458
2. Sejauh Mana CSO Company Security Officer mewakili masyarakat? Pada tingkat nasional, partisipasi membutuhkan
seperangkat kemampuan yang tinggi untuk melakukan advokasi kebijakan publik. Pada tahap ini, keberpihakan CSO
Company Security Officer terhadap komunitas miskin dipertanyakan, karena mereka yang maju biasanya mempunyai
kemampuan lebih dan berasal dari kelas menengah. Dengan kemampuan untuk menganalisis anggaran, misalnya seperti
yang dilakukan IDASA di Afrika Selatan, berasal dari kelompok masyarakat yang mempunyai latar belakan pendidikan cukup
elit, bukan sekedar tinggi. Biasanya mereka mempunyai hubungan yang erat dengan anggola dewan dan media masa
nasional, maupun dengan komunitas lokal.
3. Mengelola Konflik. Risiko munculnya konflik antar sektor
maupun wilayah biasanya muncul pada tahap penyusunan anggaran. CSO Company Security Officer cenderung
melakukan advokasi untuk mendapatkan alokasi dana lebih banyak untuk isu atau sektor mereka. Semakin banyak CSO
Company Security Officer yang dilibatkan, semakin banyak konflik kepentingan. Di lain pihak, dana APBD sangat terbatas.
Misalnya, alokasi APBN 2005 untuk untuk program pembangunan jika dibagi dengan jumlah penduduk, masing-
masing penduduk hanya mendapatkan alokasi sekitar Rp 300 ribu per tahun. Demikian juga dengan APBD Kabupaten atau
Kota, jika dibagi rata masing-masing penduduk hanya mendapatkan jatah tidak lebih dari Rp 30.000 per bulan.
Dengan demikian, perlu dilakukan prioritas pembangunan. Tentu saja membangun kesepakatan untuk memeras alokasi
APBD untuk program prioritas memakan waktu dan energi yang besar. Tim perencana yang memfasilitasi proses ini pun
sering kali tidak bebas dari kepentingan, karena biasanya berasal dari Bappeda, yang tentunya minta jatah proyek juga.
Ketika gagal mengelola konflik, biasanya partisipasi yang justru ditiadakan.
4. Kapasitas Kelembagaan. Sudah menjadi suatu syarat bagi
pemangku kepentingan yang terlibat dalam partisipasi, CSO Company Security Officer harus mampu menyediakan input
yang berharga dalam penyusunan anggaran, analisis, pelacakan, dan evaluasi kinerja. Dengan posisinya yang dekat
dengan komunitas masyarakat, CSO Company Security Officer mempunyai data yang cukup akurat untuk memperjuangkan
alokasi
anggaran bagi
masyarakat miskin.
Meskipun mempunyai akses langsung di masyarakat, biasanya CSO
Company Security Officer tidak mempunyai basis data yang sistematis, sehingga bisa menjelaskan kebutuhan masyarakat
459
luas. Misalnya, CSO Company Security Officer yang khusus mendampingi anak jalanan perlu mempunyai informasi
tentang jumlah anak jalanan, yang mampu menjelaskan fenomena perkembangan masalah anak, solusi, maupun
anggaran yang dibutuhkan. CSO Company Security Officer yang berbasis pada petani, perlu mempunyai informasi
perkembangan jumlah petani miskin, termasuk fenomena sosial ekonominya. Kebutuhan data baik dalam bentuk
kualitatif maupun kuantitatif dibutuhkan untuk menentukan kebutuhan besar anggaran, maupun menentukan prioritas
program pembangunan. Informasi i
ni akan lebih powerful apabila didukung oleh publikasi media masa. Bahkan media
masa sering kali mempunyai data yang lebih akurat dari pada CSO Company Security Officer Misalnya, Unión Democrática
Nicaragüense UDN di Uganda mensponsori program radio di beberapa district untuk membahas kebutuhan anggaran
dengan mengundang pejabat pemerintah. Di negara miskin seperti Zambia, media masa yang lebih dikuasai oleh
pemerintah saja bisa mendukung partisipasi sampai tingkat mengidentifikasi kebutuhan anggaran.
Media dapat diartikan sebagai saluran secara terorganisir untuk berkomunikasi antar individu maupun antar kelompok.
