Antara Korupsi, Kebudayaan dan Politik

287 memperoleh kedudukan dalam pemerintahan. Budaya tersebut juga tidak menyebar di dalam kalangan elit politik saja, namun masyarakat Indonesia yang tidak paham dan mengabaikan pemahaman betapa pentingnya penghilangan praktik korupsi juga turut membantu jalannya korupsi walaupun kasus dominan yang sering terjadi di masyarakat masih berskala kecil. Dari praktik kecil korupsi itulah muncul bibit-bibit generasi para elit politik dengan kejahatan white collar crime.

11. Antara Korupsi, Kebudayaan dan Politik

Kekuasan. Korupsi di Indonesia banyak disebabkan oleh interaksi berbagai variabel yang kompleks. Transformasi yang cepat dari masyarakat agraris ke masyarakat industri menyebabkan kebutuhan yang bergerak cepat, membuat orang tidak sabar dan akhirnya terdorong untuk memenuhinya dengan tindakan korup. Kehidupan lingkungan misalnya pergaulan dengan alat-alat konsumsi yang relatif tinggi, untuk menjaga wibawa dan survive dalam lingkungan itu maka pejabat publik terdorong untuk melakukan korupsi. Misalnya dengan menurunkan sebuah standar persyaratan dan menerima hadiah dari suatu perusahaan atau institusi. Semua itu bisa terjadi karena moralitas atau kepribadian yang lemah. Orientasi kepada kehormatan kebendaan, diterima lingkungan menjadi salah satu sebab korupsi. Faktor budaya terutama loyalitas kepada keluarga, menyebabkan berkurangnya loyalitas kepada negara jabatan publik. Seorang pejabat publik dalam keluarga besar sangat dihormati dan hal ini memerlukan konsekuensi finansial yang sebenarnya tidak sesuai dengan penghasilan resmi. Pembelanjaan uang negara memang sudah didesign bertujuan untuk memperkuat permintaan dan menghidupkan industri di masyarakat. Uang negara yang sudah dianggarkan untuk dibelanjakan secara normal sudah memberikan honorarium yang cukup kepada pelaku seperti pemimpin proyek pimpro, sekretaris, dan bendahara proyek. Plus berbagai fasilitas ini gaji pegawai pemerintah khususnya yang memegang jabatan sesungguhnya tidak terlalu rendah. Pembagian ini kurang merata 288 karena pejabat yang lebih tinggi terlibat dalam berbagai proyek pembelanjaan dana non rutine atau anggaran pembangunan. Peluang korupsi terjadi ketika pejabat memiliki mental yang lemah dan berusaha untuk mendapat lebih dari sekedar honorarium proyek yang resmi dan pengusaha juga ingin memenangkan proyek tersebut dengan berbagai cara. Membaca situasi bangsa Indonesia saat ini seakan hanya berupa sketsa duka. Rakyatnya bersedih atas segala celaka yang menimpa; bom bunuh diri, kecelakaan pesawat terbang, tabrakan kapal, kebakaran, pembantaian primata, dan yang tak kalah destruktifnya adalah korupsi para pejabatnya. Yang tersebut terahir itu, sudah banyak indikasi telah mengalami diaspora hingga ke kalangan birokrasi di tingkat terendah rakyatnya. Untuk peristiwa-peristiwa yang menimpa sebelumnya, marilah kita bersikap legawa dan memberikan kepercayaan pada pihak-pihak terkait untuk segera mengatasinya, tentu tanpa mengurangi dukungan dan pengawasan kita sebagai bagian dari anasir bangsa. Namun, untuk yang disebut di akhir, penulis mengajak untuk mencermati bagaimana sesungguhnya korupsi itu pada awalnya dan bagaimana cara kerjanya. Untuk mencermati antara korupsi, budaya serta politk kekuasaan, Sekitar abad 14, seorang sejarawan dan sosiolog muslim Ibnu Khaldun 222 pernah menulis tentang korupsi sbagai berikut: Sebab utama korupsi adalah nafsu untuk hidup mewah melalui jalan pintas. Korupsi yang dilakukan pada level atas akan menyebabkan kesulitan-kesulitan ekonomi dan kesulitan ini pada gilirannya akan membangkitkan korupsi lebih lanjut. Justru karena itu pemberantasan korupsi harus dimulai dari akarnya, yaitu pada level atas dan penanggulangannya harus pula melibatkan seluruh komponen bangsa. Korupsi pada awalnya hanyalah sebuah budaya suap yang sering ditujukan untuk mempermudah suatu urusan antar manusia. Belum ada formula atau konsepsi formal untuk mendefinisikannya. Saat terjadi revolusi Prancis muncul prinsip-prinsip pemisahan 222 Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Terj Ahmadi Thoha Pustaka Firdaus: Jakarta, 1986, hlm 45. 