466
mengawal program prioritas untuk mendapatkan persetujuan alokasi anggaran yang memadai.
Untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat, publikasi program-program pemerintah yang tidak terlaksana, ataupun
kurang tepat waktu menjadi sumber berita yang diharapkan dapat memungkinkan pertanggungjawaban penggunaan dana masyarakat
lebih baik lagi. Misalnya, program sertifikasi guru yang belum dilaksanakan Depdiknas. Ataupun alokasi vocer pendidikan untuk
anggota dewan.
Dengan adanya prioritas untuk sektor pendidikan, alokasi anggaran yang mendadak menjadi cukup besar membuat aparat
pemerintah sering kali kewalahan menggunakan dana tersebut. Memang ada lembaga yang berwenang melakukan pengawasan,
seperti Badan Pengawas Keuangan Pembangunan BPKP dan Inspektorat, namun lembaga-lembaga tersebut sering kali tidak
lepas dari masalah kelembagaan, sehingga keberadaannya seringkali tidak berpihak pada masyarakat. Hubungan personal
dengan pemerintah seringkali membuat kinerja mereka tidak obyektif.
3. Manajemen Pengelolaan Keuangan Daerah.
a. Manajemen Keuangan.
Manajemen Keuangan adalah aktivitas pemilik dan manajemen perusahaan untuk memperoleh sumber modal yang
semurah-murahnya dan menggunakannya se-efektif, se-efisien, seproduktif mungkin untuk menghasilkan laba. Aktivitas itu
meliputi; pertama Aktivitas pembiayaan ialah kegiatan pemilik dan manajemen perusahaan untuk mencari sumber modal sumber
eksternal dan internal untuk membiayai kegiatan bisnis; aktivitas investasi adalah kegiatan penggunaan dana berdasarkan pemikiran
hasil yang sebesar-besarnya dan resiko yang sekecil-kecilnya. Aktivitas itu meliputi: Modal Kerja working Capital atau harta
lancar Current Assets; Harta Keuangan Finaceal assets yang terdiri: investasi pada saham stock dan Obligasi Bond; Harta
Tetap real Assets yang terdiri dari: Tanah,gedung, Peralatan; Harta Tidak Berwujud intangible assets terdiri dari: Hak Paten,
Hak Pengelolaan Hutan, Hak Pengelolaan Tambang, Goodwill.
467
Kemudian Aktivitas Bisnis Business Activity; Aktivitas bisnis adalah kegiatan untuk mencari laba melalui efektivitas penjualan
barang atau jasa efisiensi biaya yang akan mengahsilkan laba. Aktivitas itu dapat dilihat dari laporan Laba-Rugi, yang terdiri dari
unsur: Pendapatan sales atau Revenue; Beban Expenses; Laba- Rugi Profit-Loss.
360
Secara defenitif yang singkat Manajemen Keuangan adalah aktivitas perusahaan yang berhubungan dengan bagaimana
memperoleh dana, menggunakan dana, dan mengelola asset sesuai dengan tujuan perusahaaan secara menyeluruh. Fungsi Utama
Manajemen Keuangan, yakni sebagai berikut: Investment Decision: Keputusan terhadap aktiva apa yang akan dikelola perusahaan;
Financing Decision: Keputusan berkaitan dengan penetapan sumber dana yang diperlukan dan penetapan perimbangan pembelanjaan
yang terbaik struktur modal yang optimal; Assets Management Decision: Keputusan berkaitan penggunaan dan pengelolaan aktiva
kata bijak: lebih mudah membangun daripada mengelola.
361
b. Refomasi Manajemen Keuangan Daerah.
Sejak era reformasi tahun 1998 paradigma pembangunan di Indonesia telah bergeser dari model pembangunan yang sentralistik
menjadi desentralistik. Pembagian kewenangan menjadi bagian dari arah kebijakan untuk membangun daerah yang dikenal dengan
istilah kebijakan
Otonomi Daerah . Hal tersebut ditandai dengan
adanya Undang-Undang Nomor. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor. 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah. Pemberian otonomi daerah diharapkan
dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas sektor publik di Indonesia. Dengan otonomi, Daerah dituntut untuk
mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan dan bagian sharing
dari Pemerintah Pusat dan menggunakan dana publik sesuai dengan prioritas dan aspirasi masyarakat. Pelimpahan kewenangan
360
Suad Husnan Enny Pudjiastuti, Dasar-Dasar Manajemen Keuangan, UPP AMP YKPN: Yogyakarta, 2004, hlm: 1-15.
361
Suad Husnan Enny Pudjiastuti, Dasar-Dasar Manajemen Keuangan, Ibid: 17
468
tersebut mempunyai
pengaruh terhadap
cara-cara mempertanggungjawaban keuangan pusat, dan khususnya daerah.
Manajemen keuangan daerah menjadi begitu penting bagi aparat pemerintahan didaerah karena merupakan konsekwensi
logis dan perspektif manajemen perimbangan antara keuangan pusat dan daerah. Transformasi nilai yang berkembang dalam era
reformasi ini adalah meningkatnya penekanan proses akuntabilitas publik atau bentuk pertanggungjawaban horisontal, khususnya
bagi aparat pemerintahanan di daerah, tanpa mengesampingkan pertanggungjawaban vertical kepada pemerintahan atasan dalam
segala aspek pemerintahan, termasuk aspek penatausahaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah sesuai dengan Surat
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor. 29 Tahun 2002. Tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan
Keuangan daerah Serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan
Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Keberhasilan perubahan ini, pada saatnya tergantung pada efektivitas, transparansi, dan manajemen yang efektif juga
kemampuan sumber daya publik darimanapun asal mereka. Seberapa baik proses yang mendasari ini dikelola di tingkat distrik
dan propinsi yang karenanya bertambah minat dari pemerintah pusat maupun komunitas donor.
Diantara pertanyaan mendasar yang perlu diperhatikan adalah:
seberapa transparan
pemerintah daerah
dalam menggunakan kewenangan yang baru mereka peroleh itu dan
seberapa terlindungi proses tersebut dari jangkauan dan kolusi para elit daerah? Bagaimanakah mereka akan meningkatkan
pendapatan publik daerah secara lebih adil dan dengan lebih terprediksi ataukah melalui pajak dan pungutan yang lebih agresif
dan lebih membebani? Seberapa efektif dan efisienkah sumber daya publik dipergunakan dan dipertanggungjawabkan, dan dengan
integritas dan pengawasan yang seperti apa dari para stakeholder pihak
yang berkepentingan?
Jawaban untuk
pertanyaan- pertanyaan ini dan sejumlah pertanyaan lainnya pastinya akan
469
bervariasi antar pemerintah daerah, namun variasi inilah yang dibutuhkan oleh kita untuk mendiagnosa, menilai, dan memahami.
