Pengujian Hipotesis Analisis sistem pengelolan perikanan artisanal berkelanjutan (studi kasus di Kelurahan Pulau Abang Kecamatan Galang,Kota Batam Propinsi Kepulaun Riau)

8.1.2 Uji signifikasi bobot faktor

Dari hasil uji terhadap bobot faktor disajikan dalam Tabel 41, menunjukkan sampai sejauhmana kuatnya dimensi-dimensi itu membentuk faktor latennya. Analisis dengan menggunakan uji-t terhadap regression weight, apabila C.R Critical Ratio atau disebut juga dengan t-hitung dalam analisis regressi nilai C.R yang lebih besar dari 1.96 dinyatakan signifikan. Hal ini berarti model yang diusulkan dapat diterima dan terdapat dua konstruk yang berbeda dengan dimensinya . Apabila setiap peubah dari masing-masing peubah menunjukkan nilai regression weight atau standardized estimate = 2.58 dan ini sudah memenuhi syarat sehingga dapat diterima. Demikian pula halnya dengan nilai C.R Critical ratio = 1.96 dinyatakan signifikan berarti semua peubah yang dianalisis dapat diterima. Di dalam analisis ini jika ditemui nilai korelasi tinggi tidak berarti hubungan kausal sangat kuat dari setiap peubah. Nilai P secara keseluruhan menunjukkan nilai = 0.05, sehingga peubah memiliki independensi peubah satu dengan lainnya.

8.2 Pengujian Hipotesis

Analisis terhadap sistem pengelolaan perikanan artisanal dan faktor- faktor yang mempengaruhinya menyimpulkan bahwa semua hipotesis penelitian yang diajukan adalah terbukti benar karena nilai CR lebih besar dari 1.96 pada a = 0.05 Tabel 41. Setelah dilakukan analisis data dan pengujian terhadap enam hipotesis, akhirnya diperoleh bahwa semua CR dari semua hipotesis = 1.96 sehingga dapat dikatakan bahwa keenam hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini dapat diterima. Tabel 41 Regression weight model pengelolaan perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang Regression Weights US Estimate S . E C . R P X 1 X 2 X 3 X 4 X 5 X 6 X 7 X 8 X 9 X 10 X 11 X 12 X 13 X 14 X 15 X 16 X 17 X 18 X 19 X 20 X 21 X 22 X 23 X 24 X 25 X 26 X 27 X 28 X 29 X 30 X 31 X 32 X 33 X 34 X 35 0.16 2.38 -0.042 0.092 0.0086 0.049 0.23 1.29 0.35 0.079 -0.28 0.096 0.48 -0.71 0.20 -0.16 1.00 0.0098 -0.0030 -0.0016 -0.014 0.00019 0.0032 0.0035 1.42 -0.10 0.13 0.82 0.24 -0.87 0.29 0.32 0.21 -0.24 -0.098 0.033 0.35 0.012 0.020 0.040 0.021 0.041 0.060 0.050 0.072 0.065 0.056 0.054 0.094 0.035 0.052 0.052 0.0018 0.0017 0.0018 0.0026 0.0012 0.0018 0.0017 0.68 0.075 0.081 0.065 0.065 0.10 0.084 0.075 0.11 0.098 0.10 8.23 11.68 -2.44 1.32 6.22 0.23 -2.91 0.44 0.68 -4.17 -8.87 -0.55 2.84 0.84 -3.51 -3.90 0.23 -1.47 0.49 1.66 -2.22 -2.22 -1.66 -2.15 1.00 6.44 -3.51 0.55 -0.96 -4.41 6.68 7.15 4.20 -2.92 -0.21 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 Keterangan: X1 - X35 = lihat pada keterangan Gambar 14 S.E : Standard error C.R : Critical ratio P : Probobility Tabel 42 Pengujian hipotesis SEM Pada Sistem Pengelolaan Perikanan Artisanal di Kelurahan Pulau Abang, Kecamatan Galang, Kota Batam H Hipotesis Hasil C.R Kriteria H1 H2 H3 H4 H5 H6 Potensi sumberdaya ikan akan berpengaruh terhadap sistem pengelolaan dan pemanfaatan perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang Sosial budaya akan berpengaruh terhadap pengelolaan dan pemanfaatan perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang Teknologi ekonomi akan berpengaruh terhadap pengelolaan dan pemanfaatan perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang Pengelolaan pemanfaatan perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang akan mempengaruhi pendapatan. Pengelolaan dan pemanfaatan akan berpengaruh terhadap keberlanjutan perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang Desentralisasi akan mempengaruhi pengelolaan dan pemanfaatan perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang 4.70 -3.34 7.93 -1.99 4.31 3.83 Diterima Diterima Diterima Diterima Diterima Diterima 8.2.1 Pengaruh Faktor Sumberdaya Ikan Terhadap Pengelolaan dan Pemanfaatan Perikanan Artisanal di Pulau Abang Faktor SDI terbukti berpengaruh secara signifikan positif terhadap sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan artisanal. Pada faktor SDI ke empat faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap kondisi SDI adalah peubah ragam jenis hasil tangkapan X 2 = nilai CR 11.68, berikutnya adalah vaiabel jumlah hasil tangkapan X 1 = nilai CR 8.23, peubah jarak daerah penangkapan ikan X 3 = nilai CR -2.44, serta nilai paling kecil adalah intensitas penangkapan X 4 = nilai CR 1.32. Dari nilai CR tersebut diketahui bahwa peubah intensitas penangkapan ikan X 4 tidak terbukti berpengaruh terhadap kondisi SDI di Kelurahan Pulau Abang. Kegiatan penangkapan ikan di Kelurahan Pulau Abang dilakukan sepanjang musim, namun jenis alat tangkap yang digunakan relatif sederhana, sehingga intensitas penangkapan yang dilakukan secara intensif oleh nelayan setempat tidak berdampak berarti terhadap kondisi sumberdaya ikan di perairan Pulau Abang. Usaha industri perikanan, baik perikanan tangkap adalah merupakan ” a highly resource-based industriy”. Artinya kesinambungan sustainability usaha tersebut sangat bergantung pada kelestarian stok ikan dan daya dukung lingkungan. Oleh karena itu, keberlanjutan usaha perikanan tangkap dilaut pada dasarnya hanya dapat diwujudkan apabila tingkat atau laju pemanenan tidak melebihi potensi lestarinya MSY Dahuri, 1999 Manajemen sumberdaya laut terkait dengan tiga hal, yaitu sumberdaya laut yang dikelola resources, praktik pengelolaan system of management dan pihak-pihak yang mengelola human of management. Agar pengelolaan dapat efektif, kejelasan sumberdaya yang dikelola sangat diperlukan, sehingga dapat ditentukan sistem pengelolaan yang tepat. Meskipun demikian, karena sumberdaya itu berada di dalam suatu kawasan laut tertentu, maka permasalahan sumberdaya itu sering dipresentasikan dalam bentuk kejelasan wilayah pengelolaan. Praktik seperti itulah yang banyak dilakukan oleh nelayan di beberapa daerah di Indonesia, seperti di wilayah Papua dan Maluku Imron, 1989 dan Laksono, 1995. Meskipun demikian, pengelolaan yang berdasarkan sumberdaya juga banyak dipraktikkan di beberapa nelayan di daerah lain, seperti praktik Sasi ikan lompa di Maluku dan praktik pengelolaan di Salurang Imron, 2000. Pengelolaan yang berdasarkan sumberdaya juga dipraktikkan nelayan di daerah Kelurahan Pulau Abang yang dikenal dengan istilah sea rent pukat bilis, private property rights untuk alat tangkap Kelong Pantai. Pengelolaan bentuk lain adalah jika ada nelayan di luar pulau tersebut ingin ikut melakukan penangkapan maka dikenakan biaya sewa pungutan biaya pemanfaatan sumberdaya laut. Dengan adanya eksklusivitas berupa hak-hak kepemilikan pribadi tersebut, maka orang cenderung akan mengatur pemanfaatan sumberdaya seefektif mungkin, sehingga kerusakan dapat dihindari. Akan tetapi, hal itu ternyata tidak menjamin, karena dengan cara demikian kerusakan sumberdaya ikan tetap saja terjadi, terutama untuk wilayah yang sudah mendekati habis