Netralitas Perbuatan Melawan Hukum Dalam

258 menyerahkan uang kepada karyawan Lindenbaum untuk membocorkan nama-nama langganan perusahaan lindenbaum sebagai suatu perbuatan melawan hukum. Karena perbuatan yang dilakukan oleh Cohen dianggap telah melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku atau kesusilaan yang baik dan kepatutan yang ada dalam masyarakat. Melalui Arrest ini telah terjadi perluasan makna perbuatan melawan hukum. Suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai melawan hukum apabila perbuatan itu menyimpang dari ketentuan undang-undang formil, dan juga menyimpang dari norma kesusilaan, ketertiban, kepatutan yang ada dalam masyarakat materiil. Perbuatan melawan hukum materiil dalam bidang hukum pidana dapat dibagi lagi berdasarkan fungsinya yaitu, perbuatan melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif dan perbuatan melawan hukum dalam fungsinya yang positif. Perbuatan melawan hukum dalam fungsi negatif mengatakan bahwa, walaupun suatu perbuatan telah memenuhi unsur rumusan delik, namun menurut penilaian masyarakat perbuatan itu tidak dianggap tercela, maka secara negatif perbuatan itu tidak dapat dianggap sebagai melawan hukum. Sedangkan perbuatan melawan hukum dalam fungsi positif mengatakan bahwa,walaupun suatu perbuatan tidak telah memenuhi unsur rumusan delik, namun menurut penilaian masyarakat perbuatan itu dianggap tercela, maka secara positif perbuatan itu dianggap sebagai melawan hukum. Karena perbuatan korupsi sangat menyentuh rasa keadilan dalam masyarakat, dan membawa dampak negatif secara luas dalam kehidupan masyarakat, maka ajaran perbuatan melawan hukum materiil dalam fungsi positif diterapkan ke dalam Undang- undang Tindak Pidana Korupsi.

9. Netralitas Perbuatan Melawan Hukum Dalam

Tindak Pidana Korupsi. Mencoba menelaah sejauh mana netralitas perundang- undangan yang di formulasikan oleh anggota yang terhormat Dewan Perwakilan Rakyat. dalam tataran implementasinya, kita 259 ambil contoh Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang merupakan polemik dalam penegakan hukum adalah ancaman pidana mati, yang mana tercantum dalam Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2. adapun bunyi pasalnya sebagai berikut: Bunyi Pasal 2 Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 satu milyar rupiah. 2. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Penjelasan rumusan pasal tersebut adalah sebagai berikut: 1. Ayat 1 Yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perudang- undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma- norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata dapat sebelum frasa merugikan keuangan atau perekonomian negara menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. 1. Ayat 2 Yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. 260 Adapun yang ingin di perbincangkan melalui tulisan oleh penulis di sini adalah mengenai ketentuan dalam Pasal 2 Ayat 2 tentang adanya ketentuan mati dalam tindak pidana korupsi. Di mana jika kita mencoba menggali lebih dalam lagi mengenai pasal tersebut bahwasanya akan didapai hasil bahwa justifikasi terhaadap pasal tersebut sebagai hiasan dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, di mana diaturnya pidana mati dalam undang-undang pemberantasan korupsi memiliki kelemahan dalam formulasinya, hal ini menunjukan konfigurasi politik dalam pemuatan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, wajar saja Sarjipto Rahardjo pernah mengeluarkan pernyataan dalam literaturnya, bahwa perundang-undangan cacat sejak dilahirkan. Adapun beberpa hal yang ingin di lontarkan disini mengenai permasalahan ancaman pidana mati dalam Undang-Undang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diantaranya sebagai berikut: 1. Terbatasnya ancaman Pidana mati dalam perundang- udnagan Tindak Pidana Korupsi, hal ini hanya berlaku pada delik dalam pasal 2 ayat satu, dengan ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Ayat 2 Undang-Udndang No 31 1999 jo UU no 20 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 2. Pembatasan kualifikasi dalam pasal 2 ayat 2 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 3. Terdapatnya ketidak cermatan antara pengaturan recidiv, jadi pada pokoknya dalam ancaman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap recdive, yang melakukan sebagaimana tindak pidana dalam pasal ini. Jika kita mencoba membanding-bandingkan dampak dari korupsi, maka dapat disimpulan bahwa korupsi, membawa dampak sistematik dalam kesejahteraan masyarakat, dan merugikan perekonomian bangsa, maka akan sangat memperihatinkan, kitika undang-undang narkotika dan perundang-undang lainnya mengatur hukuman mati dengan efektif, akan tetapi dalam undang- undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perumusannya tidak dibuat berdasarkan objektifitas keilmuan, maka walhasil belum pernah ada yang dijatuhkan pidana mati dalam hal kasus korupsi. berbeda dengan Undang-Undang Narkotika. 261

10. Sifat Melawan Hukum Dalam Lapangan Pidana