Roby Arya Brata
362
menggambarkan bahwa dalam praktik manajemen keuangan daerah yang masih berlangsung sekarang ini,
ada kecenderungan dari oknum pejabat untuk menghabiskan sisa anggaran, baik anggaran rutin maupun anggaran pembangunan
proyek, yang dikelolanya. Pejabat tersebut termotivasi oleh insentif untuk menghabiskan sisa anggaran karena kalau sisa
anggaran tersebut tidak dihabiskan maka jumlah anggaran yang disetujui Departemen Keuangan untuk tahun berikutnya, baik yang
diusulkan dalam Daftar Usulan Kegiatan DUK maupun Daftar Usulan Proyek DUP, akan lebih kecil dari jumlah anggaran tahun
sebelumnya. Akibatnya, oknum pejabat tersebut merekayasa kegiatan untuk menghabiskan sisa anggaran dan membuat laporan
keuangan yang seolah-olah benar untuk menjustifikasi kegiatan tersebut.. Kelemahan lain dari manajemen keuangan daerah selama
ini adalah adanya nonbujeter, yaitu dana di luar APBD yang berasal dari pendapatan bukan pajak. Adanya pengalokasian dana yang
bersifat nonbujeter yang penggunaannya tidak transparan dan lemah mekanisme akuntabilitas publiknya jelas bertentangan
dengan prinsip pemerintahan yang baik good governance.
Jadi, jelas sistem manajemen keuangan daerah yang dipraktikkan pemerintah selama ini kurang memenuhi prinsip good
governance dalam manajemen
keuangan daerah.
Sistem manajemen
keuangan demikian
melemahkan partisipasi
masyarakat untuk mengawasi penggunaan anggaran, memancing praktik korupsi, kolusi, nepotisme KKN karena kurang
transparan, dan mendorong pejabat untuk menggunakan keuangan dan sumber daya negara secara tidak bertanggung jawab karena
lemahnya mekanisme akuntablitas publik dalam manajemen keuangan daerah.
Manajemen keuangan daerah merupakan
bagian dari
Manajemen Pemerintahan
Daerah selain Manajemen
Kepegawaian dan manajemen teknis dari tiap-tiap instansi yang berhubungan
dengan pelayanan
publik, atau
kita sebut
362
Roby Arya Brata ,Reformasi Manajemen Keuangan Pemerintah, Pikiran Rakyat, 14 Agustus, 2002.
470
dengan Manajemen Pelayanan
Publik dan
Manajemen Administrasi
Pembangunan Daerah.
Pengertian Manajemen keuangan daerah menurut Bahrullah Akbar
363
adalah mencari sumber-sumber pembiayaan dana daerah melalui potensi dan
kapabilitas yang terstruktur melalui tahapan perencanaan yang sistematis, penggunaan dana yang efisien dan efektif serta pelaporan
tepat waktu.
Manajemen Pelayanan Publik yang dimaksud adalah pencerminan pemberian kewenangan wajib atas otonomi daerah
dari Pemerintah Pusat yang terdiri dari antara lain: Pemerintahan Umum, Pertanian; Perikanan dan Kelautan, Pertambangan dan
Energi;
Kehutanan dan
Perkebunan; Perindustrian
dan Perdagangan; Perkoperasian; Penanaman Modal; Ketenagakerjaan;
Kesehatan; Pendidikan dan Kebudayaan; Sosial; Penataruangan; Pemukiman; Pekerjaan Umum; Perhubungan; Lingkungan Hidup;
Kependudukan; Olahraga; Keparawisataan; dan Pertanahan. Hal ini, biasanya tercermin dengan adanya dinas-dinas daerah dan struktur
organisasi Pemda yang berkaitan dengan luas dan ruang lingkup tugas tersebut.
Oleh karena itu, pengertian keuangan daerah selalu melekat dengan pengertian APBD yaitu; suatu rencana keuangan tahunan
daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan. Selain itu, APBD merupakan salah satu alat untuk meningkatkan pelayanan publik
dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Dari definisi
keuangan daerah tersebut melekat 4 empat dimensi;
364
1. Adanya dimensi hak dan kewajiban; 2. Adanya dimensi tujuan dan perencanaan;
3. Adanya dimensi penyelenggaraan dan pelayanan publik; dan
363
Bahrullah Akbar , Fungsi Manajemen Keuangan, Boklet Publikasi BPK, No.87 Bulan Oktober, Jakarta, BPK, 2002. Selain memberikanpengertian Manajemen Keuangan
daerah, juga mmberikan pengertian keuangan daerah menurut Bahrullah Akbar adalah
Semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang, termasuk di dalamnya segala
bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah, dalam kerangka anggaran dan pendapatan dan belanja daerah APBD.
364
Bahrullah Akbar , Fungsi Manajemen Keuangan, Boklet Publikasi, Ibid: .
471
4. Adanya dimensi nilai uang dan barang investasi dan inventarisasi.
Keterkaitan keuangan daerah yang melekat dengan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBD merupakan
pernyataan bahwa adanya hubungan antara dana pemerintahan daerah dan dana pemerintahan pusat atau dikenal dengan istilah
perimbangan keuangan pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Dana tersebut terdiri dari dana dekonsentrasi berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan dan dana Desentralisasi. Dana dekonsentrasi
berbentuk dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus. Sedangkan yang dimaksud dana desentralisasi adalah yang
bersumber dari pendapatan asli daerah PAD.
Tujuan keuangan daerah menurut Nick Devas, et.al, adalah sebagai berikut:
365
1. Memenuhi kewajiban Keuangan; Keuangan daerah harus ditata sedemikian rupa sehingga mampu melunasi semua
ikatan keuangan, baik jangka pendek maupun jangka panjang; 2. Akuntabilitas Accountability;
Pemda harus
mempertanggungjawabkan tugas keuangan kepada lembaga atau orang yang berkepentingan dan sah. Lembaga atau orang
yang dimaksud antara lain,adalah Pemerintah Pusat, DPRD, Kepala Daerah, masyarakat dan kelompok kepentingan
lainnya LSM;
3. Kejujuran; Urusan keuangan harus diserahkan pada pegawai profesional dan jujur, sehingga mengurangi kesempatan untuk
berbuat curang. 4. Hasil guna effectiveness dan daya guna efficiency kegiatan
daerah; Tata cara pengurusan keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan setiap program
direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan dengan biaya serendah-rendahnya dengan hasil yang
maksimal.
5. Pengendalian; Manajer keuangan daerah, DPRD dan aparat fungsional pemeriksaan harus melakukan pengendalian agar
semua tujuan dapat tercapai. Harus selalu memantau melalui akses informasi mengenai pertanggungjawaban keuangan.
365
Bahrullah Akbar , Fungsi Manajemen Keuangan, Boklet Publikasi, Ibid: .
