419
9. Analisis Faktor-Faktor Korupsi Pada Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah APBD.
Terjadinya korupsi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu sistem pemerintahan dan birokrasi yang memang kondusif untuk
melakukan penyimpangan, belum adanya sistem kontrol dari masyarakat yang kuat, dan belum adanya perangkat peraturan dan
perundang-perundangan yang tegas. Faktor lainnya menurut Mukti Fadjar
336
adalah tindak lanjut dari setiap penemuan pelanggaran yang masih lemah dan belum menunjukkan kesiapan oleh
pimpinan instansi. Terbukti dengan banyaknya penemuan yang ditutup secara tiba-tiba tanpa alasan yang jelas serta tekad dalam
pemberantasan korupsi dan dalam penuntasan penyimpangan yang ada dari semua unsur tidak kelihatan. Disamping itu kurang
memadainya sistem pertanggungjawaban organisasi pemerintah kepada masyarakat yang menyebabkan banyak proyek yang hanya
sekedar pelengkap laporan kepada atasan.
Hal yang sama juga di temukan oleh penulis pada saat melakukan penelitian, penulis berpendapat bahwa yang menjadi
faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah Aspek prilaku individu organisasi budaya, aspek organisasi, serta aspek
masyarakat tempat individu dan organisasi berada. faktor-faktor lainnya yang menjadi penyebab terjadinya korupsi adalah: motif,
baik motif ekonomi maupun motif politik, peluang, dan lemahnya pengawasan.
337
Apabila dilihat dari segi pelaku korupsi, sebab-sebab dia melakukan korupsi dapat berupa dorongan dari dalam dirinya,
yang dapat pula dikatakan sebagai keinginan, niat, atau kesadaran untuk melakukan. Sebab-sebab manusia terdorong untuk
melakukan korupsi antara lain: sifat tamak manusia, moral yang kurang kuat menghadapi godaan, penghasilan kurang mencukupi
kebutuhan hidup yang wajar, kebutuhan hidup yang mendesak,
336
Mukti Fajar, Korupsi dan Penegakan Hukum dalam pengantar Kurniawan, L, Menyingkap Korupsi di Daerah, Intrans: Malang, 2002, hlm: 4.
337
Kurniawan, L, Menyingkap Korupsi di Daerah, Intrans: Malang, 2002, hlm: 4.
420
gaya hidup konsumtif, tidak mau bekerja keras, ajaran-ajaran agamaa kurang diterapkan secara benar.
Dalam teori
kebutuhan Abraham
Maslow, korupsi
seharusnya hanya dilakukan oleh orang untuk memenuhi dua kebutuhan yang paling bawah dan logika lurusnya hanya dilakukan
oleh komunitas masyarakat yang pas-pasan yang bertahan hidup, namum saat ini korupsi dilakukan oleh orang kaya, pendidikan
tinggi.
Kemudian faktor
organisasi termasuk
sistem pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi
korban korupsi atau dimana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi karena membuka peluang atau
kesempatan untuk terjadinya korupsi.
338
Bilamana organisasi tersebut tidak membuka peluang sedikitpun bagi seseorang untuk
melakukan korupsi, maka korupsi tidak akan terjadi. Aspek-aspek penyebab terjadinya korupsi dari sudut pandang organisasi ini
meliputi:
1. Kurang adanya teladan dari pimpinan, 2. Tidak adanya kultur organisasi yang benar,
3. Sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang
memadai, 4. Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam
organisasinya. Tindakan korupsi mudah timbul karena ada kelemahan di
dalam peraturan perundang-undangan, yang dapat mencakup: Adanya peraturan perundang-undangan yang monolistik
yang hanya menguntungkan kerabat dan kroninya presiden,
338
Tunggal I.S. dan Tunggal A.W, Audit Kecurangan dan Akuntansi Forensik, Harvarindo: Jakarta, 2000, hlm: 45. Bandingkan faktor-faktor tersebut dengan jajak
pendapat yang dilakukan oleh Kompas 2972004 di kota Surabaya, Medan, Jakarta dan Makasar, menyebutkan bahwa korupsi yang terjadi di tubuh organisasi
kepemerintahan eksekutif maupun legislatif. Tidak kurang dari 40 persen responden
menilai bahwa
tindakan korupsi
dilingkungan birokrasi
kepemerintahan dan wakil rakyat di daerahnya semakin menjadi-jadi. hanya 20 persen responden saja yang berpendapat bahwa prilaku korupsi di pemkot dan
DPRD masing-masing sudah berkurang.
421
1. Kualitas peraturan
perundang-undangan kurang
memadai, 2. Peraturan kurang disosialisasikan,
3. Sanksi yang terlalu ringan, 4. Penerapan sangsi yang tidak konsisten dan pandang
bulu, 5. Lemahnya
bidang evalusi
dan revisi peraturan
perundang-undangan. Beberapa ide strategis untuk menanggulangi kelemahan ini
telah dibentuk oleh pemerintah diantaranya dengan mendorong para pembuat undang-undang untuk melakukan evaluasi atas
efektivitas suatu undang-undang secara terencana sejak undang- undang tersebut dibuat.
