Jepang Studi Komparasi Sistem Pengelolaan Perikanan Artisanal Berbasis Hak-Hak Kepemilikan

1 Tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara berdasarkan asas persatuan dan kesatuan, 2 Tidak boleh bertentangan dengan sosialisme Indonesia, 3 Tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tercantum dalam UUPA dan perundang-undangan lainnya, 4 Mengindahkan unsur-unsur yang berdasarkan pada hukum agama. Saad 2003 juga menyatakan bahwa dalam konteks penguasaan perairan sebagai sumber daya hayati, maka klaim Rompong merupakan hak milik bersama communal property rights. Konsep milik bersama hanya merujuk pada hak untuk menggunakan sumberdaya ikan, dan tidak termasuk di dalamnya hak untuk melimpahkannya. Ahli waris dari pemilik bersama memang mempunyai hak mewaris tetapi hak itu semata-mata hanya karena ia merupakan anggota dari kelompok suku, desa, dan sebagainya. Dengan penjelasan tersebut, maka klaim penguasaan perairan oleh para Rompong, sesungguhnya tidak melanggar keempat rambu-rambu yang ditentukan oleh UUPA. 2.8.2 Kelembagaan Perikanan Artisanal di Luar Negeri Pada studi dikemukakan sistem kelembagaan perikanan artisanal yang terdapat di 4 negara lain, diaantaranya: Jepang, Fhilipina, Sri Langka dan Thailand. Berikut ini dijelaskan secara ringkas mengenai sistem kelembagaan rules of the game yang berlaku dalam pengelolaan perikanan artisanal.

2.8.2.1 Jepang

Kawaguchi et al. 1984 diacu dalam Saad 2003 berpendapat bahwa Territorial use rights yang berkembang di Jepang merupakan akumulasi proses historis sejak masuknya agama Budha. Sejak abad VI sampai pertengahan abad XIX, ada semacam larangan agama untuk makan daging ternyata didukung dengan kurangnya lahan hijau di Jepang untuk ternak. Pada gilirannya, sumberdaya hewani laut menjadi buruan dan industri perikanannya pun berkembang pesat. Namun cepatnya perkembangan industri perikanan di Jepang itu menimbulkan sejumlah konflik antara nelayan lokal dan luar karena keterbatasan wilayah penangkapan ikan fishing ground sehingga rezim Edo era feodal melalui para tuan tanahnya di daerah segera memberikan hak khusus kepada nelayan di wilayahnya untuk menangkap ikan. Hal ini kemudian dikenal dengan istilah Soyu communal ownership dari masyarakat desa nelayan. Dengan Soyu masyarakat desa dan nelayan memiliki hak mengelola dan menangkap ikan di wilayahnya, sementara nelayan dari luar wilayahnya tidak diizinkan. Jadi, telah terjadi pengkavlingan laut yang menjurus pada property right terhadap wilayah perairan Satria et al., 2005. Secara umum, perikanan laut Jepang terdiri atas perikanan pantai the coastal fishery, perikanan lepas pantai the offshore fishery, dan perikanan laut lepas the distent-water fishery. Meskipun ketiga jenis perikanan tersebut tidak pernah didefinisikan secara resmi, tetapi sudah umum diterima bahwa perikanan pantai adalah kegiatan perikanan yang berlangsung dalam wilayah perairan teritorial dengan peralatan nelayan relatif kecil, yakni kapal yang ukurannya kurang dari 10 ton kotor Gross tonase=GT. Kegiatan budidaya laut mariculture termasuk kedalam jenis perikanan pantai. Perikanan lepas pantai adalah kegiatan perikanannya berlangsung dalam wilayah perairan ZEE dengan menggunakan kapal-kapal besar yang berukuran di atas 10 GT. Sementara perikanan laut lepas adalah kegiatan perikanan yang berlangsung di perairan laut lepas samudera di sekitar Jepang atau bahkan sampai di zona negara lain Satria, 2002c. Perikanan pantai di Jepang jenis perikanan inilah yang berkaitan erat dengan HPWP yang memiliki sejarah yang sangat panjang dan berkesinambungan. Sejarah perikanan pantai tersebut, dibagi menjadi tiga periode, yakni: 1 periode feodal sampai 1900, 2 periode Undang-undang Perikanan Lama 1901-1948, dan 3 periode Undang-undang Perikanan Baru 1949-sekarang Yamamoto 1983 diacu dalam Saad 2003. Ada juga pembagian periode versi lain, yaitu: 1 periode feodal 1603-1867, 2 periode Restorasi Meiji 1868-1948 dan 3 periode Undang-undang Perikanan 1949- sekarang Bappenas, 2005; Saad, 2003; Ruddle, 1992. Periode feodal, pada masa feodal, para