masyarakat untuk berperan serta dalam mengontrol dan mengarahkan proses
pengambilan keputusan dalam pembahasan dan penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD;
6.
Masih mengedepannya partisipasi semu dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan, sehingga mengakibatkan:
a
Pemusatan kekuasaan baru pada sekelompok aktor negara di tingkat lokal local state actor tanpa ada mekanisme
kontrol publik yang efektif;
b
Tingginya peluang kebijakan alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD yang menguntungkan
kelompok tertentu local vested interest;
c
Kesalahan alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD;dari untuk kepentingan publik menjadi
untuk kepentingan privat baik individu maupun kelompok;
d
Terabaikannya pencapaian standar pelayanan public;
e
Defisit yang
tidak menjamin
pembangunan yang
berkelanjutan unsustainable deficit;
f
Tidak tercapainya target pembangunan infrastruktur daerah;
g
Terabaikannya program pengentasan kemiskinan sebagai tugas penting pemerintah daerah.
449
Kemudian dalam penelitian banyak ditemukan beberapa faktor-faktor utama yang penyebab berkembangnya isu-isu kritis
dalam perencanaan dan penganggaran adalah sebagai berikut:
1. Terjadinya asimetri informasi kesenjangan informasi antara Pemerintah dengan Masyarakat. Tingginya asimetri informasi ini
disebabkan oleh tingginya biaya transaksi untuk melakukan pemetaan kebutuhan masyarakat. Hal ini menyebabkan proses
perencanaan anggaran sangat rentan terhadap bias atau pengaruh dari kelompok-kelompok kepentingan yang menyimpang dari
harapan masyarakat.
2. Terjadinya asimetri informasi antara Pemerintah Daerah dan DPRD. Eksekutif merupakan lembaga yang lebih mapan
dibandingkan dengan DPRD dalam upaya melaksanakan program- program pembangunan. Dengan tingginya informasi yang dikuasai
eksekutif, maka DPRD memiliki kelemahan yang cukup signifikan dalam melakukan fungsi pengujian check dan penyeimbang
balances terhadap program-program pembangunan yang diusulkan oleh Pemerintah. Dalam konteks inilah, maka ada
potensi yang sangat besar pada eksekutif atau instansi-instansi dalam tubuh eksekutif untuk melakukan bias kepentingan
terhadap alokasi anggaran.
3. Lemahnya sistem dan mekanisme akuntabilitas di tubuh legislatif. Hal ini dikarenakan sistem relasi antara Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah DPRD dengan masyarakat sangat jauh. Tidak ada mekanisme untuk menjaga agar Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah DPRDmelaksanakan tugasnya sesuai dengan keinginan masyarakatnya. Lemahnya sistem akuntabilitas Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah DPRD ini bisa berakibat pada tingginya inefesiensi di tubuh pemerintahan itu sendiri secara
keseluruhan. Misalnya, karena tidak ada mekanisme akuntabilitas di tubuh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD, maka setiap
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRDakan bebas untuk menyalahgunakan wewenanganya sebagai wakil rakyat
untuk berkolusi dalam banyak hal dengan eksekutif, lembaga yang seharusnya menjadi obyek pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah DPRD.
4. Lemahnya fungsi kontrol masyarakat untuk memastikan bahwa