masa kontraknya. Dalam kondisi seperti itu, orang akan cenderung berbuat rasional, yaitu menguras habis sumberdaya yang ada di wilayah yang sudah dikontrak, untuk kemudian mengontrak lagi wilayah lain yang masih kaya dengan sumberdaya. Dalam kasus Pukat Bilis di pulau Petong justru berdampak negatif terhadap proses rekruitmen sumberdaya ikan Bilis. Karena proses penangkapannya diperuntukkan bagi ikan-ikan yang baru bertelur. Keberadaan ikan Bilis di perairan Kelurahan Pulau Abang merupakan indikator ketersediaan atau kelimpahan sumberdaya Cumi-cumi di perairan tersebut. Ekosistem terumbu karang dan hutan mangrove merupakan salah satu faktor penting dalam pengelolaan perikanan karena pada hakekatnya fokus utama dari pengelolaan yaitu sumberdaya perikanan terkait erat dengan kualitas lingkungan dan ekosistem di mana sumberdaya perikanan tersebut secara ekologis berada. Dalam konteks inilah pengelolaan perikanan berbasis ekosistem menjadi sangat relevan FAO, 2003. Menurut Berkes et al. 2001, ada beberapa pertimbangan pokok mengapa pendekatan ekosistem ini menjadi sangat penting dalam pengelolaan perikanan yaitu: 1 kemampuan memprediksi kondisi ekosistem sangat terbatas, 2 ekosistem memiliki batas yang nyata daya dukung di mana apabila pemanfaatan SDI melebihi kemampuan ekosistem meregenerasi SDI tersebut maka akan terjadi perubahan struktur populasi ikandan tidak dapat kembali seperti semula irreversible, 3 keanekaragaman hayati biodiversity sangat penting dalam fungsi ekosistem, 4 komponen- komponen dalam ekosistem saling berinteaksi, 5 batas ekosistem terbuka, dan 6 ekosistem linier terhadap perubahan waktu. Dalam hal pengelolaan sumberdaya perikanan artisanal yang berkelanjutan FAO 1995 memberi contoh pengelolaan dalam dimensi ekologi, ekonomi dan sosial adalah sebagai berikut: pada dimensi ekonomi dengan kriteria: volume produksi, nilai produksi, kontribusi perikanan dalam Gross Domestic Product GDP, nilai ekspor perikanan dibandingkan dengan total nilai ekspor, investasi dalam armada perikanan dan fasilitas pengolahan, pajak dan subsidi, tenaga kerja, pendapatan rumah tangga nelayan, penerimaan bersih nelayan. Pada dimensi sosial dengan kriteria: partisipasi angkatan kerja, demografi, pendidikan, konsumsi protein, pendapatan, tradisi atau budaya, distribusi gender dalam pengambilan keputusan. Dimensi ekologi dengan kriteria: struktur hasil tangkapan, kelimpahan relatif spesies target, tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan, efek langsung alat tangkap ikan terhadap non spesies target, efek alat tangkap ikan terhadap habitat, keanekaragaman hayati, perubahan daerah penangkapan dan kualitas dari habitat penting atau kondisi kritis. 8.2.2 Pengaruh Faktor Sosial Budaya Terhadap Pengelolaan dan Pemanfaatan Perikanan Artisanal di Pulau Abang Faktor sosial budaya terbukti berpengaruh negatif secara signifikan terhadap sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan artisanal. Pada faktor sosial budaya ke lima faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap kondisi sosial budaya adalah peubah konflik perebutan daerah penangkapan X 5 = nilai CR 6.22. Peubah kegiatan ritual adat X 7 = nilai CR - 2.91 berpengaruh negatif terhadap sistem sosial budaya di Kelurahan Pulau Abang. Sementara peubah kegiatan musyawarah X 9 = nilai CR 0.68 dan konflik etnis X 6 = nilai CR 0.23 dan kegiatan gotong royong X 8 = nilai CR -0.44 Semua peubah tersebut tidak berpengaruh terhadap kondisi sosial budaya adalah. Aktivitas nelayan artisanal di Kelurahan Pulau Abang relatif tenang, sehingga konflik perebutan daerah penangkapan tidak pernah terjadi. Hal tersebut tentu sangat positif terhadap sosial budaya nelayan artisanal Kelurahan Pulau Abang. Adanya konflik memang pernah terjadi yaitu antara nelayan artisanal dengan nelayan modern. Konflik tersebut terjadi karena adanya kegiatan operasi penangkapan ikan oleh nelayan modern menggunakan alat tangkap Trawl sehingga nelayan Kelurahan Pulau Abang melakukan protes dengan membakar armada penangkapan tersebut. Kebijakan pengembangan kelembagaan adat tentang pengelolaan sumberdaya laut seperti dikemukakan di depan eksistensinya memudar sejak penerapan kebijakan politik rezim Orde Baru melalui UU No. 5 tahun 1979. Akan tetapi, paling tidak sejak tahun 2005 di daerah Kelurahan Pulau Abang sudah dimulai usaha-usaha untuk merevitalisasi pranata sosial tradisional yang dilakukan oleh Yayasan Laksana Samudera melalui COREMAP Coral Reef Management and Rehabilitation Programe. Ada tiga program utama yang dilakukan oleh yayasan tersebut yang secara langsung melibatkan peran masyarakat Kelurahan Pulau Abang, yaitu: 1 pengembangan mata pencaharian alternatif masyarakat pesisir; 2 penyadaran dan pendidikan masyarakat terhadap kelestarian terumbu karang dan lingkungan laut; dan 3 penguatan kelembagaan sosial dari masyarakat setempat. Program pengembangan mata pencaharian alternatif dititikberatkan untuk memberikan sumber pendapatan lain bagi RTP artisanal sebagai solusi alternatif agar berkurangnya tekanan terhadap sumberdaya laut. Program ini meliputi berbagai kegiatan, seperti pembesaran ikan kerapu dengan jala apung keramba; pelatihan pembuatan makanan dari bahan dasar ikan kerupuk, bakso dan pembuatan ikan teribilis, dan pengembangan koperasi simpan pinjam usaha mikro. Program penyadaran dan pendidikan masyarakat dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap keberadaan sumberdaya laut, ekosistem terumbu karang dan hutan mangrove serta lingkungan pesisir untuk keberlangsungan kehidupan masyarakat nelayan artisanal dan kelestarian sumberdaya laut itu sendiri. Untuk mencapai tujuan program ini, maka kegiatan yang dilakukan adalah penyampaian informasi secara lisan pertemuan masyarakat nelayan, diskusi kelompok maupun secara tertulis poster, leaflet dan brosur; peningkatan pengetahuan masyarakat, terutama melalui pendidikan formal maupun non-formal seperti muatan lokal kelautan untuk pelajar dan siswa SD dan SMP, serta kursus penyelaman untuk nelayan lokal. Program penguatan kelembagaan bertujuan untuk merevitalisasi peran kelembagaan tradisional yang ada dalam masyarakat pesisir, yang menuntut kerjasama yang baik antara seperti para pemuka masyarakat, alim ulama dan cerdik pandai, serta menjalankan kearifan lokal local wisdoms dan kesepakatan adat serta memberdayakan peranan lembaga kemasyarakatan lainnya seperti PKK, kelompok nelayan, kelompok arisan, kelompok pemuda serta kelompok pengajian yang ada di Kelurahan Pulau Abang 8.2.3 Pengaruh Faktor Teknologi Ekonomi Terhadap Pengelolaan dan Pemanfaatan Perikanan Artisanal di Pulau Abang Faktor tekno-ekonomi terbukti berpengaruh positif terhadap sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan artisanal. Pada faktor tekno ekonomi tujuh faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap kondisi tekno ekonomi adalah teknologi penangkapan ikan X 1 3 = nilai CR 2.84. Penggunaan kapal dengan mesin X 1 4 = nilai CR 0.84 dan tingkat