BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Kerangka Pemikiran
Pada masa pemerintahan orde baru, eksploitasi sumberdaya alam termasuk sumberdaya pesisir dan laut lebih banyak memberikan manfaat
terhadap Pemerintah Pusat dibandingkan Pemerintah Daerah dan masyarakat pesisir setempat yang merupakan ”pemilik” sumberdaya. Dengan dalih
kepentingan nasional, sumberdaya alam yang ada di daerah dieksploitasi tanpa mengindahkan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan, dan bahkan
menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan masyarakat yang ada di daerah bersangkutan. Oleh karena itu, wajar apabila muncul tuntutan dari berbagai
daerah untuk memperoleh kewenangan yang lebih luas dalam mengelola sumberdaya yang ada di daerah mereka, termasuk sumberdaya perikanan dan
kelautan. Seiring dengan gerakan reformasi, pemerintah membuat undang- undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah Pemda yang kemudian
sudah diganti dengan UU No. 32 tahun 2004. UU tersebut telah memberikan otonomi yang luas, nyata, berwenang dan bertanggung jawab kepada Pemda
pemkabkota, yang diwujudkan dengan pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional, serta adanya perimbangan keuangan antara Pusat dan
Daerah secara proporsional sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan demokrasi, pemerataan dan kesejahteraan. Pengaturan mendasar yang dibuat
dan untuk pertama kalinya dimuat dalam peraturan perudang-undangan di Indonesia yang termuat dalam UU No. 32 tahun 2004 adalah mengenai otonomi
daerah dalam pengelolaan sumberdaya kelautan, yang mencakup hak dan kewenangan sampai dengan 12 mil laut dari garis pantai pasang surut terendah
untuk perairan dangkal, dan 12 mil laut dari garis pangkal ke laut lepas untuk Daerah Propinsi dan sepertiga dari batas propinsi untuk daerah kabupatenkota.
Perubahan paradigma pembangunan nasional berimplikasi pada perubahan pola pikir dalam penyusunan strategi pembangunan wilayah dan
masyarakat pesisir. Beberapa kemungkinan perubahan pola pikir yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:
1 Perubahan strategi dalam pangalokasian sumberdaya spasial, khususnya yang berkaitan dengan keseimbangan pembangunan kawasan perkotaan
yang bercorak industri dan jasa, dengan kawasan pesisir yang didominasi
oleh sektor perikanan dan kelautan khususnya sub sektor perikanan tangkap, yang kekokohan dan kemampuannya teruji selama masa krisis ekonomi yang
melanda negeri ini. Untuk mengurangi kesenjangan yang terjadi selama ini, pembangunan wilayah perlu dilakukan secara terpadu dan holistik. Oleh
karena itu pembangunan ekonomi kerakyatan yang berbasis pada kegiatan perikanan di pesisir harus merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
strategi pembangunan wilayah secara menyeluruh, yang tidak saja mengalokasikan secara spasial kegiatan agribisnis dengan wilayah pemasok
produksi perikanan up-stream agribusiness dan wilayah pengelolaan produksi perikanan dan peningkatan nilai tambah lainnya down-stream
agribusiness, akan tetapi juga kaitan-kaitannya dengan wilayah-wilayah pasar yang lebih luas, secara regional, nasional, maupun internasional.
2 Memberikan hak yang seluas-seluasnya bagi pemerintah daerah dan masyarakat pesisir untuk mengelola potensi sumberdaya perikanan yang
dimilikinya. Oleh karena itu, paradigma lama yang cenderung lebih bersifat top-down dan sentralistik perlu dirubah agar lebih berorientasi bottom-up,
lebih menjunjung hak dan kewenangan pemerintah daerah dan masyarakat untuk mengelola sumberdaya perikanan dan kelautan yang dimilikinya.