289 antara kepentingan dan kepemilikan harta pribadi dan kewenangan atas jabatan yang diembannya, baik ia seorang pejabat negara maupun dalam jajaran pejabat suatu perusahaan. Sejak saat itu, penyalahgunaan wewenang kekuasaan dan jabatan demi kepentingan pribadi khususnya dalam soal keuangan dicap sebagai perilaku korupsi. Disamping itu, korupsi juga di maksudkan sebagai tindakan menyimpang dari tugas-tugas resmi atas jabatan atau kekuasaan yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan pribadi berupa status sosial, popularitas, kekayaan, atau untuk skala perorangan, karib-kerabat, maupun untuk kelompoknya sendiri. Korupsi adalah tindak kejahatan di ranah publik, karena itu jenis kriminal ini terkenal di seluruh penjuru bumi dan menjadi permasalahan global. Tercatat ada beberapa istilah yang digunakan untuk menggambarkan bagaimana sebuah praktek korupsi terjadi. Istilah ini awalnya adalah hal wajar sebagai bagian dari budaya masyarakat setempat, namun kemudian mengalami penyempitan makna setelah tersentuh kepentingan untuk melakukan praktek korupsi. Di China, Hongkong, Taiwan dan Macao terkenal istilah Angpao atau amplop merah yang berisi sejumlah uang. Angpao biasanya deberikan saat hari raya Imlek, namun dalam perkembangannya korupsi dapat menyusup masuk dan menunggangi budaya ini. Begitu juga di negara lain, di Arab ada Baksis, Payola di Filipina, Metabiche di Afrika Tengah, Propina di Amerika Latin, Fakelaki di Finlandia, Pots de vin di Perancis, dan Schmiergeld di Jerman. Di jajaran institusi pun muncul c-world IMF, IDB dan kick-back pejabat institusi. Franz Magnis-Suseno mengemukakan hubungan antara korupsi dan nilai-nilai kebudayaan. Korupsi dapat dicari penyebabnya dalam nilai-nilai budaya tradisonal yang berkembang di masyarakat atau negara itu. Selanjutnya dia memberikan dua nilai budaya yang menunjang terjadinya korupsi yaitu personalistik dan rasa kekeluargaan, dan pengaruh feodalisme. 223 Nilai personalistik dan feodalisme tertanam kuat dalam kebudayaan masyarakat tertentu maka konsekuensinya korupsi yang ada dalam masyarakat itu akan tertanam kuat juga dan sulit untuk 223 Franz Magnis-Suseno, Filsafat Kebudayaan Politik, PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 1992, hlm: 126-128. 290 dihilangkan. Nilai kekeluargaan dan kekerabatan yang menjadi nilai yang sungguh kental dalam masyarakat Indonesia. Rasa kekeluargaan yang tinggi melahirkan perilaku korupsi di Indonesia seperti perilaku Soeharto dan keluarganya. Meskipun pada akhirnya Magnis-Suseno juga membantah pendapatnya sendiri bahwa pengembalian korupsi pada nilai-nilai budaya korupsi merupakan sebuah bentuk rasionalisasi. Sebab korupsi juga terjadi di zaman modern ininilai-nilai modern telah berkembang. Namun Ia menganggap nilai-nilai tradisional hanya menentukan bentuk dan pola dari korupsi itu. 224 Kebudayaan juga bercirikan turun-temurun dari satu generasi ke generasi pengertian kebudayaan bagian keempat di atas. Kebudayaan adalah hasil bersama yang melibatkan banyak generasi sebagai pendukung dan pengembangnya. 225 Korupsi yang telah terjadi di Indonesia berlangsung sejak masa pemerintahan Soeharto atau bahkan pada masa pemerintahan Soekarno. Sekarang korupsi tidak berkurang meskipun sebuah generasi baru muncul reformasi bahkan korupsi di era refomasi semakin besar. Boleh dikatakan korupsi merupakan warisan kebudayaan orde baru yang terus melekat dalam generasi reformasi sekarang ini. Soejanto Poespowardojo mengatakan bentuk-bentuk kebudayaan memiliki nilai relatif bukan hanya mengandung hal-hal yang sehat dan membangun hidup manusia tetapi juga mengandung unsur-unsur yang menghambat dan bahkan menghancurkan kehidupan masyarakat itu. Keinginan untuk memeroleh kehidupan pribadi seorang koruptor dengan menjalankan tindakan korupsi merupakan sebuah unsur budaya yang kurang sehat. Sebab pada dasarnya perilaku korupsi bisa menghancurkan masyarakat baik secara ekonomi, politik, sosial maupun budayanya. Negara Indonesia mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan, moralitas para politisi yang kurang baik dan lain-lain. 224 Franz Magnis-Suseno, Filsafat Kebudayaan Politik, Ibid: hlm: 128. 225Soerjanto Poespowardojo, Stategi Kebudayaan ; Suatu Pendekatan Filosofis, PT Gramedia: Jakarta, 1989, hlm: 220-225. 291

12. Dimensi Korupsi Di Daerah.