Elemen Pelaku Pengelolaan Analisis sistem pengelolan perikanan artisanal berkelanjutan (studi kasus di Kelurahan Pulau Abang Kecamatan Galang,Kota Batam Propinsi Kepulaun Riau)

MATRIKS DRIVER POWER DEPENDENCE ELEMEN AKTIVITAS 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8 DEPENDENCE DRIVER POWER Sektor I Sektor II Sektor III Sektor IV 3 1 8 7 2 6 4 5 Gambar 33 Grafik driver power-dependence aktivitas pengelolaan perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang. Keterangan: 1 Koordinasi antar sektor yang terlibat pengelolaan sumberdaya perikanan artisanal 2 Perumusan perda untuk mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan artisanal 3 Menciptakan iklim kondusif dalam mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan artisanal 4 Pembinaan, pendidikan dan pelatihan sumberdaya manusia yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan artisanal di Barelang 5 Kemudahan akses terhadap akses teknologi dan informasi 6 Sosialisasi kelayakan sistem pengelolan 7 Pelembagaan sistem pengelolaan 8 Monitoring dan evaluasi sistem pengelolaan

7.8 Elemen Pelaku Pengelolaan

Berdasarkan hasil analisis dengan metode ISM, maka elemen pelaku terdiri dari 9 sub elemen pelaku dapat digambarkan dalam bentuk hirarki Gambar 34 dan dibagi dalam 4 sektor dalam grafik Driver Power-Dependence Elemen Pelaku Gambar 35. Dari diagram model struktural dari elemen pelaku Gambar 34 diketahui bahwa elemen pelaku pengelolaan terbagi dalam 3 level. Adapun sub elemen yang menjadi peubah penentu yang mempengaruhi secara signifikan dari elemen pelaku pengelolaan perikanan artisanal adalah nelayan E1 dan masyarakat adat E2 pada level 3. Hasil tersebut menunjukkan bahwa nelayan artisanal dan masyarakat adat merupakan dua pelaku yang memiliki peran lebih besar dari pada pelaku lain dalam pengelolaan perikanan artisanal. Peran nelayan artisanal dan masyarakat adat menunjukkan tindakan atau kebijakan yang diputuskan dapat mempengaruhi dan memberikan dorongan besar bagi pengelolaan perikanan artisanal. Peran kedua pelaku tersebut harus diarahkan kepada pencapaian tujuan pengelolaan perikanan artisanal di kawasan ini. Peran nelayan artisanal dan masyarakat adat selanjutnya akan mendorong pelaku lain yang berada pada level 1 dan 2, yaitu pemerintah pusat DKPDirjen Perikanan Tangkap E5, Pemprop Kepulauan Riau E3, Pemkot Batam E4, LSM Laksana Samudera E6, HNSI E7, perguruan tinggi Universitas Internasional Batam E8, Camat Galang E9 dan Lurah Pulau Abang E10 sebagai pelaku langsung dalam kegiatan pengelolaan perikanan artisanal. Hasil klasifikasi yang digambarkan pada grafik Driver Power-Dependence Elemen Pelaku Gambar 35 menunjukkan bahwa nelayan artisanal E1 dan masyarakat adat E2 menempati sektor IV independent dengan memiliki nilai DP tertinggi sebesar 10. Hal ini berarti nelayan artisanal dan masyarakat adat merupakan peubah bebas yang berperan besar untuk mempengaruhi pelaku lain yang terdapat di kawasan ini, sekaligus memiliki daya dorong DP tertinggi bagi pengelolaan perikanan artisanal. Pemprop E3, Pemko Batam E4, LSM E6, HNSI E7, perguruan tinggi E8, Camat Galang E9 dan Lurah Pulau Abang E10 berada di sektor III linkage, yang berarti pelaku-pelaku ini memiliki keterkaitan yang kuat dan daya dorong yang cukup besar dalam pengelolaan perikanan artisanal. Gambar 34 Hirarki elemen pelaku pengelolaan perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang Matriks Driver Power-Dependence Elemen Pelaku 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 DEPENDENCE DRIVER POWER 5 3,4,6,7,8,9,10 1,2 Sektor I Sektor II Sektor III Sektor IV Gambar 35 Grafik driver power-dependence pelaku yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan dalam pengelolaan perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang Keterangan: 1 Nelayan Artisanal 2 Masyarakat adat 3 Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau 4 Pemerintah Kota Batam 5 Pemerintah Pusat DKPDirjen PT 6 LSM 7 HNSI 8 Perguruan Tinggi 9 Camat Galang 10 