bangsawan menetapkan desa- desa yang berada di bawah kekuasaannya menjadi dua kategori, yaitu desa pertanian jikata dan desa nelayan urakata. Pada umumnya, mereka memberlakukan suatu ketentuan bahwa hanya penduduk dari desa nelayan yang dapat menangkap ikan di perairan pantai desa. Penduduk desa pertanian hanya diperbolehkan mengambil ganggang laut seaweeds untuk dijadikan pupuk kandang–kandang bangsawan untuk memberikan hak–hak khusus untuk menangkap ikan kepada perorangan atau suatu kelompok dengan memungut bayaran. Hak khusus itu disebut fishing rights dan previlages grant. Hak-hak khusus ini dapat diwariskan. Secara kultural, periode feodal sesungguhnya berakhir sejak tahun 1868 ketika terjadi peristiwa Restorasi Meiji. Namun, struktur pengelolaan perikanan pantai warisan masa feodal tetap dibiarkan berlaku sampai diberlakukannya undang-undang perikanan pada tahun 1901 Saad, 2003; Ruddle, 1992. Periode undang-undang perikanan lama. UU Perikanan 1901 dapat dikatakan meneruskan tradisi periode sebelumnya. Lembaga fishing rights dan previleges grant berdasarkan undang-undang ini dikonversi menjadi exclusive fishing rights. Tanpa memperhatikan asal-usulnya, exclusive fishing rights pada prinsipnya hanya diperuntukan bagi koperasi nelayan dan mencakup kegiatan- kegiatan sebagai berikut : 1 Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap bergerak, seperti long line dan gill nets. 2 Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan pukat pantai beach seines. 3 Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan set nets. 4 Kegiatan budidaya laut marine culture Yamamoto, 1983 diacu dalam Saad, 2003. Dalam periode ini, teknologi penangkapan ikan mulai berkembang. Selama tahun 1904 sampai 1908, kapal pukat trawlers tipe Inggris dibuat dan mulai diuji cobakan di perairan Jepang. Namun, ketika konflik serius muncul antara kapal pukat ini dengan perahu nelayan pantai, pemerintah kemudian membatasi aktivitas perahu nelayan pantai di Laut China Timur. Perkembangan selanjutnya menunjukkan pesatnya kemajuan nelayan pantai sehingga kemampuan jelajah wilayah penangkapannyapun bertambah luas. Keadaan ini kembali memicu konflik antara nelayan pantai dengan kapal pukat. Akibatnya, pada tahun 1921, pemerintah memutuskan untuk memberlakukan sistem daerah tertutup bagi kapal pukat. Bahkan, sejak tahun 1935, hak-hak nelayan pantai diperluas sehingga mencakup pula serangkaian spesies yang yang bermigrasi. Periode Undang-Undang Perikanan Baru, sebagaimana diketahui bahwa sesudah perang dunia II berakhir pada bulan Agustus 1945, Jepang sebagai negara yang kalah perang ditempatkan di bawah kontrol sekutu sampai April 1952. Selama masa itu, sejumlah kebijaksanaan reformasi struktur sosial ekonomi dan penegakan sistem demokrasi ditetapkan oleh pemerintah diantaranya UU Perikanan Fisheries Law tahun 1948 Ruddle, 1992. Namun, dalam proses reformasi hukum perikanan tersebut, sistem hak- hak perikanan tradisional yang sudah dikenal sebelumnya, dalam batas-batas tertentu, tetap dipertahankan. Akibatnya, berlakulah sistem ganda dalam hukum perikanan Jepang yaitu sistem hak-hak perikanan fishing rights dan sistem lisensi perikanan fishing licence. Sistem hak-hak terutama berlaku bagi perikanan pantai sedangkan sistem lisensi berlaku perikanan lepas pantai dan laut lepas. Penjelasan yang lebih komprehensif tentang kedua sistem akan diuraikan berikut ini Yamamoto, 1983 diacu dalam Saad, 2003; Ruddle, 1992. The fishing rights system dirancang untuk kepentingan nelayan pantai, yang secara sosial ekonomi sangat lemah, jika dibandingkan dengan nelayan lainnya. Seperti halnya pada periode UU Perikanan Lama- yang mengatur exclusive fishing rights dalam UU Perikanan yang berlaku saat ini, yang menggunakan istilah fishing rights, dan hak-hak khusus untuk menangkap ikan diakui. Namun, hak khusus ini tidak dapat dihipotikkan, dipersewakan, atau dialihkan. Hak khusus ini memberikan hak eksklusif untuk menangkap ikan diperairan yang sudah ditentukan dengan peralatan khusus pula. Dalam sistem pengelolaan sumberdaya ikan di