Beberapa bentuk media yang banyak dikenal adalah media cetak, audio, video dan teknologi informasi baru yang. Ada dua
perundang-undangan penting yang mengatur media di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor. 40 Tahun 1999 Tentang Pers dan
Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Undang-Undang Pers ditetapkan untuk menjamin kebebasan dan
independensi pers yang menjamin hak wartawan untuk mencari dan
menyebarkan informasi.
Selanjutnya, Undang-Undang
Penyiaran ini membahas kepemilikan media dan membagi lembaga penyiaran ke dalam tiga kelompok, yaitu Lembaga Penyiaran
Swasta, Lembaga Penyiaran Komunitas, dan Lembaga Penyiaran Publik. Dengan karakter kelembagaan tersebut, tugas berat pers
dalam
mewujudkan masyarakat
yang demokratis
adalah mencerahkan enlightment dan memfasilitasi terlaksananya
engagement sistem anggaran berbasis partisipasi. Isu-isu kritis dalam perencanaan dan penganggaran
pembangunan merupakan peluang strategis media dalam rangka mengembangkan modus jurnalisme berbasis perencanaan dan
460
penganggaran. Yakni,
jurnalisme yang
secara khusus
mengumpulkan data, mengembangkan fakta-fakt a berbahaya ,
memunculkan berita
dari area
tersembunyi, melakukan
penelusuran dokumen
dan penelusuran
nara sumber.
Pengembangan modus
Jurnalisme Perencanaan
dan Penganggaran merupakan salah satu solusi strategis untuk
memecahkan masifnya asimetri komunikasi dalam masyarakat dan meningkatkan fungsi kontrol dalam penyelenggaraan pemerntahan
daerah.
Salah satu alasan pentingnya dikembangkan modus Jurnalisme Perencanaan dan Anggaran , karena isu tersebut kini
sudah menjadi bagian dari pemberitaan media massa yang cukup penting. Kasus-kasus penyalahgunaan wewengan dan korupsi
seringkali berasal dari isu anggaran. Secara epistimologis, jurnalisme perencanaan dan penganggaran berada di bawah
payung jurnalisme investigasi.Wartawan adalah juga seorang peneliti kualitatif yang tidak terpatok pada angka-angka, namun
mampu menganalisis motif di balik rencana dan anggaran. Modus jurnalisme perencanaan dan anggaran memungkinkan wartawan
tidak hanya memandang bahwa rencana pembangunan dan anggaran bukanlah semata-mata norma dan pemenuhan aturan,
tapi juga pertarungan elit politik.
Di tingkat daerah harus terjadi integrasi antara perencanaan dengan penganggaran. Integrasi dapat terjadi melalui dua hal yaitu:
pertama, proses perencanaan dan penganggaran dibuat dalam satu peraturan daerah, dan kedua adanya integrasi antara satuan kerja
yang mengkoordinir perencanaan dengan satuan kerja yang menggunakan anggaran. Untuk isu yang pertama, baik Undang-
Undang Nomor. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara maupun Undang-Undang Nomor. 25 Tahun 2004 Tentang Perencanaan
Pembangunan Nasional, telah menggariskan bahwa peraturan lebih lanjut mengenai mekanisme Musrenbang Musyawarah kerja
pembangunan dan mengenai penyusunan Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah RKA-SKPD diatur lebih lanjut oleh
peraturan daerah. Untuk itu peraturan daerah mengenai tata cara Musrenbang dan Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat
Daerah RKA-SKPD diatur dalam satu perda, misalnya peraturan
461
daerah tentang perencanaan dan penganggaran daerah yang didalamnya mengatur baik mekanisme Musrenbang Musyawarah
kerja pembangunan maupun mekanisme Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah RKA-SKPD. Sedangkan untuk isu
kelembagaan, maka harus diperpendek proses perencanaan ke proses penganggaran. Karena itu, maka peran-peran lembaga ad
hoc seperti Banggar eksekutif atau peran Bagian Penyusunan Program
sebaiknya dikurangi
atau dihilangkan.
Proses penganggaran, sebaiknya langsung dilakukan oleh Rencana Kerja
Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah RKA-SKPD sebagai pengguna anggaran. Kalaupun perlu koordinasi dalam proses
tersebut, dapat langsung dilakukan oleh Badan Pengelola Keuangan Daerah, atau jika perlu daerah dapat melakukan inovasi untuk
menggabungkan lembaga perencana dengan lembaga pengelola anggaran, sehingga bisa dibentuk Badan Perencanaan dan
Penganggaran Pembangunan Daerah.
