Penyalahgunaan Wewenang Dalam Tindak Pidana

195 terhadap anggota masyarakat yang berperan serta tsb diberikan perlindungan hukurn dan penghargaan. Selain memberikan peran serta masyarakat, undang-undang ini juga mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang akan diatur dalam Undang-undang tersendiri dalam jangka waktu paling lambat 2 dua tahun sejak Undang-undang ini diundangkan.

4. Penyalahgunaan Wewenang Dalam Tindak Pidana

Korupsi. a. Pengertian Penyalahgunaan Wewenang Dalam Tindak Pidana Korupsi. Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik tertentu. Dan kewenangan adalah kumpulan dari beberapa wewenang kekuasaan terhadap segolongan orang atau kekuasaan terhadap bidang –bidang pemerintahan yang berlandaskan peraturan perundang –undangan hukum. Maka dengan demikian, Penyalahgunaan wewenang adalah penyimpangan tindakan hukum publik tertentu oleh pemerintah atau kekuasaan dengan tindakan kekuasaannya. Jadi, penyalahgunaan wewenang merupakan suatu tindakan yang tidak sesuai dengan apa yang ada didalam undang –undang, tetapi merupakan tindakan yang berdasarkan atas kekuasaan belaka tindakan berlebihan. Menyalahgunakan wewenang dalam hukum pidana, khususnya dalam tindak pidana korupsi tidak memiliki pengertian yang eksplisitas sifatnya. Mengingat tidak adanya eksplisitas pengertian tersebut dalam hukum pidana, maka dipergunakan pendekatan ektensif berdasarkan doktrin yang dikemukakan oleh H.A. Demeersemen tentang kajian De Autonomie van het Materiele Strafrecht Otonomi dari hukum pidana materiel. Intinya mempertanyakan apakah ada harmoni dan disharmoni antara pengertian yang sama antara hukum pidana, khususnya dengan 196 Hukum Perdata dan Hukum Tata Usaha Negara, sebagai suatu cabang hukum lainnya. 141 Dalam pembahasan ini, akan diupayakan keterkaitan pengertian yang sama bunyinya antara cabang ilmu hukum pidana dengan cabang ilmu hukum lainnya. Apakah yang dimaksud dengan disharmoni dalam hal-hal di mana kita memberikan pengertian dalam Undang-Undang Hukum Pidana dengan isi lain mengenai pengertian yang sama bunyinya dalam cabang hukum lain, ataupun dikesampingkan teori, fiksi dan konstruksi dalam menerapkan hukum pidana pada cabang hukum lain. Hukum Pidana mempunyai otonomi untuk memberikan pengertian yang berbeda dengan pengertian yang terdapat dalam cabang ilmu hukum lainnya, akan tetapi jika hukum pidana tidak menentukan lain, maka dipergunakan pengertian yang terdapat dalam cabang hukum lainnya. Dengan demikian apabila pengertian menyalahgunakan kewenangan, tidak ditemukan eksplisitasnya dalam hukum pidana, maka hukum pidana dapat mempergunakan pengertian dan kata yang sama yang terdapat atau berasal dari cabang hukum lainnya. Ajaran tentang Autonomie van het Materiele Strafrecht diterima oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang selanjutnya dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 1340 KPid1992 tanggal 17 Pebruari 1992 sewaktu adanya perkara tindak pidana korupsi yang dikenal dengan perkara Sertifikat Ekspor di mana Drs. Menyok Wijono didakwa melanggar Pasal 1 ayat 1 sub b Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1971 Tentang Tindak Pidana Korupsi sebagai Kepala Bidang Ekspor Kantor Wilayah IV Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Tanjung Priok, Jakarta. Oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. dilakukan penghalusan hukum rechtsvervijning 142 pengertian yang luas dari 141 Indriyanto Seno Adji, Antara Kebijakan Publik Publiek Beleid, Azas Perbuatan Melawan Hukum Materiel dalam Prespektif Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Makalah Seminar, UII: Yogyakarta, 2007. 142 Dalam penghalusan hukum ini, seorang ahli hukum beranggapan bahwa dalam menyelesaikan suatu perkara, peraturan perundang-undangan yang ada dan yang seharusnya digunakan untuk menyelesaikan perkara, ternyata tidak dapat digunakan. Penghalusan hukum dilakukan apabila penerapan hukum tertulis sebagaimana adanya akan mengakibatkan ketidakadilan yang sangat terlihat, 197 Pasal 1 ayat 1 sub b Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1971 dengan cara mengambil alih pengertian menyalahgunakan kewenangan yang ada pada Pasal 52 ayat 2 huruf b Undang- Undang Nomor. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut atau yang dikenal dengan detournement de pouvoir. Memang pengertian detournement de pouvoir dalam kaitannya dengan Freies Ermessen ini melengkapi perluasan arti berdasarkan Yurisprudensi di Prancis yang menurut Jean Rivero dan Waline, pengertian penyalahgunaan kewenangan dalam Hukum Administrasi dapat diartikan dalam 3 wujud, yaitu : 1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan- tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan; 2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan- peraturan lain; 3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.

