Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana

246 2. Melanggar hak subyektif orang lain, tetapi juga 3. Perbuatan yang melanggar kaidah yang tidak tertulis, yaitu kaedah yang mengatur tata susila 4. Kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan hidup dalam masyarakat atau terhadap harta benda warga masyarakat. Penilaian mengenai apakah suatu perbuatan termasuk perbuatan melawan hukum, tidak cukup apabila hanya didasarkan pada pelanggaran terhadap kaidah hukum, tetapi perbuatan tersebut harus juga dinilai dari sudut pandang kepatutan. Fakta bahwa seseorang telah melakukan pelanggaran terhadap suatu kaidah hukum dapat menjadi faktor pertimbangan untuk menilai apakah perbuatan yang menimbulkan kerugian tadi sesuai atau tidak dengan kepatutan yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat.

7. Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana

Korupsi. a. Perumusan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi. Dikaji dari perspektif pembagian hukum berdasarkan isinya dikenal klasifikasi hukum publik dan hukum privat. Menurut doktrin, ketentuan hukum publik merupakan hukum yang mengatur kepentingan umum algemene belangen sedangkan ketentuan hukum privat mengatur kepentingan perorangan bijzondere belangen. Apabila ditinjau dari aspek fungsinya maka salah satu ruang lingkup hukum publik adalah hukum pidana yang secara esensial dapat dibagi lagi menjadi hukum pidana materiil materieel strafrecht dan hukum pidana formal formeel strafrechtstrafprocesrecht. 179 179 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta, 2005, hlm. 171, Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 5, 247 Selanjutnya, ketentuan hukum pidana dapat diklasifikasikan menjadi hukum pidana umum ius commune dan hukum pidana khusus ius singulare, ius speciale atau bijzonder strafrecht. Ketentuan hukum pidana umum dimaksudkan berlaku secara umum sebagaimana termaktub dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP, sedangkan hukum pidana khusus menurut W.P.J. Pompe, H.J.A. Nolte, Sudarto dan E.Y. Kanter diartikan ketentuan hukum pidana yang mengatur mengenai subyeknya dan perbuatan yang khusus bijzonder lijkfeiten. 180 Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus. Apabila dijabarkan, tindak pidana korupsi mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti penyimpangan hukum acara dan materi yang diatur dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran serta penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB Anti Korupsi 2003 United Nations Convention Against Corruption UNCAC, 2003. 181 Mendiskripsikan masalah korupsi sudah merupakan ancaman serius terhadap stabilitas, keamanan masyarakat nasional dan internasional, telah melemahkan institusi, nilai-nilai demokrasi dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan maupun penegakan hukum. Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang UU Nomor 7 Tahun 180 Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Pasca Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003, Penerbit Alumni, Bandung, 2007, hlm. 1 dan: Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Normatif, Teoretis, Praktik dan Masalahnya, Penerbit PT Alumni, Bandung, 2007, hlm. 1 181 Romli Atmasasmita, Strategi Dan Kebijakan Pemberantasan Korupsi Pasca Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003: Melawan Kejahatan Korporasi, Paper, Jakarta, 2006, hlm. 1 dan Romli Atmasasmita, Strategi dan Kebijakan Hukum Dalam Pemberantasan Korupsi Melawan Kejahatan Korporasi di Indonesia: Membentuk Ius Constituendum Pasca Ratifikasi Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003, Paper, Jakarta, 2006, hlm. 1., dan vide pula: Romli Atmasasmita, Strategi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Di Sektor Swasta Dalam Lingkup Konvensi PBB Anti Korupsi 2003, Paper, Jakarta, 2006, hlm. 7, serta: Romli Atmasasmita, Indonesia Pasca Konvensi PBB Menentang Korupsi, Paper, Jakarta, 2006, hlm. 5 dan: Romli Atmasasmita, Strategi Pemberantasan Korupsi Di Indonesia, Paper, Jakarta, 2006, hlm. 3 248 2006 Tentang Pengesahan United Nation Convention Against Coruption 2003 menimbulkan implikasi karakteristik dan subtansi gabungan dua sistem hukum yaitu Civil Law dan Common Law , sehingga akan berpengaruh kepada hukum positif yang mengatur tindak pidana korupsi di Indonesia. Romli Atmasasmita 182 menyebutkan implikasi yuridis tersebut, bahwa nampak adanya kriminalisasi perbuatan memperkaya diri sendiri illicit enrichment dimana ketentuan Pasal 20 United Nations Convention Against Coruuption UNCAC menentukan, bahwa: …each State Party shall consi der adopting… to establish