Latar Belakang Analisis sistem pengelolan perikanan artisanal berkelanjutan (studi kasus di Kelurahan Pulau Abang Kecamatan Galang,Kota Batam Propinsi Kepulaun Riau)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengelolaan sumberdaya perikanan pada dasarnya memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat social well-being secara berkelanjutan, terutama komunitas nelayan yang bermukim di wilayah pesisir coastal zone. Oleh karena itu, dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan, aspek ekologi dalam hal kelestarian sumberdaya dan fungsi-fungsi ekosistem harus dipertahankan sebagai landasan utama untuk mencapai kesejahteraan tersebut. Pemanfaatan sumberdaya ikan diharapkan tidak menyebabkan rusaknya fishing ground, spawning ground, maupun nursery ground ikan. Selain itu juga tidak merusak fungsi ekosistem hutan bakau mangrove, terumbu karang coral reefs, dan padang lamun sea grass yang memiliki keterkaitan ekologis dengan keberlanjutan sumberdaya ikan. Wilayah pesisir di Indonesia, terutama pulau-pulau kecil umumnya dihuni oleh komunitas nelayan. Jumlah nelayan yang bekerja pada usaha perikanan tangkap baik di laut maupun di perairan umum pada tahun 2001 sebanyak 3 286 500 orang dan pada tahun 2003 meningkat menjadi 3 476 200 orang atau mengalami peningkatan rata-rata sebesar 2.86 setiap tahunnya. Pada tahun 2003 jumlah perahu dan kapal perikanan tercatat sebanyak 474 540 unit, yang didominasi usaha skala kecil sekitar 48 54 adalah perahu tanpa motor DKP 2003a. Sedangkan data statistik rumah tangga perikanan RTP berdasarkan besarnya usaha pada subsektor perikanan tangkap 2004-2005 tercatat lebih besar lagi proporsinya, yakni pada tahun 2005 terdapat sekitar 81.53 RTP tergolong usaha perikanan tradisional perikanan artisanal, yang terdiri dari 230.360 RTP 48.54 perahu tanpa motor, dan perahu motor tempel sebanyak 125.580 RTP atau 26.46 , dan hanya sebagian kecil yang tergolong kapal motor sebanyak 118.600 RTP atau 24.99 DKP 2005. Berdasarkan data tersebut di atas terlihat bahwa karakteristik struktur pelaku ekonomi yang beraktivitas pada perikanan tangkap di Indonesia sebagian besar merupakan nelayan kecil small scale fisheries, yang daerah operasi penangkapan ikan fishing ground terbatas, sangat tergantung pada sumberdaya ikan, dan mereka tidak memiliki peluang pekerjaan di luar perikanan dengan pendapatan yang rendah dan menggunakan kapal atau perahu yang berukuran kecil. Menurut Panayotou 1985a bahwa nelayan kecil dan tradisional yang memiliki karakteristik seperti dikemukakan itu, diklasifikasikan sebagai nelayan artisanal artisanal fisheries. Berlakunya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah memberikan nuansa baru pembangunan di daerah, maka upaya pemanfaatan dan pengembangan berbagai potensi daerah, termasuk potensi sumberdaya perikanan dan kelautan, mulai mendapat perhatian. Hendaknya nasib nelayan artisanal diharapkan akan mendapat perhatian yang serius pula dari Pemerintah Daerah. Perhatian terhadap nasib nelayan artisanal untuk diberdayakan akan semakin kuat dengan keluarnya ketentuan UU No. 31 tahun 2004 pasal 60 tentang Perikanan. Pemerintah daerah mendapatkan mandat dan wewenang yang semakin besar dalam mengelola sumberdaya laut berdasarkan pada pasal 18 UU No. 32 tahun 2004. Kewenangan daerah untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut sebagaimana dimaksud, meliputi: a eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut; b pengaturan administratif; c pengaturan tata ruang; d penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; e ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan f ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara. Arti penting dari kedua UU tersebut adalah bahwa daerah memiliki otoritas yang lebih besar terhadap pengelolaan sumberdaya di wilayah laut. Seperti diketahui bahwa selama rezim orde baru 1966-1998 pengelolaan sumberdaya tersebut cenderung bersifat sentralistik, sehingga telah terjadi berbagai kerusakan sumberdaya hayati laut, seperti