b. Penerapan Penyalahgunaan Wewenang Dalam

Tindak Pidana Korupsi. Negara mempunyai kewenangan di dalam menyelenggarakan fungsi pemerintahan, kewenangan tersebut akan menimbulkan adanya hak-hak pemerintah diantaranya adalah pengelolaan keuangan. Misalnya hak untuk memungut pajak, hak pengelolaan harta negara dan pungutan lainnya. Selain itu negara juga mempunyai kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, yakni sehingga ketentuan hukum tertulis itu sebaiknya tidak diterapkan atau diterapkan secara lain apabila hendak dicapai keadilan. Jenis konstruksi ini sebenarnya merupakan bentuk kebalikan dari konstruksi analogi, sebab bila di satu pihak analogi memperluas lingkup berlaku suatu peraturan perundang-undangan, maka di lain pihak Penghalusan Hukum justru mempersempit lingkup berlaku suatu peraturan perundang-undangan bersifat restriktif. 198 pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam rangka penyelenggaraan layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan kepada pihak ketiga. Secara prinsip yang dimaksudkan dengan penerimaan negara adalah uang yang diterima oleh negara melalui kas negara terkait dengan penyelenggaraan hak dan kewajiban negara maupun karena hal lain. Penerimaan negara dapat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu penerimaan dari sektor perpajakan dan penerimaan dari sektor bukan pajak. Penerimaan Negara Bukan Pajak PNBP merupakan seluruh penerimaan Pemerintah Pusat terkait dengan kewajiban pemerintah untuk menyediakan layanan tertentu kepada masyarakat dan penerimaan yang tidak terkait dengan penyelenggaraan fungsi pemerintah tupoksi kementerian lembaga. Pemerintah sebagai penyedia jasa layanan bagi masyarakat, baik bersifat layanan dasar public goods maupun layanan semi dasar semi public goods yang menjadi kebutuhan masyarakat. Layanan kategori dasar dibiayai melalui sistem perpajakan, sedangkan layanan semi dasar dibiayai melalui pungutan yang hakekatnya merupakan partisipasi masyarakat dalam membiayai layanan tertentu dimaksud cost sharing principle. Mekanisme lebih lanjut dari pelayanan di atas ditetapkan melalui alokasi benlanja setiap tahun yang sebelumnya harus dimintakan persetujuan lebih dulu dari legislatif DPR, apabila telah mendapat persetujuan maka statusnya menjadi produk legislatif yang lazim disebut undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN, sedangkan di daerah dikukuhkan dalam suatu Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBD. Jika kita mengamati lebih jauh dari setiap kasus yang mencuat ke permukaan melalui media massa, dimana pada akhir- akhir ini kasus tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia seringkali terkait dengan pengadaan barang dan jada yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN, Pendapatan Belanja Daerah APBD. atau Badan Hukum Milik Negara BHMN. Para pelakunya merupakan orang-orang yang memiliki kekuasaan atau yang memiliki kewenangan. Atas 199 kenyataan ini, pada umumnya korupsi karena adanya penggunaan kekuasaan dan wewenang publik yang menyimpang untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Perbuatan korupsi yang terjadi di Badan Hukum Milik Negara BHMN, baik sebelum atau pada saat setelah pelaksanaannya seringkali tidak terdeteksi dan sulit pengungkapannya, sehingga diperlukan suatu keahlian dan kejelian aparat penegak hukum dalam membongkar kasus-kasus korupsi yang terjadi pada Badan Hukum Milik Negara BHMN. Pada umumnya sektor-sektor rawan yang sering menimbulkan penyimpangan dan merugikan keuangan negara yang dilakukan di lingkungan Badan Hukum Milik Negara, antara lain terkait dengan: 1. Pengadaaan jasa. 2. Penyaluran dana Bantuan Operasional. 3. Perbaikan sarana dan prasarana. 4. Harganilai kontrak terlalu tinggi mark up dalam pengadaan barang dan jasa. 5. Penetapan pemenag lelang tidak sesuai ketentuan yang berindikasi suap atau ditetapkan oleh pengurus atau pengawas pada bagian pengadaan barang dan jasa Badan Hukum Milik Negara. 6. Pembayaran fiktif. 7. Pemalsuan suratdokumen sebagai sarana penyimpangan penggunaan anggaran Badan Hukum Milik Negara. 8. Manipulasi penggunaan barangdana. 