Sri Lanka Studi Komparasi Sistem Pengelolaan Perikanan Artisanal Berbasis Hak-Hak Kepemilikan

nelayan ini merupakan konsekuensi logis yang kerapkali terjadi Delmendo, 1999 diacu dalam Saad, 2003. Meskipun sistem konsesi perikanan tidak memberikan kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan relayan pantai, tetapi sistem ini dapat menaikkan tingkat efisiensi ekonomi penggunaan sumberdaya ikan dan memberikan pemasukan pajak yang berarti bagi pemerintah daerah. Hasil penelitian terhadap 35 daerah pengumpulan bibit anak ikan pada tahun 1977 menunjukkan, pungutan konsesi perikanan menyumbang rata-rata 13 dari total pendapatan daerah. Di Propinsi Antique besar rata-rata pendapatan daerah 21 dari 15 kota propinsi dari perolehan pungutan konsesi perikanan dan bahkan terdapat di beberapa Kota di Fhilipina mencapai angka 50.

2.8.2.3 Sri Lanka

Menurut Atapattu, 1987 diacu dalam Saad, 2003 pada tahun 1985, tercatat paling sedikit 30 dari keseluruhan produksi sektor perikanan disumbangkan oleh perikanan tradisional di Sri Lanka yang memiliki sejarah sangat panjang. Sejak berabad-abad yang lalu, perikanan tradisional Sri Lanka berkembang bersamaan dengan munculnya berbagai tipe hak milik. Umumnya, hak milik atas perairan muncul berkaitan dengan klaim-klaim penduduk desa pantai atas perairan di depan desa tempat tinggalnya. Penduduk desa mengeksploitasi sumberdaya perikanan di perairan pantai tersebut, dan mencegah orang dari desa lain untuk terlibat, Demikian kokohnya lembaga hak milik itu sehingga dalam beberapa kasus dijadikan sebagai mas kawin. Sistem hak milik tradisional tersebut, oleh Atapattu dikategorikan sebagai TURFs , muncul dalam 2 bentuk secara umum adalah: Pertama, hak milik yang muncul karena disahkan oleh berbagai perundang-undangan, seperti UU tentang Lembaga Lokal dan UU Perikanan, Jakottu merupakan contoh kategori hak milik semacam ini; dan kedua, hak milik itu muncul karena didahului oleh suatu sengketa di antara pengguna sumberdaya. Kattudel merupakan contoh kategori ini. Perikanan Jakottu dan Kattudel ini Saad, 2003 akan dijelaskan berikut ini. Perikanan Jakottu adalah sejenis alat perangkap ikan yang bersifat menetap dan biasanya dipasang di muara. Jakottu dibuat dari sebilah bambu yang dianyam sehingga menyerupai pagar bambu. Anyaman bambu itu kemudian dipancangkan secara vertikal menyerupai bentuk tertentu, yang akan menggiring ikan-ikan masuk perangkap. Ikan yang masuk dalam perangkap Jakottu biasanya ditangkap dari pukuI 6 petang hingga pukul 6 pagi. Hasil tangkapan terutama terdiri atas udang dan ikan, yang lazimnya dijual di tempat pelelangan atau kadang-kadang juga kepada nelayan tradisional. Penghasilan rata-rata per bulan dari Jakottu sekitar Rs 3000. Sebelum tahun 1935, untuk memasang Jakottu tidak memerlukan izin. Namun, setelah itu diperlukan izin dari Komisi Desa Village Committee. Selanjutnya, Departemen Perikanan menyusun suatu peraturan khusus untuk mengontrol perikanan Jakottu pada tahun 1951. Beberapa ketentuan dalam peraturan tersebut Saad, 2003, adalah sebagai berikut: 1 Setiap orang yang akan memasang Jakottu terlebih dahulu harus memperoleh izin dari direktorat perikanan, 2 Setiap izin memasang Jakottu dipungut biaya sebesar Rs 25. 3 Jarak di antara dua Jakottu minimal 46 meter. 4 Panjang Jakottu tidak boleh lebih dari 64 meter. 5 Setiap pemilik Jakottu diwajibkan memasang lampu di ujung Jakottu Perikanan Kattudel merupakan alat tangkap ikan yang bersifat menetap seperti Jakottu. Perbedaannya, Jakottu dipasang di muara, sedangkan Kattudel dipasang di laguna danau-danau di pinggir laut. Kattudel merupakan sejenis jaring dengan model khas. Perikanan Kattudel muncul pada masa kekuasaan Raja Sinhala Parakaramabahu VI dari tahun 1412 sampai 1467. Pada masa itu, terjadi serbuan orang India, tetapi berhasil dikalahkan berkat kepemimpinan keluarga yaitu Kurukulasuriya, Wamakulasuriya, dan Mihindukulasuriya Mudianse. Kepada ketiga keluarga ini oleh Raja diberikan desa sebagai tanda penghargaan, yakni Grand Street, Sea Street, dan Kurana Street. Dari sinilah muncul TURFs tradisional di Srilangka Saad, 2003. Penduduknya mayoritas penganut agama Katolik Roma, maka peranan gereja sangat menonjol. Hingga dikeluarkannya Peraturan Perikanan Kattudel Negombo fakta tahun 1958, gerejalah yang mengorganisasikan nelayan, termasuk menyelesaikan konflik di antara nelayan. Konsekuensi peran tersebut, 10 dari hasil penangkapan ikan diserahkan untuk keperluan gereja. Sejak diberlakukannya peraturan perikanan 1958, maka pemilikan Kattudel secara perorangan dilarang. Para nelayan diwajibkan menjadi anggota dari Kattudel Fishermells Association KFA. Perubahan ini menimbulkan konsekuensi hukum, yakni subjek TURFs berganti kepemilikan dari perorangan ke kelompok Saad, 2003.

2.8.2.5 Thailand