perairan pantai di Jepang terdapat 3 macam hak-hak khusus perikanan yang dikenal dalam hukum perikanan Jepang saat ini. Hak-hak khusus tersebut dijelaskan Saad, 2003; Satria, 2002c, sebagai berikut : 1 Common fishing rights. Hak ini hanya diberikan kepada koperasi perikanan dan disertai syarat bahwa sumberdaya perikanan digunakan dieksploitasi secara terpadu bagi seluruh nelayan anggota koperasi. Jenis hak ini masih dibagi lagi menjadi tiga tipe, yakni: 1 untuk menangkap jenis ikan dan biota laut lainnya yang hidup di dasar laut; 2 untuk menangkap jenis ikan pelagis yang bermigrasi atau ikan demersal dengan memasang alat tangkap statis pada kedalaman kurang dari 27 meter; 3 untuk menangkap jenis ikan pelagis yang bermigrasi dengan menggunakan jala-jala pantai di daerah tertentu. Distribusi hak-hak tersebut, ditentukan melalui suatu kesepakatan diantara nelayan anggota koperasi berdasarkan prinsip kebersamaan yang tata caranya sudah ditentukan terlebih dahulu statuta koperasi. 2 Set-nets fishing right, yaitu hak untuk menangkap jenis ikan pelagis bermigrasi dengan menggunakan jala berpasangan, yang ditempatkan pada lokasi tertentu yang kedalamannya lebih dari 27 meter. Berhubung jenis alat yang diperlukan relatif membutuhkan modal besar dan banyak tenaga kerja, maka seleksi nelayan atau koperasi yang akan diberikan hak ini tidak dapat dihindarkan. Dalam batas-batas tertentu, biasanya nelayan atau koperasi perikanan yang terpilih menerima hak ini ialah yang memiliki modal relatif besar untuk diinvestasikan. 3 Demarcated fishing right, yaitu hak untuk mengusahakan budidaya ikan atau biota laut lainnya di wilayah laut tertentu. Seperti halnya, set net fishing, demarcated fishing right diberikan kepada nelayan atau koperasi perikanan yang memiliki cukup modal untuk berinvestasi dalam usaha budidaya laut marine culture. Satria 2002c berpandapat bahwa paling sedikit terdapat 3 karakteristik yang melekat pada kebijaksanaan perikanan pantai Jepang, khususnya dalam hubungannya dengan sistem hak-hak khusus perikanan, yaitu: Pertama, hak-hak khusus perikanan tersebut diberikan kepada koperasi nelayan atas seluruh wilayah yang berbatasan dengan daerahnya sejauh 2 km ke arah laut; Kedua, hak khusus untuk common fishing right akan diberikan kepada semua koperasi nelayan. Dalam wilayah hak ini, mula-mula semua anggota nelayan diberikan common fishing right tipe 1, dan sesudah itu baru beberapa nelayan diberikan hak-hak tipe 2 maupun tipe 3; dan Ketiga, berkaitan dengan kondisi hak khusus perairan yang dibutuhkan, maka set net fishing right maupun demarcated fishing right hanya diberikan kepada koperasi perikanan tertentu, yang secara geografis daerahnya berbatasan dengan wilayah perairan laut yang cocok untuk jenis hak tersebut atau memiliki cukup modal guna keperluan investasi usaha budidaya laut. Upaya untuk mengefektifkan sistem hak-hak khusus perikanan tersebut, diselenggarakan melalui mekanisme tertentu Saad, 2003; Satria, 2002c. Mekanisme sistem pengelolaan sumberdaya perikanan pantai tersebut adalah sebagai berikut: 1 Daerah Alokasi Allocational regional. Untuk memudahkan alokasi sumberdaya ikan kepada seluruh nelayan, maka daerah pantai dibagi menjadi 2 sampai 4 daerah, guna menjamin homogenitas daerah sesuai dengan kondisi laut dan sumberdaya perikanan yang dikandungnya. Misalnya, daerah pantai propinsi Jhiba dibagi menjadi 3 daerah yaitu daerah teluk Tokyo dengan perairan luas yang cocok untuk budidaya laut- demarcated fishing right, daerah Jhiba luar dengan pantai berkarang yang cocok untuk perikanan pantai-common fishing right tipe 1, dan daerah pantai Kujukuri dengan bentangan pantai panjang berpasir yang cocok untuk pukat pantai-common fishing right tipe 2 2 Komisi Pengelola Hak Perikanan fishing rights management comunities. Berdasarkan UU Perikanan dan UU Koperasi Perikanan Jepang, koperasi perikanan diposisikan sebagai pemegang peran utama dalam mengelola hak-hak khusus perikanan yang akan diberikan kepada nelayan. Untuk maksud ini dibentuklah Komisi Pengelolaan Hak Perikanan pada tiap-tiap koperasi perikanan. Komisi ini juga diharapkan berfungsi menjamin agar pelaksanaan sistem hak-hak khusus perikanan berjalan demokratis. 