368
dilaksanakan. Pemerintah yang baik, merupakan pemerintah yang mampu mempertanggungjawabkan segala sikap, perilaku dan
kebijakan yang dibuat secara politik, hukum maupun ekonomi dan diinformasikan secara terbuka kepada publik, serta membuka
kesempatan publik untuk melakukan pengawasan control dan jika dalam praktiknya telah merugikan kepentingan rakyat, dengan
demikian harus mampu mempertanggungjawabkan dan menerima tuntutan hukum atas tindakan tersebut.
6. Pejabat Daerah Sebagai Subjek Delik Pengelolaan
Keuangan Daerah Yang Berdimensi Korupsi.
Hasil penelitian penulis terhadap perkara tindak pidana korupsi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBD, Kota
Cirebon dengan terdakwa Suryana, Sunaryo HW dan Haries Sutamin, serta terhadap Putusan Pengadilan Negeri Indramayu
Nomor 336 Pid.Sus2010PN.Im Tahun 2011 Drs. H. Suhaeli, M.Si Bin
alm H.
Nawawi. Selalu
tercermin bentuk
surat dakwaan
277
subsidiaritas bertingkat atau berjenjang.
278
Undang-undang Nomor
31 Tahun
1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah di perbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang berlaku
mulai tanggal 16 Agustus 1999 dimaksudkan untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan undang-undang ini sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaaan Tindak Pidan Korupsi. Adapun tujuan dengan di undangkannya undang-undang korupsi
ini diharapkan dapat memenuhi dan mengantisipasi perkembangan
277
Surat Dakwaan adalah sebuah akta yang dibuat oleh penuntut umum yang berisi perumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa berdasarkan
kesimpulan dari hasil penyidikan. Surat dakwaan merupakan senjata yang hanya bisa digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum berdasarkan atas asas oportunitas yang
memberikan hak kepada jaksa penuntut umum sebagai wakil dari negara untuk melakukan penuntutan kepada terdakwa pelaku tindak pidana.
278
Dalam Surat Dakwaan yang berbentuk subsider di dalamnya dirumuskan beberapa tindak pidana secara berlapis dimulai dari delik yang paling berat ancaman
pidannya sampai dengan yang paling ringan. Akan tetapi yang sesungguhnya didakwakan terhadap terdakwa terdakwa dan yang harus dibuktikan di depan
sidang pengadilan hanya satu dakwaan.
369
dan kebutuhan hukum bagi masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap tindak pidana korupsi
yang sangat merugikan keuangan, perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya.
Di dalam undang-undang tindak pidana korupsi terdapat 3 tiga istilah hukum yang perlu diperjelas, yaitu istilah tindak
pidana korupsi, keuangan negara dan perekonomian negara. Yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi adalah:
b. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
c. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekenomian negara sesuai Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
279
Sedangkan pengertian keuangan negara dalam undang- undang ini adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun
baik yang dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan
kewajiban yang timbul karenanya:
c. Berada dalam
penguasaan, pengurusan
dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara baik ditingkat
pusat maupun ditingkat daerah. d. Berada
dalam penguasan,
pengurusan dan
pertanggungjawaban badan Usaha Milik NegaraBadan Usaha Milik Negara, Yayasan, Badan Hukum dan Perusahaan yang
menyertakan modal
negara atau
perusahaan yang
menyertakan pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
279
Dalam penjelasan Pasal 2 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, di katakana bahwa: Yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini adalahkeadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan
pidana bagi pelakutindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukanterhadap
dana-dana yang
diperuntukkan bagi
penanggulangan keadaanbahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial
yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, danpengulangan tindak pidana korupsi.
370
Batasan mengenai perekonomian negara menurut Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, adalah sebagai berikut:
Kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan atau usaha masyarakat secara
mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah sesuai dengan
ketentuan pearaturan perundang-undang yang berlaku yang bertujuan
memberikan manfaat,
kemakmuran dan
kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat sesuai dengan perekonomian negara dalam pasal 2 dan pasal 3.
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 bermaksud mengantisipasi atas
penyimpangan keuangan atau perekonomian negara yang dirasa semakin canggih dan rumit, Oleh karenanya tindak pidana korupsi
yang diatur dalam undang-undang ini di rumuskan seluas-luasnya sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orangt lain suatu korporasi secara melawan hukum.
Dengan rumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-
perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana. Perbuatan melawan hukum disini
mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materil yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau
norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana sesuai Pasal 2 ayat 1 Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selanjutnya tindak pidana korupsi dalam undang-undang Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil, hal ini
sangat penting untuk pembuktian. Dengan rumusan formil yang dianut dalam undang-undang ini berarti meskipun hasil korupsi
telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi
371
tetap diajukan ke pengadilan dan tetap dipidana sesuai dengan Pasal 4 yang berbunyi sebagai berikut:
Pengembalian kerugian
keuangan negara
atau perekonomian negara tidak menghapuskan unsur
pidana pelaku tindak pidana sebagai dimaksud dalam pasal 2 dan 3.
Penjelasan dari pasal tersebut adalah dalam hal pelaku tindak pidana korupsi melakukan perbuatan yang memenuhi
unsur-unsur pasal dimaksud, dimana pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara yang telah dilakukan tidak
menghapuskan pidana si pelaku tindak pidana tersebut. Pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tersebut
hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan pidana bagi pelakunya. Dalam undang-undang ini juga diatur perihal korporasi
sebagai subjek tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan sanksi pidana.
Undang-undang Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana dalam Pasal 18, bertujuan dalam memberantas tindak pidana korupsi memuat ketentuan-
ketentuan
pidana yang
berbeda dengan
undang-undang sebelumnya yaitu menentukan ancaman pidana minimum khusus
pidana denda yang lebnih tingi dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana. Selain itu undang-undang ini
memuat juga pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi yang tidak membayar pidana tambahan berupa uang pengganti
kerugian negara.