472
Fungsi manajemen terbagi atas tiga tahapan utama, yaitu: adanya proses perencanaan, adanya tahapan pelaksanaan, dan
adanya tahapan pengendalian pengawasan. Oleh karena itu fungsi manajemen keuangan daerah terdiri dari unsur-unsur pelaksanaan
tugas yang dapat terdiri dari tugas.
1. Pengalokasian potensi sumber-sumber ekonomi daerah; 2. Proses Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
3. Tolok ukur kinerja dan Standarisasi; 4. Pelaksanaan Anggaran yang sesuai dengan Prinsip-prinsip
Akuntansi; 5. Laporan Pertanggungjawaban Keuangan Kepala Daerah; dan
6. Pengendalian dan Pengawasan Keuangan Daerah. 7.
Dari point-point tersebut di atas, angka 1 dan 2 merupakan bagian dari fungsi perencanaan dimana melekat
pengertian adanya partisipasi publik; Angka 3 dan 4 merupakan fungsi pelaksanaan dan Angka 5 dan 6 merupakan fungsi
pengendalian dan pengawasan. Keseluruhannya akan bermuara pada
terciptanya sistem informasi
keuangan daerah yang transparan dan akuntabel.
Dalam arti sempit manajemen keuangan daerah merupakan tugas kebendaharawanan, dari peran kas daerah atau bendahara
umum daerah sampai dengan peran bendaharawan proyek, bendaharawan penerima, bendaharawan barang. Secara garis
besarnya, ada dua hal tugas pokok atau bidang yang harus disadari bagi seorang manajer keuangan daerah, yaitu: pekerjaan
penganggaran dan pekerjaan akuntansi, dimana dalam pelaksanaan keduanya berinteraksi dan saling melengkapi terutama dalam
rangka
pengendalian dan
pengawasan manajemen
BidangAuditing. Secara aplikatif dua tugas pokok tersebut terekam dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor. 29 Tahun
2000 tentang Pedoman Pengurusan Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD.
Secara garis besar, manajemen keuangan daerah dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu manajemen penerimaan daerah
dan manajemen pengeluaran daerah. Kedua komponen tersebut
473
akan sangat menentukan kedudukan suatu pemerintah daerah dalam rangka melaksanakan otonomi daerah. Konsekuensi logis
pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor. 25 Tahun 1999
menyebabkan perubahan dalam manajemen keuangan daerah. Perubahan
tersebut antara
lain adalah
perlunya dilakukan budgeting reform atau reformasi anggaran.
Perubahan atas Undang-undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 25 tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, menjadi Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
dan Undang-undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah telah
meletakkan landasan hukum yang kuat dan pengaturan yang lebih terinci dan komprehensif tentang otonomi daerah, desentralisasi,
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah sebagai sub sistem
keuangan negara telah mengalami perubahan mendasar seiring dengan semangat reformasi manajemen keuangan negara
sebagaimana telah diamanatkan Undang-Undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Undang-Undang No. 1 Tahun 2004
Tentang Perbendaharaan Negara; Undang-Undang No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara; Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; Undang-Undang No.
32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Berbagai peraturan
perundangan tersebut,
lebih memperjelas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dan
pengelolaan keuangan daerah agar dapat lebih mandiri, transparan, dan akuntabel, sebagai upaya untuk mewujudkan good local
governance
dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
Dinamika perubahan dalam pengelolaan keuangan daerah tersebut, pada intinya adalah perlunya penekanan perbaikan konsepsi
pengelolaan keuangan daerah kedepan dengan mendudukkan kembali makna dari prinsip pengelolaan keuangan anggaran
474
publik, yaitu apa yang menjadi kewajiban dari masyarakat pajak retribusi dan aspek pembebanan lainnya akan menjadi hak bagi
pemerintah, dan apa yang menjadi kewajiban bagi pemerintah pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat akan menjadi
hak bagi masyarakat.
Terkait dengan kewajiban pemerintah daerah dalam pemberian pelayanan umum tersebut dalam hal ini, otonomi
daerah harus dipandang sebagai suatu proses, yang justru semakin memberikan kemampuan profesional kepada pemerintah daerah
Pemda untuk melaksanakan penyelenggaraan pelayanan publik pada skala lokal dan regional. Oleh karena itu pemerintah daerah
harus didukung dengan sumber dana yang cukup dan sumber daya manusia yang profesional. Hal tersebut sejalan dengan prinsip
kebijakan perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagaimana disebutkan Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. yang menyatakan
bahwa:
1. Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah merupakan subsistem keuangan negara
sebagai konsekuensi pembagian tugas antara Pemerintah ; 2. Pemberian sumber keuangan negara kepada pemerintah
daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi didasarkan atas penyerahan tugas oleh Pemerintah Pusat kepada
pemerintah daerah dengan memperhatikan stabilitas dan keseimbangan fiskal;
3. Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah merupakan sistem yang menyeluruh
mengenai pendanaan dalam pelaksanaan Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan.
Reformasi anggaran
meliputi proses
penyusunan, pengesahan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran.
Berbeda dengan Undang-Undang No. 5 tahun 1974 Tentang Pemerintahan
Daerah, proses
penyusunan, mekanisme
pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran daerah menurut Undang-Undang Nomor. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan
Daerah, adalah tidak diperlukannya lagi pengesahan dari Menteri Dalam Negeri untuk Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBD
475
Provinsi dan pengesahan Gubernur untuk Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBD Kabupaten Kota, melainkan cukup
pengesahan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD melalui Peraturan Daerah Perda.
Aspek utama budgeting reform adalah perubahan dari traditional
budget ke performance budget.
Traditional budget merupakan pendekatan yang paling banyak digunakan di
negara berkembang dewasa ini. Terdapat dua ciri utama dalam pendekatan ini, yaitu: cara penyusunan anggaran yang didasarkan
atas pendekatan incrementalism; dan struktur dan susunan anggaran yang bersifat line-item. Ciri lain yang melekat pada
pendekatan anggaran tradisional tersebut adalah:
1. Cenderung sentralistis; 2. Bersifat spesifikasi;
3. Tahunan; dan 4. Menggunakan prinsip anggaran bruto.
Struktur anggaran tradisional dengan ciri-ciri tersebut tidak mampu mengungkapkan besarnya dana yang dikeluarkan untuk
setiap kegiatan, dan bahkan anggaran tradisional tersebut gagal dalam memberikan informasi tentang besarnya rencana kegiatan.
Oleh karena tidak tersedianya berbagai informasi tersebut, maka satu-satunya tolok ukur yang dapat digunakan untuk tujuan
pengawasan hanyalah tingkat kepatuhan penggunaan anggaran.