as a criminal offence, when committed intentionally, illicit enrichment, that is, a significant increase in the assets of a public official that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income. Selain itu, dikaji dari perspektif internasional pada dasarnya korupsi merupakan salah satu kejahatan dalam klasifikasi White Collar Crime dan mempunyai akibat kompleksitas serta menjadi atensi masyarakat internasional. Konggres PBB ke-8 mengenai Prevention of Crime and Treatment of Offenders yang mengesahkan resolusi Corruption in Goverment di Havana tahun 1990 merumuskan tentang akibat korupsi, berupa: 1. Korupsi dikalangan pejabat publik corrupt activities of public official: 2. Dapat menghancurkan efektivitas potensial dari semua jenis program pemerintah can destroy the potential effectiveeness of all types of govermental programmes 3. Dapat menghambat pembangunan hinder development . 4. Menimbulkan korban individual kelompok masyarakat victimize individuals and groups . 5. Ada keterkaitan erat antara korupsi dengan berbagai bentuk kejahatan ekonomi, kejahatan terorganisasi dan pencucian uang haram 183 182 Romli Atmasasmita, Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi Dan Implikasinya Terhadap Sistem Hukum Pidana Indonesia, Paper, Jakarta, 2006, hlm. 9-10 dan vide pula: Romli Atmasasmita, Desain Pemberantasan Korupsi, Paper, Jakarta, 2006, hlm. 2 183 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm. 69 dan vide 249 Asumsi konteks tersebut di atas dapat ditarik suatu konklusi dasar tindak pidana korupsi bersifat sistemik, terorganisasi, transnasional dan multidimensional dalam arti berkorelasi dengan aspek sistem, yuridis, sosiologis, budaya, ekonomi antar negara dan lain sebagainya. 184 Oleh karena itu, tindak pidana korupsi bukan saja dapat dilihat dari perspektif hukum pidana, melainkan dapat dikaji dari dimensi lain, misalnya perspektif legal policy law making policy dan law enforcement policy, Hak Asasi Manusia HAM maupun Hukum Administrasi Negara. Selintas, khusus dari perspektif Hukum Administrasi Negara ada korelasi erat antara tindak pidana korupsi dengan produk legislasi yang bersifat Administrative Penal Law. Dalam konteks Hukum Pidana maka istilah Administrative Penal Law adalah semua produk legislasi berupa perundang- undangan dalam lingkup Administrasi Negara yang memiliki sanksi pidana.Tidak semua Administrative Penal Law merupakan tindak pidana korupsi, dan untuk menentukannya sebagai tindak pidana korupsi harus mengacu kepada ketentuan Pasal 14 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menentukan Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-Undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang tersebut sebagai tindak pidan korupsi, berlaku ketentuan yang diatur dalam undang- undang ini . Ketentuan Pasal tersebut di atas memegang teguh asas Lex Specialis Systematic Derogat Lex Generali karena melalui penafsiran secara a contrario Pasal 14 menentukan, selain Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak ditegaskan bahwa pelanggaran atas ketentuan pidana dalam undang-undang lain merupakan tindak pidana korupsi maka Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak berlaku atau tidak dapat diterapkan. 185 pula: Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Penerbit Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, hlm. 148 184 Romli Atmasasmita, Strategi Dan Kebijakan Pemberantasan …, Op.Cit, hlm. 185 Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional, Penerbit CV Mandar Maju, Bandung, 2004, hlm. 45 dan vide: 250 Selain dimensi tersebut dalam tindak pidana korupsi esensi krusial dalam perkembangan teoritis dan praktik yang menimbulkan polemik dan problematika berkepanjangan adalah anasir perbuatan melawan hukum baik dalam artian formal dan materiil. Khusus terhadap perbuatan melawan hukum materiil baik dalam fungsi positif dan fungsi negatif menjadi problematika tersendiri apabila dikaji dari perspektif praktik peradilan khususnya pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003PUU- IV2006 tanggal 25 Juli 2006. Pada praktik peradilan khususnya terhadap perkara tindak pidana korupsi dalam beberapa putusan Mahkamah Agung RI belakangan ini ada yang tidak menerapkan perbuatan melawan hukum materiil sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi dan tidak sedikit pula yang tetap menerapkan dan menganut dimensi perbuatan melawan hukum materiil pasca putusan Mahkamah Konstitusi. Tulisan singkat berikut akan mengkaji lebih mendalam tentang putusan Mahkamah Agung yang tetap mempertahankan, menerapkan dan mempraktikan perbuatan melawan hukum materiil dalam