346
Desentralisasi di Indonesia berdampak pada terjadinya reformasi
secara fundamental.
Dikemukakan oleh
Mera Koichi
269
decentralization taken by ndonesia is notable for its scale and speed.
t was a Big Bang . Dalam bahasa yang berbeda, Pranap Bardhan and Dilip Mookherjee
270
mengemukakan:
Some of these countries witnessed an unprecedented big bang shift toward comprehensive political and economic
decentralization: Bolivia in 1995 and Indonesia after the fall of Suharto in
.
Lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah yang telah digantikan dengan Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, di Indonesia adalah desentralisasi yang paling berani di antara negara
berkembang the most daring decentralization policy in developing countries.
Sebagai sebuah reformasi, desentralisasi tidak akan dapat berhasil tanpa diikuti oleh langkah-langkah lanjutannya. Dengan
kata lain, desentralisasi harus disikapi dan ditindaklanjuti dengan reformasi birokrasi sebagai unsur penyelenggara desentralisasi.
Dalam kaitan ini, reformasi birokrasi diarahkan pada terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik pada masa yang akan datang.
2. Penegakan Hukum Pada Pemerintahan Daerah.
Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh aktivitas kehidupan hukum yang dimulai dari perencanaan hukum,
pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara
berbagai
perilaku manusia
yang mewakili
kepentingan- kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah
disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum
269
Mera Koichi, The Big Bang Decentralization in Indonesia and the Lessons Learned, Paper Presented at the International Workshop Urban Governance in Global
Perspective, September 17-18, University of South California, 2002, hlm: 2
270
Pranab Bardhan and Dilip Mookherjee ed., Decentralization And Local Governance in Developing Countries: A Comparative Perspective,Cambridge: MIT
Press, 2006.
347
sebagaimana pendapat kaum legalistik. Namun proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat
tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat
mengetahui bahwa problema-problema hukum yang akan selalu menonjol a
dalah problema law in action bukan pada law in the books .
Pada saat ini kita dapat mengamati, melihat dan merasakan bahwa penegakan hukum berada dalam posisi yang tidak
menggembirakan. Masyarakat mempertanyakan kinerja aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi, merebaknya mafia
peradilan, pelanggaran hukum dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara APBN dan Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah APBD dikalangan birokrasi. Daftar ketidakpuasan masyarakat dalam penegakan hukum semakin bertambah panjang
apabila membuka kembali lembara-lembaran lama seperti kasus Marsinah, kasus wartawan Udin, kasus Sengkon dan Karta, Kasus
Tanah Keret di Papua dan lain-lainnya.
Pengadilan yang merupakan representasi utama wajah penegakan hukum dituntut untuk mampu melahirkan tidak hanya
kepastian hukum, melainkan pula keadilan, kemanfaatan sosial dan pemberdayaan
sosial melalui
putusan-putusan hakimnya.
Kegagalan lembaga peradilan dalam mewujudkan tujuan hukum di atas telah mendorong meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat
terhadap pranata hukum dan lembaga-lembaga hokum.
271
Mungkin benar apabila dikatakan bahwa perhatian masyarakat terhadap lembaga-lembaga hukum telah berada pada
titik nadir. Hampir setiap saat kita dapat menemukan berita, informasi, laporan ataupun ulasan yang berhubungan dengan
lembaga-lembaga hukum kita. Salah satu permasalahan yang perlu
271
Yang dimaksudkan dengan lembaga-lembaga hukum adalah Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian, Organisasi Pengacara. Perilaku individu-individu yang ada
dalam lembaga tersebut secara agregatif membentuk citra lembaga. Tertangkapnya Jaksa yang menjadi pengedar Narkoba, pengacara yang menyuap hakim, maupun
rekening tabungan polisi yang diluar kewajaran, secara simbolik menunjukan bahwa dalam lembaga-lembaga tersebut terdapat masalah yang harus diselesaikan
lebih dahulu secara internal.
348
mendapat perhatian kita semua adalah merosotnya rasa hormat masyarakat terhadap wibawa hukum.
