Perumusan Masalah Analisis sistem pengelolan perikanan artisanal berkelanjutan (studi kasus di Kelurahan Pulau Abang Kecamatan Galang,Kota Batam Propinsi Kepulaun Riau)

dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap seperti jaring, pancing, rawai dan perangkap ikan fish trap seperti: bubu dan kelong pantai DKP2 Batam, 2005a. Dengan kondisi demikian, kawasan Barelang menarik untuk dilakukan studi mengenai hak-hak kepemilikan laut marine property rights dalam sistem pengelolaan perikanan artisanal. Khususnya untuk daerah lokasi penelitian yang dipilih sebagai kasus adalah Kelurahan Pulau Abang Kecamatan Galang, yang terletak di paling ujung bagian selatan kawasan Barelang. Lokasi ini dianggap mewakili kondisi nelayan artisanal di kawasan Barelang, Propinsi Kepulauan Riau, dengan 3 alasan: 1 Pulau-pulau kecil di kelurahan Pulau Abang merupakan daerah konsentrasi nelayan artisanal di kawasan Barelang dengan produksi ikan terbanyak di Batam; 2 Sesuai peruntukkan lahan berdasarkan Perda No 4 Tahun 2005 tentang tata ruang Kota Batam, lokasi ini dirancang menjadi taman nasional laut TNL, dan di beberapa lokasi perairannya akan diperuntukkan menjadi kawasan perlindungan laut marine protected area, dan 3 Lokasi ini merupakan daerah pembinaan dan pemberdayaan masyarakat pesisir dari proyek Coral Reefs Rehabilitation and Management Programme COREMAP Departemen Kelautan dan Perikanan DKP RI bekerjasama dengan Pemko Batam, yang didanai Asian Development Bank ADB, yang sudah dimulai sejak tahun 2005 hingga sekarang. Dengan demikian penelitian sistem pengelolaan perikanan artisanal menjadi sangat penting untuk tercapainya pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan.

1.2 Perumusan Masalah

Karakteristik politik hukum perikanan nasional selama tiga dekade terakhir 1970-1999, ditandai dengan tiga ciri, yakni sentralistik, berbasis pada konsep “milik bersama” common property, dan mengabaikan hukum adat atau seragamisasi. Karakteristik hukum yang demikian ini, telah melahirkan kenyataan hidup yang ironis yakni kemiskinan nelayan di tengah kekayaan sumberdaya ikan yang melimpah, dan degradasi lingkungan laut di tengah masyarakat yang memiliki kearifan lingkungan. Kenyataan hidup seperti ini, tentunya menyimpang dari cita-cita UUD 1945, terutama pasal 33 ayat 3 Saad 2003; Dahuri 2003b. Selain itu, kerusakan ekosistem pesisir diperparah lagi oleh adanya kebijakan pemanfaatan sumberdaya ikan yang sentralistik, atas dalih state property right, dimana Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 yang berisikan bahwa sumberdaya perikanan dan kelautan dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran bersama rakyat disalah-artikan oleh rezim penguasa, sehingga pemberian izin usaha investasi penangkapan ikan dikeluarkan oleh pemerintahan pusat sentralistik yang disertai budaya korupsi, kolusi dan nepotisme KKN dan kurang terkendali Adiwibowo 2002. Hal tersebut berakibat buruk terhadap keberlangsungan ekosistem pesisir dan terkurasnya depletion sumberdaya pesisir. Beberapa daerah penangkapan ikan fishing ground di sekitar pulau-pulau kecil mengalami kondisi overfishing yang ditandai semakin menurunnya hasil tangkapan nelayan tradisional sebagaimana yang banyak dikeluhkan oleh para nelayan artisanal. Setelah diberlakukannya kebijakan desentralisasi otonomi daerah maupun sebelum UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disyahkan, terdapat 9 permasalahan kendala dalam sistem pengelolaan wilayah pesisir. Beberapa permasalahan yang berkenaan dengan