261
10. Sifat Melawan Hukum Dalam Lapangan Pidana
Administrasi. a. Sekilas Tentang Maladministrasi.
Maraknya praktek korupsi saat ini dengan berbagai modus operandi menyebabkan Pemerintah berupaya untuk melakukan
pencegahan dan pemberantasan dengan mengeluarkan Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Kemudian Pemerintah membentuk
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai pengadilan khusus yang proses pidananya pula dilaksanakan oleh kelembagaan khusus
berupa Komisi Pemberantasan Korupsi KPK untuk memeriksa, mengadili dan memutus tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 memiliki delik inti bestandeel delict berupa
perbuatan melawan hukum Pasal 2 dan penyalahgunaan wewenang Pasal 3. Terkait dengan delik inti penyalahgunaan
wewenang, hal ini masih merupakan debatable karena unsur penyalahgunaan wewenang tidak dapat diuji dalam ranah hukum
pidana. Tentunya parameter pengujian penyalahgunaan wewenang harus didasarkan pada hukum administrasi.
Adanya tindakan penyalahgunaan wewenang yang berakibat sebagai tindak pidana korupsi pada hakikatnya merupakan
tindakan maladministrasi yang dilakukan oleh pribadi dengan maksud tertentu yang bertentangan dengan prinsip Good
Governance. Karena itu disertasi ini diarahkan pada upaya preventif adanya
tindak pidana
korupsi yang
disebabkan oleh
penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan keuangan daerah. Upaya preventif ini harus dilakukan dengan menggunakan prinsip
Good Governance.
Istilah maladministrasi maladministration dalam Black Law Dictionary diartikan sebagai
poor management and regulation . Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati
191
memberi arti yang lebih tegas, yakni sebagai berikut:
191
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Maladministrasi sebagai Dasar Penilaian Perilaku Administrasi Maladministration as the Criteria of Review of
Administration Behavior, disampaikan dalam Seminar Non-Judicial Enforcement of
262
The concept of maladministration is related to administrative behavior. Maladministration as derived from Latin mal
malum meaning bad or devil and
administration –
administrare meaning service.
In thus
sense, maladministration stands for bad service.
Oleh Sunaryati Hartono,
192
maladministrasi diartikan:
Secara umum sebagai perilaku tidak wajar termasuk penundaan pemberian pelayanan, kurang sopan dan tidak
peduli terhadap
masalah yang
menimpa seseorang
disebabkan oleh perbuatan penyalahgunaan kekuasaan, termasuk penggunaan kekuasaan secara semena-mena atau
kekuasaan yang digunakan untuk perbuatan yang tidak wajar, tidak adil, intimidatif atau diskriminatif, dan tidak patut
didasarkan seluruhnya atau sebagian atas ketentuan undang- undang atau fakta tidak masuk akal, atau berdasarkan
tindakan unreasonable, unjust, oppresive dan diskriminatif.
Berpijak dari apa yang dikemukakan di atas, tindakan maladministrasi berkaitan dengan tindakan atau perilaku
penyelenggara administrasi pemerintahan dalam pelayanan publik yang menyimpang atau bertentangan dengan norma hukum yang
berlaku. Adanya tindakan menyimpang yang bertentangan dengan norma hukum yang berlaku ini dapat dikategorikan sebagai
penyalahgunaan wewenang.
Tindakan maladministrasi terjadi karena tindakan aparat pemerintahan dimaksud bertentangan dengan norma hukum yang
berlaku yang didasarkan pada asas legalitas legaliteit beginsel. Menurut
Sunaryati Hartono,
193
tindakan atau
perilaku maladministrasi bukan sekedar merupakan penyimpangan dari
prosedur atau tata cara pelaksanaan tugas pejabat atau aparat pemerintahan, tetapi juga dapat merupakan perbuatan melanggar
hukum pemerintah onrechtmatige overheidsdaad, detournement de pouvoir atau detournement de procedure.
Human Right and Good Governance: The Ombudsman – And The Human Rights
Commissions in a Comparative Perspective, Kerjasama Universitas Airlangga –
Universiteit Utrecht, Surabaya, 15-17 April 2004.