perkara tindak pidana korupsi pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003PUU-IV2006 tanggal 25 Juli 2006. Tindak pidana korupsi berbeda dengan tindak pidana umum ditinjau dari hukum acara yang mengaturnya hukum formil dan materi-materi hukum hukum materiil, serta ajaran tentang sifat melawan hukumnya. Kewenangan mengadili perkara korupsi ada pada pengadilan tindak pidana korupsi, selain itu percobaan untuk melakukan tindak pidana korupsi diancam dengan hukuman delik selesai. Begitu juga mengenai permufakatan jahat yang dapat dilakukan penuntutan baik tindakan persiapan voorbreiding-daad dan perbuatan pelaksanaan uitvoer- handeling. Sementara materi hukum tindak pidana umum sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP mengurangi hukuman tindakan percobaan menjadi sepertiga sehingga tidak termasuk kategori delik selesai dan Indriyanto Seno Adjie, Kendala Administrative Penal Law Sebagai Tindak Pidana Korupsi Pencucian Uang , Paper, Jakarta, 2007, hlm.5 serta: Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Penerbit Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2002, hlm. 40. 251 permufakatan jahat hanya dituntut jika telah memasuki perbuatan pelaksanaan. Persoalan sifat melawan hukum menjadi perdebatan para ahli hukum pidana terkait sifat melawan hukum formil atau disebut on wet dan sifat melawan hukum materiil atau disebut on recht. Pelanggaran terhadap pasal yang diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana KUHP dianggap melawan hukum secara formil meskipun anasir deliknya tidak disebut dalam pasal. Jika dijadikan sebagai anasir delik, maka ia tidak hanya melawan hak secara formil, melainkan juga secara materiil, jadi unsur melawan hukum yang disebut dalam pasal yang bersangkutan harus dibuktikan melawan hukum formil dan materiilnya. Perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi juga mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. 186 Pada hakekatnya, ada atau tidaknya anasir perbuatan melawan hukum pada tindak pidana korupsi menganut konsep yang sama dengan pelanggaran terhadap pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP. Ketentuan Pasal 2 ayat 1 Jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merumuskan: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling sedikit Rp. 186 Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undfang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-UNdang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 252 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 satu milyar rupiah. Unsur-unsur pasal tersebut adalah: 1. Secara melawan hukum; 2. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 3. Dapat merugikan keuangan negara atau suatu korporasi; Pada perumusan delik diatas perbuatan adalah memperkaya diri dan orang lain atau suatu korporasi dan akibat adalah kerugian negara atau suatu korporasi, kemudian dengan melawan hokum, yang dapat diartikan dalam delik ini sebagai tanpa hak untuk menikmati hasil korupsi. Hal tersebut selaras dengan putusan Mahkamah Agung Belanda Hoge Raad Tanggal 30 Januari 1911 yang mengartikan melawan hukum itu adalah; Tidak mempunyai hak untuk menikmati keuntungan, hal tersebut tercantum di dalam delik penipuan Pasal 378 Kitab Undang-undang Hukum Ppidana. Pencantuman unsur melawan hukum pada pasal tersebut mengharuskan pembuktian unsur melawan hukum formil dan melawan hukum materiil sebagaimana dalam penjelasannya. Namun, Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya Nomor: 003 PUU-IV 2006, Tanggal 24 Juli 2006 mengenai Pengujian Undang-undang Nomor: 31 Tahun 1999 tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara RI 1945, telah menyatakan pada pokoknya bahwa; 1. Menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150 sepanjang frasa yang berbunyi, Yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma 253 kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor sepanjang frasa yang berbunyi, Yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; Adapun jika unsur melawan hukum tidak dicantumkan dalam pasal yang bersangkutan pada tindak pidana korupsi, dapat dijelaskan melalui contoh ketentuan Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang merumuskan bahwa: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau saran yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 satu milyar rupiah. Sehingga dengan demikian unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : 1. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi; 254 2. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan; 3. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; Menurut Andi Hamzah 187 bahwa Pasal 3 tidak mencantumkan unsur melawan hUkum secara berdiri sendiri bukan merupakan bestanddel. Ini bukan berarti bahwa delik ini dapat dilakukan tanpa melawan hukum sebab unsur melawan hukumnya terbenih inhaerent dalam keseluruhan perumusan. Melawan hukum adalah tidak mempunyai hak sendiri untuk menikmati keuntungan korupsi tersebut. Unsur menguntungkan diri sendiri disini adalah sama pengertian dan penafsirannya dengan menguntungkan diri sendiri yang tercantum dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP, meskipun tidak ada unsur melawan hukum, akan tetapi unsur ini ada secara diam-diam, sebab tiap perbuatan delik, selalu ada unsur melawan hukum menguntungkan diri sendiri dengan melawan hokum, berarti menguntungkan diri sendiri tanpa hak. 188

b. Penerapan Sifat Melawan Hukum Oleh Aparat

Penegak Hukum. Pada tataran aplikasi di dunia penegakan hukum, penggunaan unsur melawan hukum berdampak terhadap proses peradilan pidana. Penegak hukum yang akan dibahas disini adalah Hakim dan Jaksa karena keduanya terlibat secara langsung dalam proses peradilan pidana. Jaksa Penuntut Umum JPU berperan untuk menyusun dakwaan dan melakukan petuntutan. Suatu dakwaan harus diuraikan dan dirumuskan secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai delik yang didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat delik dilakukan Pasal 143 KUHAP. Pembuat Undang- undang tidak menjelaskan dalam penjelasan resmi pasalnya apa 187 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2005, hlm: 193. 188 Martiman Projohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi, PT. Refika Aditama: Bandung, 2001, hlm: 69. 255 yang dimaksud secara cermat, jelas, dan lengkap. Namun, setidak- tidaknya dapat diartikan bahwa surat dakwaan itu harus memuat unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan subjektif dan objektif dengan menghubungkannya dengan fakta-fakta jalannya peristiwa yang didakwakan. Menurut Jonkers 189 yang harus dimuat ialah selain dari perbuatan yang sungguh dilakukan yang bertentangan dengan hukum pidana juga harus memuat unsur yuridis kejahatan yang bersangkutan. Perumusan tindak pidana korupsi juga dirumuskan secara cermat, jelas, dan lengkap setiap unsur tindak pidananya termasuk unsur melawan hukum. Tujuannya adalah agar mempermudah pembuktian tentang perbuatan yang dapat dihukum yaitu memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan. Persoalannya adalah apakah dimasukkannya sifat melawan hukum formil maupun materiil dalam tindak pidana korupsi, mampu mempermudah pembuktian oleh Jaksa Penuntut Umum JPU. Kenyataannya, justru mempersulit bagi Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan tindak pidana korupsi karena disamping sifat melawan hukum yang bersifat phisik tanpa hak, tanpa seizin, Jaksa Penuntut Umum JPU juga harus membuktikan sifat melawan hukum yang bersifat psyhis materil. 190 Akan tetapi, perlu dicermati unsur objektif dan subjektif dalam tindak pidana yang melihat dari dalam dan luar diri si pelaku. Hakim berpegang kepada surat dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum JPU yang akan membuktikan agar semua bagian surat dakwaan itu dapat dibuktikan. Sebenarnya yurisprudensi sudah menganut pandangan yang luwes, sehingga hakim tidak perlu menuntut agar semua yang tercantum dalam dakwaan tersebut harus dibuktikan karena bagian yang tidak terbukti pada dakwaan tetapi tidak merupakan bagian inti atau unsur delik tidak perlu mengakibatkan dibebaskannya terdakwa. Sebaliknya, bisa saja terdakwa dibebaskan meskipun Jaksa 189 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, PT. Ghalia Indonesia: Jakarta, 2006, hlm: 165. 190 Adami Chazawi, Kemahiran Keterampilan Praktik Hukum Pidana, PT. Ghalia Indonesia: Jakarta, 2006, hlm: 81. 256 Penuntut Umum JPU sudah yakin betul bahwa terdakwa dijatuhi hukuman karena semua unsur deliknya terbukti. Dalam menjatuhkan putusannya, hakim bisa saja berpegang kepada melawan hukum formil sehingga tindakan terdakwa yang mungkin berupa kebijaksanaan yang menguntungkan masyarakat, tidak menjadi alasan yang meringankan hukuman dan berakibat hapusnya sifat melawan hukum. Sedangkan bagi hakim yang berpegang pada melawan hukum formil dan materiil, akan membebaskan terdakwa karena uang hasil penyalahgunaan wewenang itu dipergunakan untuk kesejahteraan masyarakat dan terdakwa tidak menikmati hasilnya sehingga tidak bertentangan dengan azas kepatutan. 8. Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Materil Dalam Tindak Pidana Korupsi. Berbagai upaya pemberantasan dan pencegahan Tindak Pidana Korupsi telah dilakukan pemerintah sejak dulu. Berbagai upaya pembentukan peraturan perundang-undangan yang dapat menjangkau tindak pidana ini muncul silih berganti. Hal ini terjadi akibat sulitnya merumuskan definisi apa yang dimaksud dengan korupsi, dan juga sulitnya pembuktian terhadap tindak pidana tersebut. Untuk menjerat para pelaku tindak pidana korupsi tersebut, akhirnya pemerintah bersama para akademisi dan praktisi hukum mengupayakan untuk memformulasikan peraturan yang dapat menjangkau perbuatan pidana tersebut. Perbuatan yang sebelumnya tidak dapat terjangkau sebagai suatu perbuatan korupsi, menjadi dapat terjangkau melalui peraturan tersebut. Caranya adalah dengan menerapkan ajaran perbuatan melawan hukum dalam fungsinya yang positif ke dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi yaitu Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor.20 Tahun 2001 Tentang PemberantasanTindak PIdana Korupsi. Dalam penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi dijelaskan mengenai pengertian ajaran melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif yaitu: 257 Yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan social dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Pengertian daripada penjelasan di atas maksudnya adalah walaupun suatu perbuatan tidak memenuhi unsur di dalam rumusan delik, namun perbuatan tersebut dianggap tercela dan tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, perbuatan tersebut tetap dapat dipidana. Sebagai akibat penerapan ajaran perbuatan melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif ke dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, maka suatu perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan korupsi tidaklah semata-mata diukur hanya melalui hukum positif semata, melainkan rasa keadilan dan norma-norma masyarakat juga dijadikan tolok ukur untuk mendefinisikan apakah perbuatan tersebut dapat diketegorikan sebagai perbuatan korupsi ataukah tidak. Perbuatan melawan hukum secara formil lebih dititikberatkan pada pelanggaran terhadap peraturan-peraturan perundangan yang tertulis, sedangkan suatu perbuatan dapat dikatakan telah memenuhi unsur melawan hukum secara materiil, apabila perbuatan itu merupakan pelanggaran terhadap norma kesopanan yang lazim atau kepatutan yang hidup dalam masyarakat. Dalam Arrest Cohen-Lindenbaum misalnya, Mahkamah Agung Belanda Hoge Raad melalui putusannya pada tanggal 31 Januari 1919 memutuskan Cohen telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan memberikan sejumlah uang kepada karyawan Lindenbaum untuk membocorkan daftar nama-nama langganan perusahaan Lindenbaum berikut penawaran maupun harga-harga cetaknya. Walaupun dalam peraturan perundang- undangan tidak ada pengaturan mengenai perbuatan menyerahkan sejumlah uang yang dilakukan oleh Cohen kepada karyawan Lindenbaum sebagai suatu perbuatan melawan hukum, Mahkamah Agung Belanda Hoge Raadmemandang perbuatan Cohen 258 menyerahkan uang kepada karyawan Lindenbaum untuk membocorkan nama-nama langganan perusahaan lindenbaum sebagai suatu perbuatan melawan hukum. Karena perbuatan yang dilakukan oleh Cohen dianggap telah melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku atau kesusilaan yang baik dan kepatutan yang ada dalam masyarakat. Melalui Arrest ini telah terjadi perluasan makna perbuatan melawan hukum. Suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai melawan hukum apabila perbuatan itu menyimpang dari ketentuan undang-undang formil, dan juga menyimpang dari norma kesusilaan, ketertiban, kepatutan yang ada dalam masyarakat materiil. Perbuatan melawan hukum materiil dalam bidang hukum pidana dapat dibagi lagi berdasarkan fungsinya yaitu, perbuatan melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif dan perbuatan melawan hukum dalam fungsinya yang positif. Perbuatan melawan hukum dalam fungsi negatif mengatakan bahwa, walaupun suatu perbuatan telah memenuhi unsur rumusan delik, namun menurut penilaian masyarakat perbuatan itu tidak dianggap tercela, maka secara negatif perbuatan itu tidak dapat dianggap sebagai melawan hukum. Sedangkan perbuatan melawan hukum dalam fungsi positif mengatakan bahwa,walaupun suatu perbuatan tidak telah memenuhi unsur rumusan delik, namun menurut penilaian masyarakat perbuatan itu dianggap tercela, maka secara positif perbuatan itu dianggap sebagai melawan hukum. Karena perbuatan korupsi sangat menyentuh rasa keadilan dalam masyarakat, dan membawa dampak negatif secara luas dalam kehidupan masyarakat, maka ajaran perbuatan melawan hukum materiil dalam fungsi positif diterapkan ke dalam Undang- undang Tindak Pidana Korupsi.

9. Netralitas Perbuatan Melawan Hukum Dalam