sistem pengelolaan perikanan artisanal itu adalah: 1 laju pertumbuhan penduduk di wilayah pesisir relatif tinggi; 2 tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan masih terkonsentrasi di sekitar wilayah pantai karena kemampuan jarak jangkauan armada penangkapan ikan yang terbatas; 3 adanya upaya pemanfaatan potensi wilayah pesisir yang bersifat merusak lingkungan dengan menggunakan bahan peledak dan racun; 4 meningkatnya penggunaan teknologi alat tangkap yang merusak lingkungan seperti trawl atau sejenisnya; 5 masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia yang ada di wilayah pesisir, terutama komunitas nelayan yang bermukim di pulau-pulau kecil; 6 relatif tingginya tingkat abrasi pantai di beberapa daerah akibat pembabatan hutan mangrove untuk kepentingan industri; 7 lemahnya penegakan hukum law enforcement terhadap para pelanggar hukum yang secara nyata memanfaatkan sumberdaya alam dengan menggunakan alat-alat dan bahan-bahan yang dilarang; 8 munculnya berbagai konflik antar nelayan dari daerah lain yang berbeda karena ego teritorial kabupaten, terutama kabupaten yang masih tinggi potensi sumberdaya perikanannya tetapi minim armada penangkapan untuk memanfaatkannya; dan 9 memudarnya aturan- aturan lokal atau adat yang terkait dengan upaya konservasi sumberdaya alam di wilayah pesisir. Hal ini terjadi karena tidak diakuinya aturan-aturan adat lokal oleh hukum positif yang berlaku dan program-program modernisasi. Lebih jauh Kusumastanto 2003 menjelaskan bahwa terancamnya eksistensi hak-hak adat dari masyarakat tradisional property rights dalam sistem pengelolaan sumberdaya perikanan laut, baik bersifat communal property right seperti Sasi di Maluku, maupun private property right seperti Kelong di Kepulauan Riau, akibat eksploitasi sumberdaya perikanan dan lautan yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat-tradisional tersebut. Di kawasan Barelang kondisi wilayah pesisir dan laut dengan gejala-gejala negatif sebagaimana dikemukakan diatas sudah menunjukkan hal itu. Selain itu beberapa hasil penelitian telah banyak pula mengungkapkan bahwa kondisi kehidupan nelayan ditinjau dari tingkat sosial-ekonomi atau taraf hidup rumah tangga perikanan RTP terutama nelayan kecil masih berada dalam kondisi miskin dan terbelakang. Apabila komunitas nelayan artisanal dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya di kawasan pesisir maupun di luar kawasan pesisir seperti kelompok sosial peternak, petani dan pengrajin, maka keluarga nelayan masih berada pada strata sosial yang paling bawah Kusnadi 2002; Simatupang et al. 1990; Arsyad 1986; Panayotou 1985b; dan Mubyarto et al. 1984. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan kondisi sosial-ekonomi masyarakat nelayan kecil yang demikian, juga ditemukan di daerah Kelurahan Pulau Abang, Kecamatan Galang, Kota Batam. Kemiskinan dan keterbelakangan nelayan merupakan konsekwensi logis dari proses pembangunan yang telah mengesampingkan keterlibatan masyarakat, karena proses pembangunan yang top-down, sentralistis, teknokratis dan bersifat penyeragaman, sehingga prakarsa masyarakat lokal tidak dapat berkembang dan memasung nelayan dari persentuhan dengan modernisasi dan industrialisasi yang berlangsung. Oleh karena itu dengan kebijakan desentralisasi pemerintahan daerah otonomi daerah merupakan suatu mekanisme yang mendekatkan pemerintah dengan masyarakatnya, sehingga lebih terbuka peluang untuk menata kelembagaan institutions arrangement dalam sistem pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan yang berpihak pada kepentingan komunitas nelayan artisanal Damanhuri 2000. Kusumastanto 2003 berpendapat bahwa sistem pemerintahan sentralistik yang sudah berlangsung selama orde baru telah terbukti menghancurkan sumberdaya alam pesisir. Sebab, secara ekonomi politik sistem pemerintahan sentralistik terbukti membawa berbagai kecenderungan buruk, yakni: 1 politik yang tidak demokratis otoriter; 2 korupsi; 3 rent-seeking activities yang memperburuk social walfare loss bagi masyarakat; dan 4 moral hazard. Selama ini rezim pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, khususnya perikanan tangkap di laut, rezim yang berlaku di perairan Indonesia cenderung bersifat terbuka open access, yaitu siapa saja, dimana dan kapanpun para nelayan dapat dengan bebas mengeksploitasi sumberdaya perikanan laut, tanpa ada diantara pengguna stakeholders bertanggungjawab atas upaya pelestariannya Christy 1987; Christy dan Scott 1986. Dengan status pemegang hak terhadap sumberdaya “milik bersama ” common resources tersebut, maka praktik-praktik yang bebas demikian itu telah mengakibatkan terjadinya pencemaran dan kerusakan ekosistem pesisir, yang ditandai terjadinya gejala tangkap lebih overfishing di beberapa kawasan perairan pantai, rusaknya ekosistem terumbu karang sebagai akibat cara penangkapan ikan yang merusak pengeboman, rusaknya ekosistem hutan mangrove, penggunaan alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan seperti trawl, dan pencemaran lingkungan pesisir lainnya Dahuri 2003a; Bengen 2002. Apabila status kepemilikan bersama common pool resource perikanan berlangsung secara terus menerus dalam mengeksploitasi sumberdaya perikanan artisanal guna memaksimumkan keuntungan, maka gejala terjadinya tragedi kebebasan dalam kebersamaan tragedy of the commons tidak bisa dihindari Hardin 1986. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan di perairan pesisir dan laut Kelurahan Pulau Abang Kecamatan Galang, Kota Batam bulan Janurai 2005 - Nopember 2006, bahwa gejala degradasi ekosistem pesisir di daerah penangkapan ikan fishing ground sekitar pantai sebagaimana diungkapkan diatas mulai terjadi dan dialami komunitas nelayan artisanal di kawasan pesisir ini, yang dibuktikan dengan semakin menurunnya hasil tangkapan nelayan artisanal beberapa tahun terakhir sebagaimana banyak dikeluhkan oleh para nelayan artisanal di kawasan Barelang. Situasi terkurasnya sumberdaya ikan, khususnya di daerah perikanan tropis, telah dibahas oleh para ahli seperti Christy 1987 dan Panayotou 1985b, dan semuanya mengusulkan alternatif solusi berupa kontrol atas akses dalam pemanfaatan sumberdaya ikan Saad 2000. Hak-hak kepemilikan pengelolaan sumberdaya ikan atau hak-hak penggunaan wilayah untuk perikanan territorial use rights in fisheries=TURFs sebagaimana yang ditawarkan konsep oleh Christy 1987 adalah solusi kongkrit yang disarankan oleh kalangan ahli perikanan, karena sistem pengelolaan sumberdaya ikan di bawah rezim “milik bersama” common property dan “keterbukaan akses” open acces atau no property right telah terbukti mengalami berbagai kegagalan dalam pembangunan sektor perikanan tangkap. Sumberdaya “milik bersama” adalah sumberdaya dimana keikutsertaan dalam penggunaan adalah bebas dan terbuka open acces untuk sekelompok pemakai atau calon pengguna sumberdaya perikanan tangkap. Menurut Christy 1987 terdapat 4 dampak negatif yang timbul dari keadaan status hak “milik bersama” open acces terhadap pengelolaan perikanan artisanal, yaitu sebagai berikut : Pertama, keadaan