Dimensi Korupsi Di Daerah.

291

12. Dimensi Korupsi Di Daerah.

Korupsi terjadi tidak hanya di pusat tetapi juga di daerah. Akar dari penyebabnya adalah kolusi dari dua kepentingan yang saling bertemu dan bekerjasama dalam menggerogoti keuangan negara. Kedua kelompok kepentingan itu adalah, satu, penguasa negara, dan dua, pengusaha ekonomi, perdagangan dan industri. Kolusi antara kedua kelompok kepentingan ini, di Indonesia, tidak hanya sekarang saja, tetapi telah berjalan sejak berabad yang lalu, sejak masa pra-kolonial lagi, dan telah menjadi bahagian yang tak terpisahkan dari sejarah kekuasaan kerajaan-kerajaan di Nusantara ini, di mana penguasa negara menyerahkan urusan ekonomi dan perdagangan kepada pihak ketiga yang umumnya bukan pribumi. Hal ini terjadi terutama di daerah-daerah yang bercorak kerajaan yang bersifat absolut dan berorientasi sentripetal, yang dalam filosofi kenegaraannya menganggap bahwa kegiatan ekonomi dan perdagangan adalah sesuatu yang kasar dan tidak pantas dilakukan oleh pihak penguasa yang orientasi kehidupannya adalah pada sesuatu yang luhur, mistis dan halus. Dalam aura kekuasaan kratonan biasanya juga menyatu antara yang profan dan yang sakral, yang fungsinya bukan hanya sebagai ratu tetapi juga pendita . Konsep pandita-ratu inilah yang menyebabkan kekuasaan raja tanpa batas, yang selain memiliki kerajaan juga tanah dan harta kekayaan negara di samping juga rakyat yang diperlakukan sebagai kawula atau abdi negara. 226 Karenanya kolusi antara kedua kelompok kepentingan ini logis terjadi, di mana yang satu adalah pemegang kekuasaan politik yang pribumi dan yang satu lagi pemegang kekuasaan ekonomi yang non-pribumi khususnya Cina yang kedua kelompok bersangkutan bersifat saling membutuhkan dan karenanya saling bekerjasama. Daerah-daerah di mana masyarakat dan struktur sosialnya tidak beraja-raja dalam pengertian yang absolut dan sentripetal itu, tetapi tribal bersuku-suku, korupsi nyaris tidak dikenal. Kegiatan 226 Mochtar Naim, Korupsi di Daerah, Pengantar Workshop mengenai Sistem Integritas Publik dalam Tata Kelola Pemerintahan yang Baik, -8 Nov 2007, di Jayapura, Papua. 292 apapun dilakukan secara bersama-sama, dan tidak ada yang namanya milik sendiri tetapi milik bersama secara komunal. Yang ditekankan adalah kebersamaan, dan kebersamaan dalam keadilan. Dalam pembahagian dari hasil yang didapatkan yang ditekankan selalu adalah pada keadilan dalam kebersamaan itu. Namun karena sifatnya yang tribal bersuku-suku itu, kehidupan yang bersifat komunal dan egaliter itu hanya berlaku ke dalam sesama anggota suku, sementara keluar, apapun, dilihat sebagai ancaman. Perang suku, oleh karena itu, biasa terjadi, yang ketika benar-benar terjadi, diselesaikan secara adat melalui upacara-upacara yang bersifat ritualistik. Gejala korupsi yang dahulu terpusat di ibukota negara, Jakarta, sekarang menjalar ke ibukota-ibukota provinsi dan bahkan kabupaten dan kota, di seluruh Indonesia. Tak ada satu daerah di Indonesia ini yang bisa membusungkan dada bahwa mereka tak terkena oleh virus korupsi itu. Korupsi bagaikan virus telah menjalar ke seluruh batang tubuh negara ini, dan masuk ke dalam sistem, bahkan menjadi bahagian dari sistem itu sendiri. Daerah- daerah yang tadinya memiliki filosofi hidup dan sistem sosial yang egaliter, komunal dan bahkan demokratis, semua menjadi tak berdaya karena sistem yang berlaku bukan lagi yang muncul dari daerah itu sendiri tetapi tularan dari sistem yang datang dari pusat dan yang berlaku secara nasional. Gejala sosial korupsi merupakan masalah yang kompleks yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan manusia, seperti politik, ekonomi dan budaya. Korupsi dipandang sebagai penyakit sosial, mengingat dampak korupsi ini sangat merugikan masyarakat dan negara. Akan tetapi, sebagai penyakit sosial, permasalahannya tidak dapat disejajarkan dengan penyakit sosial lainnya seperti perjudian, prostitusi, narkotika dan kriminalitas. Berbeda halnya dengan penyakit sosial lainnya, korupsi merupakan penyakit sosial yang dengan mudah menular sebagai penyakit endemi. Negara-negara yang sedang berkembang pada umumnya, termasuk Indonesia, korupsi digambarkan seolah-olah sebagai penyakit sosial yang menyebar luas dimana-mana sehingga timbul anggapan telah membudaya. 