Keberadaan alat tangkap pukat trawl di kawasan perairan Barelang, secara kelembagaan ditinjau dari aspek tipe hak kepemilikan dalam pengelolaan
sumberdaya perikanan artisanal, alat tangkap jenis ini hanya masuk ke dalam tipe access right hak menumpang lewat saja, dan tidak diberi izin untuk
memanfaatkan atau menangkap ikan di daerah penangkapan nelayan artisanal. Jika itu dilakukan merupakan tindakan melawan hukum, dan bila dibiarkan akan
tejadi konflik horizontal antar nelayan tradisional dengan modern. Di kelurahan Pulau Abang pernah terjadi konflik pada tahun 2004, dimana nelayan kecil
membakar 1 unit alat tangkap trawl milik seorang tauke bernama Kecik, karena ditemukan menangkap ikan di sekitar perairan pantai. Jadi, dapat disimpulkan
bahwa status pemegang hak kepemilikan alat tangkap trawl masuk ke dalam kategori authorized entrant semata-mata.
6.4 Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan Artisanal
Kearifan lokal masyarakat tradisional adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang
menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis Keraf 2002. Di daerah Kelurahan Pulau Abang terdapat berbagai macam suku,
diantaranya suku laut yang merupakan bagian dari rumpun suku Melayu, suku asli daerah ini yang sistem kehidupan agak terasing dari gaya hidup modern.
Kehidupan suku laut umumnya adalah nelayan penangkap ikan dan nelayan buruh. Namun demikian suku laut memiliki tradisi dan kearifan lokal dalam
mengelola sumberdaya perikanan pesisir. Tradisi masyarakat nelayan setempat yang berkembang berkaitan
dengan kepercayaan dan adat istiadat yang sudah berlangsung secara turun temurun. Misalnya, larangan untuk melaut pada hari Jum’at, adanya selamatan
laut dan bila memiliki perahu yang baru, maka pakaian seperti baju dan celana juga harus baru agar perahu-sampannya selamat dalam kegiatan penangkap
ikan. Sedangkan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir seperti mangrove dan terumbu karang, suku laut melakukan pelarangan keras terhadap pengrusakan
ekosistem pesisir, karena akan merusak sumber kehidupan mereka. Beberapa temuan sebagaimana telah kami ulas di bagian tulisan ini.
Beberapa tradisi masyarakat nelayan Kelurahan Pulau Abang antara lain dalam mengoperasikan alat tangkap ini adalah beberapa larangan atau pantangan yang
dianut komunitas nelayan secara turun temurun, yaitu dilarang membakar Cumi- cumi dengan menggunakan lampu petromak yang ada diatas perahu, dan
membuang air kecil kencing di atas perahu. Apabila itu dilakukan akan membawa ketidak-beruntungan nasib sial bagi nelayan. Hal tersebut telah
mereka yakini dalam waktu yang lama. Selain itu tradisi masyarakat Kelurahan Pulau Abang adalah selamatan atau seperti hal dilakukan oleh nelayan-nelayan
di Pulau Jawa yaitu sedekah laut. Kegiatan tersebut dilakukan hampir setiap tahun yang mereka namai dengan istilah ruwahan.
Di perairan Kelurahan Pulau Abang, kecamatan Galang di kawasan Barelang, alat tangkap Kelong Pantai yang merupakan usaha perikanan
tradisional termasuk dalam bentuk private property right, karena: 1 terdapat hak kepemilikan perseorangan terhadap perairan laut untuk menempatkan alat
tangkap kelong; dan 2 terdapatnya batas kepemilikan perairan laut untuk penempatan kelong yang ditandai oleh ujung. Aturan kelembagaan tradisional
yang demikian itu, sudah berlangsung secara turun temurun sejak tahun 1930- an. Jika dikavling seseorang sebagai hak milik, pihak atau orang lainnya tidak
diperkenankan membangun kelong di daerah itu, walaupun sang pemilik tidak memasang kelongnya. Jika pihak lain akan melakukan pemasangan Kelong
Pantai, pihak yang bersangkutan harus minta izin atau membeli atau sewa dahulu wilayah laut yang dimiliki tersebut. Dalam kontek ini terjadi suatu proses
transferability dalam kepemilikan Kelong Pantai. Menurut pendapat Satria et al. 2002b bahwa dalam konsep
pembangunan perikanan berkelanjutan, sistem kelong ini sangat memperhatikan kelestarian sumberdaya alam, yang secara ekologis memiliki keterkaitan dengan
siklus hidup sumberdaya perikanan seperti hutan mangrove dan terumbu karang coral reefs. Bagi nelayan kelong, hutan mangrove dan terumbu karang
merupakan sumberdaya yang harus dilindungi kelestariannya, jika rusak, sumberdaya ikan dan udang di daerah ini akan berkurang, dan pendapatan RTP
akan mengalami penurunan. Dalam pengelolaan hutan mangrove, misalnya, komunitas nelayan
artisanal membuat aturan lokal yang berlaku secara turun temurun tradisional institution yang disepakati dalam musyawarah warga yang bermukim di pulau-
pulau kecil. Pranata sosial tradisional yang merupakan kearifan lokal tradisional wisdom tersebut meliputi: 1 pohon mangrove yang boleh ditebang harus
memiliki diameter pucuk minimal 3 inchi; 2 jika akan mengambil kayu mangrove, jumlah kayu yang boleh diambil makksimal hanya 2 batang dari setiap
rumpun; 3 kayu mangrove yang boleh ditebang harus yang sudah kering; 4
setelah menebang mangrove, daun-daun mangrove yang jatuh ke sungai harus dibersihkan karena mengotori sungai, menganggu alur pelayaran perahu, dan
mengganggu nelayan yang melakukan penangkapan udang di daerah tersebut. Sedangkan, pengelolaan ekosistem terumbu karang, nelayan artisanal membuat
aturan yang ketat, yaitu jika terdapat pihak-pihak yang melakukan pengambilan karang, masyarakat akan melakukan pengejaran. Jika ditangkap perahu atau
armada penangkapan yang bersangkutan dibakar massa dan orangnya diserahkan kepada aparat keamanan.