3 Peran pemerintah pusat dan daerah agar menjadi lebih berorientasi sebagai fasilitator pembangunan. Peranserta swasta dan masyarakat serta seluruh
pelaku pembangunan perlu lebih ditingkatkan dan diberi kesempatan. Untuk itu perlu dilakukan pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir, dan para
pelaku pembangunan di daerah, agar lebih mampu berkreativitas untuk mengembangkan ekonomi kerakyatan dalam kerangka pembangunan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pada hakekatnya pengerak utama kemajuan perekonomian di wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil akan ditentukan oleh lima faktor yaitu: 1 Ketersediaan sumberdaya manusia
2 Ketersediaan sumberdaya alam 3 Tingkat penggunaan teknologi
4 Kekuatan institusikelembagaan; dan 5 Kebijakan politik
Kusumastanto 2003 menyatakan bahwa kebijakan otonomi daerah termasuk kebijakan kelautan ocean policy merupakan sebuah pilihan politik
yang diharapkan mampu menjaga keberlanjutan dan kelestarian sumberdaya
kelautan dan perikanan. Hal ini penting karena sistem pemerintahan sentralistik yang sudah berlangsung selama 32 tahun terbukti telah menghancurkan
sumberdaya alam. Oleh karena secara ekonomi-politik suatu sistem pemerintahan sentralistik terbukti membawa berbagai kecendrungan buruk yakni:
1 politik yang tidak demokratis; 2 korupsi; 3 rent seeking activities yang memperburuk social welfare loss bagi masyarakat; dan 4 moral hazard. Belajar
dari kesalahan sebelumnya fenomena semacam ini juga terjadi dalam bidang kelautan dan perikanan. Sehingga apabila otonomi daerah memberikan peluang
timbulnya kekuasaan yang berlebihan dan tidak bisa dikontrol, maka fenomena korupsi dan otoritarianisme bisa saja muncul di daerah-daerah termasuk di
wilayah laut. Salah satu permasalahan yang muncul dalam pengelolaan sumberdaya
kelautan di daerah selama ini adalah adanya konflik-konflik pemanfaatan dan kekuasaan dari para pemangku kepentingan stakeholders. Upaya penanganan
masalah tersebut diharapkan dapat dilakukan secara reaktif dan pro-aktif. Secara reaktif, artinya Pemerintah KabupatenKota dapat melakukan resolusi konflik,
mediasi atau musyawarah dalam menangani masalah tersebut. Upaya proaktif adalah upaya penanganan konflik pengelolaan sumberdaya kelautan secara aktif
dan dilakukan untuk mengantisipasi atau mengurangi potensi-potensi konflik pada masa yang akan datang. Penanganan seperti ini dilakukan melalui
penataan kembali kelembagaan Pemerintah KabupatenKota, baik dalam bentuk konsep perencanaan, peraturan perundang-undangan, sumberdaya manusia,
sistem administrasi pembangunan yang mengacu pada rencana pengelolaan sumberdaya pesisir dan kelautan secara terpadu. Upaya ini dilakukan dengan
menyusun rencana strategis Renstra pengelolaan sumberdaya pesisir dan kelautan terpadu dari setiap daerah propinsi, kabupatenkota, dengan cara
menyusun zonasi kawasan pesisir dan laut untuk memfokuskan sektor-sektor tertentu dalam suatu zona, menyusun rencana pengelolaan management plan
untuk suatu kawasan tertentu atau sumberdaya tertentu. Selanjutnya membuat rencana aksi action plan yang memuat rencana
investasi pada berbagai sektor, baik untuk kepentingan Pemda, swasta maupun masyarakat. Keseluruhan tahapan ini merupakan perencanaan strategis yang
penting untuk dilakukan oleh pemerintah propinsi, kabupatenkota dalam rangka pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu integrated coastal zone
management. Namun hendaknya proses perencanaan yang dilakukan adalah
perencanaan partisipatif, artinya segenap komponen daerah hendaknya dilibatkan dalam setiap proses dan tahapan perencanaan dan pengelolaan
sumberdaya kelautan Dahuri 1998. Berdasarkan pemikiran diatas, maka memberdayakan nelayan artisanal
melalui penguatan kembali revitalisasi kelembagaan tradisional dengan memerankan dan memfungsikan hak-hak ulayat laut marine tenure rights atau
pengembangan hak-hak pakai teritorial territorial use rights dalam sistem pengelolaan sumberdaya perikanan bagi kepentingan masyarakat nelayan
artisanal merupakan sesuatu hal yang sangat pokok dalam rangka mengimplementasikan kebijakan desentralisasi pada sektor kelautan dan
perikanan. Hal ini dikarenakan tanpa adanya pengakuan terhadap keberadaan hak-hak ulayat dan hak-hak pakai teritorial tersebut, sistem pengelolaan