293 Negarawan dan mantan Wakil Presiden dan Perdana Menteri, Almarhum Drs. Mohammad Hatta, yang dikenal menentang korupsi menulis pada tahun lima puluhan, bahwa korupsi telah meresap kesegenap lapisan masyarakat Indonesia, menjangkiti berbagai Departemen Pemerintah. Para karyawan dan pegawai pemerintah yang upah dan gajinya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari diperas oleh anasir-anasir yang korup. Para pengusaha yang masih memegang moralitas ekonomi terdesak kebelakang. Penyuapan dan intrik makin lama makin umum dilakukan orang, dengan akibat buruk bagi masyarakat dan negara kita. Setiap tahun pemerintah dirugikan ratusan juta rupiah karena tidak dibayarnya cukai dan pajak sebagai akibat pemalsuan dan penyelundupan baik yang ilegal maupun yang legal. 227 Indonesia dari waktu ke waktu terkenal dengan tingkat korupsi yang tinggi. Pada tahun 1998, siaran Pers Transparansi Internasional, sebuah organisasi internasional anti korupsi yang bermarkas di Berlin, melaporkan, Indonesia merupakan negara korup ke enam terbesar didunia setelah lima negara gurem yang lainnya, yakni Kamerun, Paraguay, Honduras, Tanzania dan Nigeria. Tiga tahun kemudian, pada tahun 2001, Transparansi Internasional telah memasukkan Indonesia sebagai bangsa yang terkorup nomor empat di muka bumi. Sebuah identifikasi yang membuat bangsa kita tidak lagi punya hak untuk berjalan tanpa harus menunduk malu. Pada tahun 2002, hasil survey Political And Economic Risk Consultancy PERC yang bermarkas di Hongkong, menempatkan Indonesia sebagai negara terkorupsi di Asia, dikuntit oleh India dan Vietnam. 228 Hasil survey yang dilakukan Political And Economic Risk Consultancy PERC atas 100 pengusaha ekpatriat yang bekerja di 12 negara di Asia, Indonesia dinyatakan sebagai negara yang paling korup di Asia dengan nilai 9,92 dengan demikian berarti, hanya tinggal menambah nilai 0,08 lagi, maka skor itu akan mencapai tingkat sempurna 10. Padahal pada tahun 1996, Indonesia dinyatakan sebagai negara ketiga terkorup di antara 12 negara di 227 Alatas, Syed Hussein, 1981. Sosiologi Korupsi Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer, Jakarta, LP3ES, hlm: 117. 228 www.Majelis Mujahidin.Or.Id. 294 Asia dibawah China dan Vietnam. Menyikapi hasil survey PERC tersebut tak salah jika Sjahrir menganologkan korupsi di Indonesia saat sekarang ini seperti penyakit kanker pada stadium yang tidak bisa lagi disembuhkan, kanker terminal, sehingga kita tinggal menunggu matinya sang penderita yaitu Republik Indonesia. Dari laporan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi KPK dapat diketahui posisi Indonesia dalam prestasi sebagai negara terkorup memperoleh indeks persepsi 2,0 dari skala 10 dan ini membuktikan betapa memprihatinkannya kondisi Indonesia dalam masalah korupsi. Survey Nasional Korupsi yang dilakukan oleh Partnership For Governance reform melaporkan bahwa hampir setengah 48 dari pejabat pemerintahan diperkirakan menerima pembayaran tak resmi. Artinya, setengah dari pejabat birokrasi melakukan praktek korupsi uang. Belum lagi terhitung korupsi dalam bentuk penggunaan waktu kerja yang tidak semestinya, pemanfaatan fasilitas dalam bentuk penggunaan waktu kerja yang tidak semestinya, pemanfaatan fasilitas negara untuk kepentingan selain itu. Maka hanya tinggal segelintir kecil saja aparat birokrasi yang mempertahankan kesucian dirinya, di lingkungan yang demikian kotor. Dengan begitu ketetapan MPR No. IXMPR1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme KKN, hanya manis dimulut tanpa polical will yang memadai. Wacana yang muncul dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, menunjukkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten dan Kota di era otonomi daerah diwarnai dengan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme KKN dihampir setiap bidang dan tingkat pemerintahan. Perilaku korupsi telah menjadi rahasia umum dan terjadi hampir pada setiap jenjang pemerintahan kabupaten atau kota pada berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan politik warga masyarakat. Fenomena meningkatnya kasus korupsi misalnya : 1. Kasus korupsi di lembaga legislatif Jawa Barat ditambah kasus yang sama di lingkungan eksekutif. 295 2. Hampir seluruh anggota DPR di kota Padang telah divonis pengadilan karena terbukti melakukan tindak pindana korupsi dengan menyalahgunakan uang APBN 2004. 3. Kasus korupsi Gubernur Nangroe Aceh Darussalam 2005. 4. Kasus korupsi di Banyumas 2005. 5. Kasus korupsi anggota DPRD kota Surakarta 2005. 6. Beberapa kasus korupsi yang hingga kini perkembangannya tidak jelas dan telah melalui penyelidikan dan penyidikan lebih dari dua tahun seperti : a Kasus dugaan korupsi buku ajar Kabupaten Pemalang senilai Rp. 26 milyar b Kasus renovasi rumah Dinas Bupati Kudus Rp. 1.9 milyar. c Kasus pengadaan buku di Kabupaten Wonosobo Rp. 5,7 milyar. d Kasus korupsi Bupati Kendal 2007 e Kasus dugaan korupsi beasiswa Walikota Semarang 2003 oleh anggota DPRD Kota Semarang 2007 f Kasus Korupsi APBD sebesar Rp 5.6 milyar yang dilakukan oleh tujuh anggota. DPRD Kabupaten Rembang periode 1999-2004 2007 7. Kejadian serupa dengan mudah dijumpai di banyak kabupaten dan kota lainnya. Sejak konsep otonomi daerah otda yang diarsiteki oleh Prof. Dr. Ryaas Rasyid digulirkan, kemudian muncul semacam euforia pada orang daerah. Para pemimpin kabupaten dan kota ibaratnya seperti kuda lepas kandang. Mereka pun diibaratkan sebagai raja-raja kecil yang tak lagi tunduk kepada gubernur atau bahkan pemerintah pusat seperti pada masa-masa sebelumnya. Sedangkan aparat anggota legislatif yang tak lagi sekadar stempel legalitas pemilikan pimpinan daerah, taringnya menjadi begitu tajam mengontrol eksekutif sekaligus tajam juga menggerogoti anggarannya. Perilaku korupsi dalam penyelenggaraan pemerintah cukup mudah ditemukan di berbagai kegiatan pemerintahan, seperti dalam rekrutmen pegawai, tender proyek, penyusunan perda dan penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBD. Dalam era otonomi daerah, aparat pemerintah kabupaten atau kota cenderung mendominasi sumber-sumber kekuasaan sehingga masyarakat sipil tidak mampu mengontrol jalannya penyelenggaraan pemerintahan. Akibatnya, keempat kegiatan 296 pemerintahan tersebut cenderung menjadi arena Korupsi Kolusi Nepostisme KKN dan bagi-bagi rezeki antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD dan pejabat eksekutif. Tidak dapat dipungkiri jika kemudian muncul penilaian bahwa instansi pemerintah merupakan sarang Korupsi Kolusi Nepostisme KKN karena di dalamnya terdapat tarik menarik berbagai kepentingan antara pihak eksekutif dengan pihak legislatif. Dalam kasus tender proyek, terkenal ungkapan bahwa proses tender telah selesai sebelum tender dimulai. Temuan Governance and Decentralization Survey GDS 2002 yang telah melakukan survei di 150 kabupaten dan kota di Indonesia yang dipilih secara random menunjukkan bahwa tender proyek menempati posisi tertinggi dalam penilaian LSM dan media massa, yang terkait dengan perilaku Korupsi Kolusi Nepostisme KKN. Pada hampir semua kabupaten atau kota berdasarkan berbagai pola pembagian wilayah analisis, Korupsi Kolusi Nepostisme KKN pada tender proyek menempati posisi tertinggi lebih 60 persen kemudian menyusul pada rekrutmen pegawai pada kisaran 50 persen, penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBD. pada kisaran 40 persen dan penyusunan perda pada kisaran 30 persen. Seperti halnya pada perilaku Korupsi Kolusi Nepostisme KKN di instansi pemerintah. Perilaku Korupsi