pendidikan X 12 = nilai CR -0.55, tidak berpengaruh terhadap sistem pengelolaan perikanan artisanal. Sebaliknya peubah ragam jenis teknologi dalam penangkapan ikan X 10 = nilai CR -4.17, tingkat keterampilan dalam penangkapan ikan X 11 = nilai CR -3.88, lembaga pembiayaan X 15 = nilai CR - 3.51 dan tingkat skala usaha ukuran armada penangkapan X 16 = CR -3.90 terbukti berpengaruh terhadap sistem pengelolaan perikanan artisanal. Di kelurahan Pulau Abang sebagaimana telah disebutkan bahwa umumnya nelayan berpendidikan rendah, serta tidak adanya lembaga pembiayaan. Tidak adanya lembaga pembiayaan tersebut tentu saja berdampak negatif dalam pengelolaan perikanan artisanal. Berdasarkan karakteristik human system dalam tipologi fishery system seperti yang disampaikan oleh Charles 2001, terdapat beberapa karakteristik umum dari nelayan fishers yaitu bahwa pertama, nelayan berbeda menurut latar belakang sosial seperti tingkat umur, pendidikan, status sosial dan tingkat kohesitas dalam komunitas mikro antar nelayan dalam satu grup atau dalam komunitas makro nelayan dengan anggota masyarakat pesisir lainnya. Kedua, dalam komunitas nelayan komersial, nelayan dapat bervariasi menurut occupational commitment-nya seperti nelayan penuh, nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan, atau menurut occupational pluralism-nya seperti nelayan dengan spesialisasi tertentu, nelayan dengan sumber pendapatan beragam, dan lain sebagainya. Ketiga, nelayan dapat bervariasi menurut motivasi dan perilaku di mana dalam hal ini terdiri dari dua kelompok yaitu nelayan dengan karakteristik profit-maximizers yaitu nelayan yang aktif menangkap ikan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dan cenderung berperilaku seperti layaknya ”perusahaan”, dan kelompok nelayan satisficers atau nelayan yang aktif menangkap ikan untuk mendapatkan penghasilan yang cukup. Sanim 2001 menyebutkan kualitas sumberdaya manusia SDM nelayan merupakan komponen utama bagi daya saing nasional, maupun internasional suatu negara sehingga sangat penting dan strategis bagi pembangunan aquabisnis di Indonesia yang dapat dilakukan dengan cara : 1 peningkatan kualitas SDM dilakukan untuk mencapai berbagai tujuan dengan berbagai dimensinya dimensi okupasi, dimensi fungsinya dan dimensi jenjang kewenangan 2 pada tingkat pemerintah daerah local goverment propinsi maupun kabupaten dan kecamatan untuk dapat melaksanakan otonomi atau desentralisasi; dan 3 dalam era globalisasi maka peningkatan kualitas SDM harus memenuhi tiga kriteria pendidikan yang berkelanjutan, yaitu : a multi skiling, b life long education c learning by doing process Salah satu faktor kunci dalam dinamika sosial ekonomi nelayan adalah informasi dan pengetahuan tentang hak-hak rights, karena pola pembinaan nelayan tetap harus mempertimbangkan konsep perikanan berbasis hak right- based fisheries untuk menjamin keadilan dan keberlanjutan komunitas nelayan. Menurut Ostrom and Schlager 1996, paling tidak ada 2 tipe hak yang penting dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam termasuk sumberdaya perikanan yaitu 1 use operational-level rights, dan 2 collective choice rights. Tipe hak yang pertama mengacu pada hak yang melekat pada operasionalisasi perikanan atau dalam konteks perikanan tangkap adalah yang terkait dengan proses dan dinamika penangkapan ikan. Dalam tipe ini, beberapa hak penting antara lain adalah hak akses access rights yaitu hak untuk masuk entrance ke dalam usaha perikanan tangkap baik dalam konteks daerah penangkapan fishing ground atau dalam salah satu struktur usaha perikanan seperti penyediaan bahan baku, pengolahan perikanan, dan lain sebagainya. Masih dalam tipe hak yang pertama use rights, hak untuk menangkap ikan dalam jumlah tertentu harvest rights juga merupakan jenis hak yang penting. Walaupun secara kontekstual berbeda, kepemilikan kedua hak access and harvest rights secara bersama-sama merupakan unsur penting dalam keberlanjutan komunitas perikanan. Tanpa pemberian hak tersebut, maka apabila ada program relokasi nelayan ke tempat yang baru tidak akan tercapai tujuan sesuai harapan. Tipe hak kedua collective-choice rights lebih menitikberatkan pada hak pengelolaan perikanan fisheries governance yang biasanya diberikan kepada otoritas tertentu di luar masyarakat nelayan supra-community. Otoritas ini biasanya adalah pemerintah lokal yang dalam konteks otonomi daerah sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 pasal 18 memegang peran yang penting dalam pengelolaan perikanan. Dalam konteks relokasi nelayan, tipe hak kedua ini menjadi sangat penting karena hak ini terkait dengan unsur ”siapa yang mengatur” sebagai pelengkap dari konsep hak yang terkait dengan ”siapa yang diatur” seperti yang telah dijelaskan dalam tipe hak pertama use rights. Selain hak pengelolaan, beberapa jenis hak penting yang masuk dalam ketegori collectivechoice rights adalah hak eksklusi exclusion right yaitu hak otoritas untuk menentukan kualifikasi bagi pihak-pihak yang ingin mendapatkan hak akses access right maupun panen harvest right dan hak alienasi alienation right yaitu hak untuk mentransfer dan menjual hak pengelolaan sumberdaya perikanan. Berdasarkan uraian tentang dua unsur penting dalam masyarakat nelayan artisanal yaitu tipologi nelayan dan hak tersebut di atas, maka pola interaksi nelayan artisanal yang harus diterapkan dalam konteks pengembangan perikanan tangkap adalah pola-pola yang mampu menjamin keberlanjutan komunitas perikanan atisanal, khususnya yang terkait dengan distribusi hak yang adil antara nelayan pendatang yang direlokasi dan nelayan lokal yang menerima relokasi nelayan. Tanpa skema ini maka konflik akan sangat mudah terjadi dan pada akhirnya akan memicu timbulnya biaya sosial social cost yang cukup besar. Dalam konteks revitalisasi kelembagaan perikanan artisanal, pemberlakuan kebijakan relokasi nelayan jika dilakukan harus pula memperhatikan potensi dan karakteristik lokasi wilayah pengelolaan perikanan WPP, sehingga relokasi nelayan dapat dilakukan dengan prinsip cost effectiveness. Sebagai contoh untuk daerah Batam Propinsi Kepulaun Riau ini yang mengalami kelebihan nelayan di WPP 1 Selat Malaka mungkin akan lebih tepat apabila dialihkan ke WPP terdekat yaitu WPP 2 Laut China Selatan yang merupakan daerah pesisir yang masih relatif dekat dan secara sosial-budaya masyarakat nelayan artisanalnya tidak terlalu berbeda. Selain itu, termasuk dalam strategi ini adalah kebijakan transformasi nelayan. Kebijakan ini pada intinya bertujuan untuk memindahkan transform mata pencaharian nelayan baik secara vertikal misalnya dari nelayan menjadi pembudidaya ikan, pedagang perikanan atau pengolah ikan, jadi masih tetap dalam koridor sistem perikanan, atau dilakukan secara horisontal yaitu mengalihkan profesi nelayan menjadi kegiatan lain di luar sistem perikanan akan sulit dilakukan. Secara teoritis, transformasi vertikal lebih dipilih sebagai salah satu alternatif kebijakan mengingat bahwa karakteristik komunitas perikanan pada umumnya bersifat artisanal, sehingga tidak jarang kegiatan perikanan merupakan satu-satunya pilihan hidup bagi masyarakat nelayan. Dengan memindahkan mata pencaharian nelayan yang ada dalam sistem perikanan, diharapkan tidak banyak terjadi gejolak sosial budaya yang timbul. Sama halnya dengan kebijakan dan program relokasi nelayan, faktor hak-hak sosial ekonomi masyarakat nelayan yang ditransmigrasikan harus diperhatikan, sehingga keberlangsungan kehidupan masyarakat nelayan ini tetap dapat terpelihara. 