192
Sunaryati Hartono, Panduan Investigasi untuk Ombudsman Indonesia, Komisi Ombudsman Nasional, Jakarta, 2003. Hlm: 4.
193
Sunaryati Hartono, Panduan Investigasi untuk Ombudsman Indonesia, Ibid: 3-5.
263
Komisi Ombudsman Nasional memberi indikator bentuk maladministrasi, antara lain: melakukan tindakan yang janggal
inappropriate, menyimpang
deviate, sewenang-wenang
arbitrary, melanggar ketentuan irregular illegitimate, penyalahgunaan wewenang abuse of power atau keterlambatan
yang tidak perlu undue delay dan pelanggaran kepatutan equity.
Beberapa jenis maladministrasi menurut Anton Sujata
194
antara lain :
1. pemalsuan persekongkolan forgery conspiracy; 2. intervensi intervention;
3. penangangan berlarut tidak menangani undue delay; 4. inkompetensi incompetence;
5. penyalahgunaan wewenang berlebihan abuse of power; 6. nyata-nyata berpihak impartiality;
7. menerima imbalan uang, hadiah, fasilitas, praktek KKN
bribblety corruption, collustion, nepotisme practices; 8. penggelapan barang bukti penguasaan tanpa hak illegal
possession and ownersing; 9. bertindak tidak layak misleading practices;
10. melalaikan kewajiban unfulfil obligation; 11. lain-lain others
194
Anton Sujata, et.al., Ombudsman Indonesia Masa Lalu, Sekarang, dan Masa Mendatang, Komisi Ombudsman Nasional, Jakarta, 2002, hlm: 11. Lebih luas lagi
Sunaryati Hartono merumuskan substansi permasalahan yang menjadi kompetensi Ombudsman, meliputi :
1. penundaan berlarut; 2. tidak menangani;
3. persengkongkolan; 4. pemalsuan;
5. di luar kompetensi; 6. tidak kompeten tidak mampu atau tidak cakap;
7. penyalahgunaan wewenang; 8. bertindak sewenang-wenang;
9. permintaan imbalan uang korupsi; 10. kolusi dan nepotisme;
11. penyimpangan prosedur; 12. melalaikan kewajiban;
13. bertindak tidak layak tidak patut; 14. penggelapan barang bukti;
15. penguasaan tanpa hak; 16. bertindak tidak adil;
17. intervensi; 18. nyata-nyata berpihak;
19.
pelanggaran undang-undang;
264
Tindakan maladministrasi memiliki kaitan erat dengan sikap dan perilaku aparatur pemerintahan. Adanya tindakan yang
mengarah pada penyalahgunaan wewenang dan berdampak pada tindakan korupsi lebih tepat merupakan tindakan maladministrasi.
Penyalahgunaan wewenang sebagai tindakan maladministrasi memiliki konsekuensi tanggungjawab pribadi dari aparatur
pemerintahan yang melakukan tindakan dimaksud. Dengan demikian, hakim dalam peradilan pidana tidak dapat melakukan
pengujian terhadap tindakan penyalahgunaan wewenang yang merupakan tindakan maladministrasi yang berdampak pada
terjadinya tindakan korupsi. Upaya pencegahan terhadap terjadinya tindakan maladministrasi tentunya dilakukan dengan
menggunakan prinsip good governance dalam penyelenggaraan pemerintahan.
b. Implementasi Sifat Melawan Hukum Dalam Pidana Administrasi.
Suatu perbuatan masuk dalam ruang lingkup hukum pidana, perdata atau administrasi negara ditentukan oleh sumber
pengaturan dan sanksinya. Jika diatur dalam hukum pidana dan disertai ancaman pidana, maka perbuatan tersebut masuk ruang
lingkup hukum pidana, dan itulah tindak pidana. Jika perbuatan itu ditentukan dalam hukum administrasi beserta sanksi administrasi,
maka perbuatan itu masuk ruang lingkup hukum administrasi. Jika sumber pengaturannya dan sanksinya bersifat perdata, maka
perbuatan itu masuk ruang lingkup hukum perdata.
