Pejabat Daerah Sebagai Subjek Delik Pengelolaan

368 dilaksanakan. Pemerintah yang baik, merupakan pemerintah yang mampu mempertanggungjawabkan segala sikap, perilaku dan kebijakan yang dibuat secara politik, hukum maupun ekonomi dan diinformasikan secara terbuka kepada publik, serta membuka kesempatan publik untuk melakukan pengawasan control dan jika dalam praktiknya telah merugikan kepentingan rakyat, dengan demikian harus mampu mempertanggungjawabkan dan menerima tuntutan hukum atas tindakan tersebut.

6. Pejabat Daerah Sebagai Subjek Delik Pengelolaan

Keuangan Daerah Yang Berdimensi Korupsi. Hasil penelitian penulis terhadap perkara tindak pidana korupsi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBD, Kota Cirebon dengan terdakwa Suryana, Sunaryo HW dan Haries Sutamin, serta terhadap Putusan Pengadilan Negeri Indramayu Nomor 336 Pid.Sus2010PN.Im Tahun 2011 Drs. H. Suhaeli, M.Si Bin alm H. Nawawi. Selalu tercermin bentuk surat dakwaan 277 subsidiaritas bertingkat atau berjenjang. 278 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah di perbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang berlaku mulai tanggal 16 Agustus 1999 dimaksudkan untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan undang-undang ini sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaaan Tindak Pidan Korupsi. Adapun tujuan dengan di undangkannya undang-undang korupsi ini diharapkan dapat memenuhi dan mengantisipasi perkembangan 277 Surat Dakwaan adalah sebuah akta yang dibuat oleh penuntut umum yang berisi perumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa berdasarkan kesimpulan dari hasil penyidikan. Surat dakwaan merupakan senjata yang hanya bisa digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum berdasarkan atas asas oportunitas yang memberikan hak kepada jaksa penuntut umum sebagai wakil dari negara untuk melakukan penuntutan kepada terdakwa pelaku tindak pidana. 278 Dalam Surat Dakwaan yang berbentuk subsider di dalamnya dirumuskan beberapa tindak pidana secara berlapis dimulai dari delik yang paling berat ancaman pidannya sampai dengan yang paling ringan. Akan tetapi yang sesungguhnya didakwakan terhadap terdakwa terdakwa dan yang harus dibuktikan di depan sidang pengadilan hanya satu dakwaan. 369 dan kebutuhan hukum bagi masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan, perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya. Di dalam undang-undang tindak pidana korupsi terdapat 3 tiga istilah hukum yang perlu diperjelas, yaitu istilah tindak pidana korupsi, keuangan negara dan perekonomian negara. Yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi adalah: b. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. c. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekenomian negara sesuai Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. 279 Sedangkan pengertian keuangan negara dalam undang- undang ini adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun baik yang dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karenanya: c. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah. d. Berada dalam penguasan, pengurusan dan pertanggungjawaban badan Usaha Milik NegaraBadan Usaha Milik Negara, Yayasan, Badan Hukum dan Perusahaan yang menyertakan modal negara atau perusahaan yang menyertakan pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara. 279 Dalam penjelasan Pasal 2 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, di katakana bahwa: Yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini adalahkeadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelakutindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukanterhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaanbahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, danpengulangan tindak pidana korupsi. 370 Batasan mengenai perekonomian negara menurut Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, adalah sebagai berikut: Kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan atau usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah sesuai dengan ketentuan pearaturan perundang-undang yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat sesuai dengan perekonomian negara dalam pasal 2 dan pasal 3. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 bermaksud mengantisipasi atas penyimpangan keuangan atau perekonomian negara yang dirasa semakin canggih dan rumit, Oleh karenanya tindak pidana korupsi yang diatur dalam undang-undang ini di rumuskan seluas-luasnya sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orangt lain suatu korporasi secara melawan hukum. Dengan rumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan- perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana. Perbuatan melawan hukum disini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materil yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana sesuai Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya tindak pidana korupsi dalam undang-undang Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil, hal ini sangat penting untuk pembuktian. Dengan rumusan formil yang dianut dalam undang-undang ini berarti meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi 371 tetap diajukan ke pengadilan dan tetap dipidana sesuai dengan Pasal 4 yang berbunyi sebagai berikut: Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan unsur pidana pelaku tindak pidana sebagai dimaksud dalam pasal 2 dan 3. Penjelasan dari pasal tersebut adalah dalam hal pelaku tindak pidana korupsi melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, dimana pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara yang telah dilakukan tidak menghapuskan pidana si pelaku tindak pidana tersebut. Pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tersebut hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan pidana bagi pelakunya. Dalam undang-undang ini juga diatur perihal korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan sanksi pidana. Undang-undang Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana dalam Pasal 18, bertujuan dalam memberantas tindak pidana korupsi memuat ketentuan- ketentuan pidana yang berbeda dengan undang-undang sebelumnya yaitu menentukan ancaman pidana minimum khusus pidana denda yang lebnih tingi dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana. Selain itu undang-undang ini memuat juga pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi yang tidak