Lembaga-lembaga ekskutif
BupatiWalikota dan
jajarannya dalam melakukan praktek korupsinya tidak selalu berdiri sendiri, akan tetapi melalui suatu kosnpirasi dengan para
pengusaha atau dengan kelompok kepentingan lainnya misalnya, dalam hal penentuan tender pembangunan yang terlebih dahulu
pengusaha menanamkan saham kekuasaannya lewat proses pembiayaan
pengusaha dalam
terpilihnya bupatiWalikota
tersebut. Kemudian mereka secara bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD, BupatiWalikota membuat
kebijakan yang koruptif yang hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat yaitu para kolega, keluarga maupun kelompoknya
sendiri.
Dengan kemampuan lobi kelompok kepentingan dan pengusaha kepada pejabat publik yang berupa uang sogokan,
hadiah, hibah dan berbagai bentuk pemberian yang mempunyai motif koruptif telah berhasil membawa pengusaha melancarkan
aktifitas usahanya yang berlawanan dengan kehendak masyarakat, sehingga masyarakat hanya menikmati sisa-sisa ekonomi kaum
borjuasi atau pemodal yang kapitalistik. Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya korupsi Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah APBD sangat mungkin jika aspek peraturan perundang-undangan sangat lemah atau hanya menguntungkan
pihak tertentu saja. Hal senada juga dikemukakan oleh Basyaib, dkk yang menyatakan bahwa lemahnya sistem peraturan perundang-
422
undangan memberikan peluang untuk melakukan tindak pidana korupsi.
339
Pengawasan yang dilakukan instansi terkait BPKP, Itwil, Irjen, Bawasda kurang bisa efektif karena beberapa faktor,
diantaranya 1. Adanya tumpang tindih pengawasan pada berbagai instansi,
2. Kurangnya profesionalisme pengawas, 3. Kurang adanya koordinasi antar pengawas,
4. Kurangnya kepatuhan terhadap etika hukum maupun
pemerintahan oleh pengawas sendiri. Hal tersebut di atas sering kali mengakibatkan para
pengawas tersebut terlibat dalam praktik korupsi. belum lagi berkaitan dengan pengawasan ekternal yang dilakukan masyarakat
dan media juga lemah, dengan demikian menambah deretan citra buruk pengawasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Daerah APBD yang sarat dengan korupsi. Hal ini sejalan dengan pendapatnya Baswir yang mengemukakan bahwa negara kita yang
merupakan birokrasi patrimonial dan negara hegemonik tersebut menyebabkan lemahnya fungsi pengawasan, sehingga merebaklah
budaya korupsi itu.
340
Terkait dengan korupsi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Daerah APBD semenjak Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah DPRD mempunyai otoritas dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Daerah APBD terdapat
perubahan kondisi yang menimbulkan banyak masalah.
1. Pertama, sistem pengalihan anggaran yang tidak jelas dari pusat ke daerah.
2. Kedua, karena keterbatasan waktu partisipasi rakyat sering diabaikan.
3. Ketiga, esensi otonomi dalam penyusunan anggaran masih dipelintir oleh pemerintah pusat karena otonomi pengelolaan
339
Basyaib, H., Holloway R., dan Makarim NA. ed., Mencuri Uang Rakyat : 16 kajian Korupsi di Indonesia, Buku 3, Yayasan aksara dan Patnership for Good Governance
Reform: Jakarta, 2002.
340
Baswir Revrisond,Ekonomi, Manusia dan Etika, Kumpulan Esai-esai Terpilih, BPFE, Yogyakarta, 1993, hlm: 27.
423
sumber-sumber pendapatan masih dikuasai oleh pusat sedangkan daerah hanya diperbesar porsi belanjanya.
4. Keempat, ternyata Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD dimanapun memiliki kesulitan untuk melakukan asessment
prioritas kebutuhan rakyat yang harus didahulukan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Daerah APBD.
5. Kelima, volume Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Daerah APBD yang disusun oleh daerah meningkat hingga
80 dibandingkan pada masa orde baru, hal ini menimbulkan masalah karena sedikit-banyak Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah DPRD dan pemerintah daerah perlu berkerja lebih keras untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Daerah APBD.
6. Keenam, meskipun masih harus melalui pemerintah pusat namun pemerintah menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1999 Tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, memiliki kewenangan untuk melakukan pinjaman daerah baik
ke dalam negeri maupun ke luar negeri.
Kondisi yang
berubah diatas
memicu beberapa
kecenderungan. Pertama,adanya jargon dari pemerintah daerah yang begitu kuat untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
PAD dalam rangka otonomi daerah. Dengan demikian bagi beberapa daerah yang miskin Sumber Daya Alam SDA akan
memilih menggali Pendapatan Asli Daerah PAD dengan meningkatan pajak. Bagi daerah kaya sekalipun meningkatkan
pajak adalah alternatif yang paling mudah karena tidak perlu melakukan banyak investasi dibandingkan jika mengekplorasi
Sumber Daya Alam SDA. Oleh karena itu tidak heran bila kecenderungan meningkatkan pajak ini terjadi di banyak daerah
bahkan daerah yang kaya sekalipun.
10. Strategi Memberantas Korupsi Dalam Level