Kolusi Nepostisme KKN dalam penyelenggaraan khususnya tender proyek, juga lebih banyak terjadi di wilayah kota dan barat Indonesia. Sementara itu perilaku politik uang terjadi hampir di semua kegiatan politik, utamanya dalam pemilihan pejabat publik. Politik Uang juga sering terjadi dalam penilaian laporan pertanggungjawaban LPJ bupati atau walikota, pembuatan perda, dan penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBD. Governance and Decentralization Survey GDS pada tahun 2002 juga menemukan bahwa pelaku Korupsi Kolusi Nepostisme KKN cenderung semakin meluas dan melibatkan pelaku yang dulu diharapkan menjadi agen reformasi, seperti aktivitas partai politik, 297 wartawan atau aktivitas Lembaga Swadaya Masyarakat LSM. 229 Dalam praktik suap, muncullah pelaku baru menunjukkan bahwa reformasi politik yang selama ini dilakukan belum mampu menghasilkan tata pemerintah yang baik. Pelaksanaan otonomi daerah yang berhasil mendekatkan praktik pemerintahan dengan warganya juga gagal membuat warga mampu mengontrol secara efektif jalannya pemerintahan. Perilaku Korupsi Kolusi Nepostisme KKN masih terus terjadi, bahkan berhasil merekrut pelaku-pelaku di luar pemerintah. Temuan ini tentu sangat memprihatinkan dan menunjukkan terjadinya langkah mundur dalam pemberantasan Korupsi Kolusi Nepostisme KKN. Survei Governance and Decentralization Survey GDS pada tahun 2002 menunjukkan bahwa faktor penyebab terjadinya perilaku Korupsi Kolusi Nepostisme KKN pada dasarnya dikarenakan tidak adanya penegakan hukum yang jelas serta rendahnya transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Penegakan hukum yang setengah hati menyebabkan perangkat hukum ibarat macan kertas , sedangkan tidak adanya transparansi membuat masyarakat sipil gagal menjalankan peran kontrolnya secara efektif. Banyak kasus Korupsi Kolusi Nepostisme KKN yang tidak diselesaikan di pengadilan dan masyarakat sipil tidak mampu menciptakan tekanan agar kasus Korupsi Kolusi Nepostisme KKN dibawa ke pengadilan dan pelakunya diadili secara terbuka, jujur dan adil. Pada hakim dan jaksa, bahkan mengakui mereka mengalami kesulitan dalam menciptakan kebersamaan di muka hukum. Status sosial ekonomi dari mereka yang terlibat dalam kasus Korupsi Kolusi Nepostisme KKN menjadi pertimbangan penting dalam penyelesaian kasus Korupsi Kolusi Nepostisme KKN . Oleh karenanya, tidak mengherankan jika mereka mengalami kesulitan dalam membawa kasus Korupsi Kolusi Nepostisme KKN ke pengadilan. Dengan kondisi tersebut, dapat dimengerti apabila kemudian praktik Korupsi Kolusi Nepostisme KKN cenderung meluas. 229 Dwiyanto, Agus, dkk. Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada, 2003, hlm: 143. 298 M. Pengawasan Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah. 1. Hakekat Pengawasan. Pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai. melalui pengawasan diharapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan secara efektif dan efisien. Bahkan, melalui pengawasan tercipta suatu aktivitas yang berkaitan erat dengan penentuan atau evaluasi mengenai sejauhmana pelaksanaan kerja sudah dilaksanakan. Pengawasan juga dapat mendeteksi sejauhmana kebijakan pimpinan dijalankan dan sampai sejauhmana penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kerja tersebut. Konsep pengawasan demikian sebenarnya menunjukkan pengawasan merupakan bagian dari fungsi manajemen, di mana pengawasan dianggap sebagai bentuk pemeriksaan atau pengontrolan dari pihak yang lebih atas kepada pihak di bawahnya. Dalam ilmu manajemen, pengawasan ditempatkan sebagai tahapan terakhir dari fungsi manajemen. Dari segi manajerial, pengawasan mengandung makna pula sebagai: Pengamatan atas pelaksanaan seluruh kegiatan unit organisasi yang diperiksa untuk menjamin agar seluruh pekerjaan yang sedang dilaksanakan sesuai dengan rencana dan peraturan. Atau Suatu usaha agar suatu pekerjaan dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan, dan