Fhilipina Studi Komparasi Sistem Pengelolaan Perikanan Artisanal Berbasis Hak-Hak Kepemilikan

The fishing licence system. Pada prinsipnya, sistem perijinan perikanan ini akan diberikan untuk wilayah perairan yang tidak terjangkau oleh nelayan tradisional dengan sistem hak-hak khusus perikanan. Izin perikanan diberikan kepada perorangan, kelompok nelayan, atau perusahaan. Iz in perikanan dikeluarkan oleh Menteri Pertanian, Kehutanan dan Perikanan negara Jepang maupun oleh Gubernur. Berkaitan dengan sistem perizinan perikanan ini, pemerintah Jepang menentukan kebijaksanaan, seperti menetapkan daerah penangkapan, musim, dan daerah tertutup, ukuran kapal, jumlah kapal, jenis alat tangkap, serta ukuran mata jaring. Setiap orang atau perusahaan yang diberikan izin perikanan ditentukan kawasan tempat menangkap ikan, tonase kapal, atau ukuran mata jaring atau alat tangkap yang digunakan. Berbeda dengan sistem hak-hak khusus perikanan, dalam sistem perizinan perikanan, tidak ada pegangan hak milik, sehingga memegang izin perikanan tidak memperoleh hukum secara eksklusif. Semua armada kapal perikanan yang berizin, bebas bersaing di laut lepas Bappenas, 2005; Ruddle, 1992. Pengkavlingan laut telah berlangsung dalam sistem pengelolaan perikanan artisanal di Jepang. Akan tetapi pengkavlingan itu diatur sedemikian rupa, sehingga efektif dan produktif bagi usaha perikanan. Lagi pula adanya pengkavlingan laut melalui kelembagaan fishery rights membawa sejumlah dampak positif. Ada 3 dampak positif yang terjadi adalah: Pertama, konflik-konflik antar nelayan di perairan menjadi makin berkurang seiring dengan jelasnya batas-batas yurisdiksi usaha perikanan artisanal; Kedua, pendapatan nelayan meningkat, karena memperoleh jaminan wilayah usaha dan dapat menikmati kekayaan alam di wilayahnya sendiri; dan Ketiga, ada hal yang lebih penting dari itu semua, yaitu dengan adanya hak tersebut, nelayan akan bertanggung jawab terhadap kelestarian atau keberlanjutan sumberdaya ikan yang terdapat di wilayah perairan mereka. Oleh karena itu, mereka tidak akan sembarangan menggunakan alat tangkap yang merusak lingkungan. Hal ini mengingat adanya kesadaran bahwa keberlanjutan sumberdaya hayati laut tersebut merupakan masa depan kehidupan mereka sendiri Saad, 2003; Satria, 2002c.

2.8.2.2 Fhilipina

Kebijaksanaan perikanan Fhilipina saat ini masih disadarkan pada UU Perikanan Fisheries Act No. 4003 yang ditetapkan pada tahun 1932. Meski UU ini sudah diperbarui dengan Presidensial Decree 704, yang ditetapkan pada tahun 1975, tetapi secara substansial kebijaksanaan perikanan Fhilipina belum banyak berubah Delmendo, 1993 diacu dalam Saad, 2003. Berdasarkan hukum perikanan Fhilipina, maka dibedakan 2 jenis kegiatan perikanan, yakni perikanan niaga Commercials Fisheries dan perikanan daerah Municipal Fisheries. Usaha perikanan yang menggunakan kapal dengan bobot lebih dari 3 GT dan beroperasi di perairan pantai dalam radius lebih 3 mil laut dari garis pantai digolongkan sebagai perikanan niaga, sedangkan usaha perikanan di perairan pantai dalam radius tidak lebih jauh dari 3 mil laut dan menggunakan kapal atau perahu berbobot tidak lebih 3 GT, digolongkan sebagai perikanan daerah. Perikanan niaga langsung berada di bawah kewenangan pemerintah pusat melalui biro perikanan dan sumberdaya air Bureau of Fisheries and Aquatic Resources. Pada usaha perikanan niaga, yang berlaku hanyalah sistem perijinan Fishing Licence System . Sementara itu, perikanan daerah merupakan wewenang pemerintah daerah yang memiliki pantai dengan menggunakan sistem konsesi municipal concession. Municipal concession adalah pemberian hak istimewa exclucive previlage untuk menggunakan perairan bagi usaha penangkapan ikan, tiram oyster culture beds, atau bibit anak ikan milkfish. Khusus untuk usaha pengumpulan bibit anak ikan, mekanisme pemberian konsesi ditempuh dengan cara pelelangan. Penawar dengan harga tertinggi pada umumnya mendapatkan konsesi perikanan daerah tersebut Panayotou 1985b. Pada tingkat tertentu, sistem konsesi ini dapat dipandang sebagai penjelmaan TURFs sebagaimana yang diperkenalkan konsepnya oleh Christy 1987. Berbeda dengan di Jepang yang memberikan posisi utama kepada koperasi perikanan, di Fhilipina semua pemenang lelang adalah pihak swasta. Akibatnya konsesi perikanan daerah senantiasa jatuh ke tangan mereka yang memiliki kemampuan ekonomi relatif kuat. Keadaan ini menempatkan ribuan nelayan dalam posisi sulit Delmendo, 1993 diacu dalam Saad, 2003. Di luar daerah konsesi, tetapi masih dalam wilayah perikanan daerah, nelayan bebas menangkap ikan tanpa harus meminta izin terlebih dahulu. Di sini berlaku rezim open access no property right, dan dalam hal ini tidak ada kontrol terhadap jumlah kapal nelayan, alat tangkap yang digunakan, dan daerah penangkapan yang dieksploitasi. Bahkan, karena tidak tegasnya aturan tentang siapa yang berwenang mengawasi tonase kapal perikanan, kapal-kapal perikanan niaga sering memasuki wilayah perikanan rakyat. Konflik di antara kedua kelompok nelayan ini merupakan konsekuensi logis yang kerapkali terjadi Delmendo, 1999 diacu dalam Saad, 2003. Meskipun sistem konsesi perikanan tidak memberikan kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan relayan pantai, tetapi sistem ini dapat menaikkan tingkat efisiensi ekonomi penggunaan sumberdaya ikan dan memberikan pemasukan pajak yang berarti bagi pemerintah daerah. Hasil penelitian terhadap 35 daerah pengumpulan bibit anak ikan pada tahun 1977 menunjukkan, pungutan konsesi perikanan menyumbang rata-rata 13 dari total pendapatan daerah. Di Propinsi Antique besar rata-rata pendapatan daerah 21 dari 15 kota propinsi dari perolehan pungutan konsesi perikanan dan bahkan terdapat di beberapa Kota di Fhilipina mencapai angka 50.

2.8.2.3 Sri Lanka