Dalam hubungnnya dengan hukum pidana korupsi, khususnya Pasal 2 dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, pelanggaan administrasi dapat merupakan tempat letak atau penyebab timbulnya sifat melawan hukum perbuatan,
apabila terdapat unsur sengaja kehendak dan keinsyafan untuk menguntungkan diri dengan menyalahgunakan kekuasaan jabatan,
yang karena itu merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Perbuatan administrsi yang memenuhi syarat-syarat yang demikian itu membentuk pertanggungjawaban pidana. Apabila
unsur-unsur tersebut tidak ada, terutama unsur merugikan keuangan perekonomian negara, maka yang terjadi adalah
265
kesalahan prosedur administrasi, dan tidak ada sifat melawan hukum korupsi dalam hal semata-
mata salah prosedur . Perbuaatan itu sekedar membentuk pertanggunganjawaban hukum
administrasi saja. Dalam hubungnnya dengan hukum pidana korupsi,
khususnya Pasal 2 UUTPK, kesalahan prosedur atau kesalahan administrasi dibedakan dalam 4 macam.
1. Kesalahan administrasi murni. Terjadi apabila melakukan prosedur administrasi karena khilaf kulpa baik terhadap
ketentuan prosedural tatalaksana maupun akibatnya. Perbuatan khilaf ini tidak membawa kerugian apapun bagi
kepentingan hukum negara. Salah perbuatan adminsitratif semacam ini bukan korupsi. Pertangungajwaban yang timbul
adalah pertanggungjawaban administrasi. Misalnya dengan mencabut, membatalkan atau melalui klausula pembetulan
sebagaimana mestinya;
2. Pembuat khilaf culpoos dalam melaksanakan prosedur pekerjaan tertentu, yang dari pekerjaan ini membawa kerugian
negara, misalnya nilai uang tertentu. Kasus semacam ini masuk pada perbuatan melawan hukum onrechtsmatige daad
menurut hukum perdata Pasal 1365 BW, bukan korupsi. Perbuatan ini membentuk pertanggungjawaban perdata,
diwajibkan untuk mengganti kerugian;
3. Pembuat sengaja mengelirukan pekerjaan adminsitratif tertentu, namun tidak dapat membawa dampak kerugian
kepentingan hukum negara. Kesalahan semacam ini masih di teloransi sebagai kesalahan adminsitrati. Perbuatan ini
membentuk pertanggungjawaban
adminisrasi. Sanksi
administratitif dapat dijatuhkan pada si pembuat, tidak dapat menjatuhkan pidana;
4. Pembuat dalam kedudukan administratif tertentu sadar dan mengerti sengaja bahwa pekerjaan administratif tertentu
menyalahi aturanprosedur melawan hukum – dilakukannya
juga, yang karena itu membawa kerugian negara. Apabila perbuatan itu berupa perbuatan memperkaya maka masuk
Pasal 2
UUTPK, dan
apabila dilakukan
dengan menyalahgunakan kewenangan, sarana atau kesempatan
jabatan maka masuk Pasal 3. Dalam hal yang keempat ini saja, kesalahan prosedur merupakan sifat melawan hukum korupsi.
Bentuk pertanggungjawaban tindak pidana, administrasi atau perdata ditentukan oleh sifat pelanggaran melawan
hukumnya perbuatan
dan akibat
hukumnya. Bentuk
266
pertanggungjawaban pidana
selalu bersanksi
pidana. Pertangungjawaban administrasi selalu bersanksi administrasi, dan
pertanggungjawaban perdata ditujukan pada pengembalian kerugian keperdataan, akibat dari wanprestasi atau onrechtsmatige
daad. Pada dasarnya setiap bentuk pelanggaran selalu mengandung sifat melawan hukum dalam perbuatan itu. Dalam hal sifat
melawan
hukum tindak
pidana, selalu
membentuk pertanggunggjawaban pidana sesuai tindak pidana tertentu yang
dilanggarnya. Sementara sifat melawan hukum administrasi dan perdata, sekedar membentuk pertanggungjawaban administrasi
dan perdata saja sesuai dengan perbuatan yang dilakukan.