8.2.4 Pengaruh Faktor Pengelolaan dan Pemanfaatan Perikanan Artisanal Terhadap Pendapatan Di Pulau Abang Faktor pendapatan terbukti berpengaruh negatif terhadap sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan artisanal. Peubah pengolahan ikan X 21 = nilai CR 2.22 dan kesegaran ikan hasil tangkapan X 22 = nilai CR 2.22 berpengaruh positif terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan artisanal. Untuk peubah jumlah pasar ikan X 24 = nilai CR -2.15 berpengaruh negatif terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan artisanal. Tidak adanya sarana tempat pelelangan ikan atau pasar ikan di Kelurahan Pulau Abang telah berdampak negatif terhadap sistem pengelolaan perikanan artisanal. Selain itu, nilai atau harga ikan yang hanya dimonopoli oleh Tauke. Sebaliknya peubah biaya operasional X 18 = nilai CR -1.47, nilai jual hasil tangkapan X 1 9 = nilai CR 0.49, jenis tangkapan ekonomis penting X 2 0 = nilai CR 1.66, sistem pemasaran X 23 = nilai CR -1.66 dan jumlah pembeli atau pengumpul X 17 = 0.23, tidak terbukti berpengaruh terhadap sistem pengelolaan perikanan artisanal. Hal ini sebagai akibat kurangnya prasarana pemasaran ikan dan dominasi peran Tauke di Kelurahan Pulau Abang. Sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir, maka manfaat ekonomi dari potensi sumberdaya pantai dan pesisir harus diarahkan untuk upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Tidaklah adil bila manfaat ekonomi diraup oleh orang luar, sedangkan penduduk setempat hanya menjadi penonton, apalagi bila dijadikan korban penggusuran, walau dengan alasan apapun. Oleh karena itu manfaat pembangunan wilayah pesisir dan lautan harus diprioritaskan untuk peningkatan kesejahteraan penduduk setempat. Karena keterbatasan dari sumberdaya ikan dan modal serta peningkatan kebutuhan manusia yang selalu meningkat, maka penggunaan sumberdaya ikan harus efektif dan efisien. Beberapa determinan yang mempengaruhi tingkat efektifitas dan efisiensi dari penggunaan sumberdaya ikan antara lain adalah: 1 alokasi penggunaan sumberdaya ikan untuk menghasilkan berbagai barang dan jasa. Selanjutnya dalam hal ini yang perlu dipertimbangkan adalah prinsip oportunity cost; 2 kombinasi berbagai sumberdaya ikan untuk menghasilkan barang dan jasa tertentu. Untuk dapat tercapainya efektivitas dan efisiensi penggunaan sumberdaya ikan tersebut, kombinasi optimal perlu dilakukan untuk mencapai keuntungan maksimal prinsip minimize cost untuk memperoleh output tertentu atau maximize profit dengan menggunakan jumlah sumberdaya tertentu; dan 3 tercapai tidaknya “economics of scale dan economic of scope” 8.2.5 Pengaruh Faktor Pengelolaan berkeberlanjutan Terhadap Kegiatan Pemanfaatan Perikanan Artisanal di Pulau Abang Faktor pengelolaan berkeberlanjutan terbukti berpengaruh positif secara signifikan terhadap sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang. Pada faktor keberlanjutan ketiga faktor yang berpengaruh negatif terhadap pengelolaan dan pemanfaatan perikanan artisanal adalah peubah kondisi keanekaragaman hayati biodiversity SDI nilai CR X 26 = - 6.44 dan peubah kesejahteraan nelayan artisanal nilai CR X 27 = -3.51. sebaliknya peubah jumlah pasar ikan nilai CR X 25 = 1.00, tidak berpengaruh. Pengelolaan perikanan artisanal adalah suatu proses terintegrasi yang meliputi pengumpulan dan analisis informasi, perencanaan, pengambilan keputusan, alokasi pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan, dan perumusan tindakan penegakan hukum dan peraturan-peraturan di bidang pengelolaan perikanan artisanal, yang melalui pihak berwenang di bidang perikanan dapat mengendalikan perilaku pihak-pihak yang berkepentingan untuk menjamin kelangsungan produktivitas perikanan dan kesejahteraan sumberdaya hayati ikan Wiryawan et al., 2002. Menurut FAO 1995 pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan harus terfokus pada penggunaan sumberdaya perikanan jangka panjang. Langkah awal dalam pengelolaan yang demikian adalah mengidentifikasi sumberdaya ikan, ekosistem dan pemangku kepentingan stakeholder karena melibatkan banyak sektor dan banyak disiplin sehingga berdampak pada pemerataan antar generasi. Kebijakan seperti melarang penangkapan pada musim tertentu, pengurangan operasi penangkapan dan jumlah kapal yang beroperasi tidak akan diterima oleh nelayan. Hal ini disebabkan karena terjadinya pengangguran dan hilangnya pendapatan. Kondisi ini bisa diatasi dengan memberi mereka berbagai pilihan untuk mengurangi pengangguran pada periode tersebut. Menurut Carter 2000, permasalahan perikanan di Indonesia diantaranya adalah akses terbuka, nelayan asing illegal dan terlalu banyaknya nelayan dekat pantai di beberapa daerah yang cenderung menyebabkan terjadinya eksploitasi berlebihan. Selanjutnya dikatakan bahwa ada empat macam penangkapan ikan berlebihan: 1. Growth Overfishing, yakni penangkapan ikan sedemikian rupa sehingga ukuran rata-rata ikan adalah sub-optimal untuk memberi hasil efektif dari perikanan -ikan kecil menghabiskan produksi yang lebih kecil. 2. Recruitment Overfishing, yakni usaha perikanan sedemikian hebatnya sehingga persediaan reproduksi efektif dirusak. 3. Ecosystem Overfishing, yakni penangkapan ikan secara intensif menyebabkan pergeseran struktur populasi ikan dari spesies berharga bergeser pada spesies yang kurang bernilai. 4. Malthusian Overfishing, yakni nelayan miskin dengan tangkapan yang menyusut dan tiadanya pilihan menggunakan cara perusakan SDI secara besar-besaran seperti mata jaring kecil, dinamit, sianida, demi mempertahankan penghasilannya. Carter 2000 menyarankan alternatif pengelolaan perikanan bersifat pengaturan sebagai berikut : 1. Pemilihan peralatan: seperti pembatasan pada ukuran mata jaring membuat mata jaring lebih besar agar ikan kecil dapat lepas; memperpanjang jarak antara kail pada suatu tali. Tujuannya adalah agar ikan tumbuh lebih besar, menjadi lebih berharga saat ditangkap. 2. Pembatasan jenis peralatan: melarang penggunaan racun, misalnya sianida natrium potas, dan bahan peledak, senapan, panah dan sebagainya. 3. Penutupan musim dan tempat: untuk melindungi ikan bertelur dan juvenile guna meningkatkan produktivitas stok ikan dan juga untuk mengurangi upaya penangkapan ikan pada umumnya. 