27
Bagian Satu MEMAHAMI PERSOALAN KORUPSI DI DAERAH
A. Dari Desentralisasi Menuju Praktik Korupsi.
1. Bermula dari Desentralisasi.
Pembicaraan mengenai desentralisasi dan otonomi daerah dilandasi asumsi bahwa hubungan antara orang yang memerintah
dan orang yang diperintah, sama halnya dengan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah merupakan
masalah klasik dalam ilmu politik. Paradigma lama yang memandang masih kuatnya hubungan sub-ordinasi antara
pemerintah dan rakyat, nampaknya sudah mulai luntur yang dalam paradigma baru cendurung menghendaki hubungan yang setara
antara pemerintah dan rakyat. Peranan pemerintah tidak lagi membawahi dan memerintah, melainkan lebih mengarahkan dan
memfasilitasi apa yang menjadi kebutuhan rakyat. Persoalan utamanya bersumber pada seberapa bebas masyarakat pemerintah
daerah bergerak atau berinitiatif dalam lingkungan kekuasaan negara, dan seberapa besar pula masyarakat daerah dapat
mempengaruhi kebijakan negara dan atau pemerintahan daerah yang pada giliranya kebijakan itu akan berujung kepada pelayanan
publik sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Atas dasar inilah konsep desentralisasi dan otonomi dapat dipandang, baik sebagai
fenomena politik maupun administrasi negara.
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dilaksanakan saat ini adalah
tidak menganut faham negara integralistik
7
, namun penyelenggaraan Pemerintahan negara di bawah regime demokrasi terpimpin dan regime orde baru pada
masa yang lalu, demikian pula pada masa-masa pemerintahan selanjutnya, menunjukkan betapa kuatnya
faham negara integralistik yang mempengaruhi penyelenggaraan sistem
pemerintahan negara, di mana negara memiliki kemauan dan kepentingan yang sering berbeda dengan kepentingan warganya,
7
Faham Negara ntegralistik adalah suatu faham yang memandang kepentingan individu dan kepentingan masyarakat harus dilihat secara keseluruhan integral,
tidak terpisah sendiri-sendiri, dengan kata lain setiap kepentingan apapaun selalu harus dikaitkan dengan kepentingan Negara secara keseluruhan.
28
yang dapat melakukan intervensi kedalam kehidupan masyarakat, sekalipun hal itu didedikasikan untuk kesejahteraan dan kemajuan
masyarakat itu sendiri
8
. Kondisi di atas dimungkinkan terjadi, karena setiap
kebijakan yang ditetapkan sebagai kebijakan publik, sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh sikap, perilaku, dan value
judgement dari para penyelenggara negara human behaviour and value judgement, yang pada gilirannya dipandang sebagai
pembenaran hukum dan sebagai alat pemaksa yang harus ditaati oleh rakyat. Dalam faham negara integralistik , negara
mempunyai kekuasaan mutlak, di mana kedaulatan negara mengatasi kedaulatan rakyat. Semua bagian-bagian dalam
keseluruhan diarahkan kepada persatuan dan kesatuan, bagi negara yang terpenting adalah keseluruhan bukan bagian - bagian.
Itulah faham negara integralistik yang sering dipraktekkan oleh para penyelenggara kekuasaan pemerintahan negara.
Ide faham Negara integralistik ini semula diekspose dan
direkomendasikan oleh Prof. Dr. Supomo pada sidang BUPKI tanggal 15 Mei 1945 dengan mengemukakan 3 tiga pilihan yang
diusulkan untuk dijadikan dasar Negara, apabila Indonesia telah merdeka,
yaitu faham:
Individualisme; Kolektivisme;
dan Integralistik. Para Pendiri Negara The Founding Fathers kurang
sefaham dengan ide negara integralistik ini yang akan dijadikan konsep dasar negara, karena faham ini menonjolkan sifat
totalitarian dari negara yang tidak selaras dengan ide kekeluargaan yang bersifat egalitarian. Ide kekeluargaan menghendaki posisi
sejajar antara fihak-fihak yang berinteraksi, termasuk antara negara dan masyarakatnya.
