termaktub dalam hubungan patron-client tersebut. Hubungan patron-client ini seringkali mengalami distorsi, sehingga yang terjadi bukan sebuah sinergis
sosial-ekonomi, melainkan hubungan eksploitasi sosial ekonomi. Hal ini disebabkan karena adanya ketimpangan peran antara patron dan client, dimana
client cenderung berada di bawah patron dalam struktur sosial ekonomi masyarakat nelayan.
Karakteristik penting lain dari masyarakat pesisir, khususnya nelayan adalah adanya stratifikasi sosial ekonomi dalam komunitas nelayan setempat.
Sorokin 1962 diacu dalam Satria 2002c misalnya membedakan stratifikasi sosial menjadi 3 jenis yaitu 1 stratifikasi karena status ekonomi economically
stratified; 2 stratifikasi karena perbedaan status politik politically stratified seperti karena perbedaan gelar kehormatan, kedudukan, jabatan dan lain-lain;
3 stratifikasi karena perbedaan status pekerjaan occupationally stratified. Dalam struktur sosial dari komunitas nelayan, seringkali dibedakan dalam pola
hubungan status sosialnya antara nelayan pemilik juragan, tauke dengan nelayan pekerja pandega yang terdiri dari: Juru mudi sekaligus merangkap
sebagai fishing master, Tekong, juru masak, juru mesin, nelayan buruh, dan lain-lain. Kedudukan sosial-ekonomi nelayan tersebut tidak sama yang ditandai
dengan pola bagi hasil tangkapan ikan yang menempatkan pemilik lebih tinggi dari pada pandega, juru mudi lebih tinggi dari juru masak dan mesin, juru masak
lebih tinggi dari buruh nelayan, dan demikian seterusnya secara hirarki. Sistem status sosial dari masyarakat nelayan, akan lebih komplek tampaknya pada
usaha perikanan komersial dengan skala usaha menengah dan besar perikanan industri, sedangkan pada struktur masyarakat nelayan artisanal keragaan dari
sistem status sosialnya relatif sederhana homogen.
2.4 Rezim dan Kebijakan Pengelolaan Perikanan
Menurut Hanna et al. 1996 terdapat 4 tipe rezim hak kepemilikan dalam sistem pengelolaan perikanan laut yang dikenal oleh masyarakat perikanan,
yaitu: 1 rezim hak kepemilikan pribadi private property regime; 2 rezim hak milik bersama common property regime; 3 rezim hak milik negara state
property regime; dan 4 rezim tanpa hak milik open acces regime. Karakteristik dari masing-masing tipe rezim tersebut berdasarkan unit pemegang
hak kepemilikan, dan hak pemilik, serta tugas-tugas pemilik sebagaimana diungkapkan pada Tabel 5.
Sedangkan kebijakan sistem pengelolaan perikanan ada 2 tipe yang ekstrim, yaitu: 1 pengelolaan sumberdaya ikan oleh pemerintah atau dikenal
dengan istilah pengelolaan sentralistis Government Centralized Management = GCM; dan 2 pengelolaan sumberdaya ikan berbasis masyarakat Community
Based Management = CBM. Pengelolaan sentralistis adalah rezim pengelolaan sumberdaya alam dengan pemerintah pusat sebagai pemegang kekuasaan dan
wewenang dalam memanfaatkan sumberdaya alam, sehingga pemerintah mempunyai hak akses, hak memanfaatkan, hak mengatur, hak eksklusif dan hak
mengalihkan sumberdaya alam. Tabel 5 Tipe rezim hak kepemilikan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan
berdasarkan pemilik, hak dan tugas-tugasnya Tipe Rezim
Pemilik Hak Pemilik
Tugas Pemilik § Hak milik pribadi Individu
Penggunaan SDI secara
sosial diterima; kendali
akses Penghindaran
pengunaan secara sosial tidak dapat
diterima
§ Hak bersama Kolektif
Pengaturan bukan pemilik
Pemeliharaan; menghambat tingkat
penggunaan § Hak negara
Warga negara Menentukan
aturan Memelihara tujuan
sosial § Akses terbuka
tidak ada hak milik
Tidak ada Menangkap
Tidak ada Sumber: Hanna et al. 1996
Implikasi dari kebijakan sentralistik tersebut menimbulkan berbagai konflik yang sangat rumit yang terjadi di wilayah pesisir coastal zone, seperti hancur
dan rusaknya potensi sumberdaya pesisir, konflik antar kelas sosial masyarakat nelayan, kemiskinan yang terus melilit kehidupan masyarakat pesisir dan lain
sebagainya Kusumastanto, 2003; Satria et al., 2002b. Hal ini dikarenakan kebijakan ini bersifat top-down, yang menempatkan masyarakat nelayan sebagai
obyek sasaran kebijakan, akibatnya masyarakat kurang peduli “masa bodoh” terhadap kebijakan yang dibuat. Selain itu, model ini mengabaikan pluralisme
hukum yang berlaku turun-temurun di masyarakat pesisir, seperti hak ulayat laut marine tenure rights yang ditemukan di beberapa lingkungan masyarakat
nelayan artisanal kawasan Indonesia Timur Saad, 2003. Selain itu kekuatan modernisasi yang bertumpu pada ideologi pembangunan di era orde baru telah
mengabaikan sistem hukum adat yang dijunjung tinggi fungsinya oleh masyarakat setempat Suwarsono dan Alvin, 2000.