9. Manipulasi biaya pembebasan tanah. 10. Realisasi pekerjaan tidak sesuai kontrak yang merugikan Badan Hukum Milik Negara. 11. Penggelapan uang 12. Manipulasi gaji pegawai. 13. Pungutan tidak sah. 14. Penyalahgunaan biaya perjalanan dinas. 15. Penyalahgunaan wewenang. Pengadaan barang dan jasa di lingkungan Badan Hukum Milik Negara BHMN ada baiknya memperhatikan 15 langkah prosedural yang ditetapkan oleh Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintahan, serta memperhatikan juga Anggaran Dasar dan Anggran Rumah 200 Tangga suatu Perusahaan negara Badan Hukum Milik Negara Daerah, yaitu; 1. Perencanaan Pengadaan; 2. Pembentukan Panitia Lelang; 3. Prakualifikasi Perusahaan; 4. Penyusunan Dokumen Lelang; 5. Pengumuman Lelang; 6. Pengambilan Dokumen Lelang; 7. Penentuan Harga Perkirakan Sendiri; 8. Penjelasan Lelang; 9. Penyerahan Penawaran Harga dan Pembukaan Penawaran; 10. Evaluasi Penawaran; 11. Pengumuman Calon Pemenang; 12. Sanggahan Peserta Lelang; 13. Penunjukan Pemenang Lelang; 14. Penandatanganan Kontrak Perjanjian; 15. Penyerahan BarangJasa kepada User. Kasus korupsi di tingkat pemerintahan daerah masih didominasi proses pengadaan barang jasa, mencakup 70 dari keseluruhan kasus korupsi. Deputi Bidang Pengembangan dan Pembinaan Sumber Daya Manusia SDM, dalam hal ini penulis berargumentasi, bahwa proses pengadaan barang jasa rawan korupsi, selama tidak ada pembenahan rekrutmen politik di tingkat daerah. perbaikan mekanisme pengadaan barang jasa hanya bisa mempersempit peluang pelanggaran. Masalahnya di politik. Biaya untuk jadi pejabat daerah sangat mahal hingga mereka mencari segala cara untuk mengembalikan biaya tersebut. Dalam posisi yang demikian itu, Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBD rawan mark up. Salah satu contoh di dalam pengadaan barang dan jasa yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD, ialah kemahalan harga pengadaan buku, blanko ijazahSKHUN dan pengembangan Surat Ijin Mengemudi SIM. Berdasarkan Keppres No. 80 Tahun 2003 jo. Perpres No. 85 Tahun 2006 Lampiran I Bab I huruf E angka 1 dalam menentukan penyusunan harga perhitungan sendiri HPS harus dilakukan dengan cermat, menggunakan data dasar dan mempertimbangkan: 1. Analisis harga satuan pekerjaan yang bersangkutan; 201 2. Perkiraan perhitungan biaya oleh konsultan engineer s estimate EE; 3. Harga pasar setempat pada waktu penyusunan HPS; 4. Harga kontraksurat perintah kerja SPK untuk barangpekerjaan sejenis setempat yang pernah dilaksanakan; 5. Informasi harga satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh Badan Pusat Statistik BPS, badaninstansi lainnya dan media cetak yang datanya dapat dipertanggungjawabkan; 6. Daftar harga standartarif biaya yang dikeluarkan oleh pabrikanagen tunggal atau lembaga independen; 7. Daftar harga standartarif biaya yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang; 8. Informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan. Terkait dengan pengadaan barang dan jasa tersebut, dalam praktek salah satu unsur penting yang harus dapat dibuktikan agar dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi adalah adanya unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara . Unsur kerugian negara sering menjadi polemik karena memiliki pengertian yang dapat dilihat dari beberapa perspektif hukum, yaitu berdasarkan perspektif hukum administrasi negarra, hukum perdata dan hukum pidana, yang lebih lanjut akan diuraikan sebagai berikut : 1. Pengertian kerugian negara berdasarkan perspektif hukum administrasi negara, dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 angka 22 Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yaitu kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Rumusan pengertian kerugian negara dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara ini sama dengan rumusan pengertian kerugian negara sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. 