dengan adanya pengawasan dapat memperkecil timbulnya hambatan, sedangkan hambatan yang telah terjadi dapat segera 299 diketahui yang kemudian dapat dilakukan tindakan perbaikannya. Sementara itu, dari segi hukum administrasi negara, pengawasan dimaknai sebagai Proses kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, atau diperintahkan. Hasil pengawasan ini harus dapat menunjukkan sampai di mana terdapat kecocokan dan ketidakcocokan dan menemukan penyebab ketidakcocokan yang muncul. Dalam konteks membangun manajemen pemerintahan publik yang bercirikan good governance tata kelola pemerintahan yang baik, pengawasan merupakan aspek penting untuk menjaga fungsi pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya. Dalam konteks ini, pengawasan menjadi sama pentingnya dengan penerapan good governance itu sendiri. Dalam kaitannya dengan akuntabilitas publik, pengawasan merupakan salah satu cara untuk membangun dan menjaga legitimasi warga masyarakat terhadap kinerja pemerintahan dengan menciptakan suatu sistem pengawasan yang efektif, baik pengawasan intern internal control maupun pengawasan ekstern external control. Di samping mendorong adanya pengawasan masyarakat social control. Sasaran pengawasan adalah temuan yang menyatakan terjadinya penyimpangan atas rencana atau target. Sementara itu, tindakan yang dapat dilakukan adalah: 1. mengarahkan atau merekomendasikan perbaikan; 2. menyarankan agar ditekan adanya pemborosan; 3. mengoptimalkan pekerjaan untuk mencapai sasaran rencana. Pengawasan intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh orang atau badan yang ada di dalam lingkungan unit organisasi yang bersangkutan. Pengawasan dalam bentuk ini dapat dilakukan dengan cara pengawasan atasan langsung atau pengawasan melekat built in control atau pengawasan yang dilakukan secara 300 rutin oleh inspektorat jenderal pada setiap departemen dan inspektorat wilayah untuk setiap daerah yang ada di Indonesia, dengan menempatkannya di bawah pengawasan Departemen Dalam Negeri. Sejak 1988-1998, pengawasan intern dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Ekuin dan Pengawasan Pembangunan Menko Ekuin dan Wasbang. 230 Selain itu juga terdapat Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan BPKP yang merupakan pelaksana teknis operasional pengawasan, dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 31 tahun 1983. Dalam kaitannya dengan keuangan negara, pengawasan ditujukan untuk menghindari terjadinya korupsi, penyelewengan, dan pemborosan anggaran negara yang tertuju pada aparatur atau pegawai negeri. Dengan dijalankannya pengawasan tersebut diharapkan pengelolaan dan pertanggungjawaban anggaran negara dapat berjalan sebagaimana direncanakan. Dalam aspek pengawasan keuangan negara, DPR mempunyai kepentingan kuat untuk melakukan pengawasan terhadapnya. al demikian disebabkan uang yang digunakan membiayai kegiatan- kegiatan negara adalah diperoleh dari rakyat. Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan: Oleh karena penetapan belanja mengenai hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri, maka segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat, sebagai pajak dan lain- lainnya, harus ditetapkan dengan undang-undang, yaitu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat DPR terhadap anggaran negara yang diajukan pemerintah sebenarnya mempunyai makna pengawasan pula. Hal demikian disebabkan persetujuan yang diberikan Dewan Perwakilan Rakyat DPR bukan berarti membebaskan pemerintah melakukan segala aktivitas yang berkaitan dengan anggaran negara. Adanya pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran negara sebenarnya 230 Koordinasi pengawasan pada Kabinet Pembangunan VII Maret-Mei 1998 dan kabinet Reformasi Pembangunan Mei 1998-Oktober 1999, diserahkan kepada Menteri koordinator yang khusus menangani pengawasan pembangunan dan aparatur negara, yaitu Menko Wasbang dan PAN. 301 diarahkan kemudian pada upaya, menindaklanjuti hasil pengawasan, sehingga ada sanksi hukum. Sementara itu, pengawasan eksternal dimaksudkan sebagai pengawasan yang dilakukan oleh orang atau badan yang ada di luar lingkungan unit organisasi yang bersangkutan. 