traditional wisdom yang ada dalam batas-batas berperilaku alam dan diikuti dengan praktik pengelolaan sumberdaya alam secara tradisional yang lestari
merupakan pilihan yang arif untuk mempertahankan keberlanjutan fungsi lingkungan sosial setempat. Sebagai suatu sistem yang bersifat lokal, upaya-
upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat tradisional ini boleh dikatakan sudah teruji. Sistem pengetahuan dan praktik-
praktik pengelolaan alam ini secara nyata juga mampu memperkaya keanekaragaman hayati suatu ekosistem Nababan, 1995. Oleh karena itu,
dengan memelihara dan mengembangkan sistem pranata sosial tradisional ini akan merupakan sumbangan bagi tercapainya pembangunan berkelanjutan di
Indonesia. Namun demikian, rangkaian kajian yang telah dilakukan juga menunjukkan keprihatinan, karena secara umum sistem kebudayaan lokal ini
sedang menuju kepunahan. Hampir semua kasus-kasus yang didokumentasikan memperlihatkan bahwa pola-pola pranata sosial tradisional ini sudah tidak utuh
lagi, tetapi masih ada di beberapa tempat, sistem pengetahuan ini masih tersimpan di benak orang-orang tua dalam berbagai bentuk tuturan atau dalam
bentuk sastra lisan.
2.6 Konsep Desentralisasi dan Kewenangan Pengelolaan Sumberdaya Ikan
Berdasarkan etimologi akar kata desentralistik berasal dari bahasa latin, yaitu de dan centrum. “de artinya lepas dan centrum artinya pusat.
Dengan demikian arti kata desentralistik adalah melepaskan dari pusat. Batasan desentralistik adalah pengalihan kewenangan dan tanggung jawab
fungsi publik dari pemerintah pusat ke pemerintah lokal atau organisasi pemerintah independen semua atau sebagian bidang Cohen dan Peterson
1999. Sedangkan berdasarkan pada ketentuan umum UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, desentralistik adalah penyerahan wewenang
pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI. Selanjutnya yang dimaksud daerah
otonom dalam ketentuan umum tersebut adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan NKRI.
Kebijakan desentralistik setidaknya membawa berbagai implikasi penting diantaranya adalah terhadap kelembagaan, pengelolaan sumberdaya ikan serta
partisipasi masyarakat. Dengan otonomi daerah diharapkan lembaga pemerintah
daerah mampu merumuskan tugas, fungsi dan kewenangannya dengan baik sehingga mampu melayani masyarakat lokal dengan baik. Selain itu, melalui
desentralisasi diharapkan juga terjadi pengelolaan sumberdaya ikan secara berkelanjutan. Kebijakan desentralisasi dapat memberikan manfaat dalam bentuk
peningkatan partisipasi masyarakat lokal dan kualitas pelayanan publik. Partisipasi masyarakat akan terjadi apabila masyarakat nelayan dapat
memainkan peranannya rule secara jelas, memperoleh keadilan equity, akses dan kontrol terhadap sumberdaya alam.
Menurut Osborne dan Gaebler 2001 terdapat empat manfaat kebijakan desentralistik ditinjau dari segi kelembagaan, yaitu: 1 lembaga yang
terdesentralistik jauh lebih fleksibel dari pada yang tersentralistik. Artinya lembaga tersebut dapat memberi respon dengan cepat terhadap lingkungan dan
kebutuhan pelanggan yang berbeda; 2 lembaga yang terdesentralistik jauh lebih efektif dari pada tersentralisasi, artinya pegawai atau organisasi yang
terdesentralistik paling dekat masalah dan peluang publik yang dapat menciptakan solusi terbaik; 3 lembaga yang terdesentralistik jauh lebih inovatif
dari pada lembaga yang tersentralisasi; dan 4 lembaga yang terdesentralistik menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi.