Kegagalan kebijakan sentralistik dalam sistem pengelolaan sumberdaya ikan telah menciptakan permasalahan yang begitu kompleks di masyarakat yang
tinggal di sekitar wilayah pesisir, sehingga hal ini harus segera disikapi dengan cara mencari model baru pengelolaan sumberdaya ikan dalam rangka
mewujudkan visi pembangunan perikanan berkelanjutan yang mampu mensejahterakan para pelakunya. Kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir
berbasiskan masyarakat merupakan suatu model lama dalam pengelolaan perikanan yang selama ini termarginalkan oleh kebijakan pemerintahan yang
sentralistik Saad, 2003. Model-model pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat adat tersebut terdapat di beberapa daerah pesisir Indonesia dengan
aturan-aturan lokalnya atau tradisi adat-istiadat masyarakat yang diwarisi secara turun temurun yang telah dipandang efektif sebagai pengendalian
pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, dan menjaga pelestarian ekosistem laut dari aktivitas yang merusak, aturan-aturan lokal dalam sistem
pengelolaan perikanan artisanal tersebut, diantaranya adalah Awig-awig di Lombok dan Bali, Sasi di Maluku, Rompong di Sulawesi Selatan, Panglima Laot
di Nangroe Aceh Darussalam, Sawi di Sulawesi Selatan, Ondoafi di Papua, dan di beberapa daerah kawasan Indonesia lainnya Barani, 2006; Wahyono et al.,
2000; Indar et al., 2002. Sedangkan di perairan Kepulauan Riau ditemukan sistem kelembagaan Kelong Kelong Pantai dan Kelong Betawi sebagai unit
penangkapan ikan karang seperti ikan Dingkis ikan Baronang, Siganus sp, yang dimiliki secara turun temurun oleh sebagian besar anggota masyarakat nelayan
artisanal. Alat tangkap Kelong Pantai ini beroperasi pada musim ikan tertentu beruaya setiap bulan Desember-Pebruari dengan daerah penangkapan di
sekitar perairan pulau-pulau kecil yang terdapat di kawasan Barelang, Kota Batam, Propinsi Kepulauan Riau.
Sistem pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat merupakan suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab, dan kesempatan kepada
masyarakat untuk mengelola sumberdaya
ikannya sendiri dengan memperhatikan kebutuhan, keinginan, tujuan dan aspirasinya Nikijuluw, 2002.
Dengan model community base management CBM ini, masyarakat pesisir akan bertanggung jawab penuh dalam menjalankan kebijakan pengelolaan
sumberdaya ikan karena masyarakat ikut terlibat dalam membuat perencanaan, pelaksanaan, pengawasan hingga evaluasi. Partisipasi masyarakat tersebut
merupakan wujud kepentingannya terhadap kelangsungan sumberdaya ikan sebagai mata pencaharian hidup sehari-hari Satria et al., 2002b.
Model CBM lebih efektif dan efisien karena proses pengambilan keputusan dilakukan oleh masyarakat lokal, sehingga dapat mengakomodir
setiap aspirasi masyarakat serta pembuat kebijakan lebih memahami kondisi daerahnya Satria et al., 2002a. Selain itu, kelestarian sumberdaya ikan dapat
terjaga dikarenakan proses pengawasan oleh masyarakat dilakukan setiap saat. Sedangkan kelemahan dari model CBM ini adalah tidak mampu mengatasi
masalah-masalah inter-komunitas, berlaku hanya pada daerah tertentu atau bersifat spesifik lokal, sangat rentan terhadap perubahan-perubahan eksternal,
sulit mencapai skala ekonomi serta tinggi biaya institusionalisasinya. Kedua bentuk model atau rezim pengelolaan perikanan tersebut
mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Selain itu, kedua rezim masih sangat sulit mengatasi masalah-masalah yang dihadapi dalam
perkembangan perikanan tangkap. Guna mengatasi hal tersebut, kedua rezim ini bisa dipadukan atau diintegrasikan, sehingga dengan demikian kelemahan yang
satu bisa ditutupi oleh kekuatan yang lain. Pengintegrasian kedua rezim ini dikenal dengan nama kolaborasi manajemen, kooperasi manajemen, atau ko-
manajemen co-management. Ko-manajemen perikanan merupakan rezim derivatif yang berasal dari
rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat CBM dan rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan oleh Pemerintah. Ko-manajemen
perikanan dapat diartikan sebagai pembagian atau pendistribusian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola
sumberdaya perikanan Nikijuluw, 2002. Tujuan utama ko-manajemen adalah pengelolaan perikanan yang lebih tepat, lebih efisien, serta lebih adil dan merata.