gejala tangkap lebih overfishing, degradasi ekosistem terumbu karang dan hutan mangrove akibat praktik penangkapan ikan yang berlebihan dan merusak ekosistem perairan laut seperti pengeboman dan bahan-bahan beracun menjadi kurang terkontrol. Dengan diberlakukannya UU No. 32 tahun 2004, kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan sudah bergeser dari sentralistik ke desentralistik. Perubahan paradigma pembangunan pesisir dan lautan dari pola sentralistik ke desentralistik atau istilah lainnya kebijakan kelautan berbasis otonomi daerah, maka sebagai konsekuensi pemerintah kabupatenkota kini telah memiliki kewenangan authority yang lebih besar dalam sistem pengelolaan perikanan artisanal. Dalam kebijakan pembangunan masyarakat pesisir, Pemerintah Daerah diharapkan akan berupaya untuk mengedepankan aspirasi, kebutuhan dan kepentingan masyarakat pesisir setempat local coastal community, dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir setempat coastal community well-being, terutama rumah tangga nelayan artisanal. Dengan demikian diperlukan konsep pembangunan yang akan dirumuskan melalui pendekatan dari bawah bottom-up approach dengan memperhatikan sistem norma dan adat istiadat setempat. Dengan semakin meningkatnya kemampuan pemerintah dan masyarakat dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan pembangunan, diharapkan bahwa pelayanan umum public services , penyediaan infrastruktur pembangunan, kebijakan dan peraturan perundang-undangan serta keamanan yang kondusif bagi kegiatan usaha ekonomi pun menjadi semakin membaik. Lebih jauh, rasa tanggungjawab pemerintah dan masyarakat di daerah terhadap keberlanjutan sustainability sumberdaya alam dan lingkunganpun terus membaik, termasuk keanekaragaman hayati pesisir dan laut akan lestari Dahuri 2003a; Kusumastanto 2003; Satria et al. 2002b; dan Damanhuri 2000. Berdasarkan pemikiran di atas, maka penelitian mengenai sistem pengelolaan perikanan artisanal menjadi sangat penting dan relevan untuk dikaji khususnya tentang tatanan kelembagaan institutional arrangement dalam sistem pengelolaan sumberdaya perikanan artisanal yang ada dalam masyarakat pesisir coastal community. Pemahaman diharapkan dapat mewujudkan paradigma pembangunan sistem perikanan yang berkelanjutan sustainable fisheries systems dalam rangka desentralisasi kebijakan otonomi daerah di sektor kelautan dan perikanan di Indonesia. Perhatian terhadap hak-hak kepemilikan property rights dalam sistem pengelolaan perikanan artisanal artisanal fisheries, dan kajian pola interaksi antar pemangku kepentingan stakeholders di wilayah pesisir, serta dampaknya terhadap komunitas nelayan artisanal sudah saatnya menjadi perhatian. Kemudian tatanan kelembagaan sosial tradisional yang hidup di lingkungan masyarakat nelayan bisa dikembangkan, dan diakui keberadaannya dalam sistem hukum dan aturan-aturan rules sistem pengelolaan wilayah pesisir. Untuk lebih jelasnya, mengapa studi mengenai sistem pengelolaan perikanan artisanal menjadi penting strategic dan juga mendesak urgency untuk dilakukan sekurang-kurangnya terdapat 5 pertimbangan, antara lain adalah: Pertama, adanya desakan dunia internasional PBB sebagaimana tercantum dalam dokumen FAO 1995a dan b tentang Integrasi Perikanan ke dalam Pengelolaan Kawasan Pesisir, pada pasal 10.1.3 berbunyi “…Negara harus seperlunya mengembangkan kerangka kelembagaan dan hukum dalam rangka menetapkan pemanfaatan yang mungkin menyangkut sumberdaya pesisir dan mengatur akses ke sumberdaya tersebut dengan memperhatikan hak nelayan pesisir dan praktik turun menurun sejauh serasi dengan pembangunan yang berkelanjutan…”; Kedua, studi mengenai sistem pengelolaan perikanan artisanal berkelanjutan terutama hak-hak kepemilikan sumberdaya laut marine property rights atau juga lebih dikenal hak ulayat laut marine tenure right yaitu hak adat dalam kepemilikan sumberdaya perikanan laut, yang ada di Indonesia masih sangat langka dan kurang terangkat dalam publikasi ilmiah, meskipun studi-studi serupa sudah banyak juga