4. Kuota penangkapan: untuk meningkatkan produktivitas stok ikan dengan pengendalian secara langsung terhadap tingkat kematian ikan. Dalam teori, dengan data ilmiah yang baik dan menuruti pengaturan kuota, suatu stok dapat dipertahankan pada tingkat produksi yang dikehendaki namun sifat multispesies dari perikanan tropis yang menyebabkan hal tersebut relatif kurang dapat diramalkan. 5. Pengendalian upaya penangkapan ikan: pembatasan jumlah kapal, jumlah peralatan atau kapasitas perahu, untuk meningkatkan hasil tangkapan dan penampilan atau prestasi ekonomi dari usaha perikanan dengan menghilangkan upaya penangkapan ikan yang berlebihan. 6. Pengendalian ekonomi: seperti pajak atas usaha atau tangkapan, retribusi, biaya izin, untuk secara tidak langsung mengendalikan upaya penangkapan ikan dengan menaikkan biaya dan menghilangkan surplus ekonomi. Dalam teori, tambahan biaya ini mencegah para nelayan untuk memperluas usahanya diluar tingkat optimal. 8.2.6 Pengaruh Faktor Kebijakan Desentralisasi Terhadap Pengelolaan dan Pemanfaatan Perikanan Artisanal di Pulau Abang Faktor desentralisasi terbukti berpengaruh positif secara signifikan terhadap sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan artisanal. Pada faktor desentralisasi faktor yang berpengaruh paling besar adalah peubah legalitas sistem pengelolaan dari masyarakat oleh pemerintah X 32 = nilai CR 7.15, berikutnya peubah pelaksanaan aturan lokal dan tradisional X 31 = nilai CR 6.68, keberadaan sarana dan prasarana X 33 = nilai CR 4.20 terbukti mempengaruhi kebijakan desentralisasi di Kelurahan Pulau Abang. Untuk peubah usulan dan keinginan nelayan dalam manajemen perikanan dan kelautan X 30 = nilai CR -4.41 dan tingkat akses mendapatkan sarana produksi X 3 4 = nilai CR –2.92 berpengaruh negatif. Sebaliknya untuk peubah delegasi kewenangan X 28 = nilai CR 0.55 partisipasi nelayan X 29 = nilai CR -0.96, perizinan dalam usaha perikanan X 35 = nilai CR -0.21 tidak berpengaruh terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang. Perencanaan, pengelolaan dan pengembangan perikanan artisanal tidak dapat lepas dari keberadaan, perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan sebagai ruang dan wilayah kedudukannya. Oleh sebab itu perencanaan pengelolaan perikanan artisanal adalah peubah dependent tidak bebas dari perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, sistem pengelolaan wilayah laut telah mengalami perubahan kebijakan. Pengelolaan yang pada mulanya bersifat sentralistik telah diganti dengan pendekatan desentralisasi. Hal itu terkait dengan pasal 18 Ayat 3 UU No. 32 Tahun 2004 yang merupakan UU revisi, yang menyatakan bahwa selain memiliki wilayah darat, daerah juga memiliki wilayah laut yang luasnya adalah sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan untuk propinsi, dan sepertiganya untuk kabupatenkota. Selain itu, daerah juga diberi wewenang untuk mengelola wilayah laut yang menjadi wilayahnya. Adapun wewenang yang dimiliki oleh daerah meliputi: a eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut, b pengaturan tata ruang, c pengaturan administrasi, d penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pusat, e ikut serta dalam pemeliharaan keamanan, dan f ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara. Pemilikan wilayah laut oleh propinsi dan kabupatenkota, sebagaimana diamanatkan oleh UU tersebut, mengundang masalah. Pertama, terkait dengan batas wilayah. Karena tidak ada batas yang jelas, maka batas wilayah antara wilayah propinsi dan kabupaten, begitu pula batas laut antar kabupaten, merupakan batas yang bersifat imajiner. Hal itu merupakan potensi bagi timbulnya konflik antar daerah, karena terjadi saling klaim antar mereka. Kedua, pemilikan wilayah laut oleh daerah yang tidak dilakukan secara bijak oleh daerah untuk mengelola wilayah lautnya, yaitu dieksploitasi sedemikian rupa tanpa memperhitungkan kelestariannya, untuk meningkatkan pendapatan asli daerah PAD. Jika itu yang terjadi, maka desentralisasi dalam pengelolaan kelautan akan kontra produktif, karena justru berdampak negatif bagi kelestarian sumberdaya laut. Dalam otonomi, daerah memang memiliki hak penuh untuk mengelola sumberdaya ikan yang ada di wilayahnya. Meskipun demikian, dua hal yang tidak boleh dilupakan dalam otonomi, yaitu demokratisasi dan partisipasi, yang merupakan esensi dari desentralisasi. Hal itu karena tujuan otonomi daerah selain untuk memperpendek jarak pelayanan terhadap masyarakat nelayan, juga agar daerah dapat lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya melalui sumberdaya yang dimiliki. Peningkatan kesejahteraan nelayan itu akan dapat dilakukan dengan optimal apabila pemerintah daerah memahami permasalahan- permasalahan nyata yang dihadapi masyarakatnya, yang hanya dapat dilakukan jika pemerintah bersikap demokratis. Karena itu perubahan pengelolaan dari sentralisasi ke desentralisasi itu selain memberikan peluang bagi pemerintah daerah untuk ikut serta mengelola wilayah laut, selayaknya juga membuka peluang bagi munculnya aspirasi dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan laut yang ada di Kelurahan Pulau Abang. Pentingnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan laut milik daerah kabupatenkota sesuai dengan SK Menteri Pertanian No. 3921999 tentang jalur penangkapan ikan, wilayah laut paling banyak sejauh empat mil yang menjadi milik kabupatenkota itu merupakan wilayah penangkapan nelayan tradisional. Menurut SK tersebut, wilayah sampai dengan 3 mil termasuk dalam wilayah jalur 1a, yang hanya diperuntukkan bagi nelayan dengan alat tangkap ikan yang bersifat menetap, alat penangkapan ikan tidak menetap yang tidak dimodifikasi, dan kapal perikanan tanpa motor dengan ukuran panjang keseluruhan tidak lebih dari 10 meter. Dengan demikian pengelolaan di wilayah sejauh empat mil itu memiliki dampak yang besar bagi nelayan tradisional small scale fisheries. Karena itu dalam konteks desentralisasi, maka sudah selayaknya jika nelayan kecil artisanal juga diberi peluang untuk berpartisipasi dalam menentukan bentuk pengelolaan wilayah lautnya. Kebijakan desentralisasi memberikan pilihan-pilihan kepada pemerintah daerah kota Batam dalam merumuskan kebijakan pengelolaan sumberdaya laut di wilayahnya, yaitu memberi ruang bagi masyarakat untuk ikut serta mengelola sumberdaya laut yang ada di sekitar mereka, atau sebaliknya, yaitu mengabaikan partisipasi lokal dalam pengelolaan dan menempatkan pemerintah daerah sebagai satu-satunya pengelola wilayah laut yang menjadi wilayahnya. Jika alternatif kedua yang diambil, maka sebetulnya yang terjadi hanyalah pergeseran tingkat sentralisasi dari pemerintah pusat ke pemerintah kabupaten. Pilihan mana yang akan diambil, serta bagaimana implikasi sosial ekonominya bagi masyarakat nelayan setempat, akan dilihat dalam penelitian ini. Sea rent sebagai bentuk tradisi pengelolaan sumberdaya laut berbasis masyarakat yang berkelanjutan dalam arti yang sesungguhnya, sudah lama dipraktikkan oleh masyarakat nelayan Kelurahan Pulau Abang, dan kemudian diwariskan dari generasi ke generasi. Sungguhpun demikian keberadaannya semakin termarginalkan fungsinya akibat perubahan lingkungan perairan pantai, berkembangnya teknologi alat tangkap ikan modern, dan kebijakan pembangunan yang belum banyak berpihak kepada upaya pelestarian lingkungan dan lebih mengedepankan upaya mengejar pertumbuhan ekonomi. Demikian juga secara hukum, praktik-praktik penguasaan wilayah perairan terasa lemah bila berhadapan dengan nelayan dari luar terutama nelayan skala besar, sekalipun penguasaan ini sudah diakui secara lisan baik oleh masyarakat setempat maupun pemerintah dalam hal ini DKP2-Kota Batam. Namun belum ditetapkan dalam suatu surat keputusan DKP RI atau Pemkot Batam. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan selama ini masih menempatkan aspek pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan sebagai posisi subordinat terhadap pembangunan yang lebih mengejar pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain paradigma pembangunan perikanan tangkap, yang menempatkan sektor kelautan sebagai lokomotif penggerak utama pembangunan primer mover of economic dalam kenyataannya masih sebatas wacana. BAB 9 IMPLIKASI KEBIJAKAN Kegiatan perikanan tangkap sangat tergantung pada tersedianya sumberdaya perikanan, baik berupa sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun sumberdaya buatan sarana dan prasarana pendukung. Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam mewujudkan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara optimal adalah diterapkannya pengelolaan yang rasional. Pengelolaan yang rasional menerapkan sistem pengelolaan yang mencakup semua sumberdaya, termasuk diantaranya lingkungan sumberdaya ikan yang dimanfaatkan, perencanaan, pengorganisasian dan kelembagaan, serta sumberdaya manusia, terutama pelaku dan pemanfaat, baik lokal maupun pendatang Nikijuluw, 2003. Oleh karena itu, pengembangan dan penerapan sistem pengelolaaan sumberdaya perikanan harus didasarkan pada pemahaman yang mendalam tentang semua proses, interaksi dan interkorelasi, kompetisi dan kemungkinan timbulnya konflik, yang diikuti dengan identifikasi terhadap masalah dan kendala yang dihadapi beserta analisis jalan keluarnya. Selain itu, dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap tersebut juga diperlukan pelibatan pemerintah daerah dan komunitas nelayan setempat dengan menerapkan pola pengelolaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip perikanan berkelanjutan. Aktivitas perikanan tangkap di Kelurahan Pulau Abang dapat dikategorikan kedalam kategori perikanan artisanal dengan ciri-ciri skala kecil dan tradisional dengan daerah penangkapan ikan fishing ground di perairan pantai dengan jangkauan kurang dari 4 mil laut. Usaha perikanan tangkap ini terpusat di Kelurahan Pulau Abang. Kegiatan penangkapan ikan yang berbasis di Kelurahan Pulau Abang masih bersifat tradisional. Hal ini dapat dilihat dari tingkat teknologi penangkapan yang digunakan berupa armada penangkapan ikan yang berukuran kurang dari 5 GT seperti sampan dan pompong dengan menggunakan alat tangkap pancing, jaring, kelong, bubu, rawai dan lain-lain. Kegiatan perikanan tangkap akan dihadapkan pada berbagai permasalahan yang semakin kompleks, seperti penurunan stok sumberdaya ikan khususnya di perairan sekitar pantai, persaingan atau perebutan daerah penangkapan, dan degradasi fungsi ekosistem pesisir. Oleh sebab itu keberlanjutan usaha penangkapan ikan di daerah pantai akan sangat bergantung pada pola manajemen pemanfaatan yang tepat yang didukung oleh kesiapan sumberdaya manusia SDM nelayan yang handal, dan memiliki sarana dan prasarana pendukung yang representatif seperti TPI, PPI dan koperasi nelayan. Prasarana tersebut sebagai pendukung utama pembangunan sektor perikanan tangkap di daerah belum tersedia. Selain itu, guna menunjang pengembangan perikanan tangkap yang berkelanjutan di Kelurahan Pulau Abang dituntut pula adanya informasi mengenai potensi sumberdaya ikan, dan tingkat pemanfaatannya, tingkat teknologi yang digunakan, pengolahan dan pemasaran hasil tangkapan, sarana dan fasilitas pendukung serta permasalahan yang dihadapi, dan perlu untuk diungkapkan secara akurat. Bahwa di Kelurahan Pulau Abang terdapat dua buah koperasi salah satunya adalah Koperasi Angkatan Laut yang bermitra dengan usaha pengusahaTauke perikanan di pulau abang mengenai peran dan fungsi koperasi itu digunakan untuk membeli dan menjual hasil perikanan, yang dikelola oleh usaha peroranganTauke tersebut. Sedangkan Koperasi yang kedua adalah Koperasi Mitra Nelayan koperasi ini juga merupakan badan usaha yang dikelola oleh oleh Tauke. koperasi ini bergerak pada usaha pengadaan minyak solar bagi nelayan, namun usaha ini lebih banyak mengutamakan kepentingan Tauke tersebut dimana minyak yang disalurkan lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan armandanya. Kalau dilihat dari perizinan dan lembaga yang digunakan dalam usaha tersebut terlihat bahwa ada kepentingan masyarakat dan atau anggotanya dalam koperasi mitra nelayan tersebut. Namun kalau dilihat dengan sebenarnya lagi tampak bahwa disitu hanya ada usaha Taukepengusaha yang memanfaatkan kelompok atau atas nama nelayan artisanal setempat. Komunitas nelayan di Kelurahan Pulau Abang menangkap ikan, udang dan biota laut lainnya dilakukan di daerah penangkapan yang belum ada pengaturan atau pranata sosial mengenai daerah perairan yang mana yang diperbolehkan dan daerah perairan laut yang dilarang dimasuki nelayan close and open season. Dengan kata lain, di daerah ini masih berlaku status hak-hak milik bersama communal property regime dan sebagian besar bersifat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan pantai, dan di lapangan memang tidak ditemukan kelembagaan adat yang mengatur fishing ground yang buka dan tutup untuk kegiatan perikanan tangkap berdasarkan daerah penangkapan ikan dan udang pada lokasi tertentu, sebagaimana aturan hak-hak kepemilikan komunal communal property rights seperti yang berlaku dalam kelembagaan sosial tradisional Sasi yang terdapat pada masyarakat pesisir di kawasan Indonesia Timur, Maluku. Jadi, di kawasan Barelang masih terdapat kekosongan absent sistem kelembagaan dan akan terjadi tragedi hak kepemilikan Satria et al., 2005. Oleh karena itu sistem pengelolaan perikanan artisanal di kawasan ini perlu penataan kelembagaan institution arrangement baik secara hukum formal maupun aturan-aturan yang disepakati secara komunal. Peran dan fungsi kelembagaan dalam sistem pengelolaan perikanan artisanal di kawasan ini ditemukan sebagai unsur kunci untuk menjadi pendorong bagi pengelolaan perikanan artisanal dibagi menjadi 8 elemen. Pada elemen pengguna stakeholders yang menjadi peubah penentu adalah Tauke dan pelancong wisata bahari yang selanjutnya akan mendorong pengolah ikan, pelayaran laut kapal angkutan, pembudidaya laut, penambang pasir dan penebang hutan bakau. Sedangkan pada elemen kebutuhan dalam program pengelolaan perikanan artisanal yang menjadi peubah penentu adalah kebutuhan birokrasi izin dan