status “milik bersama” telah merangsang bangkitnya naluri serakah para nelayan, sehingga tidak seorangpun di antara mereka bersedia membatasi hasil tangkapannya demi tujuan-tujuan yang lebih besar, seperti untuk kelestarian sumberdaya ikan. Dalam pikiran mereka, berapapun yang disisakannya hari ini dalam rangka tujuan-tujuan jangka panjang tersebut, akan ditangkap oleh nelayan lain pada hari itu juga. Persediaan sumberdaya perikanan, dengan demikian, cenderung untuk digunakan hingga melampaui titik hasil lestari maksimum maximum sustainable yield=MSY, dan bahkan, kerapkali melampaui titik keseimbangan akses terbuka open-acces equilibrium. Kedua, akibat tidak ada pembatasan keikutsertaan modal dan tenaga kerja dalam sistem pengelolaan sumberdaya perikanan di bawah rezim “milik bersama” open access, maka pemborosan dalam arti ekonomi tak terhindarkan. Di berbagai tempat terjadi kecenderungan investasi yang lebih besar daripada yang sesungguhnya dibutuhkan. Jumlah ikan yang sama,dan bahkan lebih banyak sebenarnya dapat ditangkap, dengan investasi yang lebih kecil dibandingkan dengan yang telah ditanam secara nyata. Dalam bahasa manajemen dikatakan, upaya effort yang dilakukan telah melampaui titik hasil ekonomi maksimal maximum economic yield=MEY. Ketiga, dampak dari pemborosan investasi telah menyebabkan pendapatan rata-rata average income nelayan kecil berada di sekitar titik terendah. Kemiskinan nelayan ini, memang tidak semata-mata sebagai akibat dari manajemen sumberdaya perikanan berbasis “milik bersama”. Ada faktor lain yang juga memberi kontribusi terhadap keadaan tersebut seperti faktor sosial dan kultural. Namun sekiranya keikutsertaan dalam perikanan itu dibatasi dengan menghilangkan keadaan “milik bersama”, maka akan diperoleh suatu rente ekonomi economic rent atau rente sumberdaya resource rent. Bunga ekonomi ini yang merupakan selisih antara penerimaan total total revenue dan biaya total total cost akan dibagi di antara nelayan sehingga pendapatan mereka meningkat; dan Keempat, rezim “milik bersama” juga telah menyebabkan konflik diantara nelayan. Konflik itu berwujud dalam berbagai bentuk, yaitu 1 antara nelayan yang menangkap jenis ikan yang sama dan menggunakan alat tangkap yang sama pula, 2 antara nelayan yang menangkap jenis ikan yang tidak sama, tetapi menggunakan alat tangkap yang sama, seperti antara nelayan kecil dan nelayan besar, dan 3 antara nelayan yang menangkap jenis ikan dan menggunakan alat tangkap yang tidak sama, tetapi melakukan kegiatan penangkapan di daerah yang sama, seperti antara nelayan pukat harimau yang bergerak mobile trawlers dengan nelayan jaring menetap fixed nets atau perangkap pots. Di kawasan perairan Barelang, berdasarkan hasil wawancara dengan 211 orang nelayan artisanal bulan Februari, dan Desember 2005, gejala konflik kepentingan memanfaatkan sumberdaya perikanan pantai antara nelayan tradisional dengan trawl pernah terjadi. Pada tahun 2004 pernah terjadi konflik di perairan Kelurahan Pulau Abang antara nelayan trawl dengan nelayan artisanal, yang kemudian nelayan artisanal membakar unit penangkapan trawl milik salah seorang pengusaha ikan setempat bernama Kecik Tauke, keturunan Cina yang bermukim di pulau Abang Kecil, Kecamatan Galang, Kota Batam. Selain itu keberadaan hak-hak kepemilikan tradisional laut yang telah berlangsung secara turun temurun oleh masyarakat nelayan Barelang, seperti hak kepemilikan sumberdaya perikanan laut seperti Kelong Pantai, selama ini belum diakui dan diabaikan fungsi dan peranannya dalam