Masalah utama anggaran tradisional adalah terkait dengan tidak adanya perhatian terhadap konsep value for money. Konsep
ekonomi, efisiensi dan efektivitas seringkali tidak dijadikan pertimbangan dalam penyusunan anggaran tradisional. Dengan tidak
adanya perhatian terhadap konsep value for money ini, seringkali pada akhir tahun anggaran terjadi kelebihan anggaran yang
pengalokasiannya kemudian dipaksakan pada aktivitas-aktivitas yang sebenarnya kurang penting untuk dilaksanakan.
Dilihat dari berbagai sudut pandang, metode penganggaran tradisional memiliki beberapa kelemahan, antara lain;
366
366
Mardiasmo, Otonomi Manajemen Keuangan Daerah, Op cit: 139.
476
a. Hubungan yang tidak memadai terputus antara anggaran tahunan dengan rencana pembangunan jangka
panjang. b. Pendekatan incremental menyebabkan sejumlah besar
pengeluaran tidak pernah diteliti secara menyeluruh efektivitasnya.
c. Lebih berorientasi pada input daripada output. Hal tersebut menyebabkan anggaran tradisional tidak dapat
dijadikan sebagai alat untuk membuat kebijakan dan pilihan sumber daya, atau memonitor kinerja. Kinerja
dievaluasi dalam bentuk apakah dana telah habis dibelanjakan, bukan apakah tujuan tercapai.
d. Sekat-sekat antar departemen yang kaku membuat tujuan nasional secara keseluruhan sulit dicapai. Keadaan
tersebut berpeluang
menimbulkan konflik, overlapping, kesenjangan, dan persaingan antar
departemen. e. Proses anggaran terpisah untuk pengeluaran rutin dan
pengeluaran modalinvestasi. f. Anggaran tradisional bersifat tahunan. Anggaran tahunan
tersebut sebenarnya terlalu pendek, terutama untuk proyek modal dan hal tersebut dapat mendorong praktik-
praktik yang tidak diinginkan korupsi dan kolusi.
g. Sentralisasi penyiapan anggaran, ditambah dengan informasi yang tidak memadai menyebabkan lemahnya
perencanaan anggaran.
Sebagai akibatnya
adalah munculnya budget padding atau budgetary slack.
h. Persetujuan anggaran yang terlambat, sehingga gagal memberikan mekanisme pengendalian untuk pengeluaran
yang sesuai, seperti seringnya dilakukan revisi anggaran dan manipulasi anggaran.
i. Aliran informasi sistem informasi finansial yang tidak memadai yang menjadi dasar mekanisme pengendalian
rutin, mengidentifikasi masalah dan tindakan.
Beberapa kelemahan anggaran tradisional di atas sebenarnya lebih banyak merupakan kelemahan pelaksanaan anggaran, bukan
bentuk anggaran tradisional. Performance budget pada dasarnya adalah sistem penyusunan dan manajemen anggaran daerah yang
berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja. Kinerja tersebut harus mencerminkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik,
477
yang berarti harus berorientsi pada kepentingan publik. Merupakan
kebutuhan masyarakat
daerah untuk
menyelenggarakan otonomi secara luas, nyata dan bertanggung jawab dan otonomi daerah harus dipahami sebagai hak atau
kewenangan masyarakat daerah untuk mengelola dan mengatur urusannya sendiri. Aspek atau peran pemerintah daerah tidak lagi
merupakan alat kepentingan pemerintah pusat belaka melainkan alat untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah.
Secara garis besar terdapat dua pendekatan utama yang memiliki
perbedaan mendasar. Kedua
pendekatan tersebut
adalah;
367
Anggaran tradisional
atau anggaran
konvensional; danPendekatan baru yang sering dikenal dengan pendekatan New
Public Management.
Perbandingan Anggaran Tradisional vs Anggaran Dengan Pendekatan NPM
ANGGARAN TRADISIONAL NEW PUBLIC MANAGEMENT
Sentralistis Desentralisasi devolved management
Berorientasi pada input Berorientasi pada input, output, dan
outcome value for money Tidak terkait dengan perencanaan
jangka panjang Utuh dan komprehensif dengan
perencanaan jangka panjang Line-item dan incrementalism
Berdasarkan sasaran dan target kinerja Batasan departemen yang kaku
rigid department Lintas departemen
cross department Menggunakan aturan klasik:
Vote accounting Zero-Base Budgeting, Planning
Programming Budgeting System Prinsip anggaran bruto
Sistematik dan rasional Bersifat tahunan
Bottom-up budgeting Sumber : Mardiasmo 2002
Traditional budget didominasi oleh penyusunan anggaran yang bersifat line-item danincrementalism, yaitu proses penyusunan
anggaran yang hanya mendasarkan pada besarnya realisasi anggaran tahun sebelumnya, konsekuensinya tidak ada perubahan
367
Mardiasmo, Otonomi Manajemen Keuangan Daerah, Op cit: 188.
478
mendasar atas anggaran baru. Hal ini seringkali bertentangan dengan kebutuhan riil dan kepentingan masyarakat. Dengan basis
seperti ini, APBD masih terlalu berat menahan arahan, batasan, serta orientasi subordinasi kepentingan pemerintah atasan. Hal
tersebut menunjukkan terlalu dominannya peranan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Besarnya dominasi ini
seringkali mematikan inisiatif dan prakarsa Pemerintah Daerah, sehingga
memunculkan fenomena
pemenuhan petunjuk
pelaksanaan dan petunjuk teknis dari pemerintah pusat. Reformasi sektor publik yang salah satunya ditandai dengan
munculnya era New Public Financial Management telah mendorong usaha untuk mengembangkan pendekatan yang lebih sistematis
dalam perencanaan anggaran sektor publik. Seiring dengan perkembangan tersebut, muncul beberapa teknik penganggaran
sektor publik, misalnya adalah teknik anggaran kinerja performance budgeting, Zero Based Budgeting ZBB, dan Planning, Programming,
and Budgeting System PPBS.
Pendekatan baru dalam sistem anggaran publik tersebut cenderung memiliki karak-teristik umum sebagai berikut;
368
1. Komprehensifkomparatif 2. Terintegrasi dan lintas departemen
3. Proses pengambilan keputusan yang rasional 4. Berjangka panjang
5. Spesifikasi tujuan dan perangkingan prioritas 6. Analisis total cost dan benefit termasuk opportunity cost
7. Berorientasi input, output, dan outcome value for money,
bukan sekedar input. 8. Adanya pengawasan kinerja.
Perubahan dalam pengelolaan keuangan daerah harus tetap berpegang pada prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah
anggaran yang baik. Prinsip manajemen keuangan daerah yang diperlukan untuk mengontrol kebijakan keuangan daerah tersebut
meliputi; Akuntabilitas;
369
Value for Money;
370
Kejujuran dalam
368
Mardiasmo, Otonomi Manajemen Keuangan Daerah, Ibid: : 139.