2. Pengertian kerugian negara berdasarkan perspektif hukum perdata terkait dengan pengertian keuangan negara yang dikelola oleh perusahaan negaraperusahaan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Jadi kerugian negara disini adalah berkurangnya Kekayaan NegaraKekayaan Daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga atau saham, piutang, barang, serta hak-hak lain 202 yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negaraperusahaan daerah yang disebabkan oleh perbuatan yang melanggar norma atau aturan yang telah ditetapkan berdasarkan ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseoan Terbatas dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. 3. Pengertian kerugian negara berdasarkan perspektif hukum pidana adalah sustu perbuatan yang menyimpang terhadap penggunaan dan pengelolaan keuangan negara sehingga dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan merugikan negara atau dapat merugikan negara sebagai tindak pidana korupsi, dengan pemenuhan unsur-unsur : pertama, perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum, baik dalam pengertian formil maupun materil atau penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya, dan kedua, para pihak ada yang diperkaya dan diuntungkan, baik si pelaku sendiri, orang lain atau korporasi Pasal 2 dan Pasal 3 Undang- Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jika mengacu pada pengertian kerugian negara berdasarkan perspektif hukum administrasi negara maka pengertiannya disini adalah pengertian kerugian negara yang memaknai pengertian keuanan negara, sehingga berbeda dengan kerugian negara yang terdapat dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang- Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang merupakan pengertian yang spesifik dan merupakan lex specialias derogat legi generalis sistematis, yaitu meskipun sama- sama bersifat khusus, tetapi yang mendominasi adalah lingkup kepentingannya dalam hal ini adalah pidana. Tegasnya penerapannya harus melihat kepada lingkup permasalahannya, jika menyangkut masalah pidana maka yang diberlakukan adalah hukum pidana, sehingga mengesampingkan hukum perdata dan hukum administrasi negara. Sebagai contoh dalam praktek selama ini dalam hal penerapan pengertian Pegawai Negeri, walaupun diatur di dalam Undang-Undang Kepegawaian Nomor 8 Tahun 1974 jo. UU No. 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, tetapi yang digunakan dalam tindak pidana korupsi adalah pengertian pegawai negeri di dalam Undang-Undang Nomor.31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang jo. Nomor. 20 Tahun 203 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahkan pengertian sesama hukum pidana termuat dalam KUHP juga diabaikan. Mengenai unsur merugikan keuangan negara aparat penegak hukum bekerjasama dengan instansi terkait yaittu BPK atau BPKP untuk menghitung kerugian negara. Kewenangan BPK atau BPKP dalam melakukan audit adalah dalam zona accounting, sehingga tidak perlu jauh sampai mencari adanya perbuatan melawan hukum atau tidak, karena itu merupakan kewenangan Penyidik dan Penuntut Umum. Pengertian merugikan negara di lingkungan Departemen dapat diartikan, bahwa anggaran yang telah ditetapkan tidak dipergunakan sesuai dengan peruntukannya atau terjadi penyimpangan. Selain menyangkut pengertian Keuangan Negara, dalam praktek sering menjadi polemik adalah pengertian untur melawan hukum, tetapi dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003 PUU-IV 2006 tanggal 25 Juli 2006 yang meniadakan berlakunya penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi , sehingga perbuatan melawan hukum dalam arti materiil yaitu perbuatan yang dianggap tercela, tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial masyarakat, dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, karena pengertian melawan hukum secara materiil dipandang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka seharusnya polemik tentang pengertian melawan hukum tersebut berakhir. Pengertian melawan hukum sering dirancukan dengan pengertian menyalahgunakan wewenang padahal dua hal itu jelas berbeda, meskipun hakekatnya penyalahgunaan wewenang tersebut adalah juga melawan hukum. Melawan hukum adalah perbuatan yang bertentangan dengan perraturan perundang- undangan yang bisa dilakukan oleh setiap orang. Sedangkan menyalahgunakan wewenang adalah juga perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kewenangan dan kapasitas tertentu yang terkait dengan jabatannya terkait dengan 204 prosedural. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada terkait dengan posisinya selaku penyelenggara negara atau pegawai negeri di institusi itu secara salah, dapat disebut sebagai misbruik van gesag atau van bevoeg , menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dan kewenangan tersebut digunakan tidak sesuai dengan tugas jabatannya. Unsur memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi vide Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindaka Pidana Korupsi dan unsur dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi vide Pasal 3 Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 jo. Undang- Undang Nomor. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindaka Pidana Korupsi, merupakan unsur yang besifat alternatif sehingga tiak perlu pelaku tindak pidana korupsi harus menikmati sendiri uang hasil tindak pidana korupsi, cukup si pelaku memperkaya orang lain atau menguntungkan orang lain. Secara teoritis, unsur memperkaya diri diartikan bertambah kekayaannya atau pelaku berpola hidup mewah tanpa hak di dalam menikmati hasil korupsinya dalam kehidupan sehari-harinya, tetapi dalam praktek setiap tindakan dari subyek hukum yang menimbulkan keugian negara, baik itu karena tanda tangan, pemindahan buku, mengambil, menyerahkan, menyimpan diluar prosedur yang berlaku, maka perbuatan tersebut dapat dipandang sebagai perbuatan memperkaya diri. Sedangkan unsur menguntungkan diri atau orang lain atau suatu korporasi , artinya pelaku memperoleh fasilitas atau kemudahan sebagai akibat dari perbuatan menyalahgunakan wewenang atau prosedur. Kemudian dalam pembuktian unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara , sering terjadi perbedaan persepsi adalah menyangkut penafsiran kata dapat yang oleh sebagian kalangan dipandang sebagai potensi, karena mengacu kepada cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat penjelasan pasal 2 ayat1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jika menilik syaratnya 205 penempatan kata dapat tersebut, sebenarnya oleh pembuat undang-undang dimaksudkan hanya untuk menempatkan kedua delik tersebut, dari delik formil materiil menjadi delik formil dengan meninjau filosofi dari delik pencurian Pasal 362 KUHP dan penggelapan Pasal 372 KUHP. Dalam pengertian perbuatan tersebut telah selesai voltoid kalau barang atau uang tersebut telah berpindah dari tempatnya atau tujuannya semula yang dilakukan secara melawan hukum. Terhadap delik-delik tertentu dari undang-undang korupsi memang sejalan dengan pemahaman tersebut, seperti penyuapan, pemerasan atau penggelapan dalam jabatan, tetapi terhadap delik yang mengandung unsur merugikan negara kata dapat tidak sekedar potensi yang abstrak, tetapi harus konkrit dan itu lambat atau cepat harus riil terjadi. Oleh karena itu, jika kata dapat merugikan keuangan negara tersebut berupa potensi, maka sifatnya hanya asumsi dan hal itu bertentangan dengan azas legalitas yang salah satunya mensyaratkan adanya kepastian hukum. Selanjutnya terkait dengan pengertian penyuapan, penyuapan terdiri dari 2 jenis. Pertama adalah penyuap aktif, yaitu pihak yang memberikan atau menjanjikan sesuatu, baik berupa uang atau barang. Penyuapan ini terkait erat dengan sikap batin subjek hukum berupa niat oogmerk yang bertujuan untuk menggerakkan seorang pejabat penyelenggara negara atau pegawai negeri agar ia dalam jabatannya berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Dari pemberian hadiah atau janji tersebut, berarti subjek hukum mengetahui tujuan yang terselubung yang diinginkannya, yang didorong oleh kepentingan pribadi, agar penyelenggara negara atau pegawai negeri yang akan diberi hadiah atau janji berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatan yang bertentangan dengan kewajibannya. Meskipun pejabat yang bersangkutan menolak pemberian atau janji terserbut, perbuatan subjek hukum sudah memenuhi rumusan delik dan dapat dijerat oleh delik penyuiapan aktif, mengingat perbuatannya sudah selesai voltoid. Kemudian kedua adalah penyuapan pasif, pihak yang menerima pemberian atau janji baik berupa uang maupun barang. Apabila pegawai negeri tersebut menerima pemberian atau janji 206 dalam pasl ini, berarti pegawai negeripenyelenggara negara dimaksud akan menanggung beban moril untuk memenuhi permintaan pihak yang memberi atau yang menjanjikan tersebut. 