membayar pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian negara. Pengertian pegawai negeri dalam undang-undang ini juga disebutkan yaitu orang atau fasilitas dari negara atau masyarakat. Fasilitas yang dimaksud adalah perlakuan istimewa yang diberikan dalam berbagai bentuk, misalnya bunga pinjaman yang tidak wajar, harga yang tidak wajar, pemberian izin yang ekslusif, termasuk keringanan bea masuk atau pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 372 Kemudian apabila terjadi tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dibentuk tim gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia. Sedangkan proses penyidikannya dan penuntutannya dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dimaksudkan dalam rangka meningkatkan efisiensi waktu penanganan tindak pidana korupsi dan sekaligus perlindungan hak asasi manusia dari tersangka atau terdakwa sesuai dengan Pasal 26 dan Pasal 27 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam rangka memperlancar proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi, undang- undang ini mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum atau hakim sesuai dengan tingkat penanganan perkara untuk dapat langsung meminta keterangan tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa kepada bank dengan mengajukan hak tersebut kepada Gubernur Bank Indonesia. 280 Masalah korupsi sebagai suatu implikasi dari sikap hidup lebih besar pasak dari tiang yang nampaknya menghinggapi masyarakat Indonesia baik secara nasional dalam pembangunan nasional maupun yang lebih mikro lagi dalam kegiatan perusahaan dan kegiatan perorangan. masyarakat baru harus dapat keluar dari sikap ini dengan membuang korupsi dalam membangun masyarakat Indonesia secara lebih menyeluruh, lebih terbuka, lebih demokratis dan lebih mandiri. 281 Berdasarkan isi konsideran Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi dinyatakan bahwa : 280 Dalam hal ini, perlu kita ketahui bahwa dimaksud dengan rahasia Bank, menurut Undang-Undang Nomor.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, tetapi kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor.10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. Sesuai Pasal 1 ayat 28 Undang-undang Nomor.10 Tahun 1998, berbunyi sebagai berikut: Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya. 281 J. Soedrajat Djiwandono,Korupsi Masalah Pokok KKN : Suatu Catatan Artikel, Guru Besar Tetap ILmu ekonomi, Universitas Indonesia, 2006. 373 e. Bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; f. Bahwa akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomlan negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi; g. Bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, karena itu perlu diganti dengan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan labih efektif dalam mencegah dan momberantas tindak pidana korupsi; h. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c perlu dibentuk Undang-undang.yang baru tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 282 Berdasarkan penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi dinyatakan bahwa Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada khususnya. Di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat. 282 Moeljatno, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi, Grafika, Jakarta, 2000. 374 Undang-undang ini dimaksudkan untuk menggantikan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diharapkan mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya. Dibawah ini penulis sampaikan mengenai unsur-unsur tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi yang telah di perbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yaitu : Pasal 1 menyatakan bahwa: 283 5 Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum; 6 pegawai Negeri adalah meliputi : a. Pegawai negeri sebagaimana undang-undang tentang Kepegawaian; b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana; c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. 7 Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi. Pasal 2 menyatakan bahwa: 284 3 Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu 283 Pasal 1 ayat 1-3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Sebagaimana yang telah di rubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999. 284 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 375 korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonornian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 satu miliar rupiah; 4 Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan Pasal 3 menyatakan bahwa: 285 Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 satu miliar rupiah. Pasal 4 menyatakan bahwa: 286 Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Pasal 5 menyatakan bahwa: 287 Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan paling lama 5 rima tahun dan atau denda paling Sedikit Rp 50.000.000,00 lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp.250.000.000,00 dua ratus lima puluh juta rupiah. Pasal 6 menyatakan bahwa: 288 Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tiga tahun dan paling lama 15 lima belas tahun dan denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 seratus km puiuh juta rupiah dan 285 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 286 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 287 Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 288 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 376 paling banyak Rp.750.000.000,00 tujuh ratus lima pulufl juta rupiah. Pasal 7 menyatakan bahwa: 289 Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 387 atau Pasal 388 Kitab Undang- undanq Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 dua tahun dan paling lama 7 tujuh tahun dan atau denda paling sedikit Rp.100.000.000,00 seratus juta rupiah dan paling banyak Rp 350.000.000,00 tige ratus lima puluh juta rupiah. Pasal 8 menyatakan bahwa: 290 Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 415 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tiga tahun dan paling lama 15 lima belas tahun dan denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 seratus lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp 750.000.000,00 -tujuh ratus lima puluh juta rupiah Pasal 9 menyatakan bahwa: 291 Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 416 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan paling lama 5 lima tahun