pemberdayaan nelayan kecil di masa orde baru yang bersifat sentralistik. Padahal, menurut hasil penelitian LIPI 1995-1996 di beberapa wilayah pesisir di Indonesia, terutama Indonesia Bagian Timur, keberadaan pranata sosial tradisional seperti hak-hak kepemilikan sumberdaya perikanan laut di dalam kehidupan komunitas nelayan artisanal dapat berperan strategis dalam hal fungsi pemerataan sosial, konservasi dan ekonomi di wilayah pesisir Wahyono et al. 2000; Patji 1996; Antariksa 1996; Laksono dan Ali 1995; Rahmat dan Salipi 1995. Berdasarkan beberapa masalah tersebut diatas, maka persoalan mendasar dan juga mendesak adalah mencari solusi terhadap permasalahan yang tengah dihadapi nelayan artisanal di daerah ini, yakni bagaimana menata kembali sistem kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, yang tadinya dilakukan dengan kebijakan pengelolaan sumberdaya secara terpusat centralized policy selama 32 tahun orde baru berkuasa. Sistem pengelolaan sumberdaya perikanan secara terpusat telah diakui sangat sulit untuk dilaksanakan, terutama kontrol terhadap pemanfaatan sumberdaya ikan karena biaya enforcement-nya sangat mahal Abdullah et al. 1999. Pengalaman yang demikian itu terbukti di kawasan perairan Barelang Propinsi Kepulauan Riau, khususnya di Kelurahan Pulau Abang Kecamatan Galang Kota Batam, dan hingga sekarang masih berlangsung kegiatan penangkapan ikan karang dengan cara pengeboman secara illegal illegal fishing dan merusak ekosistem terumbu karang coral reefs yang ada di perairan pantai sebagai lokasi penangkapan fishing ground nelayan artisanal dimana pemerintah pusat atau sangat lemah dan bahkan tidak bisa mengatasinya. Oleh karena itu, maka untuk lebih menjaga kelestarian sumberdaya pesisir, maka Anwar 1992 berpendapat bahwa kiranya sekarang perlu adanya suatu pemikiran yang mengarah kepada terjadinya pelimpahan kewenangan devolution pengelolaan sumberdaya perikanan yang dapat diberikan kepada masyarakat adat local community, seperti nelayan tradisional atau kepada pemerintah lokal perdesaan pesisir, guna dapat menjaga keberlanjutan pemungutan dan pemanfaatan sumberdaya ikan, terutama sekitar perairan pantai yang selama ini merupakan daerah penangkapan ikan fishing ground nelayan artisanal. Menurut Anwar 1994b bahwa dalam pelimpahan wewenang pengelolaan sumberdaya pesisir, yang mengarah kepada terjadinya sistem desentralisasi pengambilan keputusan devolution ini, antara lain dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: Pertama, dilimpahkannya hak-hak untuk memperoleh akses access rights terhadap sumberdaya ikan yang dapat dijamin untuk kepentingan individual para nelayan, kelompok nelayan ataupun masyarakat komunal setempat. Kedua, pelimpahan wewenang dan tanggungjawab hak-hak pengelolaan management right dari pemerintah pusat kepada kelompok masyarakat pesisir dan nelayan-nelayan lokal juga semakin mendesak, karena sudah banyak ekses-ekses dari kegagalan pengelolaan sumberdaya pesisir yang salah kelola mismanagement, dan bahkan sudah mengarah pada terjadinya proses pengrusakan sumberdaya perikanan yang terus berlangsung. Oleh karena itu, secara bertahap pelimpahan wewenang tersebut akan tergantung dari tumbuhnya kemampuan masyarakat setempat untuk dapat mengatasi masalah-masalah yang dihadapi secara efektif. Dan Ketiga, dikembangkannya suatu zona pemungutan dan tangkapan yang ekslusif, yang disebut hak-hak ulayat laut sea tenure rights atau hak-hak pakai teritorial laut marine territorial use rights, terutama ditujukan bagi sumberdaya perikanan