231 Pengawasan dalam bentuk ini dilakukan oleh suatu badan yang ditetapkan oleh pasal 23 ayat 5 UUD 1945, yang menyatakan, Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Adanya lembaga ini dimaksudkan agar pengawasan terhadap keuangan negara dapat berjalan secara obyektif dan konsekuen, tanpa adanya pengaruh dari manapun. Dalam menjalankan fungsinya Badan Pengawas Keuangan BPK, dapat menjalin kerja sama dengan aparat pengawasan intern pemerintah dengan maksud agar terwujud suatu penilaian yang obyektif, sehingga hasil pemeriksaannya dapat diterima oleh semua pihak. 232 Konsekuensinya, Badan Pengawas Keuangan BPK, dapat memberikan menguji hasil pemeriksaan yang dilakukan aparat pengawasan intern pemerintah, untuk kemudian disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat DPR. Adapun maksud pemeriksaan diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat DPR disebabkan Dewan Perwakilan Rakyat DPR yang memberikan delegasi kepada pemerintah untuk menjalankan undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN. Dengan demikian, tepat sekiranya pengawasan yang dilaksanakan oleh Badan Pengawas Keuangan BPK merupakan, pengawasan ekstern, sehingga faktor obyektivitasnya yang merupakan salah satu norma dari pemeriksaan dapat terjamin. 233 Sementara itu, pengawasan preventif lebih dimaksudkan sebagai, pengawasan yang dilakukan terhadap suatu kegiatan sebelum kegiatan itu dilaksanakan, sehingga dapat mencegah 231 Sumosudirjo, Op.cit., hal. 216. 232 Sekretariat Jenderal BPK, Op.cit., hal. 88. 233 Sumosudirjo, Op.cit., hal. 218. 302 terjadinya penyimpangan. 234 Lazimnya, pengawasan ini dilakukan pemerintah dengan maksud untuk menghindari adanya penyimpangan pelaksanaan keuangan negara yang akan membebankan dan merugikan negara lebih besar. Di sisi lain, pengawasan ini juga dimaksudkan agar sistem pelaksanaan anggaran dapat berjalan sebagaimana yang dikehendaki. Pengawasan preventif akan lebih bermanfaat dan bermakna jika dilakukan oleh atasan langsung, sehingga penyimpangan yang kemungkinan dilakukan akan terdeteksi lebih awal. Di sisi lain, pengawasan represif adalah pengawasan yang dilakukan terhadap suatu kegiatan setelah kegiatan itu dilakukan. Pengawasan keuangan model ini lazimnya dilakukan pada akhir tahun anggaran, di mana anggaran yang telah ditentukan kemudian disampaikan laporannya. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan dan pengawasannya untuk mengetahui kemungkinan terjadinya penyimpangan. Selain itu, pengawasan dekat aktif dilakukan sebagai bentuk pengawasan yang dilaksanakan di tempat kegiatan yang bersangkutan. Hal ini berbeda dengan pengawasan jauh pasif yang melakukan pengawasan melalui penelitian dan pengujian terhadap surat-surat pertanggungjawaban yang disertai dengan bukti-bukti penerimaan dan pengeluaran. Di sisi lain, pengawasan berdasarkan pemeriksaan kebenaran formil menurut hak rechmatigheid adalah pemeriksaan terhadap pengeluaran apakah telah sesuai dengan peraturan, tidak kadaluarsa, dan hak itu terbukti kebenarannya. Sementara, hak berdasarkan pemeriksaan kebenaran materil mengenai maksud tujuan pengeluaran doelmatigheid adalah pemeriksaan terhadap pengeluaran apakah telah memenuhi prinsip ekonomi, yaitu pengeluaran tersebut diperlukan dan beban biaya yang serendah mungkin. Pengawasan intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh unit pengawas intern organisasi yang diawasi di mana tugasnya adalah membantu fungsi pengawasan pimpinan organisasi serta membantu menyusun laporan pelaksanaan kegiatan organisasi. Pengawasan ini lazimnya dilakukan instansi pemerintahan dengan membentuk suatu organisasi khusus yang menangani secara menyeluruh pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran negara. 