dan denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 Lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp.250.000.000,00 dua ratus lima puluh juta rupiah Pasal 10 menyatakan bahwa: 292 Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagalmana dimaksud dalam Pasal 417 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 dua tahun dan paling lama 7 tujuh tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 seratus juta rupiah dan paling banyak Rp 350.000.000,00 tiga ratus lima puluh juta rupiah. Pasal 11 menyatakan bahwa: 293 289 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 290 Pasal 8 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 291 Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 292 Pasal 10 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 293 Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 377 Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 418 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan paling lama 5 lima tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp 250.000.000.00 dua ratus lima puluh juta rupiah Pasal 12 menyatakan bahwa: 294 Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 419. Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, atau Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dipidana 3 dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara Paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 satu miliar rupiah. Pasal 13 menyatakan bahwa: 295 Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap, melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tiga tahun dan atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 seratus lima puluh juta rupiah. Pasal 14 menyatakan bahwa: 296 Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini. Pasal 15 menyatakan bahwa: 297 Setiap orang yang melakukan percobaan pembantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 Pasal 16 menyatakan bahwa: 298 294 Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 295 Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 296 Pasal 14 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 297 Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 378 Setiap orang di dalam wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 7. Undang-undang ini juga memberi kesempatan yang seluas- luasnya kepada masyarakat berperan serta untuk membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan terhadap anggota masyarakat yang berperan serta tsb diberikan perlindungan hukurn dan penghargaan. Selain memberikan peran serta masyarakat, undang-undang ini juga mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang akan diatur dalam Undang-undang tersendiri dalam jangka waktu paling lambat 2 dua tahun sejak Undang-undang ini diundangkan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dan dari hasil putusan yang telah di sajikan dalam Bab III sebelumnya, bahwa Pegawai Negeri atau Pejabat Daerah merupakan subjek delik pengelolaan keuangan daerah. Artinya, para pelaku dalam tindak pidana korupsi di daerah adalah para pejabatan atau pegawai negeri. Kita simak dakwaan berikut ini dari Perkara Tindak Pidana Korupsi APBD Kota Cirebon Tahun 2001: i. Primer: Pasal 2 ayat 1 No Pasal 18 ayat 1 hurup b UU No. 31 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 Jo Pasal 55 ayat 1 Ke-1 KUHP; ii. Subsidair: Pasal 3 jo Pasal 18 ayat 1 ke-1 huruf b UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Tindak Pidana Korupsi adalah suatu bentuk kejahatan yang sangat luar biasa. Tindak Pidana Korupsi tidak hanya sangat merugikan pembangunan berkelanjutan dan merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat bagian dari Hak Asasi Manusia secara luas, yang oleh karenanya baik pencegahan maupun pemberantasannya harus ditangani dengan cara yang luar biasa 298 Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 379 pula dan perlu melibatkan peran serta aktif dari masyarakat dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi Tindak Pidana Korupsi. Hal-hal inilah yang menjadikan para pakar mengklasifikasikan Tindak Pidana Korupsi sebagai Extra Ordinary-Well Organized Crime Kejahatan Luar Biasa yang Terorganisir dengan Baik. 299 Dalam rangka berperan serta secara bertanggung jawab dalam pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka menjadi penting bagi kita adalah memahami terlebih dahulu rumusan delik dari suatu perbuatan-perbuatan yang oleh undang-undang sudah ditetapkan sebagai Tindak Pidana Korupsi. Perbuatan-perbuatan yang merupakan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UU PTPK, yang berhubungan langsung dengan keuangan Negara dan keuangan daerah, adalah Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 yang mensyaratkan adanya unsur dapat merugikan keuangan negara. Selanjutnya, perbuatan-perbuatan yang lainnya, sesungguhnya sudah terlebih dahulu diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana, sebagai suatu perbuatan pidana umum, namun karena perbuatannya sedemikian rupa tercela dan dapat merugi kan Keuangan Negara, maka oleh pembuat Undang-Undang dikategorikan juga sebagai Tindak Pidana Korupsi. Unsur-Unsur Rumusan Delik Pasal 2 ayat 1 Undang- undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan 299 Perkembangan tindak pidana korupsi baik dilihat dari sisi kuantitas maupun sisi kualitas dewasa ini dapat dikatakan bahwa korupsi di Indonesia tidak lagi merupakan kejahatan biasa ordinary crimes, akan tetapi sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa extra ordinary crimes. Nyoman Serikat Putra Jaya, Bahan Kuliah Sistem Peradilan Pidana Criminal Justice System, Program Magister Ilmu Hukum: Semarang, 2008, hlm: 92. 380 Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi .

a. Unsur pertama: setiap orang.

Untuk pemenuhan dan pendefinisian maupun penafsiran terhadap unsur pertama ini dapat dipastikan, semua pihak baik dari kalangan akademisi, legislatif maupun yudikatif telah sepakat bahwa, yang dimaksud dengan Setiap orang adalah subjek hukum, yang karena perbuatannya dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum, yaitu orang perseorangan atau korporasi, termasuk kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Termasuk pengertian setiap orang adalah sekda, Kepala Dinas, Pejabat, Pengusaha, Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah, Yayasan, dan siapa saja yang secara hukum dapat dimintakan pertanggungjawaban.

b. Unsur kedua: secara melawan hukum.