Bagaimanapun juga masih banyak warga masyarakat yang tetap menghormati putusan-putusan yang telah dibuat oleh
pengadilan. Meskipun demikian sah-sah juga kiranya apabila masyarakat mempunyai penilaian tersendiri terhadap putusan
tersebut. Adanya penilaian dari masyarakat ini menunjukkan bahwa hokum pengadilan tidak dapat melepaskan diri dari
struktur sosial masyarakatnya. Hukum tidaklah steril dari perilaku-perilaku sosial lingkungannya. Oleh karena itu wajar
kiranya apabila masyarakat mempunyai opini tersendiri setiap ada putusan pengadilan yang dipandang bertentangan dengan
nilai-nilai keadilan yang hidup dan tumbuh ditengah-tengah masyarakat.
Persoalannya tidak akan terhenti hanya sebatas munculnya opini publik, melainkan berdampak sangat luas yaitu
merosotnya citra lembaga hukum di mata masyarakat. Kepercayaan masyarakat akan luntur dan mendorong munculnya
situasi anomi. Masyarakat kebingungan menyikapi nilai-nilai mana yang benar dan mana yang salah.
Saat ini, arah, tujuan dan misi penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi tidak jelas lagi. Hanya pertimbangan dua
tujuan yang tidak seimbang juga karena pengembalian kerugian keuangan negara tidak berhasil secara signifikan dibandingkan
dengan anggaran APBN yang telah dikeluarkan untuk ketiga lembaga penegak hukum KPK, Polri, dan Kejaksaan. Di sisi
lain,tujuan penghukuman untuk menjerakan pelaku juga tidak maksimal dicapai karena selain diskresi perlakuan yang
diperbolehkan Undang-Undang Pemasyarakatan, juga diskresi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP
sejak penyidikan sampai penuntutan. ini berekses diskriminatif terutama bagi pelaku yang tidak memiliki kekuatan politik dan
kekuatan uang.
Contoh, pemberian remisi dan bebas bersyarat; SP3 dan SKPP. Perbedaan perlakuan tersebut telah berdampak negatif
terhadap masalah perlindungan hukum dan kepastian hukum baik untuk kepentingan negara maupun untuk kepentingan mereka
349
yang disebut koruptor . Wacana kebencian terhadap koruptor akhir-akhir ini telah menyimpang jauh dari norma-norma
internasional yang diakui dalam pemberantasan korupsi seperti Konvensi PBB Anti-Korupsi Tahun 2003 karena konvensi tersebut
tidak menghubungkan pemberantasan korupsi dengan agama. Wacana tidak menyalatkan jenazah koruptor merupakan contoh
daripada hal tersebut dan tidak pernah muncul di negara-negara Islam sekalipun.
Kekeliruan pandangan mengenai kepantasan hukuman mati bagi koruptor terletak bukan hanya karena hak hidup manusia
adalah milik Allah SWT, melainkan bagaimana hak hidup seseorang dicabut di dalam praktik penegakan hukum yang kini terjadi secara
koruptif. Dalam kondisi ini,perlu diingat pendapat para ahli hukum pidana negara maju, Lebih baik melepaskan 100 orang yang
bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah. Kebenaran materiil dalam praktik koruptif penegakan hukum
sangat tergantung dari pemilik kekuasaan belaka, bukan pada prinsip-prinsip hukum yang berlaku dan berdasarkan sila
Ketuhanan Yang Maha Esa dan Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Saat ini praktik penegakan hukum sedang mengalami disorientasi kinerja dari amanah yang diperintahkan di dalam UUD
1945 dan perubahannya.
1. Disorientasi pertama, polisi, jaksa dan hakim saat ini tampak kehilangan jati diri karena keberadaan lembaga pengawas
eksternal seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan dan Komisi Kepolisian. Selain belum efektif juga tampak ada
keinginan kuat untuk memasuki terlalu jauh pekerjaan lembaga penegak hukum tersebut yang bertentangan dengan
UU.