Pengertian pegawai negeri dalam undang-undang ini juga disebutkan yaitu orang atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
Fasilitas yang dimaksud adalah perlakuan istimewa yang diberikan dalam berbagai bentuk, misalnya bunga pinjaman yang tidak wajar,
harga yang tidak wajar, pemberian izin yang ekslusif, termasuk keringanan bea masuk atau pajak yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
372
Kemudian apabila terjadi tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya,
maka dibentuk
tim gabungan
yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia. Sedangkan
proses penyidikannya dan penuntutannya dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini
dimaksudkan dalam rangka meningkatkan efisiensi waktu penanganan tindak pidana korupsi dan sekaligus perlindungan hak
asasi manusia dari tersangka atau terdakwa sesuai dengan Pasal 26 dan Pasal 27 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam rangka memperlancar proses penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi, undang- undang ini mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum atau
hakim sesuai dengan tingkat penanganan perkara untuk dapat langsung meminta keterangan tentang keadaan keuangan
tersangka atau terdakwa kepada bank dengan mengajukan hak tersebut kepada Gubernur Bank Indonesia.
280
Masalah korupsi sebagai suatu implikasi dari sikap hidup lebih besar pasak dari tiang yang nampaknya menghinggapi
masyarakat Indonesia baik secara nasional dalam pembangunan nasional maupun yang lebih mikro lagi dalam kegiatan perusahaan
dan kegiatan perorangan. masyarakat baru harus dapat keluar dari sikap ini dengan membuang korupsi dalam membangun
masyarakat Indonesia secara lebih menyeluruh, lebih terbuka, lebih demokratis dan lebih mandiri.
281
Berdasarkan isi konsideran Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi
dinyatakan bahwa :
280
Dalam hal ini, perlu kita ketahui bahwa dimaksud dengan rahasia Bank, menurut Undang-Undang Nomor.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, tetapi kemudian diubah
dengan Undang-undang Nomor.10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. Sesuai Pasal 1 ayat 28 Undang-undang Nomor.10 Tahun 1998, berbunyi sebagai berikut: Rahasia
Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya.
281
J. Soedrajat Djiwandono,Korupsi Masalah Pokok KKN : Suatu Catatan Artikel, Guru Besar Tetap ILmu ekonomi, Universitas Indonesia, 2006.
373
e. Bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara
atau perekonomian
negara dan
menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam
rangka mewujudkan
masyarakat adil
dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; f. Bahwa akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini
selain merugikan keuangan negara atau perekonomlan negara, juga
menghambat pertumbuhan
dan kelangsungan
pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi; g. Bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat,
karena itu
perlu diganti
dengan Undang-undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan labih efektif dalam mencegah dan momberantas
tindak pidana korupsi; h. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, b, dan c perlu dibentuk Undang-undang.yang baru tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
282
Berdasarkan penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi dinyatakan
bahwa Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang
adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat
Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus
ditingkatkan usaha-usaha
pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada khususnya. Di tengah upaya pembangunan nasional di
berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena
dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat
berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin
ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat.
282
Moeljatno, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi, Grafika, Jakarta, 2000.
374
Undang-undang ini dimaksudkan untuk menggantikan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, yang diharapkan mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat
dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya.
Dibawah ini penulis sampaikan mengenai unsur-unsur tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi yang telah di perbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
yaitu :
Pasal 1 menyatakan bahwa:
283
5 Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan
badan hukum; 6 pegawai Negeri adalah meliputi :
a. Pegawai negeri sebagaimana undang-undang tentang Kepegawaian;
b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah;
atau e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain
yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
7 Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.
Pasal 2 menyatakan bahwa:
284
3 Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
283
Pasal 1 ayat 1-3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Sebagaimana yang telah di rubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999.
284
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
375
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonornian negara, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling
sedikit Rp.200.000.000,00 dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 satu miliar rupiah;
4 Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat
dijatuhkan Pasal 3 menyatakan bahwa:
285
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 1 satu tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 lima puluh
juta rupiah dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 satu miliar rupiah.
Pasal 4 menyatakan bahwa:
286
Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Pasal 5 menyatakan bahwa:
287
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan paling lama 5 rima tahun dan atau denda
paling Sedikit Rp 50.000.000,00 lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp.250.000.000,00 dua ratus lima puluh juta
rupiah.
Pasal 6 menyatakan bahwa:
288
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tiga tahun dan paling lama 15 lima belas tahun dan denda paling
sedikit Rp.150.000.000,00 seratus km puiuh juta rupiah dan
285
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
286
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
287
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
288
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
376
paling banyak Rp.750.000.000,00 tujuh ratus lima pulufl juta rupiah.
Pasal 7 menyatakan bahwa:
289
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 387 atau Pasal 388 Kitab Undang-
undanq Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 dua tahun dan paling lama 7 tujuh tahun
dan atau denda paling sedikit Rp.100.000.000,00 seratus juta rupiah dan paling banyak Rp 350.000.000,00 tige ratus lima
puluh juta rupiah.
Pasal 8 menyatakan bahwa:
290
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 415 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tiga tahun dan paling lama 15 lima belas tahun dan denda paling
sedikit Rp 150.000.000,00 seratus lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp 750.000.000,00 -tujuh ratus lima puluh
juta rupiah
Pasal 9 menyatakan bahwa:
291
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 416 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan paling lama 5 lima tahun dan denda paling
sedikit Rp 50.000.000,00 Lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp.250.000.000,00 dua ratus lima puluh juta rupiah
Pasal 10 menyatakan bahwa:
292
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagalmana dimaksud dalam Pasal 417 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 dua tahun dan paling lama 7 tujuh tahun dan denda paling
sedikit Rp 100.000.000,00 seratus juta rupiah dan paling banyak Rp 350.000.000,00 tiga ratus lima puluh juta rupiah.