Berangkat dari pemikiran bahwa Tindak Pidana Korupsi itu terjadi secara terorganisir, sistematik dan meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas bagian dari HAM, sehingga dikategorikan kejahatan luar biasa extraordinary crimes yang penanganan dan pemberantasannya harus dilakukan dengan cara luar biasa pula. Pembentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, semula merumuskan dan mendefiniskan bahwa perbuatan melawan hukum 300 itu mencakup semua perbuatan melawan 300 Dahulu pengadilan menafsirkan melawan hukum hanya sebagai pelanggaran dari pasal-pasal hukum yang tertulis semata-mata pelanggaran perundang-undangan yang berlaku tetapi sejak tahun 1919 terjadi perkembangan di negeri Belanda, dengan mengartikan perkataan melawan hukum bukan hanya untuk pelanggaran perundang-undangan tertulis semata-mata, melaikan juga melingkupi atas setiap pelanggaran terhadap kesusilaan atau kepantasan dalam pergaulan hidup masyarakat. Sejak tahun 1919 tersebut di negeri Belanda dan demikian juga di Indonesia, perbuatan melawan hukum telah diartikan secara luas yakni mencakup 381 hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam pendekatan yuridis sosiologis, perumusan dan pendefinisian tersebut memang sangat ideal, akan tetapi dalam kacamata yuridis normatif yang mengkedepankan dogmatika dan ketaat-asaan suatu peraturan perundang-undangan terhadap konstitusi dan asas-asas yang berlaku universal, maka perumusan dan pendefinisian tersebut tidak dapat dibenarkan. Salah satu asas hukum pidana yang universal adalah asas legalitas yaitu suatu asas yang menggariskan bahwa tidak seorangpun dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada terlebih dahulu daripada perbuatannya itu sendiri. Artinya, undang-undang atau peraturan itu harus tertulis, tidak boleh diberlakukan surut, dan tidak dapat dianalogikan. Pendekatan dogmatis itulah yang kemudian juga dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan perkara Nomor 003PUUIV2006 tertanggal 24 Juli 2006. Menurut Mahkamah Konstitusi memang terdapat persoalan konstitusionalitas dengan kalimat pertama Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, khususnya sepanjang berkenaan dengan perbuatan melawan hukum dalam arti materiil yang telah dicoba diimplentasikan untuk menjerat para pelaku Tindak Pidana Korupsi. Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan bahwa Pasal 28 D ayat 1 Undang Undang Dasar 1945 telah mengakui dan melindungi hak konstitusional warga negara untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yang pasti, dengan mana dalam bidang hukum pidana salah satu dari perbuatan-perbuatan salah satu dari berikut: Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain; Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri; Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan; Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik. Selanjutnya dapat di telaah dalam bukunya: komariah Emong Saparadjadja, Ajaran Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum pidana Indonesia, PT. Alumni: Bandung, 2002, hlm: 92-100. 382 diterjemahkan sebagai asas legalitas yang dimuat dalam Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP, bahwa asas tersebut merupakan satu tuntutan akan kepastian hukum di mana orang hanya dapat dituntut dan diadili atas dasar suatu peraturan perundang-undangan yang tertulis lexscripta yang telah lebih dahulu ada. Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka perbuatan-perbuatan yang tidak patut, perbuatan yang tidak seharusnya, perbuatan yang tercela, perbuatan yang bertentangan dengan norma, semuanya harus telah diatur terlebih dahulu secara tertulis dalam suatu peraturan perudang-undangan sebagai suatu perbuatan-perbuatan yang dilarang. Kalau seseorang dimintakan tolong untuk membelikan sesuatu barang maka sudah menjadi kepatutan bahwa pada saat menyerahkan barang yang dibeli itu disertai juga dengan bukti pembelian. Hal itu adalah suatu kepatutan, kalau tidak ada bukti pembelian maka jelas menimbulkan keraguan apakah benar barang yang dibeli sesuai dengan harga yang sebenarnya atau jangan- jangan harga yang sesunguhnya lebih murah. Dalam keseharian hubungan yang tidak formal, seperti halnya hubungan antara manusia dengan manusia, pembelian barang yang tidak disertai bukti pembelian jelas bukan perbuatan yang dilarang atau dapat pidana, perbuatan itu hanya persoalan patut atau tidak patut. Namun lain halnya dalam hubungan formal, seorang pegawai negeri menggunakan uang Negara untuk membeli suatu barang tanpa disertai bukti pembelian, maka ketidak-patutan secara administratif tersebut menjadi suatu perbuatan yang corrupt, yang buruk, yang tercela dan apabila ada peraturan perundang-undang apapun bentuknya asalkan tertulis yang mengatur bahwa setiap pejabat yang membelanjakan uang negara harus disertai dengan bukti-bukti pembeliannya, maka perbuatan dimaksud sudah memenuhi unsur perbuatan melawan hukum. Dengan tidak adanya bukti pembelian, terang dan jelas pejabat tersebut sudah dapat dipidana berdasarkan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jadi jangan diplesetkan atau disesatkan bahwa perbuatan melawan hukum yang harus tertulis itu sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat 1 itu hanya 383 perbuatan melawan hukum yang sudah di atur dalam peraturan pidana saja. Agar unsur kedua