World Bank 2001 melihat manfaat dan kebaikan kebijakan desentralistik dari segi partisipasi masyarakat dan kualitas pelayanan publik, seperti: 1
partisipasi luas masyarakat dalam aktivitas sosial, ekonomi dan politik; 2 memotong prosedur birokrasi yang kompleks dan meningkatkan sensitivitas
aparatur pemerintah terhadap kondisi lokal; 3 melibatkan partisipasi yang luas berbagai perwakilan masyarakat dari berbagai kelompok etnis, agama dan
budaya dalam proses pengambilan keputusan publik; 4 menghasilkan program pelayanan publik yang lebih kreatif, inovatif dan responsif karena melibatkan
partisipasi masyarakat; 5 memberi peluang pada masyarakat dalam mengawasi program publik; dan 6 pelayanan publik yang lebih efisien, merata dan efektif.
Berdasarkan hal tersebut, maka Satria et al. 2002a menyatakan bahwa kebijakan desentralisasi memiliki beberapa makna penting dari perspektif
sumberdaya alam, sosial-kelembagaan, ekonomi dan politik. Kebijakan desentralisasi dalam sistem pengelolaan sumberdaya perikanan, secara hipotetik
akan memberikan beberapa dampak positif manfaat yaitu sebagai berikut:
Pertama, kebijakan desentralisasi merupakan pintu menuju terwujudnya
regulated and sustainable fisheries. Desentralisasi akan memberikan ruang bagi
partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya tersebut akan merupakan bentuk
tanggungjawab mereka terhadap masa depan sumberdaya ikan tersebut FAO 1995. Artinya, mereka tidak hanya akan berhenti pada upaya merencanakan
dan melaksanakan prinsip pengelolaan sumberdaya secara lestari seiring dengan nilai-nilai tradisional yang mereka miliki, tetapi tanggung jawab itu akan
muncul juga dalam bentuk pengawasan dan pengendalian sumberdaya ikan. Model pengawasan dari masyarakat ini akan lebih efektif dan efisien.
Adanya model pengelolaan sumberdaya ikan yang berbasis masyarakat tersebut akan berjalan efektif sekaligus penting untuk mengantisipasi berbagai tuntutan,
bahkan ancaman dari masyarakat internasional. Saat ini, masyarakat internasional menuntut diwujudkannya perikanan yang berkelanjutan sustainable
fisheries melalui ketetapan FAO 1995 sesuai Code of Conduct for Responsible Fisheries yang disepakati pada tahun 1995 di Cancun. Dengan ada pedoman
pengelolaan perikanan bertanggungjawab tersebut, seluruh praktik pemanfaatan sumberdaya perikanan harus memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan
sustainability. Jika terjadi pelanggaran terhadap prinsip-prinsip tersebut, sangat dimungkinkan munculnya tuduhan melakukan unregulated fishing yang pada
gilirannya akan membuat rawan perdagangan nasional sebagaimana yang saat ini tengah dirumuskan International Plan of Action IPOA tentang IUU Illegal,
Unregulated and Unreported Fishing FAO, 1995b dan Charles, 2001.
Kedua, salah satu kekuatan diterapkannya kebijakan otonomi daerah
desentralisasi dengan diberlakukannya UU No. 32 tahun 2004, adalah adanya pengakuan terhadap institusi lokal yang mencerminkan kearifan tradisional
traditional wisdoms yang masih ada dalam pengelolaan sumberdaya ikan agar lebih berfungsi. Dan selama ini, pranata sosial institusi tradisional tersebut ada
yang masih berlaku dan ada pula yang telah pudar. Dengan demikian, ada institusi yang secara aktual berfungsi dan ada pula yang secara potensial
berfungsi. Institusi yang secara aktual berfungsi merupakan kekuatan yang dimiliki daerah untuk pengelolaan sumberdaya. Sehubungan dengan itu, maka
daerah tidak perlu lagi menyusun formula sistem pengelolaan sumberdaya ikan. Sebaliknya, daerah hanya perlu melengkapi formula yang sudah ada yang
selama ini dimiliki masyarakat pesisir. Oleh karena formula coastal community base management CCBM yang dulunya diterapkan masyarakat lokal dapat
dijadikan modal sosial social capital penting dalam merekonstruksi model komanajemen yang lebih kompleks.
Sedangkan, institusi sosial tradisional yang hanya bersifat potensial juga merupakan kekuatan daerah yang terpendam. Tugas pemerintah daerah dalam
merekonstruksi modal sejarah tersebut menjadi modal sosial yang nyata, sehingga menjadi sesuatu kontributif dalam mempercepat implementasi UU No.