Merujuk pada empat paket Undang-Undang tentang perencanaan dan penganggaran, maka ada dua wahana yang
tersedia bagi partisipasi masyarakat yaitu partisipasi masyarakat dalam Musrenbang Musyawarah kerja pembangunan dan
partisipasi masyarakat dalam penyusunan Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah RKA-SKPD Karena waktu
Musrenbang Musyawarah kerja pembangunan yang sangat singkat kurang lebih dua bulan, maka penyiapan dokumen
pendukung Musrenbang Musyawarah kerja pembangunan menjadi sangat penting. Untuk itu, karena sifatnya yang sudah
sangat rinci, maka Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah RKA-SKPD yang telah disusun Rencana Kerja Anggaran
Satuan Kerja Perangkat Daerah RKA-SKPD dapat dijadikan rujukan utama penyusunan Rancangan Awal Rencana Kerja
Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah RKA-SKPD yang akan dijadikan bahan menyusun Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja
Perangkat Daerah RKA-SKPD Dengan demikian rencana Rencana Kerja Perangkat Daerah RKPD yang dibuat oleh Bappeda menjadi
detail memuat kegiatan yang dapat dirujuk baik tempat spatial maupun Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah
RKA-SKPD yang mengajukan usulan berikut anggaran yang
462
diperlukan. Dengan dokumen yang rinci tersebut, maka Musrenbang di tingkat desa, kecamatan, dan kabupatenkota
jadinya hanya merupakan forum verifikasi dan penyesuaian kegiatan yang telah ada dalam rancangan Rencana Kerja Anggaran
Satuan Kerja Perangkat Daerah RKA-SKPD dan forum untuk menetapkan delegasi masyarakat baik yang mewakili wilayah
maupun sektor. Delegasi yang telah dipilih tersebut selanjutnya dapat terlibat dalam proses penyusunan Rencana Kerja Anggaran
Satuan Kerja Perangkat Daerah RKA-SKPD. Dengan demikian maka penyusunan Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat
Daerah RKA-SKPD melibatkan Satuan Kerja Perangkat Daerah SKPD Eksekutif, DPRD legislatif, dan delegasi masyarakat.
Agar delegasi ini dapat bekerja dengan baik, maka perlu dipikirkan untuk menghimpun delegasi ini dalam satu wadah kelembagaan
misalnya komitedewan partisipasi anggaran kotakabupaten. Komitedewan ini bersifat ad hoc yaitu bekerja dalam jangka waktu
satu tahun.
Untuk menghindari usulan kegiatan yang banyak dan skalanya kecil, maka Dana Alokasi untuk Desa menjadi penting.
Dana ini berupa block grant yang ditransfer dari kabupaten kepada pemerintahan
desa untuk
mendanai program-program
pembangunan dalam skala desa. Dengan demikian program- program yang diajukan oleh desa adalah program berskala
kecamatan lintas desa dan kabupaten yang menjadi tanggung jawab pemerintahan kotakabupaten. Dengan skema seperti ini,
maka Musrenbang Musyawarah kerja pembangunan kecamatan menjadi
sangat penting.
Musrenbang Musyawarah
kerja pembangunan
kecamatan merupakan
elevator untuk
menghubungkan problem di tingkat wilayah ke program Satuan Kerja Perangkat Daerah SKPD. Agar usulan di tingkat wilayah
desa dan Kecamatan dapat langsung diterjemahkan ke sektor, maka daerah sebaiknya membentuk forum-forum Satuan Kerja
Perangkat Daerah SKPD terutama untuk Satuan Kerja Perangkat Daerah SKPD yang menjalankan fungsi pelayanan dasar dan
fungsi-fungsi prioritas pengembangan KotaKabupaten. Anggota forum adalah delegasi yang mewakili kecamatan dan stakeholders
463
yang memiliki perhatian dan kompetensi dalam isu-isu sektor yang menjadi tanggung jawab Satuan Kerja Perangkat Daerah SKPD.