BAB 7 ANALISIS KELEMBAGAAN DALAM SISTEM
PENGELOLAAN PERIKANAN ARTISANAL
Pencapaian sasaran tujuan pembangunan sektor perikanan dan kelautan seperti peningkatan produktivitas nelayan dalam kegiatan pemanfaatan
sumberdaya ikan SDI sebagai landasan untuk menjaga keseimbangan usaha pembangunan, sering menjadi perhatian dari berbagai satuan pengambilan
keputusan, terutama satuan-satuan yang saling berdaya saing. Tetapi pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pola-pola kelembagaaan yang
berlaku di masyarakat maupun yang dianut oleh berbagai tingkatan pengambilan keputusan-keputusan seperti berbagai instansi pemerintah yang berkewajiban
mewakili kepentingan masyarakat umum mulai dari pusat sampai daerah dan lokal. Kelembagaan tersebut ternyata kebanyakan belum mampu mewujudkan
pola-pola pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Tetapi dalam pelaksanaan selanjutnya yang lebih terperinci terutama apabila menyangkut
realokasi sumberdaya
perikanan dan pembagian manfaatnya sering
menimbulkan benturan-benturan konflik diantara lapisan masyarakat maupun individu sebagai anggota masyarakat yang bersaing dalam memanfaatkan
sumberdaya yang sama. Terjadinya konflik kepentingan antara stakeholders menimbulkan berbagai kemandekan dalam pelaksanaan program pengelolaan
perikanan. Oleh karena itu peranan kelembagaan dalam pengelolaan perikanan artisanal sangat penting, sehingga pada bagian ini dikhususkan mengkaji
kelembagaan pengelolaan perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang. Anwar 1987 berpendapat bahwa meskipun tiap ahli dapat menyusun
pembagian terhadap pengertian kelembagaan institusi secara sendiri-sendiri, tetapi secara umum dari sudut ekonomi, pengertian kelembagaan merupakan
suatu sistem pengambilan keputusan SPK yang dianut oleh masyarakat dan melahirkan ”aturan permainan” yang menyangkut alokasi sumberdaya dan cara-
cara pemanfataannya guna meningkatkan kesejehteraan masyarakat. Sedangkan Ruttan 1978 diacu dalam Taryoto 1995 mendefinisikan
kelembagaan sebagai perangkat aturan main yang mengendalikan pola-pola penentuan tindakan dan hubungan serta organisasi pengambilan keputusan
yang melaksanakan penguasaan dan alokasi sumberdaya. Adapun analisis suatu sistem kelembagaan, Eriyatno 1999 mendefinisikan sebagai gugus
kriteria perilaku sistem kelembagaan yang kemudian dievaluasi sebagian atau
semua hal yang relevan terhadap peubah-peubah yang ditetapkan input kontrol, dan peubah rancangan yang dianggap sebagai sesuatu yang
mempengaruhi kelakuan sistem keadaan lingkungan dimana sistem itu berjalan, sehingga output yang tidak diharapkan dapat dihindari.
Untuk menganalisis keterkaitan elemen dan sub elemen yang terlibat dalam pengelolaan perikanan artisanal di Kelurahan Pulau Abang, kecamatan
Galang, Kota Batam digunakan metode ISM. Berdasarkan identifikasi dan diskusi pakar, maka terdapat delapan elemen dalam pengelolaan perikanan
artisanal Saxena, 1992 diacu dalam Eriyatno, 2003 dan Marimin, 2003. Analisis dilakukan terhadap elemen pengguna sumberdaya laut yang terpengaruh dari
pengelolaan perikanan artisanal, elemen kebutuhan untuk pelaksanaan program pengelolaan perikanan artisanal, elemen kendala dalam pengelolaan perikanan
artisanal, elemen perubahan yang mungkin terjadi dari pengelolaan perikanan artisanal, elemen tujuan dari program pengelolaan perikanan artisanal, elemen
keberhasilan pengelolaan perikanan artisanal, elemen aktivitas pengelolaan perikanan artisanal, dan elemen pelaku pengelolaan perikanan artisanal.
7.1 Elemen Pengguna Sumberdaya Laut