369
Akuntabilitas adalah prinsip pertanggungjawaban publik yang berarti bahwa proses penganggaran mulai dari perencanaan, penyusunan dan pelaksanaan harus
benar-benar dapat dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada DPRD dan masyarakat.Akuntabilitas mensyaratkan bahwa pengambil keputusan berperilaku
479
mengelola keuangan
publik probity;
371
Transparansi;
372
danPengendalian.
373
Prinsip-prinsip yang mendasari manajemen keuangan daerah tersebut harus senantiasa dipegang teguh dan dilaksanakan
oleh penyelenggara pemerintahan, karena pada dasarnya masyarakat publik memiliki hak dasar terhadap pemerintah, yaitu;
Hak untuk mengetahui right to know, yaitu:Mengetahui kebijakan pemerintah; Mengetahui keputusan yang diambil pemerintah;
Mengetahui alasan dilakukannya suatu kebijakan dan keputusan tertentu; Hak untuk diberi informasi right to be informed yang
meliputi hak untuk diberi penjelasan secara terbuka atas permasalahan-permasalahan tertentu yang menjadi perdebatan
public; serta, Hak untuk didengar aspirasinya right to be heard and to be listened to.
374
sesuai dengan mandat yang diterimanya. Untuk ini, perumusan kebijakan, bersama- sama dengan cara dan hasil kebijakan tersebut harus dapat diakses dan
dikomunikasikan secara vertikal maupun horizontal dengan baik
370
Value for money berarti diterapkannya tiga prinsip dalam proses penganggaran yaitu ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Ekonomi berkaitan dengan pemilihan dan
penggunaan sumber daya dalam jumlah dan kualitas tertentu pada harga yang paling murah. Efisiensi berarti bahwa penggunaan dana masyarakat public money
tersebut dapat menghasilkan output yang maksimal berdaya guna. Efektivitas berarti bahwa penggunaan anggaran tersebut harus mencapai target-target atau
tujuan kepentingan publik
371
Manajemen keuangan daerah harus dipercayakan kepada staf yang memiliki integritas dan kejujuran yang tinggi, sehingga kesempatan untuk korupsi dapat
diminimalkan.
372
Transparansi adalah keterbukaan pemerintah dalam membuat kebijakan- kebijakan keuangan daerah sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh DPRD dan
masyarakat. Transparansi manajemen keuangan daerah pada akhirnya akan menciptakan horizontal accountability antara pemerintah daerah dengan
masyarakatnya sehingga tercipta pemerintahan daerah yang bersih, efektif, efisien, akuntabel, dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat.
373
Penerimaan dan pengeluaran daerah APBD harus selalu dimonitor, yaitu dibandingkan antara yang dianggarkan dengan yang dicapai. Untuk itu perlu
dilakukan analisis varians selisih terhadap penerimaan dan pengeluaran daerah agar dapat sesegera mungkin dicari penyebab timbulnya varians dan tindakan
antisipasi ke depan.
374
Mardiasmo, Otonomi Manajemen Keuangan Daerah, Ibid: : 139.
480
Dalam upaya pemberdayaan pemerintah daerah, maka perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan
daerah dan anggaran daerah adalah sebagai berikut :
1. Pengelolaan keuangan
daerah harus
bertumpu pada
kepentingan publik public oriented. Hal ini tidak saja terlihat pada
besarnya porsi
pengalokasian anggaran
untuk kepentingan publik, tetapi juga terlihat pada besarnya
partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasanpengendalian keuangan daerah.
2. Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan anggaran daerah pada khususnya.
3. Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran para partisipan yang terkait dalam pengelolaan anggaran, seperti
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD, , Sekertaris Daerah dan perangkat daerah lainnya.
4. Kerangka hukum dan administrasi bagi pembiayaan, investasi, dan pengelolaan uang daerah berdasarkan kaidah mekanisme
pasar, value for money, transparansi dan akuntabilitas. 5. Kejelasan tentang kedudukan keuangan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah DPRD, KDH, dan Pegawai Negeri Sipil PNS Daerah, baik ratio maupun dasar pertimbangannya.
6. Ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja, dan anggaran multi-tahunan.
7. Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih profesional.
8. Standar dan sistem akuntansi keuangan daerah, laporan keuangan, peran akuntan independen dalam pemeriksaan,
pemberian opini dan rating kinerja anggaran, dan transparansi informasi anggaran kepada publik.
9. Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran asosiasi, dan peran anggota masyarakat
guna pengembangan profesionalisme aparat pemerintah daerah.
10. Pengembangan sistem informasi keuangan daerah untuk menyediakan
informasi anggaran
yang akurat
dan pengembangan komitmen pemerintah daerah terhadap
penyebarluasan informasi sehingga memudahkan pelaporan dan pengendalian, serta mempermudahkan mendapatkan
informasi.
Secara lebih spesifik, paradigma anggaran daerah yang diperlukan di era otonomi daerah adalah sebagai berikut:
1. Anggaran Daerah harus bertumpu pada kepentingan publik.
481
2. Anggaran Daerah harus dikelola dengan hasil yang baik dan biaya rendah work better and cost less.
3. Anggaran Daerah harus mampu memberikan transparansi dan akuntabilitas secara rasional untuk keseluruhan siklus
anggaran. 4. Anggaran
Daerah harus
dikelola dengan
pendekatan kinerja performance orienteduntuk seluruh jenis pengeluaran
maupun pendapatan. 5. Anggaran
Daerah harus
mampu menumbuhkan
profesionalisme kerja di setiap organisasi yang terkait. 6. Anggaran Daerah harus dapat memberikan keleluasaan bagi
para pelaksananya untuk memaksimalkan pengelolaan dananya dengan memperhatikan prinsip value for money.
Dari pemaparan tersebut di atas, dapatlah penulis simpulkan bahwa salah satu kunci keberhasilan penyelenggaraan
pemerintahan dalam menghadapi era global adalah dengan mengembangkan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dengan
demikian, diharapkan mekanisme perumusan kebijakan yang akomodatif terhadap aspirasi masyarakat daerah dapat dibangun,
sehingga keberadaan otonomi daerah akan lebih bermakna dan pada akhirnya akan meningkatkan mutu pelayanan kepada
masyarakat. Sejalan dengan itu, Pemerintah Daerah harus dapat mendayagunakan
potensi sumber
daya daerah
secara optimal.Dengan semakin berkurangnya tingkat ketergantungan
Pemerintah Daerah terhadap Pemerintah Pusat, Daerah dituntut melaksanakan reformasi manajemen keuangan daerah, sehingga
akan memacu terwujudnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab, yang dapat memperkokoh basis
perekonomian daerah, serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dalam menyongsong era perekonomian global.
Ada 3 tiga Hal utama yang menopang keberhasilan manajemen keuangan public, yaitu: manajemen pendapatan,
manajemen belanja dan manajemen pembiayaan. Pengetahuan dan keahlian tentang manajemen pendapatan bagi para manajer public
sangat
penting karena
besar kecilnya
pendapatan akan
menentukan tingkat kualitas pelaksanaan pemerintahan, tingkat kemampuan pemerintah dalam penyediaan pelayanan public serta
keberhasilan pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan.
482
Tahapan siklus manajemen pendapatan daerah adalah identifikasi sumber, administrasi, koleksi, pencatatan akuntansi
dan alokasi pendapatan. Pada tahap Identifikasi Sumber Pendapatan; kegiatan yang dilakukan berupa pendataan sumber-
sumber pendapatan termasuk menghitung potensi pendapatan. Identifikasi pendapatan pemerintah meliputi: Pendataan objek
pajak, subjek pajak, dan wajib pajak;Pendataan objek retribusi, subjek
retribusi, dan
wajib retribusi;Pendataan
sumber penerimaan bukan pajak;Pendataan lain-lain pendapatan yang
sah;Pendataan potensi pendapatan untuk masing-masing jenis pendapatan.
Administrasi pendapatan sangat penting dalam siklus manajemen pendapatan karena pada tahap ini akan menjadi dasar
untuk tahapan koleksi pendapatan. Kegiatan yang akan dilakukan meliputi: Penetapan wajib pajak dan retribusi; Penentuan jumlah
pajak dan retribusi; Penetapan Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah NPWPD dan Nomor Pokok Wajib Retribusi; Penerbitan Surat
Ketetapan Pajak Daerah dan Surat Ketetapan Retribusi Daerah.
Koleksi pendapatan meliputi penarikan, pemungutan, penagihan dan pengumpulan pendapatan baik yang berasal dari
wajib pajak daerah dan retribusi daerah, dana perimbangan dari pemerintah
pusat ataupun
sumber lainnya.Khusus
untuk pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dapat digunakan
beberapa sistem, diantaranya :
1. Self assessment system : ialah sistem pemungutan pajak daerah yang dihitung, dilaporkan dan dibayarkan sendiri oleh wajib
pajak daerah. Dengan sistem ini wajib pajak mengisi Surat Pemberitahuan Pajak Daerah SPTPD dan membayarkan pajak
terutangnya ke Kantor Pelayanan Pajak Daerah KPPD unit kerja yang ditetapkan pemerintah daerah.
2. Official assessment system : ialah sistem pemungutan pajak yang nilai pajaknya ditetapkan oleh pemerintah. Dalam hal ini
ditetapkan oleh gubernurbupatiwalikota melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah dan Surat Ketetapan retribusi
yang menunjukan jumlah pajak retribusi daerah terutang.
3. Joint collection : ialah sistem pemunguan pajak daerah yang dipungut oleh pemungut pajak yang ditunjuk pemerintah
daerah.
483
Setiap penerimaan pendapatan harus segera disetor ke rekening kas umum daerah pada hari itu juga paling lambat sehari
setelah diterimanya pendapatan tersebut. Untuk menampung seluruh sumber pendapatan perlu dibuat satu rekening
tunggal treasury single account, dalam hal ini rekening kas umum daerah.
Tujuan pembuatan satu pintu untuk pemasukan pendapatan adalah untuk memudahkan pengendalian dan pengawasan
pendapatan. Penerimaan pendapatan tersebut dibukukan dalam buku akuntansi, berupa jurnal kas, buku pembantu, buku besar
penerimaan per rincian objek pendapatan. Kemudian buku catatan akuntansi tersebut akan diringkas dan dilaporkan dalam laporan
keuangan pemerintah daerah, yaitu Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Laporan Arus Kas.
Alokasi Pendapatan merupakan tahapan terakhir dari siklus manajemen pendapatan, yaitu pengambilan keputusan untuk
menggunakan dana yang ada untuk membiayai pengeluaran daerah yang dilakukan. Pengeluaran daerah meliputi pengeluaran belanja,
yaitu, belanja operasional dan belanja modal, maupun untuk pembiayaan pengeluaran yang meliputi pembentukan dana
cadangan, penyertaan modal daerah, pembayaran utang dan pemberian pinjaman daerah.
c. Reformasi Manajemen Keuangan Pemerintahan.
Manajemen keuangan pemerintah merupakan salah satu kunci penentu keberhasilan pembangunan dan penyelenggaraan
pemerintahan dalam kerangka nation and state building. Adanya manajemen keuangan pemerintah yang baik akan menjamin
tercapainya tujuan pembangunan secara khusus, dan tujuan berbangsa dan bernegara secara umum. Karenanya, langkah-
langkah strategis dalam konteks penciptaan, pengembangan, dan penegakan sistem manajemen keuangan yang baik merupakan
tuntutan sekaligus kebutuhan yang semakin tak terelakkan dalam dinamika pemerintahan dan pembangunan.
Munculnya perhatian
yang besar
akan pentingnya
manajemen keuangan pemerintah dilatarbelakangi oleh banyaknya tuntutan, kebutuhan atau aspirasi yang harus diakomodasi di satu
484
sisi, dan terbatasnya sumberdaya keuangan pemerintah di sisi lain. Dengan demikian, pencapaian efektivitas dan efisiensi keuangan
pemerintah semakin
mengemuka untuk
diperjuangkan perwujudannya.
Dalam upaya perwujudan manajemen keuangan pemerintah yang baik, terdapat pula tuntutan yang semakin aksentuatif untuk
mengakomodasi, menginkorporasi, bahkan mengedepankan nilai- nilai good governance. Beberapa nilai yang relevan dan urgen untuk
diperjuangkan adalah antara lain transparansi, akuntabilitas, serta partisipasi masyarakat dalam proses pengelolaan keuangan
dimaksud, disamping nilai-nilai efektivitas dan efisiensi tentu saja. Dalam konteks yang lebih visioner, manajemen keuangan
pemerintah tidak saja harus didasarkan pada prinsip-prinsip good governance, tetapi harus diarahkan untuk mewujudkan nilai-nilai
dimaksud.
Sebagaimana dibahas dalam artikel Mulia P. Nasution berjudul
Reformasi Manajemen
Keuangan Pemerintah
.
375
pemerintah Indonesia sebenarnya sudah memberi perhatian yang sungguh-sungguh
untuk mengakomodasi
dan mewujudkan
harapan dan tuntutan di atas. Upaya mewujudkan manajemen keuangan pemerintah yang baik, antara lain, diperjuangkan dengan
memperhatikan prinsip dan nilai-nilai good governance. Yang selama ini sudah dilakukan adalah dengan membahas Rancangan
Undang-Undang Keuangan Negara yang sudah diundangkan dewan Perwakilan Rakyat DPR pada tanggal 9 Maret 2003, menjadi
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Terdapat 4 empat prinsip dasar pengelolaan keuangan negara
yang menjadi fokus perhatian utama dalam Undang-Undang ini, yaitu:
1. Akuntabilitas berdasarkan hasil atau kinerja, sehingga muncul kerangka kerja baru denga
n nama Anggaran Berbasis Kinerja Performance Budget
yang pada saat ini sedang diujicobakan pelaksasanaannya dan diharapkan dimulai pada tahun
anggaran 2005; 2. Keterbukaan dan setiap transaksi keuangan pemerintah;
3. Pemberdayaan manajer profesional; dan
375
Jurnal Forum Inovasi, Desember –Februari 2003.