dan biota laut yang berharga lainnya, agar supaya dapat lebih dipertimbangkan sebagai suatu cara untuk mengelola sumberdaya perikanan pantai dan laut secara berkelanjutan, bilamana keadaan memungkinkan. Sehubungan dengan beberapa persoalan tersebut, saat ini telah muncul banyak perhatian yang meningkat terhadap sistem pengelolaan yang berlandaskan kepada kepentingan komunitas pesisir coastal community base management, yang sebenarnya mereka kaum nelayan tradisional telah mempunyai pengetahuan yang mendalam dan pengalaman yang lebih baik mengenai sumberdaya alam dan lingkungannya. Sebab mereka telah mewarisi secara turun temurun dari nenek moyang mereka untuk mengetahui cara-cara pengelolaan sumberdaya pesisir dan menjamin konservasi yang mengarah pada pelestarian sumberdaya ikan, yang mereka telah dilakukan dan diajarkan sejak kecil mengenai hak-hak kepemilikan sumberdaya perikanan laut Indar et al. 2002; Wahyono et al. 2000. Merevitalisasi peran dan fungsi kelembagaan hak-hak ulayat laut marine tenure rights atau hak-hak pakai territorial territorial use rights terhadap sumberdaya kelautan dan perikanan serta bagi kepentingan nelayan artisanal merupakan suatu hal yang sangat pokok dalam rangka untuk mengimplementasikan kebijakan desentralisasi otonomi daerah pada sektor kelautan dan perikanan Arsyad 2006a. Karena tanpa adanya kejelasan keberadaan hak-hak kepemilikan masyarakat adat atau hak pakai teritorial tersebut, maka sistem pengelolaan sumberdaya perikanan artisanal yang berkelanjutan sustainable artisanal fisheries management system yang berbasis masyarakat komunal setempat tidak dapat berlangsung secara efektif dalam memanfaatkan dan melestarikan sumberdaya ikan Charles 2001. Berdasarkan pemikiran dan beberapa konsep sebagaimana dikemukakan diatas, maka perumusan masalah dalam sistem pengelolaan perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang diformulasikan dalam rangka mengkaji aspek-aspek sebagai berikut: 1 karakteristik dan tipe hak-hak kepemilikan laut marine property rights sumberdaya perikanan pantai coastal fisheries yang terdapat dalam masyarakat nelayan artisanal di pulau-pulau kecil Kelurahan Pulau Abang Kecamatan Galang, Kota Batam, Propinsi Kepulauan Riau ditinjau dari aspek jenis-jenis alat tangkap fishing gears dan hak penguasaan daerah penangkapan ikan territorial use right; 2 pola interaksi antar berbagai elemen peubah penentu dan pemangku kepentingan stakeholders yang berlangsung di kawasan ini, dan apakah terjadinya konflik atau bersinergi antar berbagai pemangku kepentingan stakeholders dalam pemanfatan sumberdaya perikanan artisanal arstisanal fisheries dan non-perikanan seperti: kegiatan penambangan pasir, pariwisata bahari, pelayaran dan pelabuhan laut, pipa laut, budidaya laut dan dapur arang di pulau-pulau kecil kawasan Barelang; 3 peranan dan fungsi berbagai elemen dan sub elemen sistem kelembagaan pranata sosial tradisional institution social system dari hak-hak kepemilikan property right sumberdaya perikanan artisanal dalam sistem pengelolaan sumberdaya perikanan, dalam kaitannya dengan pelaksanaan konsep pengembangan perikanan artisanal yang berkelanjutan sustainable artisanal fisheries development; dan 4 menginventarisasi unsur-unsur sosial, budaya, teknologi, ekonomi, biologi dan potensi ekologis yang berperan sebagai faktor yang berpengaruh signifikan dalam membangun model pengelolaan perikanan artisanal yang berkelanjutan di pulau-pulau kecil Kelurahan Pulau Abang Kecamatan Galang, Kota Batam.

1.3 Tujuan Penelitian