2. Kekuatan kritik sosial dan pers bebas sering menimbulkan kegamangan penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya secara benar menurut UU yang berlaku. 3. Disorientasi kedua, tidak jelas lagi batas-batas sistem
pengendalian internal dan eksternal dalam penegakan huku
m. Yang terjadi kontrol internal dilakukan oleh masyarakat sipil, seharusnya oleh lembaga pengawas
internal irjen dll ; dan kontrol eksternal dilakukan oleh orang dalam lembaga penegak hukum itu sendiri.Di sini
tidak jelas lagi siapa mengawasi siapa. Lebih tidak jelas lagi
350
kepada siapa semua fungsi kontrol tersebut harus dipertanggungjawabkan, kepada DPR RI sebagai lembaga
pengawas kinerja pemerintah eksekutif atau kepada rakyat Indonesia, atau masyarakat sipil di mana saja dan kapan saja
dikehendaki rakyat Indonesia itu atau hanya kepada seorang presiden saja.
4. Disorientasi ketiga , kepakaran yang dimonopoli oleh
kalangan akademisi dalam menyikapi masalah penegakan hukum. Yang terjadi saat ini telah tumbuh berkembang, tidak
jelas lagi bedanya a ntara seorang pekerja intelek dan
seorang intelektual . Hal ini sebagaimana pernah
dilontarkan oleh Widjojo Nitisastro yang mengutip pendapat Baran. Widjojo menerangkan bahwa, seorang pekerja
intelek , dia cuma jual otaknya dan tidak peduli untuk apa hasil otaknya itu dipakai ; sebaliknya, seorang intelektual
mempunyai sikap jiwa yang berlainan: pada asasnya seorang intelektual adalah seorang pengkritik masyarakat, dia
menjadi hati nurani masyarakat dan juru bicara kekuatan progresif; mau tidak m
au dia dianggap pengacau dan menjengkelkan oleh kelas yang berkuasa yang mencoba
mempertahankan yang ada. Pernyataan Widjojo cocok di era Reformasi saat ini.
5. Disorientasi keempat, penegakan hukum saat ini khususnya yang berkaitan dengan pelaku ekonomi tidak mendukung
memperkuat sistem ekonomi nasional melainkan bahkan meruntuhkan efisiensi dan efektivitas serta produktivitas
para pelaku ekonomi.
Bahkan menjauhkan investasi domestik dan asing untuk memperkuat ekonomi nasional. Ada banyak sebab dan di antaranya
adalah ekses negatif pemerasan dan
pemaksaan yang mendatangkan keuntungan finansial oleh oknum penegak hukum
lebih besar ketimbang proses peradilan yang berjalan jujur,adil dan bermanfaat bagi bangsa dan negara. Penyebab yang pasti dari
kondisi ini adalah ideologi globalisasi telah mendorong kehidupan bangsa yang bersifat hedonistis mempertuhankan kebendaan
belaka; jauh dari kesejahteraan batiniah bagi masyarakatnya.Pola kehidupan
sosial budaya
dan ekonomi
sesaat telah
menjerumuskan anak bangsa ini ke dalam kehidupan yang digambarkan oleh obbes, manusia itu seperti serigala terhadap
sesamanya homo homini lupus bellum omnium contra omnes.
351
Pernyataan Hobbes ini kini berlaku dalam praktik penegakan hukum. Disorientasi kelima, terdapat kekeliruan
mendasar mengenai hukuman yang dipandang sebagai satu- satunya alat untuk penjeraan dan pertobatan bahkan jika perlu
hukuman mati. Tujuan pembentukan hukum dan penegakan hukum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJMN
Tahun 2010-2014, tidak mendahulukan tujuan balas dendam melainkan
mendahulukan tujuan
perkuatan pembangunan
ekonomi nasional. RPJM tersebut juga tidak terkandung maksud menciptakan golongan baru, koruptor , dalam masyarakat
Indonesia.
