Menggali Akar Fundamental Terjadinya

281 kewirausahaan pemerintah. Sudah menjadi hakekatnya bahwa pemerintah cenderung melakukan kegiatan atas dasar kekuatan paksa hukum, dan tidak berdasarkan prinsip-prinsip pasar, sehingga ketika dihadapkan pada situasi yang bermuatan bisnis, pemerintah tidak bisa menjalankannya dengan baik. Salah satu cara untuk mengatasi hal ini pemerintah daerah bisa menempuh jalan dengan menyerahkan pengelolaan perusahaan daerah kepada swasta melalui privatisasi. Dalam kaitannya dengan persoalan korupsi, keterlibatan masyarakat dalam pengawasan terhadap pemerintah daerah juga perlu diupayakan. Penulis mempunyai hipotesis bahwa pemerintah daerah atau pejabat publik lainnya, termasuk legislatif, pada dasarnya kurang bisa dipercaya, lebih-lebih untuk urusan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah. Tidak pernah sekalipun terdengar ada institusi pemerintahan, termasuk di daerah yang terbebas dari penyalahgunaan uang rakyat. Masyarakat harus turut aktif dalam menangkal perilaku korupsi di kalangan pejabat publik, yang jumlahnya hanya segelintir dibandingkan dengan jumlah rakyat pembayar pajak yang diwakilinya. Rakyat boleh menarik mandat jika wakil rakyat justru bertindak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan mengkhianati nurani keadilan masyarakat.

10. Menggali Akar Fundamental Terjadinya

Korupsi. Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan. Dalam seluruh penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu menempati posisi paling rendah. Perkembangan korupsi di Indonesia juga mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun hingga kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik terang melihat peringkat Indonesia dalam perbandingan korupsi antar negara yang tetap rendah. Hal ini juga ditunjukkan dari banyaknya kasus-kasus korupsi di Indonesia. Berdasarkan pengamatan penulis, selama melakukan penelitian disertasi ini, Korupsi di Indonesia makin hari makin 282 menjadi, seakan tindakan yang melanggar kriminalitas dan norma- norma dihalalkan dan diabaikan, di mana kasus-kasus korupsi seringkali diberitakan di media massa. Hampir setiap berita yang dimuat media membahas tentang korupsi, sehingga mengurangi kepercayaan masyarakat atau publik terhadap kinerja pemerintah dalam tugasnya membangun negara. Contohnya kasus korupsi paling rumit di tahun 2010, Gayus Tambunan seorang pegawai departemen pajak yang hanya bergolongan III A sudah mempunyai asset sebesar 250 miliar sedangkan rata-rata penghasilan pegawai pajak departemen golongan III A tidak berpendapatan sebanyak itu. Tidak hanya Gayus sebagai pamor mafia pajak yang membuat Anggaran Pendapatan Belanja Negara APBN berkurang, tapi juga kasus penyelewengan dana yang banyak diberitakan di media massa berdampak pada jalannya sektor pembangunan negara. Misalnya dari penangkapan kasus korupsi sekertaris Menpora Wafid Muharram yang divonis telah menerima penyuapan, penyimpangan dana Otonomi khusus provinsi Papua, dan pencekalan tersangka kasus korupsi Joko Sutrisno dalam pelaksanaan lomba ketrampilan siswa dan pameran SMK Kementrian pendidikan Nasional yang ditangani KPK Komisi Pemberantasan Korupsi. Padahal, korupsi dapat mengurangi nilai manfaat suatu pembangunan dan memperlambat perkembangan negara ke arah yang lebih maju. Dalam 13 buah Pasal Undang-Undang Nomor.31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi dirumuskan dalam bentuk tindak pidana korupsi yang dijelaskan di dalam pasal-pasal tersebut. Dasar –dasar dari tindak korupsi dikelompokkan menjadi tujuh yaitu: Kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, gratifikasi. Bentuk-bentuk lain tertera pada Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang berisi tentang tindakan pidana yang berkaitan dengan tindakan korupsi, seperti: merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi, tidak memberi 283 keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka, saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu, orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu, saksi yang membuka identitas pelapor. Dari sejarah yang dikaji, terlihat bahwa korupsi sudah menjadi budaya para aparatur negara Indonesia sehingga rakyat jengah