perikanan berbasis masyarakat nelayan setempat dalam memanfaatkan dan melestarikan sumberdaya ikan tidak akan dapat berlangsung secara efektif
Arsyad, 2006; Anwar, 1994. Beberapa bentuk hak-hak ulayat laut yang berkembang di lingkungan masyarakat nelayan artisanal secara turun temurun
selama ini, akan tetapi kurang diakui dalam sistem hukum formal dengan kebijakan sentralistik di era Pemerintahan Orde Baru Saad 2003, seperti Sasi di
Maluku, Seke di Sangihe Talaud, Sulawesi utara, Panglima Laot di Aceh, Awig- awig di Nusa Tenggara Barat dan Bali, Ondoafi di Papua, Rompong di Makasar,
Chova di Tidore, dan lain-lain perlu untuk mendapat perhatian. Wahyono et al. 2000 menyatakan bahwa terdapat 2 alasan mengapa
studi hak-hak kepemilikan property rights dalam sistem pengelolaan perikanan, khususnya studi hak-hak ulayat laut marine tenure rights merupakan suatu
masalah yang menarik dan penting untuk dilakukan kajian. Pertama, bahasan
mengenai hak-hak kepemilikan dan hak-hak ulayat laut di Indonesia, suatu negara yang dua pertiga wilayahnya laut dan merupakan negara kepulauan
archipelagic state terbesar di dunia, studi hak-hak kepemilikan dan hak-hak
ulayat laut masih sangat terbatas jumlahnya. Kedua, Hak-hak kepemilikan dan
hak-hak ulayat laut merupakan suatu pranata sosial social institution yang mengatur dan mencegah pemanfaatan sumberdaya perikanan dari eksploitasi
yang berlebihan overfishing. Sebab ada aturan-aturan dalam pranata sosial tradisional yang berlaku di komunitas nelayan artisanal, antara lain berisikan
ketentuan mengenai pembatasan jumlah dan ukuran alat tangkap size fishing gear dan pengaturan musim dan daerah penangkapan ikan tertentu close and
open season. Dengan demikian hak-hak ulayat laut itu merupakan sistem pengelolaan sumberdaya laut secara tradisional yang telah lama berlangsung di
masyarakat pesisir di Indonesia. Akimichi 1991 diacu dalam Wahyono et al. 2000 mengatakan bahwa
hak-hak kepemilikan property rights mempunyai konotasi sebagai memiliki to own, memasuki to access, dan memanfaatkan to use. Dalam hal ini, makna
memiliki, memasuki maupun memanfaatkan tidak hanya mengacu pada wilayah penangkapan fishing ground, tetapi juga mengacu pada teknik-teknik
penangkapan, peralatan yang digunakan teknologi atau bahkan sumberdaya yang ditangkap dan dikumpulkan. Sedangkan hak ulayat laut HUL merupakan
terjemahan dari kata dalam bahasa Inggris, sea tenure atau marine tenure right. Kelembagaan marine tenure right mengacu kepada seperangkat hak dan
kewajiban timbal balik yang muncul dalam hubungannya dengan kepemilikian wilayah laut. Jadi, marine tenure right adalah suatu sistem pengelolaan
sumberdaya perikanan tangkap, di mana beberapa orang atau kelompok sosial memanfaatkan wilayah laut, mengatur tingkat eksploitasi terhadap wilayah
tersebut, yang berarti juga melindunginya dari eksploitasi yang berlebihan Sudo, 1983 diacu dalam Wahyono et al., 2000. Marine tenure right adalah seperangkat
aturan atau praktik pengelolaan wilayah laut dan sumberdaya pesisir yang terkandung didalamnya. Seperangkat aturan itu, diantaranya mengatur hal-hal
menyangkut siapa yang memiliki hak atas suatu wilayah, jenis sumberdaya yang boleh ditangkap dan teknik mengeksploitasi fishing gears sumberdaya yang
diperbolehkan yang ada di wilayah laut pesisir. Singkat kata marine tenure right adalah siapa yang menguasai wilayah laut pesisir, jenis sumberdayanya,
teknologi yang dipakai, dan tingkat eksploitasinya, dan tentunya saja bagaimana menguasainya dan dengan cara apa.
Berdasarkan studi beberapa literatur yang membahas masalah hak-hak kepemilikan laut, seperti marine tenure right, dapat disimpulkan bahwa peubah-
peubah pokok dalam studi hak-hak kepemilikan dan hak-hak ulayat laut yang meliputi: 1 wilayah; 2 unit sosial pemegang hak right holding unit; dan 3
legalitas legality beserta pelaksanaannya enforcement. Peubah wilayah dalam suatu pengaturan hak-hak ulayat laut tidak hanya terbatas pada pembatasan
luas wilayah, tetapi juga eksklusivitas wilayah. Eksklusivitas ini dapat berlaku juga untuk sumberdaya laut, teknologi yang digunakan, tingkat eksploitasi
maupun batasan-batasan yang bersifat temporer.