32 tahun 2004. Dengan kata lain, sebenarnya daerah memiliki pengalaman dimasa lalu untuk melakukan pengelolaan sumberdaya pesisir. Hanya saja, saat
itu, formulasi aturannya didasarkan pada pengetahuan lokal tentang sumberdaya alam dan belum dikombinasikan dengan pengetahuan modern yang selama ini
berkembang. Prospek tumbuhnya model pengelolaan sumberdaya secara partisipatif tersebut sekaligus akan memudarkan model-model masa lalu yang
serba-seragam homogen. Dengan otonomi daerah ini, muncul model-model pengelolaan yang bersifat heterogen yang disesuaikan dengan kondisi ekosistem
alam dan sistem sosial budaya masyarakat setempat.
Ketiga, secara ekonomi penerapan kebijakan desentralisasi dengan
diberlakukannya UU No. 32 tahun 2004 tersebut perlu dianalisis relevansinya. Seperti telah digambarkan sebelumnya bahwa rezim open access yang selama
ini berkembang telah menghasilkan ketidakadilan dalam akses dan alokasi terhadap sumberdaya ikan di daerah Kusumastanto, 2003; Sondakh, 2003.
Salah satu contoh ketidakadilan adalah beroperasinya kapal-kapal besar di wilayah pesisir atau pulau-pulau kecil di daerah yang sebenarnya merupakan
fishing ground nelayan kecil dan tradisional. Dengan pola kompetesi seperti itu, jelaslah bahwa nelayan kecil dan tradisional small scale fisheries secara
sistematis akan termarginalisasi, karena makin kecilnya kesempatan mereka untuk dapat bertahan dalam arena kompetisi yang tidak berimbang. Masih
banyak contoh lainnya yang pernah terjadi, seperti maraknya pengusaha- pengusaha perikanan yang memperoleh izin dari pusat sentralisasi untuk
melakukan investasi di daerah dengan mengembangkan usaha perikanan di wilayah pesisir yang bersifat trade off terhadap upaya pengembangan perikanan
usaha skala kecil yang sudah berlangsung secara turun-temurun, sehingga memarginalkan kehidupan nelayan artisanal setempat.
Dengan kebijakan desentralisasi sektor kelautan dan perikanan yang dilandasi UU No. 32 tahun 2004 ini, maka daerah akan memperoleh keuntungan
ekonomi dari sumberdaya yang dimiliki. Hal ini karena Pemerintah Daerah yang
memiliki kewenangan untuk mengatur investasi di wilayah pesisir. Peluang meningkatnya kesempatan pengusaha lokal atau nelayan artisanal melakukan
usaha pemanfaatan sumberdaya ikan di daerahnya akan semakin besar. Ini semakin memperjelas bahwa dengan gambaran secara implisit dalam UU
tersebut, maka nelayan artisanal akan terlindungi dari persaingan kapal-kapal besar yang beroperasi di wilayah pantai. Ini jelas akan dapat mencegah nelayan
artisanal dari kompetisi yang tidak seimbang.
Keempat, perlu dipahami bahwa kebijakan desentralisasi pengelolaan
sumberdaya ikan merupakan wujud demokratisasi, karena semakin terbuka kesempatan nelayan lokal berpartisipasi dalam pengelolaan sumberdaya ikan.