485
4. Adanya lembaga pemeriksa eksternal yang kuat, profesional, dan mandiri serta dihindarinya duplikasi dalam pelaksanaan
pemeriksaan double accounting. Berdasarkan keempat prinsip tersebut, maka artikel ini menempatkan reformasi
perbendaharaan dan reformasi di bidang auditing sebagai agenda yang mendesak.
Pentingnya reformasi
keuangan pemerintah
dengan beberapa bidang di atas sebagai fokusnya, dalam penilaian penulis
ini, dilatarbelakangi oleh beberapa pertimbangan strategis yang terutama diwakili oleh luasnya skala persoalan yang harus diatasi.
Persoalan-persoalan dimaksud antara lain :
1. Rendahnya efektivitas dan efisiensi penggunaan keuangan pemerintah
akibat maraknya
irasionalitas pembiayaan
kegiatan negara. Kondisi ini disertai oleh rendahnya akuntabilitas para pejabat pemerintah dalam mengelola
keuangan publik. Karenanya, muncul tuntutan yang meluas untuk menerapkan sistem anggaran berbasis kinerja.
2. Tidak adanya skala prioritas yang terumuskan secara tegas dalam proses pengelolaan keuangan negara yang menimbulkan
pemborosan sumber daya publik. Selama ini, hampir tidak ada upaya untuk menetapkan skala prioritas anggaran di mana ada
keterpaduan antara rencana kegiatan dengan kapasitas sumber daya yang dimiliki. Juga harus dilakukan analisis biaya-manfaat
cost and benefit analysis sehingga kegiatan yang dijalankan tidak saja sesuai dengan skala prioritas tetapi juga
mendatangkan tingkat keuntungan atau manfaat tertentu bagi publik.
3. Menuntut dilakukannya reformasi manajemen keuangan pemerintah adalah terjadinya begitu banyak kebocoran dan
penyimpangan, misalnya sebagai akibat adanya praktek KKN. 4. Rendahnya
profesionalisme aparat
pemerintah dalam
mengelola anggaran publik. Inilah merupakan sindrom klasik yang senantiasa menggerogoti negara-negara yang ditandai
oleh superioritas pemerintah. Dinamika pemerintah, termasuk pengelolaan keuangan di dalamnya, tidak dikelola secara
profesional sebagaimana dijumpai dalam manajemen sektor swasta. Jarang ditemukan ada manajer yang profesional dalam
sektor publik. Bahkan terdapat negasi yang tegas untuk memasukkan kerangka kerja sektor swasta ke dalam sektor
publik di mana nilai-nilai akuntabilitas, profesionalisme, transparansi, dan economic of scale menjadi kerangka kerja
utamanya.
486
Dengan memperhatikan beberapa patologi tersebut, disertasi ini sampai pada beberapa rekomendasi strategis yang
pada intinya ingin mengembalikan manajemen keuangan pemerintah dalam bentuk anggaran sebagai alat akuntabilitas,
manajemen dan kebijakan ekonomi yang sehat.
Menarik dari pembahasan penulis ini adalah adanya upaya untuk memisahkan secara tegas antara kewenangan administratif
dan kewenangan kebendaharaan. Dalam penilaian penulis ini kewenangan administratif seyogyanya berada dan diatur oleh
masing-masing departemen lembaga pemerintah, sementara kewenangan kebendaharaan berada di tangan Menteri Keuangan.
Kewenangan administratif meliputi otoritas untuk melakukan perikatan
kontrak atau
tindakan-tindakan lain
yang mengakibatkan terjadinya penerimaan atau pengeluaran negara
serta perintah untuk melakukan pembayaran atau menagih penerimaan yang timbul sebagai konsekuensi dari suatu perikatan.
Sedangkan kewenangan kebendaharaan meliputi tidak boleh secara sempit
ditafsirkan sebagai
sekedar fungsi
kasir untuk
membayarkan tagihan atau mengelola penerimaan, tetapi juga meliputi otoritas untuk meneliti kebenaran penerimaan dan
pengeluaran tersebut. Dalam konteks ini, Menteri Keuangan bertindak sebagai kasir, pengawas, sekaligus sebagai fund manager.
Pembagian yang demikian sangat menarik untuk dibahas sejalan
dengan munculnya
kontroversi yang
luas pasca
diundangkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Bagi mereka yang pro dengan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara tersebut, Menteri Keuangan dan Departemen Keuangan sudah saaatnya diberi
kewenangan yang lebih luas, tidak saja untuk mengelola keuangan negara an sich tetapi juga melakukan verifikasi atas penerimaan
dan pengeluaran tersebut serta otoritas di bidang perencanaan yang secara langsung maupun tidak langsung akan menghapus atau
tepatnya mengurangi peran dan fungsi Bappenas serta keberadaan Badan Usaha Milik Negara BUMN lainnya.
376
Argumentasi yang demikian dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa badan yang
mengelola anggaran seharusnya dilibatkan secara aktif untuk turut
376
Kontan, 24 Maret 2003, Republika, 15 April 2003, Koran Tempo 27 Maret 2003.
487
menentukan perencanaan pembangunan. Dengan demikian, ada sinergi dan rasionalitas yang tinggi antara rencana kegiatan yang
diusulkan dengan kapasitas anggaran yang tersedia.
Sementara itu muncul juga kelompok kedua yang menentang diberlakukannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2003 Tentang Keuangan Negara ini. Bagi mereka, mendelegasikan wewenang penganggaran dan perencanaan yang begitu besar
kepada Departemen Keuangan sama halnya dengan memberi cek kosong kepada lembaga tersebut. Argumentasi ini dilatarbelakangi
oleh pertimbangan bahwa, pertama, penyerahan mandat absolut kepada Departemen Keuangan jelas sangat bertentangan dengan
prinsip pemerintahan yang baik good governance, terutama transparansi dan akuntabilitas. Adanya wewenang perencanaan
dan penganggaran pada satu lembaga akan menyebabkan tidak bekerjanya mekanisme check and balance, dan kedua, Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara tersebut secara langsung telah mempreteli hak prerogatif presiden dalam
melakukan reorganisasi dan restrukturisasi Kementerian Negara; dan ketiga, Departemen Keuangan diidentifikasi sebagai salah satu
pusat masalah dalam pengelolaan anggaran di Indonesia sehingga sangat tidak bijak untuk mendelegasikan wewenang yang besar
kepada sebuah lembaga yang memang bermasalah.