dilakukan di beberapa negara lain di dunia Ruddle 1991; 1999. Hak-hak kepemilikan property rights di perikanan laut memang merupakan topik yang belum terlalu dikenal, meskipun pada kenyataannya sistem pengelolaan sumberdaya laut secara tradisional telah ditemukan beberapa pranata sosial tradisional terutama di kawasan Indonesia Timur seperti yang dipublikasikan LIPI Wahyono et al. 2000. Studi mengenai sistem pengelolaan perikanan artisanal berkelanjutan, jika dibandingkan dengan studi hak-hak ulayat tanah land tenure rights masih jauh tertinggal. Dengan kata lain bahwa hak kepemilikan sumberdaya perikanan laut sebagai suatu tradisi masyarakat adat pesisir yang harus diakui keberadaannya sebagaimana bunyi pasal 18 UUD 1945 amandemen ke-4, belum banyak digeluti sebagai bahan kajian dan pemberdayaan masyarakat pesisir. Ketiga, studi tentang sistem pengelolaan perikanan artisanal ini memiliki arti penting dalam dunia perikanan tangkap, karena studi ini dapat terungkap betapa rumitnya usaha yang dilakukan manusia untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, khususnya lingkungan laut. Oleh karena itu, studi mengenai sistem pengelolaan perikanan artisanal banyak juga dikaitkan dengan aspek ekologi, misalnya hak kepemilikan sumberdaya perikanan laut dikaitkan dengan konservasi. Selain itu, praktik hak kepemilikan sumberdaya perikanan laut juga erat kaitannya dengan proses dalam dimensi sosial, budaya, ekonomi, politik dan teknologi, sehingga hak kepemilikan sumberdaya perikanan laut merupakan suatu sistem pengelolaan sumberdaya ikan laut yang berdimensi komplek Prasctiamarti et al. 2006; Wahyono et al. 2000; Nababan 1995. Keempat, studi mengenai sistem pengelolaan perikanan artisanal berkelanjutan yang mengatur atau mencegah pemanfaatan sumberdaya ikan dari tindakan eksploitasi yang berlebihan overfishing. Sebab dalam aturan-main rules of the game atau kelembagaan dalam sistem hak kepemilikan sumberdaya perikanan laut, diatur ketentuan yang berkaitan dengan pembatasan jumlah unit penangkapan dan ukuran alat tangkap size of fishing gear, pengaturan musim-musim penangkapan ikan tertentu close and open seasons dan daerah penangkapannya Wahyono 1993. Hal ini dilakukan berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal local wisdom values yang dimiliki masyarakat nelayan secara turun temurun. Mengkaji keberadaan pranata sosial tradisional dalam sistem pengelolaan perikanan artisanal dianalisis dari perspektif tatanan kelembagaan tradisional traditional institution arrangement, seperti hak kepemilikan sumberdaya perikanan laut yang ada sangat bermanfaat bagi upaya memperkuat pengembangan sistem pengelolaan perikanan berbasis masyarakat community base management. Hal ini diyakini bahwa sistem pengelolaan tersebut mampu mewujudkan pembangunan perikanan berkelanjutan yakni suatu usaha yang mengedepankan pemerataan sosial social equity, konservasi dan perlindungan sumberdaya perikanan, serta mengendalikan pertumbuhan ekonomi, sehingga kebijakan pembangunan perikanan bertanggung jawab responsible fisheries dapat terlaksana dengan baik. Pada gilirannya sistem pengelolaan sumberdaya pesisir yang berkelanjutan akan mendukung upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat social well being, terutama bagi komunitas nelayan kecil dan tradisional yang bermukim di perkampungan-perkampungan nelayan di pulau-pulau kecil. Kelima, studi mengenai sistem pengelolaan perikanan artisanal berkelanjutan sesuai dengan upaya-upaya melaksanakan misi mensejahterakan kehidupan nelayan kecil yang merupakan jumlah terbesar 81,53 dalam struktur nelayan Indonesia DKP 2005. Diharapkan hasil studi mengenai sistem pengelolaan perikanan artisanal dapat memberikan kontribusi dalam penyusunan kebijakan publik agar kepentingan dan hak-hak masyarakat nelayan setempat terlindungi dan diperjuangkan sejalan dengan kebijakan otonomi daerah. Salah satu masalah yang mendasar dalam perikanan artisanal adalah property right yang juga menjadi jantung kelembagaan dan biaya transaksi