Suatu kesempatan yang tidak pernah diperoleh selama masa sentralistik. Nilai demokratis lainnya, dengan desentralisasi, semakin dekat jarak antara
pengambilan keputusan dan nelayan lokal sehingga semakin dekat pula jarak pengawasan nelayan setempat terhadap berbagai kebijakan pembangunan
sektor kelautan dan perikanan. Dengan demikian, semakin mudah akses partisipasi bagi nelayan untuk mengusulkan, memprotes, atau menyalurkan
aspirasi misalkan usulan terhadap suatu Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir PEMP yang menyangkut kepentingan mereka. Dengan
demikian, sistem pengelolaan sumberdaya pesisir yang muncul, baik dalam hal pemanfaatan eksplorasi dan eksploitasi untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi economic growth, dan kesejahteraan masyarakat pesisir dimana sumberdaya itu terdapat local community walfare, maupun dalam konservasi
sumberdaya hayati laut living marine resources yang terdapat di wilayah pesisir, terutama dalam pengelolaan perikanan laut marine fisheries management
berjalan secara berkeseimbangan. Sementara itu secara teoritis polemik pembagian wewenang pengelolaan
sumberdaya ikan, seperti halnya permasalahan sentralisasi dan desentralisasi otonomi daerah dalam sistem pengelolaan sumberdaya ikan telah
diindentifikasi oleh Garcia dan Hayashi 2000 diacu dalam Adrianto 2002; 2003. Mereka berpendapat bahwa ada 2 tesis mengenai pengelolaan kelautan
ocean governance yaitu: 1 arus utama mainstream “from global to local”; dan 2 arus utama “from local to global”. Keduanya kontras satu sama lain tapi
bersifat konvergen. Arus utama yang pertama from global to local memandang dari sudut pandang pengelolaan sumberdaya kelautan, yaitu bahwa distribusi
dan kontrol sumberdaya pesisir dan kelautan mengarah pada “lokalisasi
pengelolaan” atau kearah “fragmentasi” wilayah kelautan, walaupun tidak harus secara fisik pengkavlingan laut. Dalam arus utama pemikiran ini pendekatan
yang dilakukan adalah from global to local, semangat yang dijadikan dasar dari konsep desentralisasi kelautan. Salah satu argumen utama dari pemikiran ini
adalah bahwa dalam alokasi dan kontrol pengelolaan sumberdaya pesisir dan kelautan, apabila ditangani secara terpusat, menimbulkan kekhawatiran
mismanagement karena lingkup yang dikelolanya terlalu besar dan beragam. Dengan kata lain, arus utama pemikiran ini menginginkan: 1 pengelolaan yang
lebih tepat precise dan diserahkan kepada masyarakat lokal; 2 peningkatan kemampuan memfasilitasi munculnya tanggungjawab dari pengguna local
fisheries users, dan 3 pengurangan konflik terhadap kontrol sumberdaya antar users.
Sedangkan arus utama pemikiran kedua from local to global muncul dari perspektif lain, yaitu pentingnya pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara
utuh dipandang dari sisi ekosistem. Penganut mainstream ini memandang bahwa inti dari pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut seharusnya tidak hanya
melibatkan interaksi antar pelaku interactions between human sebagai objek dan subjek pengelolaan perikanan, namun juga mempertimbangkan interaksi
antar konstituen ekosistem interactions between constituents of the ecosystem , sebuah argumentasi yang luput dijadikan isu utama bagi pendukung kebijakan
sentralisasi, dan dalam menyikapi permasalahan kebijakan desentralisasi kelautan Adrianto, 2003.
Berdasarkan kedua arus utama pemikiran mainstream tersebut, Adrianto 2003
berpendapat bahwa permasalahan sentralisasi
dan desentralisasi dalam pengelolaan sumberdaya pesisir yang menjadi wacana dan
polemik yang terjadi saat ini, sebenarnya terletak pada saling curiga dan kekhawatiran dari satu pihak ke pihak lainnya. Padahal kedua mainstream
walaupun kontras tapi bersifat konvergen yaitu mampu bertemu di satu titik kepentingan ekonomi dan ekologi untuk kemakmuran bersama, tidak hanya
kemakmuran di sektor kelautan saja namun kemakmuran semesta seluruh negara. Oleh karena itu, dalam perspektif negara sebagai state of authority,
kebijakan yang mendukung sentralisasi kelautan boleh dikatakan masih reasonable untuk kepentingan ekosistem, namun seharusnya dengan tidak
secara tegas menarik garis batas dengan gagasan distiribusi kewenangan yang
ditonjolkan desentralisasi dalam pengelolaan sumberdaya pesisir bagi kemakmuran bersama masyarakat lokal.
Kompromi atau jalan tengah untuk diskursus wacana tersebut adalah alternatif pengelolaan bersama mutual regional management dari sumberdaya
pesisir dan lautan antar masyarakat lokal yang memiliki spasial kawasan pesisir dan laut yang sama atau yang berbatasan, yang perlu dibina dan dikembangkan.