377
Terlepas dari pro dan kontra di atas, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara tersebut sebenarnya
ingin mengintroduksi sebuah kerangka kerja baru yang bersemangatkan nilai-nilai good governance, terutama efektivitas
dan efisiensi walaupun kurang memberikan garansi bagi terwujudnya akuntabilitas dan transparansi karena absennya
mekanisme check and balance. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara ini berusaha mendorong
terwujudnya suatu kerangka hukum yang jelas tentang tata cara pengelolaan keuangan negara yang bersih dari korupsi,
penyelewengan, atau penyimpangan. Misalnya ada ketentuan untuk membatasi defisit anggaran sebesar maksimum 60 dari Produk
Domestik Bruto PDB dan dalam penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBD, defisit anggaran tidak boleh
377
Forum Indonesia Raya, 2003.
488
melebihi 3 dan utang tidak boleh melebihi 60 dari Produk Domestik Regional Bruto PDRB. Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara tersebut sekaligus mengganti pedoman pelaksanaan keuangan negara yang masih
merupakan warisan Hindia Belanda, yaitu Stbl. 1925 No. 448 selanjutnya diubah dan diundangkan dalam Lembaran Negara.
1954 Nomor. 6 Tahun 1955 dan terakhir Undang-Undang Nomor. 9 Tahun
1968 Tentang
Perubahan Pasal
7 Indische
Comptabilitetiswet STBL, 1925 Nomor 448. Semangat baru yang dikedepankan oleh Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara ini adalah adanya pengawasan yang semakin meningkat dimana diamanatkan bahwa
laporan kepada badan Pemeriksa Keuangan BPK harus diajukan selambat-lambatnya 6 bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Demikian juga, para pejabat maupun publik yang terbukti merugikan keuangan negara diwajibkan untuk mengganti kerugian
dimaksud.
378
Demikian halnya
dengan kemungkinan
untuk menuntut bendahara negara secara pribadi yang terbukti
melakukan kelalaian, penyelewengan, atau korupsi termasuk kewajiban untuk mengganti kerugian atas keuangan Negara.
379
Selain nilai-nilai yang diperjuangkan melalui Undang- Undang di atas, ada juga langkah maju walaupun masih pada
tataran wacana yang sedang diupayakan dan menjadi kesepakatan semua pihak, yaitu perlunya upaya untuk mengefektifkan fungsi
pengawasan dan pemeriksaan pengelolaan keuangan negara. Selama ini, fungsi tersebut dijalankan oleh Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan BPKP sebagai state auditor. Lembaga ini diberi kewenangan untuk melakukan verifikasi atas
semua pos penerimaan dan pengeluaran pembangunan negara yang dilakukan setiap akhir tahun anggaran. Banyak temuan yang
berhasil menyelamatkan sumberdaya negara, walaupun tidak sedikit juga yang luput dari pengawasan. Pembenahan internal
dalam tubuh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan BPKP mutlak dilakukan karena lembaga yang dianggapa sebagai benteng
378
Pasal 35 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara
379
Sinar Harapan, 6 Mei 2003.
489
terakhir dalam manajemen keuangan negara ini juga tidak lepas dari masalah. Muncul penilaian bahwa Badan Pengawas Keuangan
dan Pembangunan BPKP adalah bagian dari masalah a part of the problem. Lembaga itu tidak jarang terlibat dalam konspirasi
dengan pihak kedua yang sangat merugikan keuangan negara.
Jika Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan BPKP sebagai state auditor masih terbelit pada berbagai masalah, maka
salah satu alternatif yang bisa ditempuh adalah dengan mendayagunakan independent external auditor. Ini merupakan
lembaga pemeriksa independen yang berasal dari luar pemerintah semisal konsultan-konsultan akuntansi publik yang kini banyak
berkembang. Banyak contoh yang memperlihatkan bagaimana kiprah dan kontribusi positif lembaga-lembaga tersebut dalam
menyelematkan keuangan negara. Sebut saja apa yang dilakukan Anderson Counsultant, sebuah perusahaan konsultan internasional,
yang berhasil membongkar kroni Soeharto. Lembaga-lembaga semacam itu bisa dipekerjakan untuk menopangan kinerja
keuangan pemerintah.
Apa yang telah dipaparkan di atas tidak hanya menjadi pekerjaan rumah pemerintah pusat. Bersamaan implementasi
otonomi daerah, reformasi manajemen keuangan pemerintah perlu juga dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Bahkan reformasi
keuangan pemerintah daerah semakin mendesak dilakukan mengingat masih terbatasnya kemampuan manajemen keuangan di
kalangan pemerintah daerah di satu sisi, dan semakin banyaknya anggaran pembangunan dan pelayanan publik yang mengalir ke
daerah menyusul implementasi otonomi daerah di sisi lain. Gejala- gejala KKN Kolusi Korupsi dan Nepotisme dalam manajemen
keuangan daerah, proses tender yang tidak terbuka, dan parktek- praktek manipulatif lainnya kini sudah semakin merebak di daerah.
Muncul pula keluhan bahwa implementasi otonomi daerah hanya memindahkan borok permasalah dari pemerintah pusat kepada
pemerintah
daerah justru
ketika masyarakat
semakin mengharapkan kondisi kehidupan dan kesejahteraan yang semakin
baik. Fasilitasi yang dilakukan oleh World Bank bekerjasama dengan Bappenas, Departemen Dalam Negeri, dan Departemen
Keuangan RI dalam skema program Initiatives for Local Governance
490
Reform ILGR adalah dalam kerangka penegakan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara itu.
Di atas semua itu, hasil penelitian disertasi ini memberikan perhatian khusus pada penegakan integritas dan profesionalisme
umber Daya Manusia SDM aparat pelaksana. Bagaimanapun idealnya sebuah aransemen kebijakan, jika tidak didukung oleh
kapasitas dan moral pejabat yang baik maka kebijakan tersebut tidak akan banyak bermanfaat. Langkah-langkah capacity building
untuk peningkatan profesionalisme aparat pelaksana, baik yang berwenang mengelola keuangan negara maupun pejabat yang
menggunakannya, sangat mendesak dilakukan karena diidentifikasi bahwa salah satu persoalan yang menimbulkan kesemerawutan
pengelolaan keuangan pemerintah terletak pada rendahnya kapasitas aparat. Pemberdayaan kapasitas aparat tersebut, sekali
lagi, tidak hanya terbatas pada aparat di pusat tetapi juga aparat daerah. Hanya jika terdapat Sumber Daya Manusia SDM yang
memiliki integritas dan moral yang tinggi serta kemampuan manajerial dan operasional yang tinggi baru langkah-langkah
reformasi keuangan pemerintah yang telah dirumuskan dalam berbagai paket kebijakan tersebut berhasil diimplementasikan.
4. Membangun