143 Selain penyuapan aktif dan pasif tersebut yang lazim juga terjadi terkait dengan praktek korupsi adalah penggelapan dan pemerasan. Larangan yang terkait dengan tindak pidana korupsi jenis ini adalah perbuatan menggelapkan uang atau surat berharga yang menjadi tanggungjawab jabatannya atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan orang lain. Sedangkan yang dimaksudkan dengan pemerasan terkait dengan tindak pidana korupsi adalah pemerasan dalam jabatan knevelarij dan salah satu unsurnya adalah memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri Pasal 12 huruf e dan f Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bentuk pemaksaan disini lebih ditujukan secara psikis sebagai akibat yang ditimbulkan dari kewenangan yang melekat pada diri pejabat yang bersangkutan. Kehendak untuk memaksakan kepentingan pribadinya harus dirasakan oleh orang yang menjadi obyeknya. 144 Contohnya terkait dengan Badan Hukum Milik Negara, misalnya dalam hal pengadaan jasa, berbagai dalih dipergunakan, meskipun prosedur sudah terpenuhi, tetapi masih saja ada kendala, sehingga ada pameo kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah, dan pameo ini nampaknya lazim diberlakukan oleh kalangan pegawai negeri atau penyelenggara negara di dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pegawai Negeri atau penyelenggara negara turut serta dalam pengadaan yang diurusnya adalah korupsi, ini sesuai dengan Pasal 12 huruf i Undang-Undang 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana 143 Marwan Effendy, Tipologi Kejahatan Perbankan dari Perspektif Hukum Pidana, Sumber Ilmu Jaya, cet.I, Tahun 2005, hlm. 126. 144 P.A.F. Lamintang, at al, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, cet. Ke-III, 1990, hlm. 231-234. 207 Korupsi, Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya. Di samping itu, perlu juga mendapat perhatian adalah masalah gratifikasi. Gratifikasi ini dengan berlakunya Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, secara tegas dilarang. Pengertiannya dalam arti luas meliputi pemberian uang, barang, rabat discount, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan sosialisasi, pengobatan Cuma-Cuma atau fasilitas lainnya. Hal tersebut perlu dipahami secara benar karena akan berkaitan dengan masalah pengumpulan alat bukti dan pembuktiannya di depan persidangan. Pengertian alat bukti petunjuk tidak saja dapat diperoleh dari keterangan saksi, keterangan terdakwa dan surat-surat sebagaimana dirumuskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP, tetapi juga dapat diperoleh melalui alat bukti lain menurut pasal 26 a Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, atau melalui dokumen berupa rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas atau benda lain maupun yang terekam secara elektronik berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau perforasi yang memiliki makna. Rumusan yang demikian ini, tidak saja memperluas cakupan pengertian tindak pidana korupsi, tetapi juga memudahkan di dalam pembuktiannya. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menerapkan sistem pidana minimal dalam upaya untuk dapat menimbulkan efek jera dan daya tangkal sejalan dengan tujuan undang-undang ini, untuk mengantisipasi kebutuhan hukum masyarakat dalam mencegah dan memberantas secara efektif segala bentuk tindak pidana korupsi. 