Lurah Pulau Abang BAB 8 MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN ARTISANAL BERKELANJUTAN Dalam pengelolaan perikanan artisanal diarahkan pada peningkatan kesejahteraan nelayan, dan mengacu pada kebijakan pengelolaan secara terpadu integrated management policy, dengan program-progam yang berkesinambungan. Model pengelolaan tersebut mencakup empat aspek, yaitu aspek sumberdaya hayati biologi, aspek sosial, aspek budaya, aspek teknologi, dan aspek ekonomi. Keterpaduan keseluruhan aspek dalam pengelolaan sumberdaya perikanan artisanal tersebut akan mengarah pada peningkatan kesejahteraan nelayan dengan tetap mengacu pada kelestarian potensi sumberdaya ikan dan keberlanjutan usaha penangkapan ikan. Charles 2001 menjelaskan bahwa perspektif baru tentang model pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan tidak hanya pada aspek keberlanjutan hasil tangkapan, tapi lebih diarahkan pada keberlanjutan sistem perikanan secara umum yang mencakup empat komponen dasar yaitu ekologi, sosial-ekonomi, sistem kemasyarakatan dan kelembagaan. Berdasarkan terminologi penelitian operasional secara umum model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah objek atau solusi aktual. Model memperlihatkan hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik, dalam istilah lain sebab akibat. Oleh karena itu, suatu model adalah abstraksi dari realitas, maka pada wujudnya kurang kompleks dari realitas itu sendiri. Model dapat dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang sedang dikaji. Salah satu dasar utama untuk mengembangkan model adalah guna menemukan peubah-peubah apa yang penting dan tepat. Penemuan peubah tersebut sangat erat hubungannya dengan pengkajian hubungan-hubungan yang terdapat diantara peubah. Teknik kuantitatif seperti persamaan regresi dan simulasi digunakan untuk mempelajari keterkaitan antar peubah dalam sebuah model Eriyatno, 1999. Salah satu kriteria umum yang digunakan untuk menilai model pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap, menurut Nikijuluw 2002 adalah kriteria efisiensi produktivitas, yaitu penilaian suatu pola pengelolaan dengan melihat output yang dihasilkan secara relatif dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh output tersebut. Novaczek et al. 2001 membagi kriteria keberlanjutan menjadi keberlanjutan sosial dan keberlanjutan biologi. Dalam kriteria sosial, suatu pola pengelolaan pemanfaatan sumberdaya perikanan dikatakan berkinerja baik secara sosial, jika dapat mempertahankan tradisi aksi kolektif pola dan peran lembaga masyarakat nelayan, meningkatkan kesejahteraan keluarga dan pendapatan, menjaga keharmonisan masyarakat hubungan patron-client atau principle-client atau agent serta memberi ruang bagi masalah-masalah lokal untuk dipecahkan secara bersama-sama dalam proses penyelesaian konflik. Oakerson 1992 diacu dalam Nikijuluw 2002 menambahkan bahwa pendekatan yang dilakukan dalam mengevaluasi kinerja suatu rezim pola pengelolaan sumberdaya perikanan adalah pendekatan kelembagaan sosial atau pranata sosial social institution, yang mengkaji dan memahami cara aturan hukum yang ditetapkan berpengaruh pada pola tingkah laku dan memberi dampak pada masyarakat nelayan. Tujuan pendekatan kelembagaan adalah untuk memisahkan hukum atau peraturan kelembagaan dari strategi ditetapkan oleh pelaku atau pemain organisasi. Pilihan pendekatan dalam mengevaluasi kinerja pola pengelolaan sumberdaya perikanan artisanal yang diarahkan pada pola pengelolaan berkelanjutan perlu didukung dari sisi regulasi oleh pemerintah setempat seperti: adanya pengaturan sesuai ukuran kapal dan alat tangkap, penentuan dimensi kapal dan alat tangkap, zonasi kawasan preservasi dan konservasi tata ruang laut, adanya kepastian penegakkan hukum dan perundang-undangan serta peraturan-peraturan lainnya. Berikut ini akan disajikan model pengelolaan perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang, kecamatan Galang, Kota Batam. 8.1 Analisis SEM 8.1.1 Kesesuaian model dengan data