pelaksanaan hukum dan peraturan perikanan yang selanjutnya akan mendorong stabilitas politik dan moneter, komitmen masyarakat nelayan, ketersediaan sarana prasarana, suasana kondusif dan aman serta anggaran pembiayaan dana pengelolaan. Pada elemen kendala dalam melaksanakan aktivitas pengelolaan perikanan artisanal yang menjadi peubah penentu yang merupakan prioritas penyelesaian adalah hambatan kelembagaanbirokrasi akan mendorong penyelesaian kendala lain yang dapat menghambat yaitu rendahnya kualitas SDM di Barelang, keterbatasan potensi sumberdaya ikan, keterbatasan dana dan keterbatasan sarana dan prasarana. Pada elemen perubahan yang menjadi peubah penentu adalah peningkatan pendapatan nelayan dan peningkatan motorisasi dan pengembangan teknologi alat tangkap yang akan mendorong penyelesaian perubahan lain yaitu peningkatan pendapatan asli daerah PAD, keterjaminan pasar produk perikanan, pengembangan teknologi pengolahan hasil perikanan, peningkatan investasi, pengembangan daerah atau ekonomi wilayah, peningkatan jumlah nelayan dan jumlah pendapatan nelayan, optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan, pengembangan daerah perlindungan laut marine protected area serta penataan ruang laut. Pada elemen tujuan yang akan dicapai dalam sistem pengelolaan perikanan artisanal dan yang menjadi peubah penentu adalah peningkatan PAD dan pengembangan teknologi pengolahan hasil perikanan yang kemudian akan mendorong optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan dan pelestarian sumberdaya ikan, peningkatan motorisasi dan pengembangan teknologi alat tangkap, peningkatan investasi, pengembangan daerah atau wilayah, pemanfaatan tata ruang laut, peningkatan jumlah nelayan dan pendapatan nelayan, keterjaminan pasar produk perikanan dan pelestarian sumberdaya ikan. Pada elemen keberhasilan dalam sistem pengelolaan perikanan artisanal berkelanjutan yang menjadi peubah penentu adalah peningkatan pendapatan nelayan dan peningkatan pangsa pasar yang akan mendorong keberhasilan peningkatan PAD, peningkatan volume dan nilai produksi, pemanfaatan sumberdaya ikan, peningkatan investasi, kelestarian sumberdaya ikan, penurunan angka kemiskinan dan pengangguran dan peningkatan harga ikan. Pada elemen pelaku yang menjadi peubah penentu adalah masyarakat adat tokoh-tokoh komunitas nelayan setempat bersama LSM seperti: Laksana Samudera, yang akan mendorong Pemprop Kepulauan Riau, Pemerintah pusat DKPDIRJEN PT, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia HNSI Cabang Batam, Perguruan Tinggi seperti: Universitas Internasional Batam, Camat Galang, Nelayan, Lurah Pulau Abang dan Pemkot Batam agar berperan dan berfungsi dalam mengembangkan sistem pengelolaan perikanan artisanal berkelanjutan. Selanjutnya peranan kelembagaan dalam pengelolaan perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang Kecamatan Galang Kota Batam disajikan pada Tabel 43. Pada elemen aktivitas yang menjadi peubah penentu adalah perumusan Perda untuk mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan artisanal berkelanjtan, dan sosialisasi sistem pengelolaan tersebut yang kemudian akan mendorong aktivitas lainnya, sehingga menciptakan iklim kondusif dalam mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan artisanal, kemudahan akses terhadap akses teknologi dan informasi, pelembagaan sistem pengelolaan, monitoring dan evaluasi sistem pengelolaan, koordinasi antar sektor yang terlibat pengelolaan sumberdaya perikanan artisanal serta pembinaan, pendidikan dan pelatihan sumberdaya manusia yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan artisanal di daerah Kelurahan Pulau Abang dan sekitarnya. Tabel 43 Rincian peran lembaga dalam pengelolaan perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang Kecamatan Galang Kota Batam No Lembaga Peran dan Fungsi Kelembagaan 1 Nelayan Artisanal ♦ Memberikan masukan pengelolaan perikanan artisanal ♦ Terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi program. ♦ Berpartisipasi aktif mendorong pengelolaan perikanan berkelanjutan di Kelurahan Pulau Abang ♦ Mendorong terlaksananya kearifan lokal yang mendukung pengelolaan perikanan berkelanjutan di Kelurahan Pulau Abang 2 Masyarakat Adat ♦ Memberikan masukan pengelolaan perikanan artisanal ♦ Terlibat dalam pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. ♦ Berpartisipasi aktif mendorong pengelolaan perikanan berkelanjutan di Kelurahan Pulau Abang ♦ Mendorong terlaksananya kearifan lokal yang mendukung pengelolaan perikanan berkelanjutan di Kelurahan Pulau Abang 3 Lurah Pulau Abang ♦ Menampung masukan dari masyarakat nelayan untuk dilanjutkan kepada Camat dan Pemkot Batam dan Pemprop Kepulauan Riau. ♦ Pelaksana program di tingkat lapangan. ♦ Pelaksanaan fasilitasi dan koordinasi di wilayah pesisir untuk mengoptimalkan pengelolaan perikanan artisanal ♦ Pelaksanaan dan pengawasan dalam program pengelolaan perikanan artisanal. 4 Camat Galang ♦ Menampung masukan dari masyarakat dan kepala desa untuk dilanjutkan Pemkot Batam dan Pemprop Kep. Riau. ♦ Pelaksana program di tingkat lapangan. ♦ Melakukan fasilitasi dan koordinasi di wilayah untuk mengoptimalkan pengelolaan perikanan artisanal ♦ Melakukan koordinasi terkait masalah pengawasan yang berkaitan dengan keselamatan berlayar bagi armada penangkapan ikan dari nelayan artisanal. 5 Pemprop Kep. Riau DKP Propinsi Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Kep. Riau, mempunyai wewenang dan tanggung jawab pembinaan teknis perikanan ♦ Melakukan perencanaan pengelolaan perikanan artisanal sesuai dengan kebutuhan masyarakat pesisir. ♦ Melakukan pembinaan dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan perikanan berkelanjutan. ♦ Melakukan koordinasi dan fasilitasi dalam rangka kelancaran pelaksanaan program ♦ Memberikan dukungan pendanaan kegiatan ♦ Melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program. 6 PEMKOT Batam DKP2 Kota Batam Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Batam, mempunyai wewenang dan tanggung jawab pembinaan teknis perikanan sesuai dengan kewenangan Pemerintah Daerah dibidang perikanan dan kelautan. ♦ Melakukan perencanaan pengelolaan perikanan artisanal sesuai dengan kebutuhan masyarakat nelayan. ♦ Melakukan pembinaan pelaksanaan kegiatan pengelolaan perikanan artisanal yang berkelanjutan. ♦ Melakukan koordinasi dan fasilitasi aktifitas yang mendorong kegiatan pengelolaan perikanan berkelanjutan ♦ Memberikan dukungan pendanaan pengelolaan perikanan berkelanjutan ♦ Melakukan pemantauan dan evaluasii. 7 Pemerintah Pusat Dirjen Perikanan Tangkap DKP RI ♦ DKP sebagai penanggung jawab umum pelaksanaan program pengelolaan perikanan dan kelautan ♦ Melakukan koordinasi dan fasilitasi dalam rangka kelancaran pelaksanaan program. ♦ Memberikan dukungan pendanaan kegiatan. ♦ Melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program. ♦ Memberikan sosialisasi tentang kegiatan pengelolaan perikanan berkelanjutan 8 LSM ♦ Memberikan masukan hal-hal yang terkait dalam pengelolaan perikanan artisanal. ♦ Terlibat dalam pemantauan dan evaluasi sebagai mitra penggerak keswadayaan masyarakat. 