3 Komisi Koordinasi Perikanan Daerah Regional Fishery Coordination Commitees. Pada tiap-tiap daerah alokasi sub-1 dibentuk suatu Komisi Koordinasi Perikanan Daerah. Komisi ini beranggotakan 15 orang yang terdiri atas sembilan orang wakil nelayan yang dipilih langsung oleh nelayan, 4 orang yang dianggap mengetahui dan berpengalaman dalam hal perikanan, dan 2 orang mewakili kepentingan publik luas. Enam orang anggota komisi yang disebut terakhir diusulkan oleh gubernur. Masa jabatan anggota komisi 4 tahun. Tugas komisi ini adalah: 1 mengembangkan rencana penggunaan sumberdaya ikan dan daerah perikanan, sesuai dengan usulan-usulan komisi pengelola hak perikanan; 2 memberi nasihat kepada gubernur dalam rangka penetapan kebijaksanaan perikanan propinsi, termasuk kebijaksanaan perzjinan perikanan di luar sistem hak-hak khusus; 3 mengambil tindakan hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan nelayan; 4 menjamin pelaksanaan sistem hak-hak khusus; dan 5 menyelesaikan konflik yang terjadi diantara para nelayan. Penjelasan di atas menegaskan betapa koperasi nelayan merupakan tulang punggung dalam pelaksanaan sistem hak-hak khusus perikanan. Bahkan, pada tingkat tertentu, koperasi nelayan menjalankan fungsi publik yang biasanya merupakan otoritas pemerintah. Peran penting koperasi nelayan tersebut, telah menyebabkan pesatnya perkembangan koperasi nelayan di Jepang. Pada tahun 1993, sudah tercatat 2.100 unit koperasi dengan anggota 530.000 keluarga nelayan dengan diversifikasi usaha sangat beragam. Selain menjalankan administrasi hak-hak khusus perikanan, koperasi nelayan juga menjalankan usaha pemasaran, perkreditan, asuransi, pengadaan segala kebutuhan pokok dan sarana melaut dan sebagainya Saad, 2003. The fishing licence system. Pada prinsipnya, sistem perijinan perikanan ini akan diberikan untuk wilayah perairan yang tidak terjangkau oleh nelayan tradisional dengan sistem hak-hak khusus perikanan. Izin perikanan diberikan kepada perorangan, kelompok nelayan, atau perusahaan. Iz in perikanan dikeluarkan oleh Menteri Pertanian, Kehutanan dan Perikanan negara Jepang maupun oleh Gubernur. Berkaitan dengan sistem perizinan perikanan ini, pemerintah Jepang menentukan kebijaksanaan, seperti menetapkan daerah penangkapan, musim, dan daerah tertutup, ukuran kapal, jumlah kapal, jenis alat tangkap, serta ukuran mata jaring. Setiap orang atau perusahaan yang diberikan izin perikanan ditentukan kawasan tempat menangkap ikan, tonase kapal, atau ukuran mata jaring atau alat tangkap yang digunakan. Berbeda dengan sistem hak-hak khusus perikanan, dalam sistem perizinan perikanan, tidak ada pegangan hak milik, sehingga memegang izin perikanan tidak memperoleh hukum secara eksklusif. Semua armada kapal perikanan yang berizin, bebas bersaing di laut lepas Bappenas, 2005; Ruddle, 1992. Pengkavlingan laut telah berlangsung dalam sistem pengelolaan perikanan artisanal di Jepang. Akan tetapi pengkavlingan itu diatur sedemikian rupa, sehingga efektif dan produktif bagi usaha perikanan. Lagi pula adanya pengkavlingan laut melalui kelembagaan fishery rights membawa sejumlah dampak positif. Ada 3 dampak positif yang terjadi adalah: Pertama, konflik-konflik antar nelayan di perairan menjadi makin berkurang seiring dengan jelasnya batas-batas yurisdiksi usaha perikanan artisanal; Kedua, pendapatan nelayan meningkat, karena memperoleh jaminan wilayah usaha dan dapat menikmati kekayaan alam di wilayahnya sendiri; dan Ketiga, ada hal yang lebih penting dari itu semua, yaitu dengan adanya hak tersebut, nelayan akan bertanggung jawab terhadap kelestarian atau keberlanjutan sumberdaya ikan yang terdapat di wilayah perairan mereka. Oleh karena itu, mereka tidak akan sembarangan menggunakan alat tangkap yang merusak lingkungan. Hal ini mengingat adanya kesadaran bahwa keberlanjutan sumberdaya hayati laut tersebut merupakan masa depan kehidupan mereka sendiri Saad, 2003; Satria, 2002c.

2.8.2.2 Fhilipina