melihat keadaan Indonesia yang semakin miskin karena ketidakmerataan alokasi dan distribusi Sumber Daya Alam SDA, infrastruktur pembangunan kurang memadai dan kekacauan permasalahan sosial dan politik Indonesia. Dampaknya, rakyat semakin apatis untuk memperhatikan peranan pemerintah dan pemerintah menjadi asumsi negatif di mata rakyat. Aparat pemerintah juga menjadi teladan bagi masyarakat Indonesia dimana korupsi juga menyebar luas di kalangan masyarakat. Masyarakat juga tidak ingin dibodohi terus-menerus oleh pemerintah sehingga mereka juga sering melakukan praktik korupsi, baik dalam skala besar maupun kecil. Contoh kasusnya terlihat pada kasus kecil dimana penilangan polisi dibayar memakai lembaran dua puluh ribu, daftar pekerjaan atau kuliah dengan menggunakan amplop, dan perilaku korupsi lainnya yang menimbulkan mental bangsa Indonesia menjadi mental korupsi dan mengakar menjadi budaya bangsa Indonesia. Telah banyak usaha yang dilakukan untuk membrantas korupsi, namun sampai saat ini hasilnya masih tetap belum sesuai dengan yang harapan masyarakat. Melihat kenyataan betapa sulitnya usaha pemberantasan korupsi, sebenarnya wajar saja jika sampai timbul public judgement bahwa korupsi adalah manisfestasi budaya bangsa. Ibarat wabah Demam Berdarah Dingin DBD, korupsi kini telah memasuki arena Kejadian Luar Biasa KLB. Salah satu akibat buruk dari perilaku korup yang kini semakin membudaya di Indonesia adalah kerugian keuangan negara. Selama tiga tahun terakhir terdapat trend kenaikan kerugian keuangan negara yang menurut catatan akhir tahun Indonesian Corruption Watch pada tahun 2004 mencapai Rp. 4,3 triliun, tahun 2005 284 mencapai Rp 5,3 triliun dan tahun 2006 meningkat tiga kali lipat menjadi Rp 14,4 triliun. 215 Begitu kronisnya penyakit korupsi di Indonesia yang telah berhasil digambarkan oleh Syafei Maarif, 216 adalah sebagai berikut: akibat korupsi yang semakin merajalela kini bangsa Indonesia dalam kondisi yang sangat menyedihkan. Departemen Agama RI yang seharusnya mengurusi pembangunan mental hati bangsa adalah salah satu departemen terkorup di negeri ini. Kemudian Departemen Pendidikan RI yang seharusnya mengurusi usaha mencerdaskan bangsa otak juga merupakan salah satu departemen terkorup. Demikian juga Departemen Kesehatan RI yang seharusnya mengurusi kesehatan secara fisik bangsa Indonesia juga salah satu Departemen Terkorup di negeri ini. Lebih jauh Deny Indrayana, 217 mengemukakan bahwa: Kemudlaratan korupsi telah sukses merambah seluruh aspek kehidupan sosial diantaranya; mahalnya biaya pendidikan, kesehatan, minimnya fasilitas umum, minimnya fasilitas militer, penegakkan hukum yang pilih tebang, minimnya lapangan kerja, dana bantuan di-potong, ekonomi biaya tinggi, Bahan Bakar Minyak BBM mahal, dan banyaknya biaya-biaya yang tidak jelas invisble cost. Banyak indikasi yang menyebutkan bahwa faktor daya dorong driving force terhadap membudayakan budaya korupsi selalu berhubungan dengan usaha pemuasan fasilitas kehidupan yang hedonistik, yaitu usaha pemenuhan kepuasan nafsu terhadap harta, tahta dan wanita, disebut tiga-ta. Terbentuknya perilaku korupsi corruption behavior dapat dijelaskan dengan teori psikoanalisis dari Sigmun Freud. 218 Apabila keinginan dasar manusia yang begitu liar wild terhadap tiga-ta sebagai bentuk daya dorong terlalu kuat disebut id dan tidak terkendali oleh ego, maka dalam diri manusia muncul super ego berupa perilaku korupsi yang tidak terkendali. Budaya korupsi adalah hasil 215 Catatan Akhir tahun ICW Indonesian Corruption Watch , 24 Januari 2007. 216 Siswoyo Haryono, Solusi KLB Perkorupsian di Indonesia, Makalah di sampaikan pada Fakultas Ekonomi dalam bidang Ilmu Manajemen SDM, 2010. 217 Denny Indrayana, Makalah Seminar: Manajemen Penanggulangan dan Pengawasan Korupsi di Indonesia, MM-UTP palembang, 2007. 218 Sigmund Freud, Psychoanalysis Theory, Prentice-hall, 1996, hlm: 345. 