Pasal 11 menyatakan bahwa:
293 289
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
290
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
291
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
292
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
293
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
377
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 418 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan paling lama 5 lima tahun dan atau denda paling
sedikit Rp 50.000.000,00 lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp 250.000.000.00 dua ratus lima puluh juta rupiah
Pasal 12 menyatakan bahwa:
294
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 419. Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425,
atau Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dipidana 3 dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
Paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 dua ratus
juta rupiah dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 satu miliar rupiah.
Pasal 13 menyatakan bahwa:
295
Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang
melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap, melekat pada jabatan atau
kedudukan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tiga tahun dan atau denda paling banyak Rp
150.000.000,00 seratus lima puluh juta rupiah.
Pasal 14 menyatakan bahwa:
296
Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap
ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-undang
ini.
Pasal 15 menyatakan bahwa:
297
Setiap orang yang melakukan percobaan pembantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi,
dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14
Pasal 16 menyatakan bahwa:
298 294
Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
295
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
296
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
297
Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
378
Setiap orang di dalam wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan
untuk terjadinya tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 7.
Undang-undang ini juga memberi kesempatan yang seluas- luasnya kepada masyarakat berperan serta untuk membantu upaya
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan terhadap anggota masyarakat yang berperan serta tsb diberikan
perlindungan hukurn dan penghargaan. Selain memberikan peran serta masyarakat, undang-undang ini juga mengamanatkan
pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang akan diatur dalam Undang-undang tersendiri dalam jangka waktu
paling lambat 2 dua tahun sejak Undang-undang ini diundangkan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dan dari hasil putusan yang telah di sajikan dalam Bab III sebelumnya, bahwa Pegawai
Negeri atau Pejabat Daerah merupakan subjek delik pengelolaan keuangan daerah. Artinya, para pelaku dalam tindak pidana korupsi
di daerah adalah para pejabatan atau pegawai negeri.
Kita simak dakwaan berikut ini dari Perkara Tindak Pidana Korupsi APBD Kota Cirebon Tahun 2001:
i. Primer: Pasal 2 ayat 1 No Pasal 18 ayat 1 hurup b UU No. 31
Tahun 1999 yang telah dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64
ayat 1 Jo Pasal 55 ayat 1 Ke-1 KUHP;
ii. Subsidair: Pasal 3 jo Pasal 18 ayat 1 ke-1 huruf b UU No. 20
Tahun 2001 Tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Tindak Pidana Korupsi adalah suatu bentuk kejahatan yang sangat luar biasa. Tindak Pidana Korupsi tidak hanya sangat
merugikan pembangunan berkelanjutan dan merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial
dan ekonomi masyarakat bagian dari Hak Asasi Manusia secara luas,
yang oleh
karenanya baik
pencegahan maupun
pemberantasannya harus ditangani dengan cara yang luar biasa
298
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
379
pula dan perlu melibatkan peran serta aktif dari masyarakat dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan
telah terjadi Tindak Pidana Korupsi. Hal-hal inilah yang menjadikan para
pakar mengklasifikasikan
Tindak Pidana
Korupsi sebagai Extra Ordinary-Well Organized Crime Kejahatan Luar Biasa
yang Terorganisir dengan Baik.
299
Dalam rangka berperan serta secara bertanggung jawab dalam pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta
Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka menjadi penting bagi
kita adalah memahami terlebih dahulu rumusan delik dari suatu perbuatan-perbuatan yang oleh undang-undang sudah ditetapkan
sebagai Tindak Pidana Korupsi.
Perbuatan-perbuatan yang merupakan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UU PTPK, yang
berhubungan langsung dengan keuangan Negara dan keuangan daerah, adalah Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 yang mensyaratkan
adanya unsur dapat merugikan keuangan negara. Selanjutnya, perbuatan-perbuatan yang lainnya, sesungguhnya sudah terlebih
dahulu diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana, sebagai suatu perbuatan pidana umum, namun karena perbuatannya
sedemikian rupa tercela dan dapat merugi kan Keuangan Negara, maka oleh pembuat Undang-Undang dikategorikan juga sebagai
Tindak Pidana Korupsi.
Unsur-Unsur Rumusan Delik Pasal 2 ayat 1 Undang- undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
299
Perkembangan tindak pidana korupsi baik dilihat dari sisi kuantitas maupun sisi kualitas dewasa ini dapat dikatakan bahwa korupsi di Indonesia tidak lagi
merupakan kejahatan biasa ordinary crimes, akan tetapi sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa extra ordinary crimes. Nyoman Serikat Putra
Jaya, Bahan Kuliah Sistem Peradilan Pidana Criminal Justice System, Program Magister Ilmu Hukum: Semarang, 2008, hlm: 92.
380
Atas Undang-undang
Nomor 31
Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi .
a. Unsur pertama: setiap orang.
Untuk pemenuhan dan pendefinisian maupun penafsiran terhadap unsur pertama ini dapat dipastikan, semua pihak baik
dari kalangan akademisi, legislatif maupun yudikatif telah sepakat bahwa, yang dimaksud dengan Setiap orang adalah subjek hukum,
yang karena perbuatannya dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum, yaitu orang perseorangan atau korporasi, termasuk
kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Termasuk
pengertian setiap orang adalah sekda, Kepala Dinas, Pejabat, Pengusaha, Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah, Yayasan, dan
siapa
saja yang
secara hukum
dapat dimintakan
pertanggungjawaban.
b. Unsur kedua: secara melawan hukum.