dalam ekonomi perikanan. Fauzi 2005 berpendapat bahwa masalah kelembagaan marine property rights dalam konteks sistem pengelolaan sumberdaya perikanan menjadi sangat krusial, sehingga diperlukan kebijakan restorasi kelembagaan dalam rangka pembangunan sub sektor perikanan tangkap. Dewasa ini masalah yang krusial yang dihadapi sektor perikanan dan kelautan adalah ketidakjelasan hak-hak pemilikan dan penggunaan sumberdaya serta ketidakpastian hukum yang melindungi masyarakat pesisir dan dunia usaha perikanan. Ketidakjelasan hak-hak pemilikan sumberdaya di wilayah pesisir dan lautan telah mendorong berkembangnya konflik-konflik pemanfaatan antara pemangku kepentingan stakeholders dan konflik kewenangan antar instansi yang berwenang Satria 2006; DKP 2001; Christy 1987. Apabila konflik ini terus berkembang, maka pihak yang bertikai mengabaikan kelestarian sumberdaya ikan dan pengelolaannya tidak bisa optimal, yang kemudian akan berdampak negatif terhadap fungsi ekosistem perairan yang mengakibatkan terjadinya overfishing. Kawasan Batam, Rempang Galang Barelang yang dijadikan lokasi penelitian merupakan wilayah Pemerintahan Kota Batam yang berada di Propinsi Kepulauan Riau. Barelang merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari 325 buah pulau besar dan kecil, dan pulau-pulau yang berpenghuni penduduk relatif sedikit sebanyak 96 buah atau 29,5 . Panjang pantai mencapai 1.261 km dan luas lautnya 289.300 ha atau 74 dari total luas wilayah Kota Batam DKP2 Batam 2006. Gugusan pulau tersebut terletak di ujung selatan dari semenanjung Malaysia dan kurang lebih sekitar 20 km dari Singapura, sehingga kehidupan masyarakat pesisir di kawasan ini sangat dinamik Roeroe et al. 2003; Asyri 2001; dan Mulyono 2001. Kawasan ini memiliki potensi sumberdaya ikan laut yang besar dengan hasil tangkapan 29.865 ton pada tahun 2004, terutama jenis ikan karang yang bernilai ekonomi tinggi di pasaran, seperti: kerapu merah Plectropomus leopardus, tenggiri Scromberomorus commersoni, bawal putih Pampus argenteus, bawal hitam Formio niger, kurau putih Eleutheronema tetradactylun, kurau hitam Eleutheronema spp, dingkis Siganus sp, udang Penaeus monodon, cumi Loligo spp, rajungan Portunus pelagicus, ketam Scylla serrata, sotong Sephia spp, gong gong Strombus sp dan beberapa jenis ikan lainnya DKP Batam 2005b. Usaha penangkapan ikan laut dilakukan sebagian besar nelayan skala kecil dan tradisional yang beroperasi di sekitar pantai artisanal fisheries, dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap seperti jaring, pancing, rawai dan perangkap ikan fish trap seperti: bubu dan kelong pantai DKP2 Batam, 2005a. Dengan kondisi demikian, kawasan Barelang menarik untuk dilakukan studi mengenai hak-hak kepemilikan laut marine property rights dalam sistem pengelolaan perikanan artisanal. Khususnya untuk daerah lokasi penelitian yang dipilih sebagai kasus adalah Kelurahan Pulau Abang Kecamatan Galang, yang terletak di paling ujung bagian selatan kawasan Barelang. Lokasi ini dianggap mewakili kondisi nelayan artisanal di kawasan Barelang, Propinsi Kepulauan Riau, dengan 3 alasan: 1 Pulau-pulau kecil di kelurahan Pulau Abang merupakan daerah konsentrasi nelayan artisanal di kawasan Barelang dengan produksi ikan terbanyak di Batam; 2 Sesuai peruntukkan lahan berdasarkan Perda No 4 Tahun 2005 tentang tata ruang Kota Batam, lokasi ini dirancang menjadi taman nasional laut TNL, dan di beberapa lokasi perairannya akan diperuntukkan menjadi kawasan perlindungan laut marine protected area, dan 3 Lokasi ini merupakan daerah pembinaan dan pemberdayaan masyarakat pesisir dari proyek Coral Reefs Rehabilitation and Management Programme COREMAP Departemen Kelautan dan Perikanan DKP RI bekerjasama dengan Pemko Batam, yang didanai Asian Development Bank ADB, yang sudah dimulai sejak tahun 2005 hingga sekarang. Dengan demikian penelitian sistem pengelolaan perikanan artisanal menjadi sangat penting untuk tercapainya pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan.

1.2 Perumusan Masalah