9
Hal ini dapat terlihat dari Pasal - Pasal dalam Undang- Undang Dasar 1945 yang secara ideatif bertolak belakang dengan
gagasan faham negara integralistik tersebut, misalnya Pasal 28 yang menjamin hak - hak azasi manusia
10
, dan Pasal 18 yang
8
Alfred Stepan, The State and Society, Peru in comparative perspective, Princeton, NJ: Princeton UP, 1978, Hlm: 26-27.
9
Ide tentang negara integralistik ini dipaparkan oleh Soepomo dalam sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945, ketika membahas dasar negara apabila kelak Indonesia
merdeka. Pembahasan yang sangat tajam mengenai penyimpangan gagasan Soepomo ini, dapat dilihat dalam karya Marsilam Simanjuntak, Pandangan Negara
Integralistik, Jakarta: Grafiti, 1994.
10
Pasal 28 UUD 1945 yang tadinya hanya 1 pasal, setelah amandemen kedua berubah menjadi 10 Pasal, yaitu 28A, 28B, 28C, 28D, 28E, 28F, 28G, 28H, 28I, dan 28J
29
menghormati dan menghargai sifat - sifat khusus dari daerah - daerah yang ada di Indonesia.
11
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa UUD 1945 sebenarnya berusaha mengatur keseimbangan
antara individualisme dan kolektivisme, UUD 1945 menganut kedaulatan rakyat, dan bukan kedaulatan negara.
Dari kenyataan
diatas, dapat
disimpulkan bahwa
penggunaan faham negara integralistik sering lebih banyak bersifat politis daripada hukum tata negara.
12
Namun, apabila dikaitkan dengan konteks desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia,
maka fenomena ini sebenarnya sudah terjadi sejak awal penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Situasi inilah yang
sedikit - banyak mempengaruhi penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia, baik sebagai suatu fenomena politik maupun
fenomena
administrasi yang
seharusnya ditujukan
bagi kesejahteraan masyarakat.
Salah satu argumentasi dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah mendekatkan pemerintah dalam bentuk Pemerintah Daerah
kepada masyarakat, agar pemerintah daerah memahami keinginan, aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian tingkat
kesejahteraan masyarakat akan sangat tergantung kepada tingkat
pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah. Paradigma otonomi daerah menurut semangat Undang-Undang
Nomor . Tahun
adalah otonomi masyarakat , dalam arti Pemerintah Daerah
sebagai perwujudan dari otonomi masyarakat dituntut untuk lebih mampu mensejahterakan masyarakat melalui
pelayanan publik dibanding dengan pemerintah pusat yang jaraknya lebih jauh kepada masyarakat.
Motivasi yang mendorong tumbangnya rejim orde baru oleh gerakan reformasi dengan dipelopori oleh para mahasiswa pada
pertengahan tahun 1998 adalah karena melihat fenomena penyelenggaraan pemerintahan negara berorientasi kepada format
politik totalitarian, sehingga tidak mencerminkan dan menjamin terwujudnya keadilan, demokrasi dan kesejahteraan bagi rakyat
banyak.
Salah satu kebijakan politik yang menjadi sumber kelemahan dan mendorong terjadinya krisis multidimensi yang
mengancam keutuhan negara bangsa adalah diterapkannya sistem
11
Pasal 18 UUD 1945 yang tadinya hanya satu pasal berubah menjadi 3 tiga pasal, yaitu pasal 18, 18A, 18B setelah terjadi amandemen kedua.
12
Marsilam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik, op.cit., Hlm: 247.
30
pemerintahan negara yang terlalu sentralistik dengan mengabaikan prinsip - prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, baik langsung
maupun melalui kontrol perwakilan rakyat, serta pemerataan dan keadilan, yang pada gilirannya kebhinekaan dalam segala bidang
kehidupan yang menjadi sumber potensi dan keanekaragaman daerah, terabaikan pula. Kebijakan politik tersebut, tidak hanya
berdampak terbelenggunya aspirasi, oto-aktivitas dan kreativitas masyarakat setempat, melainkan juga mematikan sumber potensi
dan sumber daya di daerah, terutama sumberdaya manusianya, yang pada gilirannya pula pelayanan publik dalam upaya
mensejahterakan masyarakat tidak terselenggara dengan optimal.
2. Konseptualisasi Desentralisasi.