Berangkat dari pemikiran bahwa Tindak Pidana Korupsi itu terjadi secara terorganisir, sistematik dan meluas, tidak hanya
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan
ekonomi masyarakat secara luas bagian dari HAM, sehingga dikategorikan kejahatan luar biasa extraordinary crimes yang
penanganan dan pemberantasannya harus dilakukan dengan cara luar biasa pula.
Pembentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, semula merumuskan dan mendefiniskan bahwa perbuatan
melawan hukum
300
itu mencakup semua perbuatan melawan
300
Dahulu pengadilan menafsirkan melawan hukum hanya sebagai pelanggaran dari
pasal-pasal hukum yang tertulis semata-mata pelanggaran perundang-undangan yang berlaku tetapi sejak tahun 1919 terjadi perkembangan di negeri Belanda,
dengan mengartikan perkataan melawan hukum bukan hanya untuk pelanggaran perundang-undangan tertulis semata-mata, melaikan juga melingkupi atas setiap
pelanggaran terhadap kesusilaan atau kepantasan dalam pergaulan hidup masyarakat. Sejak tahun 1919 tersebut di negeri Belanda dan demikian juga di
Indonesia, perbuatan melawan hukum telah diartikan secara luas yakni mencakup
381
hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma
kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Dalam pendekatan yuridis sosiologis, perumusan dan pendefinisian tersebut memang sangat ideal, akan tetapi dalam
kacamata yuridis normatif yang mengkedepankan dogmatika dan ketaat-asaan suatu peraturan perundang-undangan terhadap
konstitusi dan asas-asas yang berlaku universal, maka perumusan dan pendefinisian tersebut tidak dapat dibenarkan. Salah satu asas
hukum pidana yang universal adalah asas legalitas yaitu suatu asas yang menggariskan bahwa tidak seorangpun dapat dipidana
kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada terlebih dahulu daripada perbuatannya itu sendiri.
Artinya, undang-undang atau peraturan itu harus tertulis, tidak boleh diberlakukan surut, dan tidak dapat dianalogikan.
Pendekatan dogmatis
itulah yang
kemudian juga
dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan perkara Nomor 003PUUIV2006 tertanggal
24 Juli 2006. Menurut Mahkamah Konstitusi memang terdapat persoalan konstitusionalitas dengan kalimat pertama Penjelasan
Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, khususnya sepanjang berkenaan dengan perbuatan melawan hukum dalam
arti materiil yang telah dicoba diimplentasikan untuk menjerat para pelaku
Tindak Pidana
Korupsi. Mahkamah
Konstitusi mempertimbangkan bahwa Pasal 28 D ayat 1 Undang Undang
Dasar 1945 telah mengakui dan melindungi hak konstitusional warga negara untuk memperoleh jaminan dan perlindungan
hukum yang pasti, dengan mana dalam bidang hukum pidana
salah satu dari perbuatan-perbuatan salah satu dari berikut: Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain; Perbuatan yang bertentangan dengan
kewajiban hukumnya sendiri; Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan; Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam
pergaulan masyarakat yang baik. Selanjutnya dapat di telaah dalam bukunya: komariah Emong Saparadjadja, Ajaran Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum
pidana Indonesia, PT. Alumni: Bandung, 2002, hlm: 92-100.
382
diterjemahkan sebagai asas legalitas yang dimuat dalam Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP, bahwa asas
tersebut merupakan satu tuntutan akan kepastian hukum di mana orang hanya dapat dituntut dan diadili atas dasar suatu peraturan
perundang-undangan yang tertulis lexscripta yang telah lebih dahulu ada.
Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka perbuatan-perbuatan yang tidak patut, perbuatan yang tidak
seharusnya, perbuatan yang tercela, perbuatan yang bertentangan dengan norma, semuanya harus telah diatur terlebih dahulu secara
tertulis dalam suatu peraturan perudang-undangan sebagai suatu perbuatan-perbuatan yang dilarang.
Kalau seseorang dimintakan tolong untuk membelikan sesuatu barang maka sudah menjadi kepatutan bahwa pada saat
menyerahkan barang yang dibeli itu disertai juga dengan bukti pembelian. Hal itu adalah suatu kepatutan, kalau tidak ada bukti
pembelian maka jelas menimbulkan keraguan apakah benar barang yang dibeli sesuai dengan harga yang sebenarnya atau jangan-
jangan harga yang sesunguhnya lebih murah. Dalam keseharian hubungan yang tidak formal, seperti halnya hubungan antara
manusia dengan manusia, pembelian barang yang tidak disertai bukti pembelian jelas bukan perbuatan yang dilarang atau dapat
pidana, perbuatan itu hanya persoalan patut atau tidak patut. Namun lain halnya dalam hubungan formal, seorang pegawai
negeri menggunakan uang Negara untuk membeli suatu barang tanpa disertai bukti pembelian, maka ketidak-patutan secara
administratif tersebut menjadi suatu perbuatan yang corrupt, yang buruk, yang tercela dan apabila ada peraturan perundang-undang
apapun bentuknya asalkan tertulis yang mengatur bahwa setiap pejabat yang membelanjakan uang negara harus disertai dengan
bukti-bukti pembeliannya, maka perbuatan dimaksud sudah memenuhi unsur perbuatan melawan hukum. Dengan tidak adanya
bukti pembelian, terang dan jelas pejabat tersebut sudah dapat dipidana
berdasarkan Pasal
2 ayat
1 Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jadi jangan diplesetkan atau disesatkan bahwa perbuatan melawan hukum yang harus
tertulis itu sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat 1 itu hanya
383
perbuatan melawan hukum yang sudah di atur dalam peraturan pidana saja.
Agar unsur kedua dari Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini dapat terpenuhi,
Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim Tindak Pidana Korupsi harus memastikan bahwa suatu Perbuatan Melawan Hukum yang
dilakukan itu, telah melanggar atau tidak sesuai atau tidak berdasarkan pada ketentuan atau prosedur atau kewenangan atau
kewajiban yang telah ditetapkan terlebih dahulu dalam suatu peraturan perundang-undangan tertulis.
Perlu dipahami dan ditegaskan bahwa Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana dimaksud Putusan Mahkamah Konstitusi
adalah seluruh Perbuatan Melawan Hukum termasuk dalam arti materiil, namun tidak terbatas perbuatan-perbuatan melawan
hukum administratif, melawan hukum pertanahan, melawan hukum lingkungan, melawan hukum pidana, melawan hukum pengelolaan
keuangan
Negara, dan
melawan hukum
apapun bentuk
peraturannya baik Undang Undang atau Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri atau Peraturan Daerah atau Peraturan Walikota,
dan peraturan lainnya. Yang menjadi penting adalah, sepanjang Perbuatan Melawan Hukum itu telah melanggar ketentuan tertulis
yang merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud Pasal 7 Undang Undang Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka terhadap pelakunya harus dapat disidik, dituntut dan divonis
berdasarkan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Unsur melawan hukum dari pelaku aktual sukar untuk dibuktikan, karena seringkali adanya perbuatan-perbuatan yang
dipandang oleh masyarakat sebagai tindak pidana korupsi namun tak terjangkau oleh maksud Undang-undang karena kerancuan
penempatan unsur melawan hukum. Dalam kenyataannya suatu perbuatan yang dipandang tercela atau koruptif oleh masyarakat
meskipun perbuatannya tidak melawan hukum secara formil selalu lolos dari jangkauan hukum karena kesulitan pembuktiannya. Di
sini sifat melawan hukum suatu perbuatan hanya ada dalam artian sempit saja, sehingga hanya sekedar membuktikan ada atau
384
tidaknya perbuatan melawan hukum pada Undang- undang secara normatif dari pelaku.
Penerapan ajaran melawan hukum materil dalam tindak pidana korupsi sulit untuk dilakukan, mengingat adanya suatu
keterbatasan yang merupakan asas dalam hukum pidana Indonesia yaitu keberadaan asas legalitas principle of legality. Kesulitan
pembuktian unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran dalam tindak pidana korupsi adalah karena unsur tersebut hanya
mengandung pengertian sifat melawan hukum suatu perbuatan dalam artian formil saja yaitu hanya sekedar membuktikan ada atau
tidaknya perbuatan melawan hukum secara formil dari pelaku terhadap peraturan perundang-undangan tertulis.
Perbuatan melawan hukum secara materil adalah apabila perbuatan tersebut dipandang tercela dalam suatu masyarakat. Hal
ini meliputi perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan norma- norma kesopanan yang lazim atau bertentangan dengan keharusan
dalam pergaulan hidup. Menurut Loebby Loqman
301
ukuran dari perbuatan melawan hukum materil ini adalah:
Bukan didasarkan ada atau tidaknya ketentuan dalam suatu perundang-undangan, akan tetapi ditinjau dari nilai yang ada
dalam masyarakat. Nilai nilai yang ada dalam masyarakat ini sukar untuk diukur secara nyata namun dapat dilihat dengan
timbul reaksi dari masyarakat terhadap suatu perbuatan yang dianggap tercela misalnya dalam bentuk demonstrasi dan lain
lain.
Pengaruh penerapan ajaran melawan hukum materil dalam pembuktian tindak pidana korupsi sangat besar. Bila tidak ada
bukti perbuatannya melawan hukum secara materil atau dianggap perbuatannya tidak tercela dalam masyarakat maka si pelaku
selayaknya dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Hal ini banyak kita temui dalam beberapa kasus korupsi sebagai alasan pembenar
bagi perbuatan tersebut. Sampai saat ini pengertian dari ajaran
301
Loebby Loqman, Beberapa Ihwal dalam UU No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Datakom: Jakarta, 1991 hlm: 25,
sebagaimana dikutip oleh Indriyanto Seno Adji Analisis Penerapan Perbuatan
Melawan Hukum Materil Dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia Tinjauan Kasus Terhadap Perkembangan
Tindak Pidana Korupsi Tesis S lmu ukum,Jakarta , UI. 1996, hal. 20
385
melawan hukum materil dalam penerapannya masih merupakan salah satu perdebatan, apakah pengertiannya adalah sama dengan
yang terdapat dalam hukum perdata Barat atau memerlukan perluasan tafsiran secara tersendiri.
Penerapan Undang Undang Nomor 49 Tahun 1960 Tentang Panitia Urusan Piutang Negara, pada suatu tindak pidana korupsi
terlebih dahulu dilakukan pembuktian mengenai kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan. Kemudian mewajibkan para penegak
hukum untuk membuktikan lagi perbuatan memperkaya diri sendiri dengan menyalahgunakan wewenang dan jabatan. Pada
prakteknya ditemui kesulitan-kesulitan untuk pembuktian ini. Kesulitan pembuktian tersebut dapat dilihat dengan banyaknya
kasus kasus tindak pidana korupsi yang lepas dari tuntutan hukum hanya karena tak dapatnya dibuktikan unsur kejahatan dan
pelanggaran dari perbuatan tersebut.
302
Berdasarkan keadaan ini dalam Rancangan Undang undang tindak pidana korupsi tahun 1971 yang diajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong DPRGR berusaha untuk mengatasi kesulitan pembuktian tersebut. Dalam rancangan
Undang-undang ini tidak dikenal lagi kejahatan dan pelanggaran tapi diistilahkan dengan perbuatan melawan hukum. Selama
pemberlakuan Undang Undang Nomor 24 Prp. Tahun 1960 banyak kasus kasus korupsi yang tak dapat dijangkau oleh hukum. Hal ini
disebabkan adanya tuntutan harus membuktikan bahwa telah terjadi kejahatan atau pelanggaran yang bersifat merugikan
keuangan dan perekonomian negara terlebih dahulu. Terdapat penyempitan rumusan terhadap sebuah perbuatan yang dapat
dipidana atau tidak sebagai tindak pidana korupsi. Hal ini berakibat tidak efektifnya upaya-upaya pemberantasan korupsi saat itu.
Banyak tindak pidana korupsi yang dilakukan lepas dari jeratan hukum karena tidak kuatnya pembuktian terjadinya kejahatan atau
pelanggaran seperti yang dituntut oleh ketentuan perundang undangan. Berangkat dari keadaan ini pemerintah lalu merancang
sebuah undang-undang mengenai pemberantasan korupsi yang
302
Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia masalah dan pemecahannya, Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 1991, hal. 48.
386
kemudian ditetapkan sebagai Undang- undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, muncul perumusan
mengenai unsur melawan hukum. Ada yang secara tegas dicantumkan ada yang tidak. Yang Secara tegas dicantumkan
terdapat dalam Pasal 1 ayat 1 a yang berbunyi:
303
Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan,
yang secara lansung atau tidak lansung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau
patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Rancangan Undang undang pemberantasan tindak pidana korupsi tahun 1971 pada bagian penjelasan umum ditegaskan :
Dengan mengemukakan sarana melawan hukum seperti dalam hukum perdata, yang pengertiannya dalam undang undang ini
juga meliputi perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan norma norma kesopanan yang lazim atau yang bertentangan
dengan keharusan dalam pergaulan hidup untuk bertindak cermat terhadap orang lain, barangnya maupun haknya, maka
dimaksudkan supaya lebih mudah memperoleh pembuktian tentang perbuatan yang dapat dihukum, yaitu memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu badan daripada memenuhi ketentuan untuk membuktikan lebih dahulu adanya kejahatan
atau pelanggaran seperti disyaratkan oleh Undang Undang Nomor 24 Prp tahun 1960.
304
Dalam rancangan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi tahun 1971, melawan hukum tidak hanya dalam
artian pidana tapi juga melawan hukum secara perdata. Dalam hukum
perdata, melawan
hukum diistilahkan
dengan onrechtmatige daad yakni yang terdapat dalam Pasal 1365 Kitab
Undang undang Hukum Perdata. Melawan hukum dalam rumusan pasal ini tidak ditingkatkan
lagi menjadi straafbaarfeit tindak Pidana tapi merupakan sarana atau cara melakukan perbuatan yang dapat dihukum strafbaar
303
Undang Undang No 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
304
Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Op Cit., hal, 20
387
handeling. Unsur melawan hukum wederrechtelijk pada umumnya menjadi syarat bagi pemidanaan suatu perbuatan yang
dapat dihukum. Untuk menentukan perbuatan mana yang dapat dihukum dengan mempertimbangkan unsur melawan hukum
secara formil, dipertimbangkan pula unsur melawan hukum secara materil. Pertimbangan yang dilakukan apakah suatu perbuatan itu
perbuatan tercela atau tidak.
Ketika berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 prakteknya pengunaan unsur melawan hukum lebih diserahkan
kepada pertimbangan hakim. Hal ini disebabkan tidak adanya kesatuan pengertian unsur melawan hukum yang dapat dijadikan
dasar untuk menyatakan bahwa suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, baik secara formil ataupun materil. Hal tersebut
mengakibatkan pengertian melawan hukum menjadi luas. Hakim dalam
memutuskan perkara
diberikan kebebasan
untuk menafsirkan secara kasusistis. Jadi tidak diperlukan kepastian
pengertian seperti dalam hukum perdata. Unsur melawan hukum dalam undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tidak jauh berbeda dari Undang undang sebelumnya. Hanya ada beberapa perubahan redaksional saja dengan pola
perumusan tersebar pada beberapa pasal. Rumusan melawan hukum tersebut dapat kita lihat pada Pasal 2 ayat 1, Pasal
3,5,6,7,8,9,10,11,12 dan Pasal 13. Pada pasal ini rumusan melawan hukum tidak jauh berbeda dengan rumusan yang terdapat pada
Undang undang sebelumnya. Tidak ada penegasan apakah melawan hukum yang dimaksud dalam pengertian formil atau materil.
Beberapa pasal di atas, melawan hukum dirumuskan dengan setiap orang yang melakukan tindak pidana, masih terdapat
pembatasan subyek dari tindak pidana korupsi. Hanya ada perubahan secara redaksional saja, sedangkan apakah unsur
melawan hukum itu diterapkan secara materil atau hanya dalam artian formil tak ditegaskan. Hal tersebut sama dengan yang terjadi
pada undang-undang sebelumnya. Begitu juga halnya dengan penerapan ajaran melawan hukum materil secara positif atau
negatif tidak ditegaskan dalam rumusan Pasal-Pasal Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999.
388
Dikenal adanya sifat melawan hukum secara formil dan secara materil dalam hukum pidana. Suatu perbuatan dikatakan
melawan hukum secara formil adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan ketentuan undang undang tertulis. Sedangkan
melawan hukum secara materil adalah suatu perbuatan dikatakan melawan hukum tidaklah hanya sekedar bertentangan dengan
ketentuan hukum saja tapi perbuatan tersebut haruslah benar benar dirasakan masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh
atau tidak patut dilakukan. Jadi dalam konstruksi yang demikian suatu perbuatan dikatakan melawan hukum adalah apabila
perbuatan tersebut dipandang tercela dalam suatu masyarakat.
Penegasan penerapan ajaran melawan hukum materil ditegaskan dalam bagian Penjelasan Pasal 1 ayat 1 Undang
Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang menyatakan: Meskipun suatu perbuatan tidak diatur dalam peraturan
perundang undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan
atau norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Penerapan ajaran melawan hukum materil secara positif adalah merupakan kebalikan dari ajaran melawan hukum materil
secara negatif. Pada fungsinya secara negatif ajaran melawan hukum materil dapat menghapus pidana maka secara positif ajaran
melawan hukum materil dapat merupakan alasan pembenar untuk menjatuhkan pidana. Dengan penerapan secara positif ini telah
membuka peluang dan memberikan kemungkinan kepada praktek peradilan untuk mengadili seseorang yang telah melakukan
perbuatan koruptif, hanya semata mata berdasarkan perasaan keadilan masyarakat atau norma kehidupan sosial yang menanggap
perbuatan tersebut tercela.
Penerapan fungsi positif ajaran sifat melawan materil dianggap bertentangan dengan asas legalitas sebagai asas
fundamental negara hukum.
305
Asas legalitas dirumuskan dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi: Geen feit is strafbaar dan uit
305
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana: Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Aksara Baru: Jakarta, 1983, hlm: 46.
389
kracht van eenedaaraan voorafgegane wettelijke strafbepalingen suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan
ketentuan perundang undangan pidana yang telah ada. Asas legalitas menghendaki adanya suatu peraturan tertulis dahulu
sebelum suatu perbuatan dapat dipidana. Dalam Bahasa Latinnya asas ini lebih dikenal dengan
Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali .
Penerapan ajaran sifat melawan hukum materil dengan fungsi positif seperti dianut dalam Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 di kalangan ahli hukum pidana dianggap dapat menimbulkan ketidak pastian hukum. Dalam kontek asas legalitas
penerapan ajaran ini tidak mungkin dilakukan. Untuk itu dalam pelaksanaannya ajaran melawan hukum materil dengan fungsi
positif dalam tindak pidana korupsi hanya dapat diterapkan secara kasuistis dengan pertimbangan hakim. Penerapan ini juga harus
dilakukan dengan pembuktian yang tepat. Karena ada unsur-unsur yang tak tercantum dalam perundang-undangan tapi dengan fungsi
positif ajaran melawan hukum materil, dapat dipakai sebagai alasan pembenar untuk menjatuhkan pidana.
Perubahan dari Undang –Undang Nomor 31 Tahun 1999 ke
Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 yang dilakukan walaupun secara
substansial tidak
lansung menyinggung
mengenai penerapan ajaran melawan hukum materil tapi dalam pembahasan
hal-hal yang dirubah dapat dilihat sudah diarahkan untuk melakukan penerapan ajaran melawan hukum materil secara
positif.
c. Unsur ketiga: memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi.
Unsur memperkaya merupakan berasal dari suatu kata kerja yang berarti menjadikan lebih kaya, yang penekanannya lebih pada
Perbuatan Melawan Hukum yang berakibat terhadap adanya upaya-upaya pertambahan kekayaan seseorang. Dikatakan upaya-
upaya, karena memperkaya itu adalah suatu proses bukan hasil, artinya kalaupun proses atau upaya-upaya menjadikan lebih kaya
itu belum berhasil terwujud, maka sepanjang sudah terbukti
390
adanya Perbuatan Melawan Hukum, unsur ini sudah harus dinyatakan terpenuhi, sehingga kepada pelakunya sudah dapat
disidik, dituntut dan divonis.
Memperkaya juga tidak selalu berarti bahwa suatu proses yang sebelumnya miskin kemudian mengupayakan menjadi kaya,
atau suatu proses yang sudah kaya mengupayakan menjadi lebih kaya, karena kaya itu sendiri adalah pengertian yang sangat relatif
dan subjektif. Seseorang yang sudah terbiasa setiap bulan memilki rata-rata saldo tabungan 10 juta akan menjadi merasa sangat
miskin ketika rata-rata saldonya menjadi 1 juta, begitu sebaliknya seseorang yang sudah terbiasa memiliki rata rata saldo tabungan
perbulannya 1 juta rupiah akan menjadi merasa kaya ketika rata rata saldonya menjadi 10 juta rupiah.
Selain itu proses bertambahnya kekayaan juga tidak selalu hanya berkenaan dengan proses bertambahnya penghasilan atau
proses bertambahnya uang secara langsung. Akan tetapi, proses bertambahnya barang pun merupakan suatu proses pertambahan
atau upaya peningkatan kekayaan. Sebagai contoh seseorang yang semula hanya memiliki dua setel Jas kemudian ber upaya membeli
satu setel Jas baru dengan cara menerbitkan SP2D yang menggunakan anggaran belanja tidak terduga yang bersumber dari
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBD yang jelas peruntukannya tidak untuk membeli Jas, maka upaya penambahan
satu setel jas baru tersebut juga merupakan suatu proses pertambahan kekayaan yang Melawan Hukum.
Oleh karenanya, dengan adanya upaya-upaya Melawan Hukum untuk peningkatan kemampuan daya beli dan atau
adanya upaya-upaya Melawan Hukum untuk peningkatan jumlah penghasilan danatau upaya-upaya Melawan Hukum untuk
peningkatan nilai aset, sudah cukup dikatakan bahwa unsur memperkaya ini sudah terpenuhi, karena sekali lagi yang
penting perbuatan Melawan hukum.
d. Unsur ke empat: dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara.
Pembuktian unsur dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara dalam rumusan delik Pasal 2 Ayat 1
391
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Ppidana Korupsi, hingga saat ini seringkali seolah menjadi suatu hambatan dan bahkan
menimbulkan keraguan bagi para penyidik, penuntut umum dan hakim dalam melakukan penindakan dan pemberantasan tindak
pidana korupsi. Keraguannya bukan terletak pada definisi kerugian keuangan Negara atau perekonomian negara karena sesungguhnya
mengenai kerugian itu telah terdefinisikan secara jelas dan terang, bahwa berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 2004 Tentang
Perbendaharaan Negara, Pasal 1 ayat 22: Kerugian Negara Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang
nyata dan pasti jumlahnya akibatnya perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Sangat jernih bahwa Kerugian ini adalah
akibat dari suatu Perbuatan Melawan Hukum yang disengaja maupun lalai, dengan demikian yang menjadi persoalan atau
menjadi suatu kerugian itu adalah berkenaan dengan:
a. Apakah pembentuk undang-undang benar menghendaki unsur dapat merugikan keuangan negara ditafsirkan dan
diterjemahkan bahwa adanya potensi terjadinya suatu kerugian Potential Loss telah cukup untuk dikategorikan telah
memenuhi unsur ini?Jawaban singkatnya Ya benar, dengan adanya potential loss sudah cukup memenuhi unsur ini, Jangan
Menunggu uang negara menguap, potensi kerugian Negara berapapun besarnya akibat suatu perbuatan melawan hukum
merupakan pemenuhan unsur yang sempurna;
b. Apakah terhadap para pelaku yang diduga telah melakukan perbuatan secara melawan hukum sebagaimana dimaksud pasal
2 ayat 1, yang telah nyata-nyata merugikan keuangan negara, namun kemudian telah juga mengembalikan uang Negara, masih
harus dilakukan penyidikan, penuntutan dan penjatuhan putusan pengadilan?Jawaban singkatnya Ya harus, dengan
dikembalikan kerugian Negara hanya akan meringankan hukuman dan bukan alasan peniadaan penuntutan atau
peniadaan hukuman,kejahatan sudah terJadi pelaku korupsi harus dihukum.
Kedua jawaban singkat tersebut sesungguhnya selain sudah sangat terang diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Ppidana Korupsi, juga telah ditegaskan kembali oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat DPR ketika dimintakan keterangan
yang dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi sebagaimana
392
dimaksud dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003PUU- IV2006.
Terlepas dari unsur-unsur delik korupsi, secara Internasional, korupsi diakui sebagai masalah yang sangat
kompleks, bersifat sistemik, dan meluas. Centre for Crime Prevention CICP sebagai salah satu organ Perserikatan bangsa-
Bangsa PBB secara luas mendefinisikan korupsi sebagai
missus of public power for private gain . Menurut Centre for Crime
Prevention CICP korupsi mempunyai dimensi perbuatan yang luas meliputi
tindak pidana
suap bribery,
penggelapan emblezzlement, penipuan fraud, pemerasan yang berkaitan
dengan jabatan exortion, penyalahgunaan kekuasaan abuse of power, pemanfaatan kedudukan seseorang dalam aktivitas bisnis
untuk kepentingan perorangan yang bersifat illegal exploiting a conflict interest, insider trading, nepotisme, komisi illegal yang
diterima oleh pejabat publik illegal commission dan kontribusi uang secara illegal untuk partai politik. Sebagai masalah dunia,
korupsi sudah bersifat kejahatan lintas negara trans national border crime, dan mengingat kompleksitas serta efek negatifnya,
maka korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa extra ordinary crime memerlukan upaya pemberantasan dengan
cara-cara yang luar biasa extra ordinary measure.
Bagi Indonesia, korupsi adalah penyakit kronis hampir tanpa obat, menyelusup di segala segi kehidupan dan tampak
sebagai pencitraan budaya buruk bangsa Indonesia. Secara sinis orang bisa menyebut jati diri Indonesia adalah perilaku korupsi
306
. Pencitraan tersebut tidak sepenuhnya salah, sebab dalam
realitanya kompleksitas korupsi dirasakan bukan masalah hukum semata, akan tetapi sesungguhnya merupakan pelanggaraan atas
hak-hak
ekonomi dan
sosial masyarakat.
Korupsi telah
menimbulkan kemiskinan dan kesenjangan sosial yang besar. Masyarakat tidak dapat menikmati pemerataan hasil pembangunan
dan tidak menikmati hak yang seharusnya diperoleh. Dan secara keseluruhan, korupsi telah memperlemah ketahanan sosial dan
ekonomi masyarakat Indonesia.
306
Pujiyono, Kumpulan Tulisan Hukum Pidana, Mandar Maju: Bandung, 2007, hlm: 124.
393
Korupsi di Indonesia yang sudah diyakini meluas dan mendalam
widespread and
deep-rooted akhirnya
akan menggerogoti habis dan menghancurkan masyarakatnya sendiri
self destruction. Korupsi sebagai parasit yang mengisap pohon akan menyebabkan pohon itu mati dan di saat pohon itu mati maka
para koruptor pun akan ikut mati karena tidak ada lagi yang bisa di hisap.
307
Pemberantasan korupsi
bukanlah sekedar
aspirasi masyarakat luas melainkan merupakan kebutuhan mendesak
urgent needs
bangsa Indonesia
untuk mencegah
dan menghilangkan sedapatnya dari bumi pertiwi ini karena dengan
demikian penegakan hukum pemberantasan korupsi diharapkan dapat mengurangi dan seluas-luasnya menghapuskan kemiskinan.
Pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut tidak lain adalah untuk mewujudkan kesejahteraan dari masyarakat Indonesia yang
sudah sangat menderita karena korupsi yang semakin merajarela.
7. Unsur Motivasi, Kekuasaan, dan Kebudayaan