Satu-satunya kekuasaan yang sah menjatuhkan hukuman adalah pengadilan. Menjalani hukuman dalam penjara adalah
wahana penebusan dosa. Seketika yang bersangkutan selesai menjalani hukumannya, seharusnya dosa-dosanya terampuni
.Tidak ada hak negara atau siapa pun untuk memperpanjang penderitaan seseorang melebihi batas hukuman yang telah
dijatuhkan oleh putusan pengadilan.
Kezaliman dalam penegakan hukum harus segera dihentikan oleh siapa pun terhadap siapa pun di negeri tercinta ini jika berniat
menjadi bangsa yang berketuhanan Yang Maha Esa,memelihara dan mempertahankan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Tertkait dengan pembahasa tentang penegakan huku tersebut, penanganan kasus korupsi di daerah dihadapkan oleh
berbagai kendala. Belum adanya sikap pro aktif dari seluruh kalangan masyarakat, dinilai menjadi salah satu tantangan upaya
pemberantasan korupsi. Hal tersebut setidaknya mencuat dalam beberapa penangan kasus korupsi misalnya saja kasus korupsi yang
menyeret nama Drs. Suhaeli., Msi.
Dalam pemberantasan kasus korupsi di Jawa barat, pemerintah dan institusi penegak hukum mereduksi ketajaman
pisau hukum negara. Akibatnya, penurunan kualitas penegakan hukum dan ambivalensi pemberantasan korupsi sudah menjadi
fakta yang tak terbantahkan. Hal tersebut, diperlihatkan dalam potret penegakan hukum di tahun 2012 masih jauh panggang dari
api. Penyimpangan proses penegakan hukum nyaris telanjang di ruang publik, ditandai dengan menguatnya peran mafia peradilan,
352
tebang pilih atau diskriminasi, hingga tawar-menawar dakwaan dan vonis pengadilan. Ketelanjangan penyimpangan itu bisa
dirasakan atau dilihat semua elemen masyarakat, dari kelompok pemerhati sampai orang kebanyakan yang awam hukum.
Sebagai analisis penulis terhadap berbagai kasus yang berhasil disajikan dalam bab III disertasi ini, tragisnya lagi baik
pemerintah maupun penegak hukum bahkan tidak lagi merasa malu mempertontonkan perlaku menyimpang. Ibarat kendaraan
bermotor, hukum di negara ini rusak parah. Kerusakan itu menjadi semakin sulit diperbaiki karena kepemimpinan nasional tidak
hanya lemah, tetapi juga tidak responsif. Koordinasi dan sinergi antar institusi penegak hukum sekarang ini kacau balau. Desakan
publik kepada pemimpin untuk segera memulihkan koordinasi dan sinergi diabaikan dengan alasan tidak mau mengintervensi.
Kerusakan di tubuh institusi hukum negara saat ini menimbulkan ekses yang luar biasa bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Kepercayaan masyarakat terhadap aparat dan institusi penegak pun sudah mendekati titik nol. Kecenderungan seperti itu
menimbulkan konsekuensi yang sangat menakutkan. Ketika sebuah komunitas terperangkap masalah dan tidak mendapatkan jalan
keluar untuk mengeliminasi potensi konflik,komunitas-komunitas itu dipaksa memilih caranya sendiri, karena pemerintah dan
penegak hukum tak kunjung hadir.
Tidak jarang, pilihan itu tampak sangat ekstrem, sebagaimana tercermin dari rangkaian konflik horizontal di
berbagai daerah belakangan ini. Bahkan, pimpinan nasional sekalipun tak mampu menawarkan solusi atau opsi perbaikan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri hanya bisa mengeluh dan,
tentu saja
sambil berusaha
memperbaiki citra
kepemimpinannya. Berbicara kepada jajaran Kejaksaan Agung pada bulan J
uli lalu, Presiden berujar, Sekarang, bagi yang jujur,bagi yang objektif, kalau membaca bagaimana dunia melihat rapor kita,
yang nilainya biru makin banyak dan terus bertambah banyak, sedangkan yang merah makin sedikit. Jadi, Presiden lebih
mendengar apa kata orang asing daripada menghayati apa yang dirasakan rakyat Indonesia. Rakyat didorong untuk berpandangan
sama dengan orang asing dalam menilai citra dan kinerja
353
kepemimpinannya. Padahal, pandangan asing lebih karena alasan basa-basi diplomasi yang sarat kepentingan dan tipu muslihat.