285 akumulatif super ego dalam pemenuhan hedonistik yang tidak wajar, berlebihan serta tidak terkendali. Statement yang sering terdengar adalah korupsi telah mendarah daging, mengakar dan membudaya di republik tercinta ini. Repotnya adalah jika ada urusan yang berkaitan dengan birokrasi, saat ini orang menjadi lazim untuk memberi sesuatu. Padahal instansi tersebut benar-benar tidak meminta sesuatu. Karena perilaku korupsi sudah menjadi budaya, orang atau instansi yang mencoba untuk bersih justru dianggap aneh. Salah kaprah ini juga dapat menjadi daya dorong terjadinya korupsi. Pertanyaan yang dapat dimunculkan adalah Apakah benar korupsi telah membudaya di negeri ini?. Meminjam istilah Edgard H. Schein, 219 bahwa budaya didefinisikan sebagai : A pattern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problem of external adaptation and internal integration, that have worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think and feel in relations to this problems . Pada intinya, budaya adalah asumsi dasar yang diketahui secara bersama-sama dan dianggap benar secara internal maupun eksternal sehingga perlu diteruskan kepada anggota masyarakat baru atau generasi berikutnya. Melihat batasan budaya tersebut, perilaku korupsi di Indonesia dapat dikatakan sebagai telah mebudaya. Secara umum banyak perilaku korupsi yang sudah diasumsikan secara bersama-sama benar dan lazim. Jika tidak mengikuti arus perilaku korupsi, bahkan kita dianggap naif dan tidak wajar atau aneh. Lebih sadis lagi kita dapat dianggap ketinggalan jaman dan tidak modern. Budaya merupakan suatu orientasi nilai-nilai yang menjadi acuan tindakan-tindakan para aktor politik. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah juga dipengaruhi oleh budaya politik pemerintahan. Latar belakang dari budaya itu sendiri dipengaruhi oleh agama, ras, etnik, adat, bahasa,dan lain sebagainya. Perbedaan budaya tersebut dapat menyebabkan konflik antar para elit politik. 219 Schein H. Edgar, Organizational Culture and Leadership, Jossey-Bass, 1996, hlm: 89- 103. 286 Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem tersebut. Kebudayaan memiliki beranekaragam pengertian bergantung pada sudut pandang masing-masing individu untuk menemukan sebuah pemahaman. Misalnya 1. Pertama, menurut Iris Varner dan Linda Beamer, kebudayaan adalah pandangan yang koheren tentang sesuatu: dasar hidup manusia, sikap mereka terhadap lingkungannya; 2. Kedua, kebudayaan juga diartikan sebagai totalitas dari sesuatu yang dipelajari yang muncul dalam tingkah laku; 3. Ketiga, kebudayaan merupakan pandangan hidup dari sekelompok orang dalam bentuk perilaku, kepercayaaan, nilai dan simbol-simbol yang akan diteruskan dari generasi ke generasi; 4. Keempat, kebudayaan terdiri dari pola-pola yang eksplisit dan implisit yang kemudian tercermin dalam simbol-simbol: tingkah laku, karya seni, dan lain-lain. 220 Kebudayaan memiliki aspek normatif dan pembinaan nilai serta realisasi cita-cita hidup manusia. 221 Kebudayaan pada hakekatnya melekat dalam hakekat dan eksistensi dari manusia itu. Kebudayaan juga mencerminkan sifat esensi dari manusia yang melampaui batas-batas ruang dan waktu, yang tidak terikat pada sejarah dan tempat. Jadi secara filosofis, nilai-nilai sebagai yang khas dari manusia merupakan inti dari sebuah kebudayaan. Nilai- nilai yang diperjuangkan dan dipertahankan oleh manusia menjadi sebuah kebudayaan baik bagi individu itu secara personal maupun kelompoknya. Kemudian usaha untuk merealisasikan cita-cita yang nampak dalam cara, strategi, jalan untuk mewujudkan cita-cita itu sendiri. Dengan demikian kebudayaan dalam arti filosofis sangat luas dan mulia. Dari definisi diatas, korupsi juga dapat menjadi suatu budaya yang tertanam di Indonesia karena korupsi mempunyai orientasi yang bertujuan untuk memperoleh kekayaan dengan cara 220 Alo Liliweri, Makna Budaya Dalam Komunikasi AntarBudaya, LKIS: Yogyakarta, , 2003, hlm: 8-10 221W M Bakker, SJ, Filsafat Kebudayaan : Sebuah Pengantar, Kanisius: Yogakarta, 1992, hlm: 27. 287 memperoleh kedudukan dalam pemerintahan. Budaya tersebut juga tidak menyebar di dalam kalangan elit politik saja, namun masyarakat Indonesia yang tidak paham dan mengabaikan pemahaman betapa pentingnya penghilangan praktik korupsi juga turut membantu jalannya korupsi walaupun kasus dominan yang sering terjadi di masyarakat masih berskala kecil. Dari praktik kecil korupsi itulah muncul bibit-bibit generasi para elit politik dengan kejahatan white collar crime.

11. Antara Korupsi, Kebudayaan dan Politik