208 Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan pidana, maksudnya meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, tidak menghapus sifat melawan hukum, perbuatan dan pelaku akan tetap diajukan ke pengadilan dan dijatuhi pidana, hanya mungkin hukumannya diperingan. Ketentuan ini sebenarnya tidak sejalan dengan adagium ultimum remedium, mengingat hakekat pengadaan barang dan jasa adalah domein perikatan, maka jika terjadi Wanprestasi atau pihak terkait tidak dapat memenuhi prestasi kerja yang telah diperjanjikan, langkah yang harus ditempuh adalah membuka ruang restorasi. Pihak yang bersangkutan diminta lebih dulu memenuhi ketentuan yang telah disepakati dalam perjanjian pemborongan, jika yang bersangkutan tetap ingkar, maka barulah diterapkan instrumen pidana retroactive justice. Terhadap maraknya korupsi di berbagai lini kehidupan, maka menurut Jeremy Popo upaya yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan integritas nasional. 145 Memperkenalkan sistem integritas nasional di semua lapisan masyarakat sangat penting bagi proses reformsi dan hendaknya dilakukan secara berkesinambungan. Pendekatan ini penting artinya agar tujuan pembangunan dapat dicapai. Lebih lanjut Jeremy Pope berpendapat bahwa dalam mengejar tujuan itu, hendaknya memperhatikan antara lain; 1. Pelayanan publik yang efisien dan efektif, serta menyumbang pada pembangunan berkelanjutan; 2. Pemerintahan yang berjalan berdasarkan hukum, yang melindungi warga masyarakat dari kekuasaan sewenang- wenang termasuk dari pelanggaran hak asasi manusia; dan 3. Strategi pembangunan yang menghasilkan manfaat bagi negara secara keseluruhan, termasuk rakyatnya yang paling miskin dan tidak berdaya, bukan hanya bagi para elit. Dilingkungan Departemen, khususnya Badan Hukum Milik Negara hendaknya memperhatikan ketentuan-ketentuan yang 145 Pope, Jereny, Strategi Memberantas Korupsi, Elemen Sistem Integritas Nasional, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2003, hlm. 61. 209 diatur di dalam Keppres No. 80 Tahun 2003 jo. Perpres No. 85 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah serta memperhatikan juga Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga suatu Perusahaan Negara Badan Hukum Milik Negara Daerah khususnya mengenai pendanaan Perusahaan, sumber pendanaan, pengelolaan dana pendiddikan, pengalokasian dana pendidikan dan wajib juga melaksanakan prinsip-prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas publik guna terwujudnya Good Coorporate Governance. Asas-asas umum tersebut merupakan ground idea dan harus menjadi kerangka acuan atau frame of reference yang membatasi di dalam setiap pengelolaan keuangan Negara, agar dapat lebih terarah dan dipertanggungjawabkan dari berbagai aspek hukum situationsgebundenheit 146 , mengingat kesemua asas-asas umum tersebut telah diimplementasikan ke dalam klausula pasal yang mengatur tentang pengelolaan keuangan negara. Khusus untuk lingkungan Badan Hukum Milik Negara, asas- asas umum tersebut tidak hanya sekedar menjadi kerangka acuan dan pembatas di dalam pengelolaan keuangan negara, tetapi lebih jauh lagi adalah dalam upaya untuk mewujudkan good governance dan clean goverment. 147 146 Marwan Effendy, Penerapan Perluasan Ajaran Melawan Hukum dalam Undang- Undang Tindak Pidana Korupsi KajianPutusan No. 135PidB2004PN.Cn . dan Putusan Sela No.343Pid.B2004PN.Bgr, Dictum,Jakarta,2005,hal.17. lihat juga Kurt Lewin dalam Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia,PT.Citra Aditya Bakti,Bandung,2001,hal.29 dan Karl Mannheim dalam Bachsan Mustafa, loc cit. 147 Marwan Effendy, Penyimpangan Kebijakan Anggaran Oleh Pejabat Negera, BUMN dan BUMD dari Aspek Pidana, Makalah disampaikan dalam workshop tentang Korupsi dan Penyimpangan Kebijakan Keuangan Bagi Pejabat Pemerintah DaerahDPRD dan BUMD, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Investasi dan Keuangan bekerjasama dengan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, tanggal l2 dan 19 Agustus 2006, di Hotel Oasis Amir Lt.3,Jl. Senen Raya Kav.135-137 Jakarta Pusat. Pernah juga disampaikan dalam Workshop : SANKS HUKUM PEJABAT PEMDA,DPRD DAN BUMNBUMD atas asil Audit nvestigasi Terhadap Kebocoran NegaraDaerah Dalam Tipikor, yang diselenggarakan oleh Pusat Pelatihan Keuangan dan Pemerintahan dengan Sekolah Tinggi Akutansi Negara, tanggal 4 Agustus 2006,di Hotel Ibis, Kemayoran, Jakarta Pusat,hal.7-8. 210

K. Konseptualisasi Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak