Unsur Motivasi, Kekuasaan, dan Kebudayaan

393 Korupsi di Indonesia yang sudah diyakini meluas dan mendalam widespread and deep-rooted akhirnya akan menggerogoti habis dan menghancurkan masyarakatnya sendiri self destruction. Korupsi sebagai parasit yang mengisap pohon akan menyebabkan pohon itu mati dan di saat pohon itu mati maka para koruptor pun akan ikut mati karena tidak ada lagi yang bisa di hisap. 307 Pemberantasan korupsi bukanlah sekedar aspirasi masyarakat luas melainkan merupakan kebutuhan mendesak urgent needs bangsa Indonesia untuk mencegah dan menghilangkan sedapatnya dari bumi pertiwi ini karena dengan demikian penegakan hukum pemberantasan korupsi diharapkan dapat mengurangi dan seluas-luasnya menghapuskan kemiskinan. Pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut tidak lain adalah untuk mewujudkan kesejahteraan dari masyarakat Indonesia yang sudah sangat menderita karena korupsi yang semakin merajarela.

7. Unsur Motivasi, Kekuasaan, dan Kebudayaan

Daerah Otonom. Dalam pikiran para yuris, proses peradilan sering hanya diterjemahkan sebagai suatu proses memeriksa dan mengadili secara penuh dengan berdasarkan hukum positif semata-mata. Pandangan yang formal legistis ini mendominasi pemikiran para penegak hukum, sehingga apa yang menjadi bunyi undang- undang, itulah yang akan menjadi hukumnya. Kelemahan utama pandangan ini adalah terjadinya penegakan hukum yang kaku, tidak ada diskresi dan cenderung mengabaikan rasa keadilan masyarakat karena lebih mengutamakan kepastian hukum. Proses mengadili dalam kenyataannya bukanlah proses yuridis semata. Proses peradilan bukan hanya proses menerapkan pasal-pasal dan bunyi undang- undang, melainkan proses yang melibatkan perilaku-perilaku masyarakat dan berlangsung dalam suatu struktur sosial tertentu. Penelitian yang telah di lakukan oleh Marc Galanter di Amerika dapat menunjukan bahwa suatu putusan hakim ibaratnya 307 Satjipto Rahardjo,Membedah Hukum Progresif,Kompas: Jakarta, 2006, hlm: 136. 394 hanyalah pengesahan saja dari kesepakatan yang telah dicapai oleh para pihak. Dalam perspektif Sosiologis, lembaga pengadilan merupakan lembaga yang multi fungsi dan merupakan tempat untuk record keeping, site of administrative processing, ceremonial changes of status ,settlement negotiation, mediations and arbitration dan warfare . 308 Produk dari pengadilan adalah putusan hakim. Dari sinilah awal dapat dibangunnya wibawa hukum. Dalam putusan hakim, wibawa hukum dipertaruhkan. Para petinggi hukum tidak perlu berteriak-teriak minta kepada masyarakat agar menghormati pengadilan. Cukuplah apabila pengadilan di tingkat PN, PT ataupun MA membuat putusan yang bermutu tinggi, maka rasa hormat itu akan datang dengan sendirinya. 309 Kiranya masyarakat dapat memberikan penilaian tersendiri terhadap mutu putusan para hakim. Haruslah disadari benar bahwa menegakkan wibawa pengadilan tidaklah semudah membalik telapak tangan. Sistem peradilan di Indonesia yang merupakan warisan kolonial Belanda sedikit banyak menyulitkan dalam prakteknya. Sisa-sisa perilaku sebagai bangsa terjajah masih nampak dikalangan para hakim. Sebagai contoh, sampai saat ini kita masih bisa melihat digunakannya Osterman Arrest dari Hogeraad Belanda sebagai contoh tentang Perbuatan Melawan Hukum PMH. Dari sisi ini setidaknya kita dapat melihat adanya tiga hal,yaitu: pertama, hakim-hakim kita tidak mempunyai kepercayaan diri untuk mengutip yurisprudensi dari Mahkamah Agung Indonesia. Kedua, 308 Marc Galanter, Justice In Many Rooms, 1981. 309 Kiranya masyarakat dapat memberikan penilaian tersendiri terhadap mutu putusan para hakim. Putusan yang mendapat perhatian luas di masyarakat dan dianggap berbobot adalah putusan kasasi Kasus Kedungombo. Dalam putusan ini, Hakim tidak yakin telah terjadi kesepakatan atas dasar musyawarah. Alasannya sederhana saja, tidak mungkin musyawarah dapat berjalan dengan fair apabila rakyat mendapat tekanan psikis karena ditunggui oleh aparat keamanan. Dalam putusannya pula MA memberikan penafsiran secara konstruktif tentang apa, kapan dan bagaimana orang dapat dikatakan telah bermusyawarah. Hal ini merupakan dasar bagi terselenggaranya musyawarah dengan benar. Putusan lain yang dinilai masyarakat mempunyai bobot yang tinggi adalah putusan PTUN yang memenangkan gugatan Gunawan Muhammad Tempo dan Putusan Mahkamah Agung yang membebaskan terdakwa pembunuh Marsinah. 395 kemungkinan memang tidak ada putusan hakim MA yang dapat dianggap berkualitas untuk kasus itu. Ketiga, menganggap yurisprudensi asing selalu lebih valid dan bermutu. Munculnya kritik-kritik terhadap keberadaan lembaga peradilan tidak lain karena peradilan kita tidak dapat memberikan pengayoman kepada warga masyarakat. Putusan pengadilan yang diharapkan dapat mengembalikan keseimbangan masyarakat yang terganggu tidak dapat terpenuhi. Adanya isu mafia peradilan, keadilan dapat dibeli, munculnya bahasa-bahasa yang sangat sarkastis dengan plesetan HAKIM Hubungi Aku Kalau Ingin Menang, KUHAP diplesetkan sebagai Kurang Uang Hukuman Penjara, tidaklah muncul begitu saja. Kesemuanya ini merupakan produk sampingan dari bekerjanya lembaga-lembaga hukum itu sendiri. Ungkapan-ungkapan ini merupakan reaksi dari rasa keadilan masyarakat yang terkoyak karena bekerja lembaga- lembaga hukum yang tidak professional maupun putusan hakimputusan pengadilan yang semata-mata hanya berlandaskan pada aspek yuridis. Berlakunya hukum ditengah- tengah masyarakat, mengemban tujuan untuk mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan dan pemberdayaan sosial bagi masyarakatnya. Untuk menuju pada cita-cita pengadilan sebagai pengayom masyarakat, maka pengadilan harus senantiasa mengedepankan empat tujuan hukum di atas dalam setiap putusan yang dibuatnya. Hal ini sejalan dengan apa menjadi dasar berpijaknya hukum yaitu hukum untuk kese-jahteraan masyarakat. Sehingga pada akhirnya tidak hanya dikatakan sebagai Law and Order Hukum dan Ketertiban tetapi telah berubah menjadi Law, Order and Justice Hukum, Ketertiban dan Ketentraman. Adanya dimensi keadilan dan ketentraman yang merupakan manifestasi bekerjanya lembaga pengadilan, akan semakin mendekatkan cita-cita Pengadilan sebagai pengayom masyarakat. 310 310 Dalam kerangka akuntabilitas Lembaga-lemabaga hukum, perlu memiliki standar pelayanan yang dibingkai dalam Standart legal services rules. Kejaksaan, kehakiman pengadilan, Kepolisian dan Organisasi Pengacara dalam kativitas hukumnya berpedoman kepada standar tersebut Kate Malleson, The Legal System, 2003 hal.197 396 Korupsi merupakan benalu sosial yang merusak sendi-sendi struktur pemerintahan dan menjadi hambatan yang paling utama bagi pembangunan nasional. Korupsi sudah merambah kesegala bidang kehidupan kita dan perbuatan korupsi sudah sangat umum ditelinga kita semua. Bahkan ada suatu pendapat yang mengatakan bahwa korupsi merupakan seni hidup dan menjadi salah satu aspek kebudayaan kita yang telah mengakar dengan begitu kuatnya. Dalam prakteknya, korupsi sukar sekali bahkan hampir-hampir tidak mungkin diberantas. Sebab amat sulit memberikan pembuktiannya, lagi pula sulit mengejarnya dengan dasar-dasar hukum-nya dan sampai saat ini korupsi merupakan bahaya laten dan ditanggapi secara serius baik oleh pemerintah sendiri, maupun oleh bagian-bagian dari masyarakat kita. 311 Gebrakan baru era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono SBY dilontarkan dengan pencanangan tahun 2005 sebagai tahun pemberantasan korupsi. Untuk mendukung gerakan tersebut, Presiden SBY menginstruksikan kepada jajaran Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri, para kepala pemerintahan non departemen, para gubernur dan para bupatiwalikota untuk melakukan langkah-langkah yang dianggap perlu demi mempercepat pemberantasan korupsi. Perintah itu secara legal dituangkan dalam Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Peringkat ke enam sebagai negara terkorup di dunia membuat negara ini harus banyak melakukan kerja keras untuk memperbaiki keterpurukan moral yang signifikan telah menyebabkan berbagai keterpurukan ekonomi, sosial, hukum bahkan budaya. Otonomi daerah yang mulai dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia pada Januari 2001 membuat angin segar bagi setiap daerah untuk mandiri dan merdeka menata dan membangun daerahnya berdasarkan potensi masing-masing. Kewenangan yang telah diberikan kepada daerah ini membawa dimensi lain ke arah perilaku korupsi yang lebih besar di daerah. Dimanapun adanya, pihak yang harus menanggung dan menderita adalah rakyat. 311 Argyo Demartoto, PerilakuKorupsi: Fakta Empiris dan Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia,Spirit PublikVol. 3, No. 2, Oktober 2007, hlm: 89. 397 Sejalan dengan otonomi daerah, jika ditelaah dari prespektif skala dan motif pelakunya, korupsi di daerah 312 dapat dibedakan menjadi dua kategori: 1. pertama, korupsi skala kecil. Pelaku korupsi kategori ini adalah pegawai pemerintah tingkat rendahan yang merasa tidak mendapat kesejahteraan karena gaji yang terlalu kecil. Modusnya yaitu dengan mengambilmenjual aset-aset dan uang kantor; 2. Kedua, yaitu korupsi dengan motif memperkaya diri. Pelakunya adalah pejabat tinggi yang mempunyai kewenangan dan kesempatan luas untuk menyelewengkan jabatannya. Hal ini biasa dilakukan di berbagai lembaga pemerintahan di pusat karena adanya sentralisasi kekuasaan. Pelaku korupsi pada kategori pertama tampaknya tidak mendapat perhatian khusus dari media maupun aparat penegak hukum, mungkin dikarenakan tidak begitu besar jumlah yang dikorupsi atau mungkin hampir semua orang pernah melakukannya, jadi sudah menjadi kebiasaan. Pelaku korupsi kategori kedua yang sering menjadi sorotan publik karena biasanya orang yang melakukannya mempunyai posisi penting dalam struktur birokrasi.

a. Motivasi Para Pejabat Daerah Untuk Melakukan

Korupsi. Hingga saat ini banyak yang masih berpikir, bahwa korupsi tumbuh semata karena rakus. Atau, bahkan dalam beberapa teori dikenal juga istilah Corruption by need . Atau korupsi karena butuh, karena gaji yang kecil dan tidak mencukupi kebutuhan sehari- hari.Padahal, jika dicermati, setidaknya ada tiga 3 motivasi korupsi, yakni Pendanaan Politik; Membangun dan menjaga jaringan; serta Memperkaya Diri sendiri. Teori Vroom menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kinerja seseorang dengan kemampuan dan motivasi yang dimiliki sebagaimana tertulis dalam fungsi berikut: 312 Nico Andrianto Ludy Prima Johansyah, Korupsi di Daerah: Modus Operandi Peta Jalan Pencegahannya, CV. Putra Media Nusantara: Surabaya, 2010. 398 P = f A , M P = Performance A = Ability M = Motivation Berdasarkan Teori Vroom 313 tersebut, kinerja performance seseorang merupakan fungsi dari kemampuannya ability dan motivasimotivation. Kemampuan seseorang ditunjukkan dengan tingkat keahlian skill dan tingkat pendidikan knowledge yang dimilikinya. Jadi, dengan tingkat motivasi yang sama seseorang dengan skill dan knowledge yang lebih tinggi akan menghasilkan kinerja yang lebih baik. Hal tersebut terjadi dengan asumsi variabel M Motivasi adalah tetap. Tetapi Vroom juga membuat fungsi tentang motivasi sebagai berikut: M = f E , V M = Motivation E = Expectation V = ValanceValue Motivasi seseorang akan dipengaruhi oleh harapan expectation orang yang bersangkutan dan nilaivalue yang terkandung dalam setiap pribadi seseorang. Jika harapan seseorang adalah ingin kaya, maka ada dua kemungkinan yang akan dia lakukan. Jika nilai yang dimiliki positif maka, dia akan melakukan hal-hal yang tidak melanggar hukum agar bisa menjadi kaya. Namun jika dia seorang yang memiliki nilai negatif, maka dia akan berusaha mencari segala cara untuk menjadi kaya salah satunya dengan melakukan korupsi. Abraham Maslow 314 menggambarkan hierarki kebutuhan manusia sebagai bentuk piramida. Pada tingkat dasar adalah kebutuhan yang paling mendasar. Semakin tinggi hierarki, kebutuhan tersebut semakin kecil keharusan untuk dipenuhi. Hierarki tersebut terlihat dalam piramida berikut ini: Hierarki Kebutuhan Maslow: 313 Stephen P. Robins, Perilaku Organisasi, Indeks: Jakarta, 2003, hlm: 220. 314 Stephen P. Robins, Perilaku Organisasi, Ibid: 225. 399 Teori Kebutuhan Maslow tersebut menggambarkan hierarki kebutuhan dari paling mendasar bawah yaitu hingga naik paling tinggi adalah aktualisasi diri. Kebutuhan paling mendasar dari seorang manusia adalah sandang dan pangan physical needs. Selanjutnya kebutuhan keamanan adalah perumahan atau tempat tinggal, kebutuhan sosial adalah berkelompok, bermasyarakat, berbangsa. Ketiga kebutuhan paling bawah adalah kebutuhan utama prime needs setiap orang. Setelah kebutuhan utama terpenuhi, kebutuhan seseorang akan meningkat kepada kebutuhan penghargaan diri yaitu keinginan agar kita dihargai, berperilaku terpuji, demokratis dan lainya. Kebutuhan paling tinggi adalah kebutuhan pengakuan atas kemampuan kita, misalnya kebutuhan untuk diakui sebagai kepala, direktur maupun walikota yang dipatuhi bawahannya. Jika seseorang menganggap bahwa kebutuhan tingkat tertingginya pun adalah kebutuhan mendasarnya, maka apa pun akan dia lakukan untuk mencapainya, termasuk dengan melakukan tindak pidana korupsi. Klitgaard 315 memformulasikan terjadinya korupsi dengan persamaan sebagai berikut: C = M + D – A C = Corruption M= Monopoly of Power 315 Robert Klitgaard, Penuntun pemberantasan korupsi dalam pemerintahan daerah, Yayasan Obor Indonesia: Yogyakarta, 2002, hlm: 58-60. 400 D= Discretion of official A= Accountability Menurut Robert Klitgaard, monopoli kekuatan oleh pimpinan monopoly of power ditambah dengan tingginya kekuasaan yang dimiliki seseorang discretion of official tanpa adanya pengawasan yang memadai dari aparat pengawas minus accountability, menyebabkan dorongan melakukan tindak pidana korupsi. Kemudian menurut Torres suatu tindak korupsi akan terjadi jika memenuhi persamaan berikut: Rc Pty x Prob Rc = Reward Pty = Penalty Prob = Probability Dari syarat tersebut terlihat bahwa korupsi adalah kejahatan kalkulasi atau perhitungan crime of calculation bukan hanya sekedar keinginan passion. Seseorang akan melakukan korupsi jika hasilRc=Reward yang didapat dari korupsi lebih tinggi dari hukuman Pty=Penalty yang didapat dengan kemungkinan Prob=Probability tertangkapnya yang kecil. Menurut Jack Bologne akar penyebab korupsi ada empat, yaitu: G = Greedy O = Opportunity N = Needs E = Expose Greedy, terkait keserakahan dan kerakusan para pelaku korupsi. Koruptor adalah orang yang tidak puas akan keadaan dirinya. Opportuniy, sistem yang memberi peluang untuk melakukan korupsi. Needs, sikap mental yang tidak pernah merasa cukup, selalu sarat dengan kebutuhan yang tidak pernah usai. Exposes, hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku korupsi yang tidak memberi efek jera pelaku maupun orang lain. 401 Atas dasar itulah, kemudian secara teoritis dikenal pembagian korupsi menjadi dua, yaitu: State Capture dan Administrative Corruption.Untuk State Capture SC korupsi biasanya dilakukan untuk pendanaan politik dan mempertahankan jaringan. Target utama SC adalah untuk menyerang negara dan menguasai infrastruktur negara, sehingga semua keuntungan dapat diraih dengan mudah dalam jumlah yang luar biasa ketika negara telah dibajak. Negara yang sejatinya ada karena semacam kontrak sosial antara sesama warga negara untuk menyelenggarakan dan melindungi kepentingan warga negara, dikuasai sedemikian rupa, sehingga tidak mampu menjalankan fungsi idealnya tersebut. Sedangkan administrastive Corruption, terjadi di level yang lebih kecil. Misal: korupsi pengadaan barang dan jasa, korupsi para polisi di jalanan, korupsi dalam pembuatan Kartu Tanda Penduduk KTP, dan sebagainya.Dan, kita tau kedua jenis korupsi diatas sama-sama merugikan masyarakat.untuk BLBI, berdasarkan ciri- ciri dan karakter pelaku aktor kita bisa klasifikasikan pada State Capture. Karena mereka menggunakan mekanisme negara fungsi BI sebagai the last resort untuk melumpuhkan negara demi kepentingan jaringan bisnis dan politik mereka. Jumlah uang yang luar biasa menjadikan mereka mudah mengembangkan usaha, membiayai dana politik beberapa calon pejabat RI, dan bahkan berhasil hingga dinobatkan sebagai orang terkaya di Indonesia versi majalah FORBES. Dari sini kita bisa pahami, bahwa mereka yang melakukan korupsi memang sengaja melakukan. Artinya bukan karena keterpaksaan ketika tergiur dengan uang yang banyak saat berkuasa.Akan berbeda hal nya dengan katakanalah orang kecil yang berada di bawah ketika berada diatas dan kemudian melakukan korupsi. Kalaupun orang seperti ini melakukan korupsi, biasanya sangat mudah ketauan. Terutama karena mereka tidak membangun jaringan permanen dengan penegak hukum dan politisi yang berkuasa. Dari semua korupsi yang kita ketahui, yang paling merugikan negara diakibatkan oleh perselingkuhan besar antara Pebisnis, Bank, Politisi, penegak hukum, dan bahkan militer.Dua yang sangat berbahaya dari 5 aktor diatas adalah Pebisnis dan 402 Politisi. Karena itulah, sebaiknya negeri ini tidak dipimpin oleh orang-orang yang selain berbisnis juga menajdi politikus.

b. Pengaruh Kekuasaan Pejabat daerah.

Faktor penyebab suburnya korupsi di daerah bukan faktor tunggal melainkan merupakan multi faktor yang kompleks dan saling bertautan. Alatas 316 mencoba mendeskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan suburnya korupsi sebagai berikut : 1. Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tindakan laku yang menjinakkan korupsi. 2. Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika. 3. Kolonialisme suatu pemerintahan asing tidaklah menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi. 4. Kurangnya pendidikan. 5. Kemiskinan 6. Tiadanya tindak hukuman yang keras. 7. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi. Soal korupsi di Indonesia, Satjipto Rahardjo yang menjabat sebagai Guru Besar Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro UNDIP Semarang, menyatakan kekhawatirannya bahwa korupsi di negeri ini sudah mencapai tahap bunuh diri atau self dectruction. Mengutip Syed Hussein Alatas, mengenai tiga tahapan korupsi, dimulai dari korupsi yang terbatas artinya hanya sedikit yang melakukan, korupsi yang meluas widespread dan terakhir korupsi yang menimbulkan bunuh diri self destruction. 317 Menurut Suparno ada tiga kemungkinan yang memacu korupsi di Indonesia, yaitu sistem pemerintahan yang memungkinkan, moralitas orang yang rencah dan kontrol masyarakat yang kurang. Berbagai kasus korupsi di lingkaran kekuasaan yang terungkap akhir-akhir ini, kian menegaskan moralitas bangsa yang rapuh, bobrok, korup dan sejenisnya. Orang akan mudah ber-argumentasi bahwa kebobrokan moral bangsa 316 Alatas, Syed Hussein, 1981. Sosiologi Korupsi Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer, Jakarta, LP3ES, 1981, hlm: 34. Lihat pula Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi, LP3ES: Jakarta, 1987, hlm: 90. 317 www.Hukum online.Com. 403 ditentukan oleh moralitas para politisnya. Ternyata, para elit politik kita, dari dulu hingga kini, tak lebih sebagai pendosa yang telah mempelopori kebobrokan moral bagi masyarakat secara lebih luas dan sistemik. 318 Berdasarkan uraian diatas dalam upaya mengkaji perilaku korupsi dapat dilakukan dengan meneliti fenomena itu, apa latar belakang yang menyebabkan ter-jadinya korupsi beserta dampaknya. Dalam mempelajari fenomena korupsi juga dilakukan pengungkapan sejarah, kebudayaan dan hal-hal lain yang mendukung terjadinya perilaku korupsi. Sehingga akan diperoleh kecenderungan pola-pola perilaku korupsi misalnya di lingkungan pemerintahan kota, baik kalangan eksekutif maupun legislatif. Perilaku korupsi merupakan sebuah tindakan sosial. Menurut Max Weber, tindakan sosial dipahami peristiwa- peristiwanya. Bagi Weber, tindakan sosial berarti mencari pengertian subyektif atau motivasi yang terkait pada tindakan- tindakan sosial. Menurut teori aksi action theory yang dikembangkan oleh Max Weber, di mana individu dalam melakukan suatu tindakan berdasarkan atas pengalaman, persepsi, pemahaman dan penafsirannya atas suatu obyek stimulus atau situasi tertentu. Tindakan individu ini merupakan tindakan sosial yang rasional, yaitu mencari tujuan atas sarana dengan sarana- sarana yang paling tepat. 319 318 Rahayu, Indah Budi dan Suranto, Anto, Laporan Penelitian : Peranan Surat Kabar dalam Pemberantasan Tindak Korupsi di Indonesia. Surakarta : FISIP UNS, 2004, hlm: 1-4. 319 Johnson, Doyle Paul.Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid I, Gramedia: Jakarta, 1993. Teori Weber kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Talcott Parsons, yang mulai mengkritik Weber menyatakan bahwa aksi bukanlah perilaku. Aksi merupakan tanggapan atau respon mekanisme terhadap suatu stimulus sedangkan perilaku adalah suatu proses mental yang aktif dan kreatif. Bagi Parsons yang utama bukanlah tindakan individu melainkan norma-norma dan nilai-nilai sosial yang menuntun dan mengatur perilaku. Kondisi obyektif disatukan dengan komitmen kolektif terhadap suatu nilai akan mengembangkan suatu bentuk tindakan sosial tertentu. Parsons menekankan pentingnya pemahaman orientasi individu yang bersifat subyektif, termasuk definisi situasi serta kebutuhan dan tujuan individu.Parsons juga menjelaskan bahwa orientasi orang bertindak itu terdiri dari dua elemen dasar yaitu orientasi motivasional dan orientasi nilai. Orientasi motivasional menunjuk pada keinginan untuk memperbesar kepuasan dan menyeimbangkan, sedang orientasi nilai menunjuk pada standar-standar normatif yang mengendalikan pilihan-pilihan individu alat dan tujuan dan 404 Berdasarkan hasil penelitian penulis terhadap perilaku korupsi pejabat daerah, unsur yang paling utama dalam melakukan korupsi adalah unsur pemegang kekuasaan, artinya para pejabat itu meiliki kekuasaan. Kekuasaan merupakan kemampuan yang dimiliki A untuk memengaruhi perilaku B sehingga B bertindak sesuai dengan keinginan A. Kekuasaan boleh saja ada, tetapi tidak digunakan, karena itu kekuasaan merupakan suatu kemampuan atau potensi. Seseorang bisa saja memiliki kekuasaan tetapi tidak menjalankannya. Barangkali aspek terpenting dari kekuasaan adalah bahwa hal ini merupakan fungsi ketergantungan. Semakin besar ketergantungan B terhadap A, semakin besar pula kekuasan A dalam hubungan tersebut. Seseorang dapat memiliki kekuasaan atas diri anda hanya jika ia mengendalikan sesuatu yang anda inginkan. 320 Konsep dari kepemimpinan dan kekuasaan adalah saling bertautan. Para pemimpin menggunakan kekuasaan sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan kelompok. Para pemimpin mencapai tujuan, dan kekuasaan adalah sarana untuk memudahkan usaha mereka tersebut. Kekuasaan tidak mengisyaratkan tujuan melainkan ketergantungan seangkan kepemimpinan mensyaratkan kesesuaian antara tujuan pemimpin dan mereka yang dipimpin. Perbedaan yang kedua yaitu dengan arah pengaruh. Kepemimpinan berfokus pada pengaruh kebawah kepada para pengikut. Kepemimpinan meminimalkan pola-pola pengaruh ke samping dan ke atas. Kekuasaan tidak demikian. Perbedaan lain dengan penekanan penelitian. Penelitian mengenai kepemimpinan, sebagian besar menekankan gaya. Penelitian tersebut mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyan seperti seberapa suportif semestinya seorang pemimpin? sampai tingkat mana proses pengambilan keputusan harus dilakukan bersama dengan para pengikut?sebaliknya, penelitian mengenai kekuasaan cnderung mencakup bidag yang lebih luas dan terfokus pada takti-taktik prioritas sehubungan dengan adanya kebutuhan-kebutuhan dan tujuan-tujuan yang berbeda. Dalam hal ini, ketika seseorang berkeinginan untuk melakukan korupsi mempunyai tujuan dan makna tersendiri yang berbeda antara satu dengan yang lain. 320 Kenneth J. Neubeck Davita Silfen Glasbrg, Sociology A Critical Approach, McGraw Hill, Inc, 1996, hlm: 345. 405 untuk memperoleh kepatuhan dari anak buah. Penelitian tersebut melampaui individu sebagai pelaksana kekuasaan karena kekuasaan dapat digunakan oleh kelompok dan juga individu untuk mengendalikan individu atau kelompok-kelompok lain. Dari analisis tersebut di atas, penulis berkomentar bahwa korupsi dan Kekuasaan ibarat dua sisi mata uang. Korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan dan sebaliknya, kekuasaan merupakan pintu masuk bagi tindak korupsi. Makna korupsi dari beragam defenisi korupsi pada dasarnya adalah perilaku yang menyimpang dari aturan etis formal, menyangkut tindakan etis formal seseorang dalam posisi otoritas publik yang disebabkan oleh motif pertimbangan pribadi, seperti kekayaan, kekuasaan dan status. Korupsi juga sering dimengerti sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan untuk keuntungan pribadi, namun korupsi juga bisa dimengerti sebagai perilaku tidak mematuhi prinsip mempertahankan jarak , artinya dalam pengambilan kebijakan baik di sektor swasta atau oleh pejabat publik, hubungan pribadi atau keluarga tidak memainkan peranan. Kita perhatikan saja sejak tahun 1999, Krisis yang terjadi di indonesia bermula dari kemerosotan nilai tukar rupiah. Karena penanganan yang bertele-tele yang jauh menyentuh akar permasalahannya, krisis merembet hampir keseluruh aspek perekonomian, sehingga menjelmalah krisis ekonomi yang berkepanjangan. Penyakit-penyakit ekonomi yang selama ini tertutupi oleh gemerlap indikator-indikator makro ekonomi dan serangkaian pujian dari lembaga-lembaga international satu demi satu terungkap. Semakin nyata pula bahwa penyakit –penyakit ekonomi itu bukan semata-mata Berasal dari faktor-faktor ekonomi, melainkan juga sebagai produk dari sistem dan mekanisme politik yang tidak sehat. Sekali prinsip mempertahankan jarak itu dilanggar dan keputusan dibuat bedasarkan hubungan pribadi atau keluarga, maka korupsi akan timbul. Contohnya konflik kepentingan dan nepotisme. Prinsip mempertahankan jarak itu adalah landasan bagi organisasi apapun untuk mencapai efisiensi. Gambaran buram tentang kekuasaan dikarenakan kita sering merujuk praktik kekuasaan yang digenggam oleh politisi busuk. Akan tetapi, 406 kekuasaan itu cenderung korup sebenarnya bisa ditepis ketika hadir kekuasaan yang amanah, adil, dan demokratis serta memiliki visi dan komitmen tentang clean government and good gevernance.

c. Pengaruh Kebudayaan dari Elit Politik Pusat.

Kaufman, 321 melakukan penelitian tentang indikator kualitas pemerintahan dengan mengkonstruk agregasi nilai indikator- indikator dari 14 sumber yang berbeda menemukan bahwa negara- negara yang memiliki skor tinggi di bidang rule of law cenderung memiliki angka kematian bayi yang rendah, angka melek huruf tinggi, dan pendapatan perkapita tinggi. Dengan kata lain, di negara yang penegakan aturan hukumnya tinggi, cenderung indeks kualitas pembangunan manusianya tinggi. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada negara yang penegakan hukumnya tinggi dapat menjamin alokasi sumberdaya pembangunan lebih tepat guna, kebocoran dana pembangunan dapat ditekan, sehingga lebih efektif mencapai sasaran hasil. Bagaimana korelasi diantara unsur-unsur tersebut? Untuk memahami korelasi ini perlu dimasukkan variabel antara, yaitu variabel pelayanan publik. Political and Economic Risk Concultancy PERC menempatkan Indonesia dalam peringkat yang paling rendah untuk kualitas Sumber Daya Manusia SDM, ketidakmapanan sistem hukum, dan untuk skor inkonsistensi kebijakan pemerintah hanya satu tingkat di atas Vietnam. 322 Ketidak mapanan sistem hukum inilah yang bisa menimbulkan masalah, dimana penerapan hukum yang sama bisa berubah-ubah tergantung waktu, tempat, dan aktor- aktor yang terlibat. Menurut Governance and Decentralization Suvey GDS 2002 citra penegakan hukum di Indonesia masih buruk, terutama kegagalan sistem hukum dalam menjamin kesamaan kedudukan di muka hukum. Berdasar survey ini ditemukan bahwa hakim dan jaksa pada umumnya mengakui bahwa status sosial ekonomi pelaku sangat mempengaruhi tindakan mereka dalam proses hukum. Hakim dalam menjatuhkan vonis dan jaksa dalam mengajukan tuntutan hukum sangat memperhatikan status sosial ekonomi pelakunya. 321 http:www.worldbank.orggovernance quality indicators.htm 322 Kompas, 7 Oktober 2001. 407 Kegagalan dalam menegakkan hukum secara adil dan konsisten ini mempermudah pemahaman mengapa praktek Korupsi Kolusi dan Nepotisme KKN dan money politics masih jauh dari jangkauan pengadilan. Korupsi Kolusi dan Nepotisme KKN dan money politics yang pada umumnya melibatkan para pemegang kekuasaan di kabupaten dan kota menjadi amat sulit untuk dibawa ke pengadilan. 323 Masalah Korupsi Kolusi dan Nepotisme KKN dan Money Politics menjadi salah satu penyebab buruknya pelayanan publik di Indonesia. Dengan kata lain, lemahnya penegakan hukum, dengan variabel antara Korupsi Kolusi dan Nepotisme KKN menjadi sebab buruknya pelayanan publik. Dari premis ini selanjutnya akan diuraikan dalam artikel ini tentang mengapa lemahnya penegakan hukum menyebabkan suburnya korupsi, dan bagaimana impaknya terhadap kualitas pelayanan publik. Dalam tulisan Wahyudi Kumorotomo 324 , Korupsi didefinisikan sebagai: Bentuk kejahatan yang tidak mengandung kekerasan non violance, melibatkan unsur-unsur muslihat guile, ketidak jujuran deceit dan menyembunyikan suatu kenyataan concealment. Pengertian yang di kemukakan oleh Wahyudi Kumorotomo tersebut, di dasarkan kepada pengertian yang telah diberikan oleh Waterburry, yang mendefenisikan bahwa korupsi dari sudut hukum kontemporer merupakan tingkah laku pejabat pemerintah yang melanggar batas-batas hukum, untuk mengurus kepentingan sendiri dan merugikan orang lain. Kemudian Carino, Ledivina, memberikan defenisi Korupsi dari segi pertimbangan consideration, bahwa korupsi sebagai suatu tindakan di mana kekerasan, bentuk penyimpangan 323 Dwiyanto, Agus, et all, Reformasi Tata pemerintahan dan Otonomi Daerah, ibid: 123. 324 Kumorotomo, Wahyudi, Lingkaran Kolusi dan Korupsi Dalam Proses Administrasi, Makalah pada Seminar Sehari Kolusi dan Korupsi dalam administrasi Negara, Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIP UGM, Yogyakarta, 20 Juli 1996. 408 peraturan formal lembaga publik, yang disebabkan oleh usaha untuk mencapai keuntungan pribadi 325 . Dalam definisi ini termuat sifat korupsi, yaitu penyimpanagan peraturan dan penyimpangan norma; tentang apa yang benar dan apa yang salah. Dengan demikian apakah suatu tindakan itu termasuk korupsi atau bukan, relatif, tergantung tata nilai masyarakat setempat. Disinilah peran moralitas mayarakat social morality menjadi pengontrol pertumbuhan korupsi itu sendiri. Sedang motiv korupsi adalah keuntungan pribadi. Menurut Rance P.L. Lee yang diasumsikan sebagai patokan umum untuk menilai apakah suatu perilaku dikategorikan korupsi atau tidak adalah aturan formal yang ada di daerah itu. 326 Jenis- jenis perilaku yang dapat dikonsepkan sebagai korupsi menurut Rance P.L. Lee adalah sebagai berikut: 1. Graft; Penggunaan secara ilegal sumber daya publik baik uang maupun fasilitas oleh seorang pejabat atau sekelompok pejabat. Jenis korupsi ini adalah tindakan individual, tidak melibatkan transaksi dengan klien. 2. Nepotism; Tindakan ilegal yang berdasarkan ikatan askriptif atau partikularistik seperti saudara, teman, sedaerah asal dll dalam merekrut sumber daya, promosi, atau alokasi pelayanan. Jenis ini melibatkan pihak klien. 3. Bribery; Pemberian uang atau barang berharga kepada seorang atau sekelompok orang pejabatbaik secara sukarela atau terpaksa guna mempengaruhi keputusan pihak pemegang kuasa suapaya menguntungkan pihak pemberi hadiah itu. Menurut dikotomi politik adaministrasi, jenis korupsi dibedakan: 327 1. Korupsi Politik adalah penyalah gunaan kekuasaan negara untuk ke-pentingan. Korupsi ini dilakukan dengan transaksi politik, dimana suatu 325 Carino Ledivina V., , Bureaucratic Coruption in Asia, College of Public Administration University of the Philippines, Manila. 1986, hlm: 45. 326 Carino Ledivina V., , Bureaucratic Coruption in Asia, College of Public Administration University of the Philippines Ibid: 47. 327 Subarsono, Timbulnya Korupsi Birokrasi di Negara Berkembang, Makalah pada Seminar Sehari Kolusi dan Korupsi dalam administrasi Negara, Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIP UGM, Yogyakarta, 20 Juli 1996. 409 kebijakan negara telah dijual dan dipertukarkan dengan kepentingan pribadi atau klik tertentu. 2. Korupsi birokrasi atau administrasi publik adalah perilaku menyimpang dari tugas-tugas formal yang dila- kukan oleh administrator publik karena alasan pribadi perso- nal, keluarga, kelompok untuk mem-peroleh status atau uang, atau melangar aturan-aturan yang berlaku karena alasan pribadi. Korupsi ini dilindungi oleh jaket birokrasi, melibatkan penentu kebijakan sebagai aktor transasksi dan melibatkan hak milik publik sebagai barang yang di-pertukarkan. Jadi korupsi adalah perbuatan yang melanggar etika, karena tindakan itu ada unsur penipuan, persekongkolan, ada unsur meru- gikan pihak lain, ketidak adilan, dan pelecehan hak orang lain. Ko- rupsi birokrastis berarti perbuatan me-langgar etika administrasi negara. Korupsi politik berarti melanggar etika politik. Termasuk jenis kejahatan korupsi dan merupakan saudara kembar adalah kolusi. Kolusi adalah perjanjian rahasia yang melibatkan dua orang atau lebih untuk melakukan tindakan curang yang menguntungkan kedua belah pihak, tetapi merugikan secara lembaga, negara, atau masyarakat luas. Berikut akan di jelaskan beberapa alasan mengapa pejabat daerah melakukan korupsi: 328 AKTOR ALASAN KORUPSI Ekonomi Sosial-budaya Politik dan hukum Moralitas Individu 1.Supaya ur- usannya lancar, 2. Supaya da- pat proyek 1. semangat ne- potisme; me- rasa harus berjasa kepada sanak kelu- arganya de- ngan memberi kesempatan is- timewa ke- pada mereka selagi punya kuasa. 2. Image untuk Hidup bergaya mewah, lebih 1.Tidak imbang sangsi de- ngan keun- tungan yang diperoleh jika korupsi 1. Rendahnya moralitas 2. Mental me- nerabas 328 Carino et all, 1986:29- , Mochtar mas oed, : -171, Syed Hussein Alatas, 1986:46. 410 dari peng- hasilannya sendiri Organisa si 1. Supaya da- pat pengha- silan tam- bahan 2. Supaya me- ndapat penghasi- lan lebih besar 1. Budaya patri- monial 2. Supaya dise- nangi atasan 1.Posisi do- minan biro- krasi sebagai penyedia uta- ma barang dan jasa, serta se- bagai pengatur ekonomi. 2. Dominasi ne- gara yang meng- kerdilkan kekuatan lain dalam masya- rakat. 3.Lemahnya hu- kum dan pe- ngawasan 4.Terlalu banyak red tape 5.Kurang cukup kontrol, stan- dar kinerja organisasi yang kurang eksplisit. 1. rendahnya moralitas dan komitmen moral pegawai masyara kat 1.Kemiskinan secara umum 2. keinginan untuk menda- patkan penawaran barang atau jasa yang diperlukan tetapi per- sediaan ter- batas. 1. Kesulitan temukan bukti korupsi di la- pangan, dan mapannya ko- rupsi di la- pangan. 2. Toleransi masayarakat terhadap ko- rupsi 1. Formalisme legal, standar peraturan yang tidak rea- listik. 2.Nilai-ni lai di- istime wakan yang menda- hului di orga- nisasi dan masyarakat secara kese- luruhan. 3.Kurangnya political will gerakan anti korupsi 1. Korupsi sudah dianggap barang bi- asa 411 Dari tabel diatas dapat terbaca dari alasan politik dan hukum, ketidak pastian penegakan hukum yang menjadi penyebab korupsi antara lain; 1. Ketidak imbangan sanksi hukum dibanding keuntungan yang dinikmati pelaku, 2. Lemahnya hukum dan pengawasan, 3. Formalisme legal, standar peraturan yang tidak realistik. Sementara itu dari kolom alasan sosial budaya dan moralitas dapat terbaca bahwa faktor pendukung korupsi tidak hanya bersifat individual, tetapi masyarakat sendiri secara bawah sadar mengijinkan korupsi itu terjadi. Dari data ini maka berarti perlu reformasi moralitas sosial supaya tidak kondusif bagi penyimpangan rule of law. Dari alasan-alasan korupsi diatas, tersirat pula akibat dari tindakan itu dalam konteks publik, yaitu adanya diskriminasi pelayanan publik. Karena hukum dan aturan yang ada tidak dapat menjamin adanya jaminan perlindungan dan kepastian keadilan kepada semua masyarakat untuk mendapatkan layanan yang adil tanpa pandang bulu. Isu pelayanan publik, termasuk isu yang kurang banyak diungkap media massa dibandingkan dengan isu-isu politik, meskipun pada tahun 2003 telah dicanangkan sebagai tahun pelayanan publik. Menurut temuan dari Government and Decentralization Survey 2002 kinerja pelayanan publik dari lembaga pemerintah belum menunjukkan hasil yang maksimal. 329 Dilihat dari indikator efisiensi dan efektivitas, responsivitas, kesamaan perlakuan dan besar kecilnya rente birokrasi ternyata pelayanan publik di indonesia jauh dari yang diharapkan. Dari indikator waktu, biaya, dan cara yang dipergunakan, pelayanan publik di Indonesia masih penuh dengan ketidak pastian. Dalam kaitannya dengan indikator-indikator ini di-temukan bahwa masyarakat peng-guna jasa pelayanan publik sering diminta membayar lebih mahal dari tarif resmi yang ditentukan oleh Peraturan Daerah sebagai produk hukum daerah. Masyarakat 329 Dwiyanto, Agus, et all, Reformasi Tata pemerintahan dan Otonomi Daerah, Cetakan pertama, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan-UGM: Yogyakarta, 2003, hlm: 24 – 25. 412 terpaksa membayar dan menerima kenyataan dibohongi karena tidak sesuai aturan karena tidak ada pilihan sumber layanan lain karena memang layanan tersebut ekslusif fungsi administrasi publik. Pungutan liar, suap, potongan, dan rente birokrasi lain masih marak dijumpai. Celakanya hal-hal korup tersebut dianggap wajar oleh masyarakat. Dari temuan bisa jadi mencerminkan bahwa standar moralitas masyarakat sudah ter-kooptasi dengan kejadian-kejadian ketipastian hukum dan aturan yang setiap hari mereka jumpai dalam layanan publik yang mereka terima. Temuan Government and Decentralization Survey juga menunjukan bahwa birokrasi pelayanan publik juga belum mampu memberikan layanan yang adil dan non partisan. Data menunjukkan bahwa hubungan pertemanan dan afiliasi politik masih sangat berpengaruh dalam penyelenggaraan pelayanan publik. 330 Sifat ini bertentangan dengan sifat hukum yang seharusnya adil dan tidak partisan. Government and Decentralization Survey mensurvey juga faktor-faktor yang bisa menjelaskan mengapa berbagai masalah muncul dalam pemberian layanan publik di Indonesia sehingga kualitasnya rendah. Salah satu faktor yang di-temukan oleh Government and Decentralization Survey adalah rendahnya kontrol publik terhadap praktek penyelenggaraan pelayanan publik. Salah satu buktinya adalah banyaknya masyarakat yang secara sengaja menerima berbagai penyimpangan yang terjadi dalam pelayanan publik melalui suap, pungli, dan sebagainya. Kesimpulan yang bisa dibuat dari temuan-temuan ini adalah bahwa penegakan aturan hukum dan moralitas, serta unsur politik masyarakat adalah tiga hal yang saling terkait. Pelaku pelanggaran hukum adalah anggota masyarakat, terjadi di setting masyarakat, dan korbannya adalah anggota masyarakat juga. Jadi yang bisa merubah situasi adalah masyarakat itu sendiri. Dalam konteks pelayanan publik, instrumen-instrumen pengawasan untuk penegakan aturan hukum tidak akan efektif jika moralitas masyarakat sendiri mentolerir adanya pelecehan otoritas aturan hukum. 330 Dwiyanto, Agus, et all, Reformasi Tata pemerintahan dan Otonomi Daerah. Ibid: 83. 413

8. Membudayakan Perilaku Anti Korupsi.