Dalam arti kata yang lain, bahwa pengelolaan bersama co-management, walaupun kewenangan pengelolaan sumberdaya pesisir dipegang oleh
masyarakat lokal, namun institusi pengelolaannya bukan berbasis pada batas administrasi konvensional seperti kabupatenkota atau provinsi, tapi berbasis
pada ekosistem, misalnya selat, teluk, danau, sungai atau laut bebas. Di tingkat global, konsep ini sesungguhnya telah diadopsi oleh FAO, ketika menentukan
guideline sistem pengelolaan sumberdaya perikanan dunia berbasis ekosistem seperti Lautan Pasifik, Lautan Atlantik Utara, atau Lautan Hindia yang melibatkan
berbagai entitas negara. Berkaitan dengan pemikiran ini, maka pemerintah pusat hanya berperan sebagai fasilitator kerjasama antar daerah kabupatenkota atau
provinsi dalam pengelolaan bersama sumberdaya pesisir sebagai wujud dari state of ocean authority, dengan kata lain tetap memberikan ruang
keseimbangan antara kebijakan sentralisasi dan desentralisasi kelautan Adrianto, 2003.
Dalam kaitannya dengan kebijakan otonomi daerah di wilayah laut merupakan suatu peluang besar terjadinya redefinisi dan reorientasi
pembangunan sektor perikanan dan kelautan, asalkan pemerintah daerah memiliki kapasitas dan komitmen untuk meningkatkan kesejehteraan masyarakat
pesisir didaerahnya, dan memiliki wawasan yang jelas mengenai perlindungan konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan. Namun, dari kesemuanya itu,
diperlukan perombakan yang mendasar dalam regime open acces atas sumberdaya sektor perikanan tangkap dan pengaturan property right bagi
sumberdaya ikan. Khususnya, hak atas sumberdaya sektor perikanan seharusnya dikembalikan kepada masyarakat lokal, karena sumberdaya ikan
tersebut merupakan sumber penghidupan yang berkelanjutan bagi mereka, sehingga pemerintah daerah perlu segera memperkuat kapasitas kelembagaan
masyarakat pesisir dalam mengelola sumberdayanya, dengan mempersiapkan kebijakan yang mendorong kemandirian Kusumastanto, 2003.
Pembangunan wilayah pesisir dan lautan yang berparadigma inklusi sosial seperti diuraikan diatas secara ekonomi-politik mensyaratkan adanya
pengakuan terhadap hak-hak ulayat laut atau hak masyarakat adat communal property right. Persyaratan semacam ini akan menekan pemerintah daerah agar
mematuhi tugas dan kewajibannya dalam membangun kapasitas masyarakat lokal untuk mengaktualisasikan pranata sosial-budaya dan ekonomi guna
mendukung aktualisasi rezim communal property right atas sumberdaya sektor perikanan di daerah. Kebijakan otonomi daerah di wilayah pesisir dan laut juga
memiliki makna pembebasan dan pemberdayaan bagi masyarakat nelayan, serta perlindungan lingkungan alam di laut, jika masyarakat diberikan kembali haknya
re-entile dalam menguasai dan mengelola sumberdaya perikanan secara kolektif dan partisipatif. Budiharsono 2001 lebih jelas menggambarkan secara
ringkas bagaimana arah perubahan paradigma pembangunan wilayah pesisir dan kelautan dari rezim Orde Baru yang otoriter ke rezim “Orde Reformasi” yang
berupaya menegakkan sistem sosial-demokrasi sebagaimana yang digambarkan pada Gambar 4.
Gambar 4 Perubahan Paradigma Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan Budiharsono, 2001
Eksklusi Sosial
Orientasi Pembangunan: Pertumbuhan Ekonomi
Fungsi Pemerintah : Provider
Tata Pemerintahan : SentralisasiDekonsentrasi
Pelayanan Birokrasi : Normatif
Pengambilan Keputusan: Top Down
Inklusi Sosial
Orientasi Pembangunan: Pemerataan Dan
Kesejahteraan Fungsi Pemerintah:
EnablerFasilitator
Tata Pemerintahan : Desentralisasi
Pelayanan Birokrasi: Responsif Fleksibel
Pengambilan Keputusan: Bottom Up and Top Down
Paradigma Lama Paradigma Baru
2.7 Konsep dan Indikator Pembangunan Perikanan Berkelanjutan