Presiden pun langsung menunjuk aparat penegak hukum sebagai unit kerja yang mendapatkan nilai merah, khususnya aparatur
pemerintah yang bertugas di bidang pemberantasan korupsi, reformasi birokrasi, dan kamtibmas.
Menurut terminologi pemerintahan, kalau aparat penegak hukum mendapat nilai merah, pemerintahan itu juga tidak layak
mendapatkan nilai baik, termasuk untuk bidang lainnya. Pasalnya,hukum menjadi sumber regulasi. Kinerja penegakan
hukum yang buruk boleh diterjemahkan sebagai maraknya pelanggaran regulasi. Kalau banyak regulasi dilanggar, bagaimana
mungkin bidang atau sektor lain bisa mendapatkan nilai biru?.
Kalau mau jujur,pemerintah dan institusi hukum punya andil sangat besar dalam proses penurunan kualitas penegakan
hukum. Bagaimanapun, obral remisi dan grasi kepada terpidana narkoba dan terpidana korupsi layak dijadikan indikator utama
upaya pelemahan penegakan hukum di negara ini.Dua kejahatan ini layak dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa. Tidak
sepantasnya
pemerintah dan
institusi penegak
hukum kompromistis terhadap pelaku dua kejahatan ini.
Kalau segelintir penjahat narkoba dinilai layak mendapatkan pertimbangan
kemanusiaan dan
mendapatkan keringanan
hukuman, untuk alasan apa pemerintah dan institusi penegak hukum tidak memedulikan nasib jutaan warga negara yang kini
masih terperangkap dalam konflik agraria.Dibandingkan dengan penjahat narkoba, bukankah jutaan warga negara yang terzalimi itu
lebih layak mendapatkan pertimbangan kemanusiaan?
Ambivalensi pemerintah dan penegak hukum dalam pemberantasan korupsi sudah membuat bangsa ini malu. Sebab,
bangsa ini terkesan tak berdaya dan bisa dibodoh-bodohi dengan kebijakan, pernyataan dan pidato pencitraan. Memang, konsep
pemberantasan korupsinya terdengar hebat. Presiden sendiri yang menjadi panglima perang melawan korupsi.
Untuk mendukung perang itu, pada Mei 2012 diterbitkan Peraturan Presiden Perpres Nomor. 55 Tahun 2012 tentang
Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi
354
Stranas-PPK periode 2012 –2014 dan 2012–2025. Perpres Stranas
PP memperkuat kebijakan-kebijakan sebelumnya. Antara lain Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi Tahun 2011, serta Inpres Nomor .17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi
Tahun 2012.
Semua kebijakan di atas kertas ini menunjukkan komitmen Pemerintah Indonesia terhadap Konvensi PBB mengenai program
Antikorupsi yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Kalau payung hukumnya sudah sedemikian
kuat,perang melawan korupsi mestinya efektif dan menghasilkan kemenangan besar. Apalagi, perang itu diperkuat dengan eksistensi
Komisi Pemberantasan Korupsi KPK.
Dari aspek kesiapan, peralatan dan strategi perang, rasanya tidak ada yang kurang. Dalam pertemuan dengan jajaran Kejaksaan
Agung waktu itu, Presiden berharap semua simpul pemberantasan korupsi bergerak. Bekerja,tindak tegas dari parpol, dari daerah
manapun dan apa pun jab
atannya, katanya. Namun, dalam praktiknya, Indonesia seperti sedang bermain perang-perangan
melawan korupsi. Perang itu nyaris tidak menghasilkan apa pun. Sebaliknya, rakyat menyaksikan korupsi semakin merajalela.
3. Supremasi Hukum yang Lemah.