Surat Keputusan BupatiWalikota mengenai penjabaran dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBD menjadi
sangat strategis, terutama sebagai instrumen untuk transparansi anggaran. Karena itu Surat Keputusan Bupati Walikota harus
ditempatkan sebagai Standar Prosedur Operasi SPO bagi pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD. SK
BupatiWalikota harus diumumkan kepada publik dan memuat secara rinci mengenai mekanisme pelaksanaan kegiatan termasuk
mekanisme tender, jenis dan besaran dana kegiatan, tempat dilaksanakan kegiatan, lembaga yang melaksanakan, siapa yang
bertanggung jawab sebagai pimpinan proyek dari kegiatan tersebut, dan prosedur pengajuan keluhan dari masyarakat
terhadap program atau lembaga yang melaksanakan program.
Sebagai konsekwensi dari sistem perencanaan dan penganggaran daerah yang ditetapkan oleh Undang-Undang
Nomor. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara maka monitoring dan evaluasi pelaksanaan rencana dan anggaran ada di Bappeda
dan Satuan Kerja Perangkat Daerah SKPD. Untuk itu, maka peran Bagian Pembangunan Penyusunan Program di Sekertariat daerah
harus diambil alih oleh kedua lembaga tersebut. Ini penting untuk menjamin akuntabilitas pelaksanaan rencana dan anggaran. Yang
penting harus dikembangkan adalah, hendaknya monitoring dan evaluasi tidak hanya sebatas pengisian dokumen LAKIP Laporan
Akuntabilitas Kegiatan Instansi Pemerintah, melainkan juga harus dikembangkan metode monitoring dan evaluasi yang berorientasi
pada kinerja yang dinilai oleh pengguna. Untuk itu pemerintah perlu melakukan survey kepuasan masyarakat terhadap program-
program yang dilaksanakan. Selanjutnya hasil monitoring dan evaluasi yang menyerap aspirasi masyarakat dapat dijadikan input
bagi proses penyusunan Reencana Kerja Pemerintah Daerah RKPD, Arah Kebijakan, Proses Musyawarah Pembangunan Desa,
forum-forum sektoral, dan Rencana Strategis.
Perencanaan dan penganggaran yang pro-poor telah menjadi perhatian sangat luas sejak tahun 1990-an. Perhatian terhadap isu
ini dipicu terutama oleh adanya perbedaan peran pemerintah dari
464
sisi normatif dengan kecenderungan perkembangan masyarakat di berbagai belahan dunia. Secara normatif, apapun dasar ideologinya,
tugas pemerintah sangat jelas yaitu menciptakan kesejahteraan dan menghindari ketimpangan pendapatan. Tetapi dalam praktek peran
negara dalam dua bidang tersebut justru paling terabaikan. Di banyak negara, berbagai instrumen pembangunan yang dirancang
negara justru menyebabkan pemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang luar biasa. Beberapa hal penting, yang perlu
ditindaklanjuti dalam investigasi meliputi:
1. Mengidentifikasi siapa orang miskin. Dibutuhkan informasi
terbaru mengenai tingkat, intensitas, dan yang menyebabkan kemiskinan.
2. Anggaran pro-poor dapat dicapai dengan memberikan
perhatian yang khusus mengenai prioritas dan kategori spesifik yang dibutuhkan orang miskin.
3. Anggaran yang pro-poor tidak berarti hanya mengalokasikan
anggaran dalam sektor-sektor sosial pelayanan publik yang bersifat dasar. Juga penting untuk memikirkan bagaimana
alokasi anggaran dapat sampai pada target sasaran bukan hanya alokasi tetapi juga instrumen kelembagaan.
4. Agar upaya pengurangan kemiskinan efektif, alokasi anggaran
lebih baik bersifat langsung ketimbang tidak langsung. Ini dapat mengurangi ketimpangan pendapatan dan membantu
pertumbuhan ekonomi.
5. Proses penganggaran harus partisipatif. Anggaran tidak hanya
ditentukan atas pertimbangan-pertimbangan sedikit orang di pemerintahan atau didunia bisnis, melainkan diproses melalui
mekanisme yang bottom-up.
6. Desentralisasi dalam sistem anggaran sangat ideal, karena
memberikan kemungkinan bagi warga di tingkat lokal untuk menyuarakan dan mempengaruhi kebijakan anggaran.
7.