dari Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini dapat terpenuhi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim Tindak Pidana Korupsi harus memastikan bahwa suatu Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan itu, telah melanggar atau tidak sesuai atau tidak berdasarkan pada ketentuan atau prosedur atau kewenangan atau kewajiban yang telah ditetapkan terlebih dahulu dalam suatu peraturan perundang-undangan tertulis. Perlu dipahami dan ditegaskan bahwa Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana dimaksud Putusan Mahkamah Konstitusi adalah seluruh Perbuatan Melawan Hukum termasuk dalam arti materiil, namun tidak terbatas perbuatan-perbuatan melawan hukum administratif, melawan hukum pertanahan, melawan hukum lingkungan, melawan hukum pidana, melawan hukum pengelolaan keuangan Negara, dan melawan hukum apapun bentuk peraturannya baik Undang Undang atau Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri atau Peraturan Daerah atau Peraturan Walikota, dan peraturan lainnya. Yang menjadi penting adalah, sepanjang Perbuatan Melawan Hukum itu telah melanggar ketentuan tertulis yang merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud Pasal 7 Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka terhadap pelakunya harus dapat disidik, dituntut dan divonis berdasarkan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Unsur melawan hukum dari pelaku aktual sukar untuk dibuktikan, karena seringkali adanya perbuatan-perbuatan yang dipandang oleh masyarakat sebagai tindak pidana korupsi namun tak terjangkau oleh maksud Undang-undang karena kerancuan penempatan unsur melawan hukum. Dalam kenyataannya suatu perbuatan yang dipandang tercela atau koruptif oleh masyarakat meskipun perbuatannya tidak melawan hukum secara formil selalu lolos dari jangkauan hukum karena kesulitan pembuktiannya. Di sini sifat melawan hukum suatu perbuatan hanya ada dalam artian sempit saja, sehingga hanya sekedar membuktikan ada atau 384 tidaknya perbuatan melawan hukum pada Undang- undang secara normatif dari pelaku. Penerapan ajaran melawan hukum materil dalam tindak pidana korupsi sulit untuk dilakukan, mengingat adanya suatu keterbatasan yang merupakan asas dalam hukum pidana Indonesia yaitu keberadaan asas legalitas principle of legality. Kesulitan pembuktian unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran dalam tindak pidana korupsi adalah karena unsur tersebut hanya mengandung pengertian sifat melawan hukum suatu perbuatan dalam artian formil saja yaitu hanya sekedar membuktikan ada atau tidaknya perbuatan melawan hukum secara formil dari pelaku terhadap peraturan perundang-undangan tertulis. Perbuatan melawan hukum secara materil adalah apabila perbuatan tersebut dipandang tercela dalam suatu masyarakat. Hal ini meliputi perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan norma- norma kesopanan yang lazim atau bertentangan dengan keharusan dalam pergaulan hidup. Menurut Loebby Loqman 301 ukuran dari perbuatan melawan hukum materil ini adalah: Bukan didasarkan ada atau tidaknya ketentuan dalam suatu perundang-undangan, akan tetapi ditinjau dari nilai yang ada dalam masyarakat. Nilai nilai yang ada dalam masyarakat ini sukar untuk diukur secara nyata namun dapat dilihat dengan timbul reaksi dari masyarakat terhadap suatu perbuatan yang dianggap tercela misalnya dalam bentuk demonstrasi dan lain lain. Pengaruh penerapan ajaran melawan hukum materil dalam pembuktian tindak pidana korupsi sangat besar. Bila tidak ada bukti perbuatannya melawan hukum secara materil atau dianggap perbuatannya tidak tercela dalam masyarakat maka si pelaku selayaknya dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Hal ini banyak kita temui dalam beberapa kasus korupsi sebagai alasan pembenar bagi perbuatan tersebut. Sampai saat ini pengertian dari ajaran 301 Loebby Loqman, Beberapa Ihwal dalam UU No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Datakom: Jakarta, 1991 hlm: 25, sebagaimana dikutip oleh Indriyanto Seno Adji Analisis Penerapan Perbuatan Melawan Hukum Materil Dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia Tinjauan Kasus Terhadap Perkembangan Tindak Pidana Korupsi Tesis S lmu ukum,Jakarta , UI. 1996, hal. 20 385 melawan hukum materil dalam penerapannya masih merupakan salah satu perdebatan, apakah pengertiannya adalah sama dengan yang terdapat dalam hukum perdata Barat atau memerlukan perluasan tafsiran secara tersendiri. Penerapan Undang Undang Nomor 49 Tahun 1960 Tentang Panitia Urusan Piutang Negara, pada suatu tindak pidana korupsi terlebih dahulu dilakukan pembuktian mengenai kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan. Kemudian mewajibkan para penegak hukum untuk membuktikan lagi perbuatan memperkaya diri sendiri dengan menyalahgunakan wewenang dan jabatan. Pada prakteknya ditemui kesulitan-kesulitan untuk pembuktian ini. Kesulitan pembuktian tersebut dapat dilihat dengan banyaknya kasus kasus tindak pidana korupsi yang lepas dari tuntutan hukum hanya karena tak dapatnya dibuktikan unsur kejahatan dan pelanggaran dari perbuatan tersebut. 