Pada dasarnya kesalahan administrasi tidak dapat dipertangungjawabkan secara pidana. Namun apabila kesalahan
administrasi tersebut disengaja dan disadari merugikan keuangan negara, dan dilakukan dengan memperkaya diri atau dengan
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana jabatan, maka kesalahan administrasi seperti itu merupakan tempat
melekatnyaletak atau penyebab sifat melawan hukumnya korupsi, dan karenanya membentuk pertanggungjawaban pidana dan dapat
dipidana berdasarkan Pasal 2. Pelanggaran administrasi bukan merupakan letaktempat tindak pidana korupsinya, melainkan
tempatletak sifat melawan hukumnya korupsi. Karena tidak mungkin terjadi korupsi pada perbuatan yang sifatnya semata-mata
pelanggaran
administrasi maupun
semata-mata bersifat
pelanggaran hubungan keperdataan saja. Pelanggaran hukum perdata, seperti wanprestasi dari suatu
kontrakperjanjian atau perbuatan melawan hukum meskipun akibatnya negara dirugikan, tidak bisa serta merta membentuk
pertanggungjawaban pidana. Dalam hal negara dirugikan oleh wanprestasi atau perbuatan melawan hukum, pemulihan kerugian
dilakukan dengan mengajukan gugatan perdata, bukan melalui penuntutan pidana di peradilan pidana.
Dalam hal badan publik melakukan perbuatan perdata, maka prosedur, syarat-syarat yang ditentukan dalam hukum
perdata harus diikuti. Badan publik tersebut harus tunduk pada hukum perdata. Namun apabila terdapat aturan lain accessoir
bersifat administrasi dalam hal prosedur untuk keabsyahan
267
perbuatan hukum perdata tersebut, mengingat untuk kepentingan publik, maka apabila pengaturan administrasi tersebut dilanggar,
dapat merupakan letak sifat melawan hukum korupsi, apabila memenuhi unsur kesengajaan yang disadari merugikan keuangan
perekonomian
negara yang
dilakukan dengan
perbuatan memperkaya
atau dilakukan
dengan menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana jabatan. Dalam hal melakukan perbuatan-perbuatan seseorang yang
mewakili badan publik, misalnya suatu Pemerintah Daerah dalam hal melakukan perbuatan perdata kontrak dengan pihak swasta
dengan melalui prosedur administrasi negara. Sepanjang prosedur administrasinya diikuti, maka tidak ada sifat melawan hukum
korupsi di dalamnya. Andaikata ada segi-segi prosedur administrasi yang tidak diikuti dalam melakukan perbuatan perdata dari suatu
badan publik misalnya kontrak dengan pihak swasta, asalkan tidak dilakukan dengan memperkaya diri atau menyalahgunakan
kewenangan, sarana atau kesempatan jabatan dan tidak menimbulkan kerugian keuangan negara, maka pelanggaran
adminstrasi tersebut tidak merupakan letak sifat melawan hukumnya perbuatan korupsi.
Pelanggaran administrasi dipertanggungjawabkan secara administrasi saja. Sifat melawan hukum korupsi hanya bisa terjadi
pada pelanggaran prosedur adminstrasi yang disengaja dengan kesadaran merugikan keuangan negara yang dilakukan dengan
perbuatan memperkaya diri atau dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana jabatan. Tiga unsur, ialah:
pelanggaran prosedur yang disengaja, merugikan keuangan negara dan dilakukan dengan memperkaya atau menyalahgunakan
kewenangan, sarana atau kesempatan jabatan, sifatnya kumulatif, sebagai syarat terbentuknya pertanggungjawaban pidana korupsi.
Untuk menentukan kerugian negara dalam perkara korupsi, bisa meminta bantuan audit invistigasi, namun bukan keharusan.
Menentukan kerugian negara dalam perkara korupsi, hasil audit BPKP tidak mengikat hakim. Hakim bebas menentukan
perhitungannya sendiri berdasarkan alat-alat bukti di dalam sidang dengan menggunakan akal dan logika hukum serta kapatutan.
268
Audit investigasi harus dimintakan oleh penyidik, dan bukan oleh pihak lain. Jika audit tersebut tidak dimintakan oleh penyidik,
maka audit itu tidak bersifat pidana, melainkan bersifat administratif saja. Oleh karenanya tidak mempunyai nilai
pembuktian dalam perkara pidana.