Sedangkan mengenai Unit Sosial Pemegang Hak USPH, berdasarkan kepustakaan yang ada tentang kasus hak ulayat laut HUL di tempat-tempat
berbeda, menunjukkan bahwa unit USPH beragam mulai dari sifatnya yang individual, kelompok kekerabatan, komunitas desa sampai ke negara. Tetapi hal
yang menarik dikaji mengenai USPH ini adalah masalah transferability, yaitu bagaimana hak eksploitasi dialihkan dari atau pihak ke pihak lain; dan
pemerataan equity yaitu pembagian hak ke dalam satu USPH. Dalam kaitannya dengan masalah legalitas, hal yang menjadi pokok kajian adalah dasar hukum
yang melandasinya berlakunya HUL, yaitu dalam berapa kasus berupa aturan tertulis. Sementara pada banyak kasus yang lain menunjukkan bahwa
pelaksanaan HUL merupakan praktik yang ekstra-legal, karena didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan masyarakat, tidak menurut hukum formal
Wahyono et al., 2000. Menurut Patji dan Salipi 1995 dan Wahyono et al. 2000 menyimpulkan
bahwa keberadaan pranata sosial tradisional, termasuk hak ulayat laut marine tenure right yang terdapat di wilayah pesisir dipengaruhi oleh dua peubah
utama, yaitu: 1 peubah konflik; dan 2 nilai laut. Peubah konflik ditentukan oleh intensitas eksploitasi yang diakibatkan oleh faktor-faktor ekologis, demografis,
mata pencaharian ekonomis, lingkungan politik legal, perubahan teknologi dan proses distribusi pasar. Sedangkan peubah nilai laut dipengaruhi oleh faktor-
faktor: kepentingan, produktivitas, dan sistem keperyaan. Untuk lebih jelasnya keterkaitan antara peubah tersebut dalam sistem hak-hak kepemilikan
sumberdaya perikanan artisanal dan hak-hak ulayat laut sebagaimana diilustrasikan seperti Gambar 7.
Gambar 7 Hak ulayat laut dan peubah-peubah pengaruh Wahyono et al., 2000
Konflik antar pemangku kepentingan stakeholders di wilayah pesisir dan lautan terus meningkat dari hari ke hari seiring dengan meningkatnya jumlah
penduduk dan intensitas kegiatan manusia di wilayah pesisir tersebut. Menurut Cicin-Sain dan Knecht 1998 kegiatan dan pemanfaatan sumberdaya perairan
pesisir, apabila masing-masing kegiatansektor diurutkan dalam suatu matriks kegiatan, maka ditemukan 100 pasang kegiatan yang saling bertentangan
konflik dan 60 kegiatan yang saling membahayakan satu dengan yang lainnya. Pada umumnya akar permasalahan dan penyebab terjadinya kerusakan
kawasan pesisir secara umum dapat dikategorikan sebagai akibat dari empat faktor utama, yaitu: 1 meningkatnya permintaan terhadap sumberdaya dan
jasa-jasa lingkungan pesisir, akibat peningkatan jumlah penduduk dan kualitas hidupnya; 2 praktik-praktik manajemen yang tidak berkelanjutan; 3 akibat
perilaku manusia ketidaktahuan, rendahnya kesadaran, kemiskinan, dan keserakahan umumnya hal tersebut disebabkan rendahnya tingkat pendidikan
sumberdaya manusia yang ada; dan 4 akibat tiga jenis kegagalan, yaitu kegagalan pasar dan hak kepemilikan, kegagalan kebijakan, dan kegagalan
informasi. Berdasarkan beberapa konsepsi yang diuraikan diatas, maka kerangka pemikiran penelitian yang digunakan seperti yang dikemukakan pada
Gambar 8 berikut ini.
Gambar 8 Bagan kerangka pemikiran penelitian
Penelitian ini juga akan menjawab berbagai persoalan yang terkait dengan peubah-peubah penting atau kunci yang mempengaruhi sistem
perikanan artisanal berkelanjutan. Sehingga dapat dijadikan masukan dalam menyusun rencana pengelolaan perikanan berkelanjutan di Kelurahan Pulau
Abang.
3.2. Metode Penelitian