302 Berdasarkan keadaan ini dalam Rancangan Undang undang tindak pidana korupsi tahun 1971 yang diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong DPRGR berusaha untuk mengatasi kesulitan pembuktian tersebut. Dalam rancangan Undang-undang ini tidak dikenal lagi kejahatan dan pelanggaran tapi diistilahkan dengan perbuatan melawan hukum. Selama pemberlakuan Undang Undang Nomor 24 Prp. Tahun 1960 banyak kasus kasus korupsi yang tak dapat dijangkau oleh hukum. Hal ini disebabkan adanya tuntutan harus membuktikan bahwa telah terjadi kejahatan atau pelanggaran yang bersifat merugikan keuangan dan perekonomian negara terlebih dahulu. Terdapat penyempitan rumusan terhadap sebuah perbuatan yang dapat dipidana atau tidak sebagai tindak pidana korupsi. Hal ini berakibat tidak efektifnya upaya-upaya pemberantasan korupsi saat itu. Banyak tindak pidana korupsi yang dilakukan lepas dari jeratan hukum karena tidak kuatnya pembuktian terjadinya kejahatan atau pelanggaran seperti yang dituntut oleh ketentuan perundang undangan. Berangkat dari keadaan ini pemerintah lalu merancang sebuah undang-undang mengenai pemberantasan korupsi yang 302 Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia masalah dan pemecahannya, Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 1991, hal. 48. 386 kemudian ditetapkan sebagai Undang- undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, muncul perumusan mengenai unsur melawan hukum. Ada yang secara tegas dicantumkan ada yang tidak. Yang Secara tegas dicantumkan terdapat dalam Pasal 1 ayat 1 a yang berbunyi: 303 Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, yang secara lansung atau tidak lansung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Rancangan Undang undang pemberantasan tindak pidana korupsi tahun 1971 pada bagian penjelasan umum ditegaskan : Dengan mengemukakan sarana melawan hukum seperti dalam hukum perdata, yang pengertiannya dalam undang undang ini juga meliputi perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan norma norma kesopanan yang lazim atau yang bertentangan dengan keharusan dalam pergaulan hidup untuk bertindak cermat terhadap orang lain, barangnya maupun haknya, maka dimaksudkan supaya lebih mudah memperoleh pembuktian tentang perbuatan yang dapat dihukum, yaitu memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan daripada memenuhi ketentuan untuk membuktikan lebih dahulu adanya kejahatan atau pelanggaran seperti disyaratkan oleh Undang Undang Nomor 24 Prp tahun 1960. 304 Dalam rancangan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi tahun 1971, melawan hukum tidak hanya dalam artian pidana tapi juga melawan hukum secara perdata. Dalam hukum perdata, melawan hukum diistilahkan dengan onrechtmatige daad yakni yang terdapat dalam Pasal 1365 Kitab Undang undang Hukum Perdata. Melawan hukum dalam rumusan pasal ini tidak ditingkatkan lagi menjadi straafbaarfeit tindak Pidana tapi merupakan sarana atau cara melakukan perbuatan yang dapat dihukum strafbaar 303 Undang Undang No 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 304 Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Op Cit., hal, 20 387 handeling. Unsur melawan hukum wederrechtelijk pada umumnya menjadi syarat bagi pemidanaan suatu perbuatan yang dapat dihukum. Untuk menentukan perbuatan mana yang dapat dihukum dengan mempertimbangkan unsur melawan hukum secara formil, dipertimbangkan pula unsur melawan hukum secara materil. Pertimbangan yang dilakukan apakah suatu perbuatan itu perbuatan tercela atau tidak. Ketika berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 prakteknya pengunaan unsur melawan hukum lebih diserahkan kepada pertimbangan hakim. Hal ini disebabkan tidak adanya kesatuan pengertian unsur melawan hukum yang dapat dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, baik secara formil ataupun materil. Hal tersebut mengakibatkan pengertian melawan hukum menjadi luas. Hakim dalam memutuskan perkara diberikan kebebasan untuk menafsirkan secara kasusistis. Jadi tidak diperlukan kepastian pengertian seperti dalam hukum perdata. Unsur melawan hukum dalam undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tidak jauh berbeda dari Undang undang sebelumnya. Hanya ada beberapa perubahan redaksional saja dengan pola perumusan tersebar pada beberapa pasal. Rumusan melawan hukum tersebut dapat kita lihat pada Pasal 2 ayat 1, Pasal 3,5,6,7,8,9,10,11,12 dan Pasal 13. Pada pasal ini rumusan melawan hukum tidak jauh berbeda dengan rumusan yang terdapat pada Undang undang sebelumnya. Tidak ada penegasan apakah melawan hukum yang dimaksud dalam pengertian formil atau materil. Beberapa pasal di atas, melawan hukum dirumuskan dengan setiap orang yang melakukan tindak pidana, masih terdapat pembatasan subyek dari tindak pidana korupsi. Hanya ada perubahan secara redaksional saja, sedangkan apakah unsur melawan hukum itu diterapkan secara materil atau hanya dalam artian formil tak ditegaskan. Hal tersebut sama dengan yang terjadi pada undang-undang sebelumnya. Begitu juga halnya dengan penerapan ajaran melawan hukum materil secara positif atau negatif tidak ditegaskan dalam rumusan Pasal-Pasal Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999. 388 Dikenal adanya sifat melawan hukum secara formil dan secara materil dalam hukum pidana. Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum secara formil adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan ketentuan undang undang tertulis. Sedangkan melawan hukum secara materil adalah suatu perbuatan dikatakan melawan hukum tidaklah hanya sekedar bertentangan dengan ketentuan hukum saja tapi perbuatan tersebut haruslah benar benar dirasakan masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan. Jadi dalam konstruksi yang demikian suatu perbuatan dikatakan melawan hukum adalah apabila perbuatan tersebut dipandang tercela dalam suatu masyarakat. Penegasan penerapan ajaran melawan hukum materil ditegaskan dalam bagian Penjelasan Pasal 1 ayat 1 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang menyatakan: Meskipun suatu perbuatan tidak diatur dalam peraturan perundang undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Penerapan ajaran melawan hukum materil secara positif adalah merupakan kebalikan dari ajaran melawan hukum materil secara negatif. Pada fungsinya secara negatif ajaran melawan hukum materil dapat menghapus pidana maka secara positif ajaran melawan hukum materil dapat merupakan alasan pembenar untuk menjatuhkan pidana. Dengan penerapan secara positif ini telah membuka peluang dan memberikan kemungkinan kepada praktek peradilan untuk mengadili seseorang yang telah melakukan perbuatan koruptif, hanya semata mata berdasarkan perasaan keadilan masyarakat atau norma kehidupan sosial yang menanggap perbuatan tersebut tercela. Penerapan fungsi positif ajaran sifat melawan materil dianggap bertentangan dengan asas legalitas sebagai asas fundamental negara hukum. 305 Asas legalitas dirumuskan dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi: Geen feit is strafbaar dan uit 305 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana: Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Aksara Baru: Jakarta, 1983, hlm: 46. 389 kracht van eenedaaraan voorafgegane wettelijke strafbepalingen suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan perundang undangan pidana yang telah ada. Asas legalitas menghendaki adanya suatu peraturan tertulis dahulu sebelum suatu perbuatan dapat dipidana. Dalam Bahasa Latinnya asas ini lebih dikenal dengan Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali . Penerapan ajaran sifat melawan hukum materil dengan fungsi positif seperti dianut dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 di kalangan ahli hukum pidana dianggap dapat menimbulkan ketidak pastian hukum. Dalam kontek asas legalitas penerapan ajaran ini tidak mungkin dilakukan. Untuk itu dalam pelaksanaannya ajaran melawan hukum materil dengan fungsi positif dalam tindak pidana korupsi hanya dapat diterapkan secara kasuistis dengan pertimbangan hakim. Penerapan ini juga harus dilakukan dengan pembuktian yang tepat. Karena ada unsur-unsur yang tak tercantum dalam perundang-undangan tapi dengan fungsi positif ajaran melawan hukum materil, dapat dipakai sebagai alasan pembenar untuk menjatuhkan pidana. Perubahan dari Undang –Undang Nomor 31 Tahun 1999 ke Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 yang dilakukan walaupun secara substansial tidak lansung menyinggung mengenai penerapan ajaran melawan hukum materil tapi dalam pembahasan hal-hal yang dirubah dapat dilihat sudah diarahkan untuk melakukan penerapan ajaran melawan hukum materil secara positif.

c. Unsur ketiga: memperkaya diri sendiri atau orang

lain atau suatu korporasi. Unsur memperkaya merupakan berasal dari suatu kata kerja yang berarti menjadikan lebih kaya, yang penekanannya lebih pada Perbuatan Melawan Hukum yang berakibat terhadap adanya upaya-upaya pertambahan kekayaan seseorang. Dikatakan upaya- upaya, karena memperkaya itu adalah suatu proses bukan hasil, artinya kalaupun proses atau upaya-upaya menjadikan lebih kaya itu belum berhasil terwujud, maka sepanjang sudah terbukti 390 adanya Perbuatan Melawan Hukum, unsur ini sudah harus dinyatakan terpenuhi, sehingga kepada pelakunya sudah dapat disidik, dituntut dan divonis. Memperkaya juga tidak selalu berarti bahwa suatu proses yang sebelumnya miskin kemudian mengupayakan menjadi kaya, atau suatu proses yang sudah kaya mengupayakan menjadi lebih kaya, karena kaya itu sendiri adalah pengertian yang sangat relatif dan subjektif. Seseorang yang sudah terbiasa setiap bulan memilki rata-rata saldo tabungan 10 juta akan menjadi merasa sangat miskin ketika rata-rata saldonya menjadi 1 juta, begitu sebaliknya seseorang yang sudah terbiasa memiliki rata rata saldo tabungan perbulannya 1 juta rupiah akan menjadi merasa kaya ketika rata rata saldonya menjadi 10 juta rupiah. Selain itu proses bertambahnya kekayaan juga tidak selalu hanya berkenaan dengan proses bertambahnya penghasilan atau proses bertambahnya uang secara langsung. Akan tetapi, proses bertambahnya barang pun merupakan suatu proses pertambahan atau upaya peningkatan kekayaan. Sebagai contoh seseorang yang semula hanya memiliki dua setel Jas kemudian ber upaya membeli satu setel Jas baru dengan cara menerbitkan SP2D yang menggunakan anggaran belanja tidak terduga yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBD yang jelas peruntukannya tidak untuk membeli Jas, maka upaya penambahan satu setel jas baru tersebut juga merupakan suatu proses pertambahan kekayaan yang Melawan Hukum. Oleh karenanya, dengan adanya upaya-upaya Melawan Hukum untuk peningkatan kemampuan daya beli dan atau adanya upaya-upaya Melawan Hukum untuk peningkatan jumlah penghasilan danatau upaya-upaya Melawan Hukum untuk peningkatan nilai aset, sudah cukup dikatakan bahwa unsur memperkaya ini sudah terpenuhi, karena sekali lagi yang penting perbuatan Melawan hukum.

d. Unsur ke empat: dapat merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara. Pembuktian unsur dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara dalam rumusan delik Pasal 2 Ayat 1 391 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Ppidana Korupsi, hingga saat ini seringkali seolah menjadi suatu hambatan dan bahkan menimbulkan keraguan bagi para penyidik, penuntut umum dan hakim dalam melakukan penindakan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Keraguannya bukan terletak pada definisi kerugian keuangan Negara atau perekonomian negara karena sesungguhnya mengenai kerugian itu telah terdefinisikan secara jelas dan terang, bahwa berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 1 ayat 22: Kerugian Negara Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya akibatnya perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Sangat jernih bahwa Kerugian ini adalah akibat dari suatu Perbuatan Melawan Hukum yang disengaja maupun lalai, dengan demikian yang menjadi persoalan atau menjadi suatu kerugian itu adalah berkenaan dengan: a. Apakah pembentuk undang-undang benar menghendaki unsur dapat merugikan keuangan negara ditafsirkan dan diterjemahkan bahwa adanya potensi terjadinya suatu kerugian Potential Loss telah cukup untuk dikategorikan telah memenuhi unsur ini?Jawaban singkatnya Ya benar, dengan adanya potential loss sudah cukup memenuhi unsur ini, Jangan Menunggu uang negara menguap, potensi kerugian Negara berapapun besarnya akibat suatu perbuatan melawan hukum merupakan pemenuhan unsur yang sempurna; b. Apakah terhadap para pelaku yang diduga telah melakukan perbuatan secara melawan hukum sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat 1, yang telah nyata-nyata merugikan keuangan negara, namun kemudian telah juga mengembalikan uang Negara, masih harus dilakukan penyidikan, penuntutan dan penjatuhan putusan pengadilan?Jawaban singkatnya Ya harus, dengan dikembalikan kerugian Negara hanya akan meringankan hukuman dan bukan alasan peniadaan penuntutan atau peniadaan hukuman,kejahatan sudah terJadi pelaku korupsi harus dihukum. Kedua jawaban singkat tersebut sesungguhnya selain sudah sangat terang diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Ppidana Korupsi, juga telah ditegaskan kembali oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat DPR ketika dimintakan keterangan yang dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi sebagaimana 392 dimaksud dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003PUU- IV2006. Terlepas dari unsur-unsur delik korupsi, secara Internasional, korupsi diakui sebagai masalah yang sangat kompleks, bersifat sistemik, dan meluas. Centre for Crime Prevention CICP sebagai salah satu organ Perserikatan bangsa- Bangsa PBB secara luas mendefinisikan korupsi sebagai missus of public power for private gain . Menurut Centre for Crime Prevention CICP korupsi mempunyai dimensi perbuatan yang luas meliputi tindak pidana suap bribery, penggelapan emblezzlement, penipuan fraud, pemerasan yang berkaitan dengan jabatan exortion, penyalahgunaan kekuasaan abuse of power, pemanfaatan kedudukan seseorang dalam aktivitas bisnis untuk kepentingan perorangan yang bersifat illegal exploiting a conflict interest, insider trading, nepotisme, komisi illegal yang diterima oleh pejabat publik illegal commission dan kontribusi uang secara illegal untuk partai politik. Sebagai masalah dunia, korupsi sudah bersifat kejahatan lintas negara trans national border crime, dan mengingat kompleksitas serta efek negatifnya, maka korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa extra ordinary crime memerlukan upaya pemberantasan dengan cara-cara yang luar biasa extra ordinary measure. Bagi Indonesia, korupsi adalah penyakit kronis hampir tanpa obat, menyelusup di segala segi kehidupan dan tampak sebagai pencitraan budaya buruk bangsa Indonesia. Secara sinis orang bisa menyebut jati diri Indonesia adalah perilaku korupsi 306 . Pencitraan tersebut tidak sepenuhnya salah, sebab dalam realitanya kompleksitas korupsi dirasakan bukan masalah hukum semata, akan tetapi sesungguhnya merupakan pelanggaraan atas hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat. Korupsi telah menimbulkan kemiskinan dan kesenjangan sosial yang besar. Masyarakat tidak dapat menikmati pemerataan hasil pembangunan dan tidak menikmati hak yang seharusnya diperoleh. Dan secara keseluruhan, korupsi telah memperlemah ketahanan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. 306 Pujiyono, Kumpulan Tulisan Hukum Pidana, Mandar Maju: Bandung, 2007, hlm: 124. 393 Korupsi di Indonesia yang sudah diyakini meluas dan mendalam widespread and deep-rooted akhirnya akan menggerogoti habis dan menghancurkan masyarakatnya sendiri self destruction. Korupsi sebagai parasit yang mengisap pohon akan menyebabkan pohon itu mati dan di saat pohon itu mati maka para koruptor pun akan ikut mati karena tidak ada lagi yang bisa di hisap. 307 Pemberantasan korupsi bukanlah sekedar aspirasi masyarakat luas melainkan merupakan kebutuhan mendesak urgent needs bangsa Indonesia untuk mencegah dan menghilangkan sedapatnya dari bumi pertiwi ini karena dengan demikian penegakan hukum pemberantasan korupsi diharapkan dapat mengurangi dan seluas-luasnya menghapuskan kemiskinan. Pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut tidak lain adalah untuk mewujudkan kesejahteraan dari masyarakat Indonesia yang sudah sangat menderita karena korupsi yang semakin merajarela.

7. Unsur Motivasi, Kekuasaan, dan Kebudayaan