279
1. Adanya kesempatan bagi oknum-oknum di pemerintah daerah untuk melakukan tindakan yang dapat merugikan Negara dan
rakyat seperti korupsi, kolusi dan nepotisme; 2. Selain itu terkadang ada kebijakan-kebijakan daerah yang tidak
sesuai dengan konstitusi Negara yang dapat menimbulkan pertentangan antar daerah satu dengan daerah tetangganya,
atau bahkan daerah dengan Negara, seperti contoh pelaksanaan Undang-undang Anti Pornografi di tingkat daerah.
Hal tersebut dikarenakan dengan system otonomi daerah maka pemerintah pusat akan lebih susah mengawasi jalannya
pemerintahan di daerah, selain itu karena memang dengan sistem.otonomi daerah membuat peranan pemeritah pusat
tidak begitu berarti;
3. Otonomi daerah juga menimbulkan persaingan antar daerah yang terkadang dapat memicu perpecahan. Contohnya jika
suatu daerah sedang mengadakan promosi pariwisata, maka daerah lain akan ikut melakukan hal yang sama seakan timbul
persaingan bisnis antar daerah. Selain itu otonomi daerah membuat kesenjangan ekonomi yang terlampau jauh antar
daerah;
4. Daerah yang kaya akan semakin gencar melakukan pembangunan sedangkan daerah pendapatannya kurang akan
tetap begitu-begitu saja tanpa ada pembangunan. Hal ini sudah sangat mengkhawatirkan karena ini sudah melanggar pancasila
sila ke-lima, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
9. Perluasan Makna Korupsi.
Fenomena lain yang sejak lama menjadi kekhawatiran banyak kalangan berkaitan dengan implementasi otonomi daerah
adalah bergesernya praktik korupsi dari pusat ke daerah. Sinyalemen ini menjadi semakin beralasan ketika terbukti bahwa
banyak pejabat publik yang masih mempunyai kebiasaan menghambur-hamburkan uang rakyat untuk piknik ke luar negeri
dengan alasan studi banding. Juga, mulai terdengar bagaimana anggota legislatif mulai menggunakan kekuasaannya atas eksekutif
untuk menyetujui anggaran rutin Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD yang jauh lebih besar dari pada sebelumnya.
Sumber praktik korupsi lain yang masih berlangsung terjadi pada proses pengadaan barang dan jasa daerah procurement.
Seringkali terjadi harga sebuah item barang dianggarkan jauh lebih besar dari harga pasar. Kolusi antara bagian pengadaan dan
280
rekanan sudah menjadi hal yang jamak. Pemberian fasilitas yang berlebihan kepada pejabat daerah juga merupakan bukti
ketidakarifan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah. Hibah dari pihak ketiga kepada pejabat daerah sudah
menjadi hal biasa yang tidak pernah diributkan dari dulu. Kalau dicermati dan dinalar, berapa kenaikan kekayaan pejabat daerah
setelah mereka menjabat posisi tertentu? Seberapa drastis perubahan gaya hidup para pejabat publik itu?.
Pada intinya, dua dampak negatif tersebut seterusnya akan menjadi
persoalan tersendiri,
terlepas dari
keberhasilan implementasi otonomi daerah. Pilihan kebijakan yang tidak populer
melalui intensifikasi pajak dan perilaku koruptif pejabat daerah sebenarnya sudah ada sejak lama dan akan terus berlangsung. Jika
kini keduanya baru muncul dipermukaan sekarang, tidak lain karena momentum otonomi daerah memang memungkinkan untuk
itu. Otonomi telah menciptakan kesempatan untuk mengeksploitasi potensi daerah dan sekaligus memberi peluang bagi para pahlawan
baru menganggap dirinya telah berjasa di era reformasi untuk bertindak sewenang-wenang.
Untuk menyiasati beratnya beban anggaran, pemerintah daerah semestinya bisa menempuh jalan alternatif, selain
intensifikasi pungutan yang cenderung membebani rakyat dan menjadi disinsentif bagi perekonomian daerah, yakni dengan
efisiensi anggaran, dan serta revitalisasi perusahaan daerah. Penulis sepenuhnya yakin bahwa banyak pemerintah daerah
mengetahui alternatif ini. Akan tetapi, jika keduanya bukan menjadi prioritas pilihan kebijakan maka pemerintah pasti punya alasan
lain. Dugaan penulis adalah bahwa pemerintah daerah itu malas. Pemerintah tidak mempunyai keinginan kuat strong will untuk
melakukan efisiensi anggaran karena upaya ini tidak gampang. Di samping itu, ada keengganan inertia untuk berubah dari perilaku
boros menjadi hemat.
214
Upaya revitalisasi
perusahaan daerah
pun kurang
mendapatkan porsi yang memadai karena kurangnya sifat
214
Interpretasi ini adalah sebagai hasil dari pengamatan penulis pada waktu melakukan penelitian lapangan di Kabupaten Majalengka, Indramayu, serta Cirebon,
pada tanggal 11 Juli 2012.
281
kewirausahaan pemerintah. Sudah menjadi hakekatnya bahwa pemerintah cenderung melakukan kegiatan atas dasar kekuatan
paksa hukum, dan tidak berdasarkan prinsip-prinsip pasar, sehingga ketika dihadapkan pada situasi yang bermuatan bisnis,
pemerintah tidak bisa menjalankannya dengan baik. Salah satu cara untuk mengatasi hal ini pemerintah daerah bisa menempuh jalan
dengan menyerahkan pengelolaan perusahaan daerah kepada swasta melalui privatisasi.
Dalam kaitannya dengan persoalan korupsi, keterlibatan masyarakat dalam pengawasan terhadap pemerintah daerah juga
perlu diupayakan. Penulis mempunyai hipotesis bahwa pemerintah daerah atau pejabat publik lainnya, termasuk legislatif, pada
dasarnya kurang bisa dipercaya, lebih-lebih untuk urusan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah. Tidak pernah
sekalipun terdengar ada institusi pemerintahan, termasuk di daerah yang terbebas dari penyalahgunaan uang rakyat.
Masyarakat harus turut aktif dalam menangkal perilaku korupsi di kalangan pejabat publik, yang jumlahnya hanya segelintir
dibandingkan dengan jumlah rakyat pembayar pajak yang diwakilinya. Rakyat boleh menarik mandat jika wakil rakyat justru
bertindak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan mengkhianati nurani keadilan masyarakat.
10. Menggali Akar Fundamental Terjadinya