Anggaran yang pro-poor mensyaratkan mekanisme pelaporan yang memungkinkan pihak-pihak di luar pemerintahan
dapat menelusuri belanja pemerintah.
Ketika proses konsultasi program pembangunan hanya bisa diadakan
dalam forum
Musrenbang Musyawarah
kerja pembangunan itu pun dibatasi dalam waktu satu-dua hari, dan
hanya bisa menapung sekitar 300 orang yang didominasi 80 oleh
pegawai Pemda,
Musrenbang Musyawarah
kerja pembangunan nampaknya belum pantas disebut partisipasi
465
publik. Apalagi
mekanismenya hanya
mampu untuk
mengumpulkan usulan program sebanyak-banyaknya tanpa mampu menentukan prioritas dan alokasi anggaran. Musrenbang
Musyawarah kerja pembangunan hanyalah bentuk strategi yang jelas. Pers punya potensi kemampuan untuk membuka selubung
partisipasi yang sudah disiapkan ini, dengan melibatkan sebanyak mungkin masyarakat.
Dengan kemampuannya menjangkau masyarakat luas, baik melalui radio, televisi, koran, internet, dan media lainnya,
partisipasi yang elitis sangat mungkin untuk dibongkar. Melibatkan media
dalam memfasilitasi
proses musrenbang
akan memungkinkan efektivitas partisipasi. Jadi proses Musrenbang
Musyawarah kerja pembangunan bukan hanya terbatas di ruang pendopo kabupaten atau walikota saja. Tantangan besar bagi mass
media adalah memfasilitasi masyarakat mengusulkan program prioritas dengan alokasi kebutuhan anggaran dengan hasil yang
bisa terukur. Tentu saja tantangan ini tidak mudah mengingat adanya beberapa kendala besar, yakni Akses kelompok marginal.
Meskipun radio dan televisi sudah bukan lagi menjadi barah mewah, masyarakat yang mempunyai akses partisipasi terhadap
media masih saja terbatas pada kelompok menengah. Sebagian besar masyarakat cenderung pasif atau dibuat pasif; serta Tingkat
partisipasi. Sebagai fasilitator proses partisipasi, media perlu membawa masyarakat sampai ke tahap keputusan yang penting,
yaitu prioritas program dan alokasi anggaran. Biasanya partisipasi hanya berputar pada usulan program, tanpa prioritas dan alokasi
anggaran yang jelas. Target yang dihasilkan pun cenderung tidak jelas dan tidak terukur. Padahal semakin banyak program, semakin
kecil alokasi anggaran, sehingga pelaksanaannya tidak optimal.
Angin demokrasi telah membuka wacana bahwa diskusi kebijakan publik antara eksekutif dan dewan bisa diliput oleh
media. Namun demikian, pendekatan-pendekatan informal sering kali lebih lebih dominan dalam mengubah arah kebijakan publik,
maupun alokasi sumber daya seperti Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBD. Peran pers untuk membuka tabir hubungan tidak
sehat antara pemerintah dan dewan sangat dibutuhkan untuk membangun proses demokrasi. Tantangan media masa adalah
466
mengawal program prioritas untuk mendapatkan persetujuan alokasi anggaran yang memadai.
Untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat, publikasi program-program pemerintah yang tidak terlaksana, ataupun
kurang tepat waktu menjadi sumber berita yang diharapkan dapat memungkinkan pertanggungjawaban penggunaan dana masyarakat
lebih baik lagi. Misalnya, program sertifikasi guru yang belum dilaksanakan Depdiknas. Ataupun alokasi vocer pendidikan untuk
anggota dewan.
Dengan adanya prioritas untuk sektor pendidikan, alokasi anggaran yang mendadak menjadi cukup besar membuat aparat
pemerintah sering kali kewalahan menggunakan dana tersebut. Memang ada lembaga yang berwenang melakukan pengawasan,
seperti Badan Pengawas Keuangan Pembangunan BPKP dan Inspektorat, namun lembaga-lembaga tersebut sering kali tidak
lepas dari masalah kelembagaan, sehingga keberadaannya seringkali tidak berpihak pada masyarakat. Hubungan personal
dengan pemerintah seringkali membuat kinerja mereka tidak obyektif.
3. Manajemen Pengelolaan Keuangan Daerah.