234 Sumosudirjo, Ibid., hal. 216. 303 Konsep pengawasan ini dibutuhkan dengan maksud agar penyimpangan pelaksanaan anggaran lebih cepat diatasi oleh unit intern yang dekat dengan organisasi tersebut. Di dalam organisasi pemerintahan negara, Presiden yang dibentuk kabinet menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan undang-undang. Salah satu pelaksanaan pemerintahan tersebut adalah melaksanakan undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN, yang secara terpusat dan terintegrasi dilakukan oleh Departemen Keuangan. Guna menjalankan pengawasan terhadap keuangan negara yang dilakukan pemerintah, dibentuk suatu badan yang khusus melakukan pengawasan, yaitu Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan BPKP berdasarkan Keputusan Presiden Nomor. 31 tahun 1984 tentang Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan BPKP. Selain itu, di dalam pemerintahan juga dibentuk berbagai aparat pengawasan fungsional pemerintah, baik di pusat seperti inspektorat jenderal pembangunan, inspektorat jenderal departemenunit pengawasan lembaga. Juga, pengawasan fungsional pemerintahan di tingkat daerah seperti inspektorat wilayah. 235 Pengawasan ekstern adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh unit pengawasan yang berada di luar unit organisasi yang diawasi. Dalam hal ini di Indonesia adalah Badan Pemeriksa Keuangan BPK, yang merupakan lembaga tinggi negara yang terlepas dari pengaruh kekuasaan manapun. Dalam menjalankan tugasnya, BPK tidak mengabaikan hasil laporan pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah, sehingga sudah sepantasnya di antara keduanya perlu terwujud harmonisasi dalam proses pengawasan keuangan negara. Proses harmonisasi demikian tidak mengurangi independensi Badan Pemeriksa Keuangan BPK untuk tidak memihak dan menilai secara obyektif aktivitas pemerintah. Dalam menjalankan tugas pengawasan keuangan negara, beberapa pandangan dikemukakan bahwa Badan Pemeriksa 235 Mengenai penyebutan tingkat I dan tingkat II sejalan dengan dibentuknya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, istilah tersebut dihapuskan. Dengan demikian, nama inspektorat wilayah daerah tingkat I dan tingkat II menjadi inspektorat daerah propinsi dan inspektorat daerah kabupatenkotamadya. 304 Keuangan BPK tidak selayaknya melakukan kontrol atas semua bentuk keuangan negara, termasuk di dalamnya kekayaan negara. Akan lebih bermakna jika Badan Pemeriksa Keuangan BPK melakukan fungsi pengawasan keuangan yang bersifat makro strategis yang mempunyai dampak sosial ekonomis yang luas. Konsekuensinya, Badan Pemeriksa Keuangan BPK tidak perlu bersusah payah melakukan pengawasan keuangan negara dengan rentang yang tidak terbatas. Akan tetapi, cukup pada pengujian atas hasil pemeriksaan keuangan yang dilakukan aparat intern pengawas pemerintah dan pengawasan terhadap pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN. Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan BPK yang diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat DPR, sebenarnya mengandung makna yuridis yang kurang tegas dipandang dari pemakaian istilahnya. Dengan demikian, perlu ada perubahan kata diberitahukan menjadi dilaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat DPR. Hal demikian juga akan membawa dampak psikologis kepada Dewan Perwakilan Rakyat DPR. untuk segera menindaklanjuti temuan pemeriksaan dan pengawasan Badan Pemeriksa Keuangan BPK sehingga dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Pelaksanaan tindak lanjut ini dilakukan secepat mungkin untuk menyelesaikan masalah dan mencegah penyimpangan yang akan merugikan posisi keuangan negara. Apabila dalam temuan pemeriksaan terdapat indikasi terjadinya penyelewengan, laporan tersebut dapat disampaikan kepada Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti sesuai dengan prosedur hukum.

2. Pengawasan Dalam Pemerintahan Daerah.