Mengenai perselisihan pra yudicial dalam hubungannya dengan penghentian sementara skorsing penuntutan, dalam
doktrin hukum ada 2 dua macam:
1. Pertama, disebut dengan quistion prejudicielle a l action .
Merupakan perselisihan pra judicial dimana hakim mempunyai kewajiban untuk menskorsing penuntutan. Dalam hal ini
apabila dalam UU disebutkan secara tegas, bahwa apabila terjadi perselisihnan pra judicial maka hakim wajib
mensokrsing penuntutan. Contohnya dalam Pasal 314 Ayat 3 KUHP., yang mewajibkan pada hakim untuk menghentikan
sementara penuntutan bagi terdakwa fitnah, apabila orang yang difitnah telah diajukan penunutan ke pengadilan, sampai
perbuatan yng dituduhkan pada orang yang difitnah tersebut mendapatkan putusan yng bersifat tetap.
2. Kedua, disebut quistion prajudicielle au jugement . Merupkan
perselisihan pra judicial yang dimaksud Pasal 81 KUHP, yang apabila terjadi maka menjadi hak hakim untuk melakukan
skorsing penuntutan. Karena merupakan hak, maka sifatnya fakultatif. Hakim boleh tidak menggunakan haknya. Namun
akibatnya nanti putusan perkara lain yang berhubungan dan menentukan bisa bertentangan dengan putusan perkara
pidana. Dari sudut kepastian hukum dan keseragaman putusan pengadilan, keadaan yang demikian tidak dapat dibenarkan.
Perbuatan memperkaya diri dalam Pasal 2 UUTPK - bentuknya abstrak, yang terdiri dari banyak wujud-wujud konkret.
Wujud konkret itulah yang harus dibuktikan. Untuk membuktikan wujud memperkaya selain membuktikan bentuknya, misalnya
wujud mencatumkan kegiatan fiktif perlu juga membuktikan ciri- cirinya, yaitu: Pertama, dari perbuatan itu ybs memperoleh suatu
kekayaan. Kedua, jika hubungkan dengan sumber pendapatannya, kekayaannya tidak seimbang dengan sumber yang menghasilkan
kekayaan tersebut. Ketiga, jika dihubungkan dengan wujudnya, perbuatan tersebut bersifat melawan hukum. Keempat, jika
dihubungkan dengan akibat, ada pihak lain yang dirugikan dalam hal ini merugikan keuangan negara.
269
Perbuatan menyalahgunakan kewenangan dalam Pasal 3 UUTPK adalah menggunakan wewenang yang melekat pada jabatan
kedudukan secara menyimpang dari tatalaksana yang semestinya, sebagaimana yang diatur dalam peraturan, petunjuk tata kerja,
instruksi dinas. yang bertentangan dengan maksud dan tujuan dari kedudukan jabatan tesebut.
Apabila dalam surat dakwaan di junto-kan Pasal 55 Ayat 1 angka 1 KUHP tentang bentuk pembuat peserta medepleger. Maka
keterlibatan terdakwa wajib dibuktikan sebagai medepleger. Pertama harus dibuktikan lebih dulu bahwa peristiwa yang
didakwakan
ini adalah
sebagai tindak
pidana. Barulah
membuktikan tentang terdapatnya syarat medepleger. Dari sudut subjektif kesengajaan kehendak terdakwa sebagai medepleger
harus sama dengan kesengajaan pembuat pelaksana pleger dalam hal mewujudkan tindak pidana. Dari sudut objektif, meskipun
wujud perbuatan medepleger tidak perlu sama dengan wujud pleger, namun harus dibuktikan ada kerjasama yang diinsyafi.
Kerjasma yang diinsyafi adalah keinsyafan bahwa meskipun antara mereka melakukan perbuatan sendiri-sendiri yang berbeda, namun
disadari kesemuanya ditujukan untuk menyelesaikan tindak pidana yang sama-sama dikehendaki.
L. Fenomena Korupsi di Berbagai Daerah.