Sementara tujuan sekundernya adalah: 1 mewujudkan pembangunan berbasis masyarakat; 2 mewujudkan proses pengambilan keputusan secara
desentralisasi, sehingga dapat memberikan hasil yang lebih efektif; dan 3 sebagai mekanisme untuk mencapai visi dan tujuan nelayan lokal serta
mengurangi konflik antar nelayan melalui proses demokrasi partisipatif. Ada tiga hal yang sangat menentukan variasi bentuk ko-manajemen serta hirarkinya
adalah: 1. Peranan pemerintah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan.
2. Bentuk tugas dan fungsi manajemen yang dapat atau akan dikelola bersama oleh pemerintah dan masyarakat atau didistribusikan diantara kedua pihak.
3. Tahap proses manajemen ketika secara aktual kerjasama pengelolaan betul- betul terwujud perencanaan, implementasi, pengawasan dan evaluasi.
Nikijuluw 2002 memaparkan beberapa contoh ko-manajemen perikanan artisanal yang diambil dari kasus-kasus yang terjadi di negara yang mempunyai
budaya dan ekosistem yang berbeda lihat Gambar 2. Contoh ko-manajemen perikanan artisanal ada 5 tipe adalah sebagai berikut:
1 Ko-manajemen Instruktif. Pada bentuk ko-manajemen ini, pertukaran informasi terjadi timbal balik
masih sangat kurang antara pemerintah dan masyarakat pesisir, karena peran pemerintah sangat mendominasi setiap informasi. Namun hal ini
berbeda dengan model sentralistis yang sama sekali tidak ada dialog antara pemerintah dengan nelayan. Artinya, dalam bentuk ini pemerintah yang
membuat rencana kebijakan dan menginformasikannya kepada nelayan untuk dilaksanakan.
2 Ko-manajemen Konsultatif. Bentuk ko-manajemen ini menempatkan masyarakat pesisir hampir sama
dengan pemerintah, dimana terjadinya proses konsultasi pemerintah ke masyarakat. Namun keputusan mengenai kebijakan yang akan ditetapkan
sepenuhnya ada di tangan pemerintah, artinya masyarakat hanya sebatas memberikan masukan saja.
3 Ko-manajemen Kooperatif. Bentuk ini menempatkan masyarakat pesisir dan pemerintah pada tingkat
yang sama atau sederajat. Oleh karenanya pada semua tahapan pembuatan dari perencanaan hingga pengambilan keputusan kedua belah pihak
mempunyai kekuatan yang sama. Artinya, pemerintah dan masyarakat merupakan mitra yang mempunyai kedudukan yang sama.
4 Ko-manajemen Pendampingan atau Advokasi. Pada bentuk ini peran masyarakat pesisir lebih besar dari pemerintah,
masyarakat pesisir memberikan masukan kepada pemerintah untuk merumuskan suatu kebijakan. Lebih dari itu, dalam bentuk ini masyarakat
dapat mengajukan rancangan yang tinggal di legalisir disahkan. Artinya, peran pemerintah lebih banyak bersifat mendampingi atau memberikan
advokasi tentang suatu yang sedang dikerjakan.
5 Ko-manajemen Informatif. Peran masyarakat pesisir lebih besar dari pemerintah dibanding keempat
bentuk sebelumnya. Dalam hal ini pemerintah hanya memberikan informasi kepada masyarakat pesisir tentang apa harus dikerjakan oleh masyarakat.
Artinya, setiap pembuatan kebijakan dari perumusan hingga pengambilan keputusan dilakukan oleh masyarakat pesisir. Konsep ko-manajemen
sumberdaya ikan di gambarkan lebih jelas pada Gambar 2. Rezim ko-manajemen perikanan bekerja dengan cara mengubah
hubungan pelaku pembangunan perikanan, terutama antara pemerintah dan masyarakat, tetapi juga antara nelayan dengan kelompoknya. Secara umum,
manfaat yang ingin dicapai setiap pelaku ko-manajemen perikanan adalah status pengelolaan perikanan yang lebih tepat, lebih efisien, serta lebih adil dan merata.
Melalui ko-manajemen, pemerintah memiliki kesempatan untuk membuktikan bahwa keputusan yang diambilnya ternyata bisa secara efektif dilaksanakan. Hal
ini dapat meningkatkan harga diri dan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah menjadi bertambah. Pada masyarakat pesisir, ko-manajemen membawa manfaat
kepada nelayan melalui partisipasi atau keikutsertaan dalam proses pengambilan keputusan Nikijuluw, 2002.
Gambar 2 Rezim ko-manajemen dalam pengelolaan sumberdaya perikanan Nikijuluw, 2002
2.5 Pengertian dan Tipe -Tipe Hak-Hak Kepemilikan Property Rights