9 HNSI ♦ Memberikan masukan hal-hal yang terkait dalam pengelolaan perikanan artisanal. ♦ Terlibat dalam pemantauan dan evaluasi program. ♦ Mengkoordinasi nelayan untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang mendorong terlaksananya pengelolaan perikanan berkelanjutan di Kelurahan Pulau Abang. 10 Perguruan Tinggi UIB Batam ♦ Memberikan masukan dalam perencanaan pengelolaan perikanan artisanal. ♦ Terlibat dalam pemantauan dan evaluasi program. Otonomi daerah sebagai derivasi dari kebijakan desentralisasi telah membawa perubahan sikap dan cara pandang Pemko Batam dan masyarakat daerah yang semula lebih banyak menggantungkan diri pada Pemerintah Pusat menjadi lebih mandiri. Sikap mandiri ini muncul, akibat keberhasilan membangun kualitas sumberdaya manusia, sehingga tuntutan dan aspirasi kebebasan meningkat. Paradigma baru otonomi daerah otda dengan asas desentralisasi yang memiliki kapasitas tinggi pada hampir semua bidang pemerintahan ternyata memberikan dampak positif, akan tetapi juga tetap harus diwaspadai kemungkinan-kemungkinan dan kejadian-kejadian yang berdampak negatif. Artinya otda memiliki beberapa kekuatan, juga mengandung kelemahan Nugroho, 2000; Abe, 2002. Selanjutnya Osborne dan Gaebler 1999 menyatakan bahwa pembaharuan manajemen pemerintahan sejalan dengan tujuan terbentuknya pemerintahan yaitu untuk mempercepat tercapainya kesejahteraan masyarakat. Masyarakat yang bebas dari rasa takut, komunitas yang sejahtera dan terhindarkan dari ancaman kerusakan lingkungan hidup, masyarakat yang mampu mengakses pada berbagai fasilitas yang tersedia, serta berbagai keinginan lain yang merupakan tuntutan hidup manusia dalam suatu komunitas. Pelaksanaan otonomi daerah sebagai implementasi kebijakan desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan akan memberikan implikasi dan menimbulkan konsekuensi yang berbeda-lebih baik atau lebih buruk- dibandingkan dengan praktik-praktik pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan di masa lalu yang sentralistik. Dalam kaitannya dengan sistem pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, terdapat implikasi dan konsekuensi diantaranya meliputi aspek-aspek: 1 Kelembagaan 2 Hukum 3 Sumberdaya manusia 4 Fiskalkeuangan 5 Praktik pengelolaan dan 6 Partisipasi masyarakat Oleh karena itu, reposisi peranan pemerintah Kota Batam perlu dilakukan dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan yang diorientasikan pada tiga hal pokok, yaitu pemerintah Kota Batam berfungsi sebagai : 1 regulator, 2 eksekutor, dan 3 fasilitator. Salah satu permasalahan yang kadang-kadang muncul dalam sistem pengelolaan perikanan artisanal di daerah selama ini, adalah adanya konflik- konflik pemanfaatan, kewenangan dan kekuasaan. Upaya penanganan masalah tersebut diharapkan dapat dilakukan dengan 2 pendekatan yakni penanganan secara reaktif dan pro-aktif. Upaya reaktif, artinya Pemkot Batam dapat melakukan penanganan melalui resolusi konflik, mediasi atau musyawarah antar warga masyarakat nelayan artisanal dalam upaya menangani masalah adanya benturan berbagai kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan laut di kawasan ini. Sedangkan upaya proaktif adalah suatu tindakan penanganan konflik pengelolaan sumberdaya kelautan secara aktif dan dilakukan untuk mengantisipasi atau mengurangi potensi-potensi konflik pada masa yang akan datang. Penanganan konflik sebagaimana dikemukakan diatas dapat dilakukan melalui penataan kembali kelembagaan institution re-arrangement PemdaPemkot Batam, baik dalam bentuk konsep perencanaan, penyusunan peraturan baik di tingkat lokal Kelurahan maupun Daerah berupa Perda Kota Batam yang mendukung sistem pengelolaan perikanan artisanal berkelanjutan, pembinaan sumberdaya manusia, alokasi peranan pemangku kepentingan stakeholders, sistem administrasi pembangunan daerah yang mengacu pada rencana pengelolaan sumberdaya pesisir dan kelautan secara terpadu integrated coastal resources management plan. Upaya itu harus dilakukan dengan menyusun rencana strategis RENSTRA pengelolaan sumberdaya artisanal terpadu di kawasan Barelang, Propinsi Kepulauan Riau, dengan cara menyusun zonasi tata ruang kawasan pesisir dan laut yang sudah tertuang dalam Perda Kota Batam Nomor: 4 tahun 2005 tentang Tata Ruang Kota Batam. Rencana detail tata ruang Kota Batam pada kawasan pesisir dan laut agar sudah difokuskan pada sektor-sektor tertentu dalam suatu zona berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Kemudian menyusun rencana pengelolaan management plan untuk suatu kawasan pesisir dan laut tertentu berdasarkan potensi sumberdaya ikan tertentu, dimana jelas dan ditegaskan letak zona preservasi, konservasi dan pemanfaatan utility pada suatu kawasan Clark 1985. Selanjutnya membuat rencana aksi action plan yang memuat rencana investasi pada berbagai sektor perikanan dan kelautan, baik untuk kepentingan Pemko Batam, swasta maupun masyarakat nelayan artisanal yang bermukim di Kelurahan Pulau Abang, kecamatan Galang Kota Batam. Keseluruhan tahapan ini merupakan rencana Renstra yang penting untuk dilakukan oleh pemerintah propinsi Kepulauan Riau bersama-sama Pemko Batam dalam rangka mengelola sumberdaya kelautan secara terpadu. Namun hendaknya proses perencanaan yang dilakukan adalah perencanaan partisipatif, artinya segenap komponen daerah hendaknya dilibatkan dalam setiap proses dan tahapan perencanaan dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan Dahuri, 2003; DKP RI, 2002. Dalam menyusun rencana aksi action plan yang memuat rencana pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan, baik untuk kepentingan Pemko Batam, swasta maupun masyarakat nelayan artisanal yang bermukim di Kelurahan Pulau Abang, Kecamatan Galang Kota Batam. Dalam menyusun konsep action plan yang ideal, agar mempertimbangkan aspek-aspek yang terkait dengan faktor-faktor: potensi SDI, kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat, serta kondisi tekno-ekonomi juga lebih mengedepankan kepentingan dan aspirasi komunitas nelayan artisanal melalui setempat melalui pengembangan model pengelolaan perikanan artisanal berkelanjutan. Model pengelolaan perikanan artisanal tersebut idealnya didukung dengan kebijakan tata ruang laut Kota Batam sesuai Perda No 4 tahun 2005, yang dalam mengimplementasikannya mengakomodasi berbagai aspirasi dan kepentingan komunitas nelayan artisanal sehingga keberlanjutan pengelolaan perikanan artisanal dapat segera terwujud. Karakteristik dan tipologi hak-hak kepemilikan alat tangkap tradisional yang dominan yang terdapat di kawasan Kelurahan Pulau Abang hampir semuanya masuk kategori communal property regime, dengan status pemegang hak kepemilikan sebagai claimant. Ini menggambarkan bahwa penataan kelembagaan sistem pengelolaan perikanan artisanal faktor penentu keberhasilannya. BAB 10 SIMPULAN DAN SARAN